Bab 6
Ratu Yang Hilang
“Apa kapal ini bergerak?” Leonis mengerutkan alisnya.
Lantai di bawah mereka bergetar dan berguncang. Tidak ada jendela di koridor tempat dia berdiri, jadi satu-satunya petunjuk adalah goyangan yang dirasakan di bawah kakinya. Namun, tampaknya Hyperion berlayar menjauh dari Assault Garden Ketujuh dengan kecepatan tinggi.
“Mereka mungkin mengambil alih inti kendali kapal,” kata Regina dengan ekspresi panik. “Mereka menangkap Yang Mulia, dan mereka mungkin memaksanya untuk menurut...”
“Tuan putri?” Leonis bertanya kembali.
Apa memiliki putri sebagai tahanan mereka ada hubungannya dengan menggerakkan kapal...?
“Anggota keluarga royalti memiliki kekuatan Pendeta Putri. Itu membuat mereka bisa menggunakan kekuatan roh. Sistem inti kapal ini memanfaatkan itu, yang memungkinkan mereka untuk memanipulasi Elemen Buatan yang mengendalikan kapal.”
“Begitu ya. Jadi bisa dibilang, tuan putri adalah Hyperion itu sendiri...”
Senjata-senjata dengan penyihir yang hidup sebagai inti mereka juga ada pada zaman Leonis. Semua itu sudah semacam benteng bergerak. Mengingat hal itu membantu Leonis memahami situasinya dengan cukup cepat.
Hyperion kemungkinan besar dibangun sehingga bisa berfungsi bahkan tanpa seseorang untuk mengoperasikan intinya, tapi kapal itu hanya menunjukkan nilai yang sebenarnya sebagai senjata saat diperintahkan oleh master dari keluarga royalti. Leonis bertanya-tanya, apakah mungkin kunjungan ke Assault Garden Ketujuh juga digandakan sebagai percobaan untuk sang putri.
“Ya, hanya saja...” Regina melihat ke bawah pada sesuatu yang bersandar di dadanya.
Itu adalah bola bulu putih yang lembut dengan batu permata merah tertanam di dahinya—Roh Muasal milik tuan putri.
“Bahkan tuan putri seharusnya tidak bisa mengendalikan kapal secara langsung tanpa menggunakan Carbuncle ini, roh keluarga royalti, sebagai perantara...,” jelas Regina.
“Kau sangat tahu tentang roh keluarga royalti ya, Regina,” kata Leonis.
“I-itu tidak benar. Ini, uh, pengetahuan umum. Semua orang mengetahui itu!” Kata Regina sambil dengan terang-terangan menghindari tatapan Leonis. “Uhh... apa kau mau permen, nak?”
“...”
Leonis memperhatikan Regina dengan mata menyipit dalam kecurigaan saat gadis itu mengambil permen dari saku seragamnya.
“Regina, apa kau ini seorang pembohong yang buruk?”
“Uhhh...” Regina menghela nafas kecil, pasrah dan mencondongkan tubuh ke arah Leonis. “...Oke-oke. Maksudku, mengingat situasinya, aku mungkin harus memberitahumu... Tapi ini rahasia. Kau tidak boleh memberi tahu siapa pun.”
Leonis mengangguk.
“Putri Altiria adalah adik perempuanku,” kata Regina.
“...Adikmu?! Bukankah itu berarti—?”
“Iya. Nama asliku adalah Regina Ray O'ltriese. Putri keempat Keluarga O'ltriese.”
---
Lima belas tahun yang lalu, di hari ketika Regina lahir, sebuah bintang yang tidak menyenangkan terlihat di atas langit. Cahaya merah bintang itu telah dilihat sebagai pertanda buruk sejak zaman kuno. Aturan Gereja Manusia menyatakan bahwasannya setiap keturunan royalti yang lahir pada hari bintang itu muncul akan dibunuh atau dikirim ke biara di pegunungan selama sisa hidup mereka.
Namun, kakek-nenek Riselia membenci diktum itu, sehingga Duke Crystalia melenturkan otoritas keluarga bangsawannya untuk mengambil Regina sebagai gantinya.
Bintang pertanda buruk. Tampaknya mitos seperti itu telah bertahan hingga era baru ini..., pikir Leonis dalam hati tanpa sedikit pun merasa terganggu. Setelah diperhatikan lebih jeli, dia segera menyadari betapa miripnya sang putri itu dengan Regina. Keduanya memiliki rambut emas yang indah dan mata hijau yang besar. Kemiripan itu sebenarnya luar biasa.
“Jadi, kau datang ke kapal ini untuk bertemu dengan adikmu?”
Regina mengangguk.
“Kupikir jika aku pergi ke dermaga, setidaknya aku bisa melihatnya dari jauh,” ucap Regina sambil tersenyum sedih. “Seperti itu juga caraku bisa mengendalikan roh yang ada di perpustakaan. Aku tidak pernah dilatih, jadi aku tidak sebaik adikku.”
Dia mewarisi kekuatan pengguna roh dari garis keturunan royalti. Leonis mengangguk mengerti sementara Regina kembali menatapnya, mata hijaunya berkedip-kedip karena heran.
“...Apa kau tidak terkejut?” tanya gadis itu.
“Tentang dirimu yang memiliki adik perempuan?”
“Tidak, tentang aku yang merupakan seorang royalti.”
“Oh.”
Kebanyakan orang pasti akan terkejut. Namun Leonis telah mengenal banyak garis keturunan royalti baik selama eranya sebagai salah satu dari Enam Pahlawan maupun setelah dia menjadi Raja Undead. Terlepas dari sosoknya yang terlihat seperti serigala hitam, Blackas yang merupakan teman seumur hidupnya adalah pangeran dari Alam Bayangan.
“Pokoknya, kurasa sekarang aku mengerti Regina,” kata Leonis, mengalihkan pandangannya ke beastman yang diikat. “Jadi, apa yang diinginkan orang-orang ini?”
“Aku tidak tahu pasti, tapi kurasa mereka ingin bernegosiasi dengan kekaisaran untuk mendapatkan sesuatu yang menggunakan kapal dan orang-orang yang disandera sebagai tebusan.”
Leonis menghela nafas.
Sungguh alasan yang membosankan.
Ada juga orang yang melakukan hal-hal seperti itu seribu tahun yang lalu. Bahkan dengan ancaman Pasukan Penguasa Kegealapan mendekati mereka, manusia menjadi mangsa banyak perjuangan internal.
Berkat semua pertikaian itu, kami menguasai apa yang akan menjadi kerajaan yang tak tertembus.
Regina menyentuh salah satu antingnya dan menyalakan perangkat komunikasinya.
“Aku tidak bisa menghubungi Lady Selia. Kupikir logis untuk menganggap mereka telah mengambil kendali aula pesta.”
“Menurutku juga begitu,” Leonis setuju.
Ada banyak siswa/i akademi di pesta itu, tapi jika para teroris mengambil sandera, mereka tidak akan bisa melawan.
“Kurasa biro administrasi belum mengetahui hal ini,” tambah Regina.
“Jadi satu-satunya agen yang bebas saat ini adalah kita,” Leonis menyimpulkan.
Karena musuh telah menculik sang putri, mungkin para pengawal royalti dan awak kapal telah dibunuh atau ditahan di suatu tempat. Namun sejauh ini Leonis dan Regina telah melewati pendeteksian musuh. Regina naik ke kapal secara ilegal, dan duplikat Leonis masih ada di aula. Sepertinya musuh tidak menyadari kalau mereka berdua berkeliaran di sekitar Hyperion.
Tetap saja, para teroris itu telah membuat permainan yang agak berani. Leonis tersenyum kejam. Mereka akan mempelajarinya secara langsung apa yang akan terjadi pada mereka yang berani menyentuh kerajaan Penguasa Kegelapan.
Lebih dari para pembajak kapal, ada sesuatu hal lain yang menjadi perhatian Leonis.
...Pedang Iblis, ya?
Misteri terbesar yang Leonis temui sejak reinkarnasinya adalah kekuatan Pedang Suci. Jika ada seseorang yang memiliki cara untuk memberikan kekuatan itu kepada nonmanusia...
Maka aku perlu menangkap mereka dan mendapatkan rahasia mereka untuk diriku sendiri. Leonis bangkit dengan tongkat di tangannya.
“Regina, kita harus menyelamatkan Yang Mulia.”
“Benar,” kata Regina dengan serius sambil mengangguk. “Tapi aula—”
Dia menggigit bibirnya. Tidak diragukan lagi dia cemas dengan Riselia dan teman-temannya yang lain. Mereka bisa saja berpisah atau mungkin merebut kembali aula terlebih dahulu sehingga mereka bisa bergabung dengan Riselia dan yang lainnya untuk menyerbu anjungan.
Tapi itu juga tidak bijaksana, pikir Leonis.
“Tindakan kita yang paling pasti adalah melancarkan serangan mendadak di anjungan dan mendapatkan kembali kendali atas kapal,” tegasnya. Leonis selanjutnya menjelaskan ada dua alasan untuk ini. Yang pertama adalah bahwa penyerang kemungkinan memiliki lebih banyak orang yang ditempatkan di aula karena mereka perlu menekan beberapa target. Kedua, mendapatkan kembali kendali atas kapal niscaya akan membuat pengamanan aula pesta menjadi jauh lebih mudah. Bahkan ada kemungkinan para teroris bisa menyerah dalam situasi seperti itu.
“Dengan kata lain, menyerang aula lebih dulu akan mempersenjatai orang-orang yang mengambil alih kapal dengan keuntungan informasi dan waktu.”
“...Dimengerti.” Regina mengangguk, puas dengan alasannya.
Namun penjelasannya hanya kepura-puraan. Leonis tidak berbagi tujuan dengannya. Mengambil kendali aula itu akan mudah dengan kekuatannya yang luar biasa, tapi dia tidak bisa mengambil risiko memperlihatkan kekuatan penuhnya sebagai Penguasa Kegelapan.
“Kalau begitu ayo segera bergerak.” Regina berdiri dengan Pedang Suci di tangannya.
“Apa kau tahu ke arah mana anjungan itu?” tanya Leonis.
“Makhluk kecil ini akan menunjukkan jalannya,” kata Regina sambil menatap Carbuncle yang masih berada di kakinya.
“Terlepas dari makhluk itu adalah roh keluarga royalti.” seru Leonis. “Makhluk itu sangat melekat padamu, Regina,”
“Dia sama denganmu dalam hal itu, nak,” balas Regina main-main.
“Jujur saja aku tidak terlalu melekat denganmu,” balas Leonis sambil mengangkat bahu.
“Wow. Itu membutku syok.” Kuncir Regina terkulai sedikit karena kecewa.
“Aku hanya bercanda,” Leonis menambahkan dengan nada meminta maaf setelah melihat gadsi itu benar-benar menganggapnya buruk.
Mengangkat bahu sekali lagi, Leonis merapalkan mantra telepati.
“Shary.”
“Ya, paduka?”
“Pergilah ke aula pesta di lantai bawah. Jika ada bahaya yang menimpa pengikut atau rakyat kerajaanku, kau memiliki izinku untuk membunuh musuh.”
“Dimengerti, paduka,” terdengar suara yang tenang dan berhati dingin.
Sekalipun gadis itu adalah pelayan, Leonis percaya pada keterampilan Shary sebagai seorang pembunuh. Dia ingin sekali memanggil Blackas untuk membantunya juga, tapi karena kapal itu berlayar ke laut, dia tidak akan bisa menggunakan koridor bayangan untuk mencapainya.
Kurasa aku benar-benar terlalu protektif terhadap pengikutku, pikir Leonis, memandang dirinya sendiri dengan seringai sinis.
---
Apa kapal ini menuju ke suatu tempat? Riselia melihat sekeliling dengan cemas.
Lantai aula mulai bergoyang maju mundur, menyiratkan bahwa kapal itu bergerak dengan kecepatan yang cukup tinggi. Kedua tangan Riselia terikat erat di belakangnya punggungnya, dan mewujudkan Pedang Suci-nya akan meledakkan Bom Apel yang berada di tengah-tengah lingkaran sandera.
Riselia tidak tahu seberapa kuat ledakan itu, tapi yang terburuk, dia membayangkan para siswa/i yang duduk di sekitarnya akan terbunuh.
Leo...
Riselia mengalihkan pandangannya ke tempat anak-anak dipisahkan. Millet dan Linze menangis, dan Tessera menepuk punggung mereka sambil menahan air matanya sendiri. Tentunya Tessera merasakan tanggung jawab untuk dua anak lainnya karena dia lebih tua dari mereka.
Anehnya, Leonis masih terlihat sama sekali tidak gelisah... Menyadari Riselia menatapnya, matanya bertemu dengan mata Riselia dan memandang gadis itu dengan senyum kecil yang percaya diri.
...Dan aku duduk di sini mengkhawatirkan dia! Issshhh! Riselia yang ngambek menggembungkan pipinya.
Di samping Leonis, Tessera dan anak-anak jelas berada pada batas kemampuan mereka.
“Hei, berhentilah menangis! Diam!” Salah satu beastmen dengan kasar menjambak rambut Millet.
“...Hentikan itu!” Riselia tidak bisa menahan diri untuk tidak berdiri.
“Apa katamu?”
“Tolong. Lepaskan anak-anak itu...”
“Pikirmu aku akan mendengarkan ucapanmu,” kata Gerðr si manusia serigala sambil menyeringai.
Dia berjalan ke arah Riselia dan mengarahkan bilah Pedang Iblisnya di sepanjang tengkuk gadis itu.
“...!”
Beberapa helai rambut perak jatuh ke lantai.
“H-hentikan!” Fenris berteriak dengan nyaring.
“Aku sebenarnya tidak pilih-pilih mau itu perempuan manusia, tahu? Aku hanya perlu sedikit menghancurkanmu, bukankah begitu, gadis cantik?!”
Dia membawa ujung cakarnya ke kancing seragam Riselia dan berniat mencabut kancing seragam itu. Namun saat itu, suara benturan bergema di seluruh ruangan.
“Apa itu?!” Gerðr berseru atas interupsi itu.
Riselia berbalik, dan apa yang dia lihat adalah...
“Oh, hei. Maaf. Aku tidak sengaja memecahkan piring.” Sakuya duduk di salah satu kursi, memakan hidangan ikan dengan garpu.
“Apa yang kau lakukan?! Kau seharusnya diikat!” teriak Gerðr.
“Aku memotongnya dengan pisau. Kalau diikat seperti itu aku jadi tidak bisa makan,” kata Sakuya dengan dingin dan membawa sepotong ikan lagi ke mulutnya.
Itu adalah makanan yang tadi dia sembunyikan di lengan bajunya.
“A-apa kau merendahkan kami?!” Salah satu beastman mencengkeram lengan Sakuya, tapi saat dia melakukan itu, beastmen itu menjadi kaku, menggigil, dan mundur selangkah.
“Ada apa denganmu?!” Gerðr membentaknya.
“G-gadis ini, dia dari Sakura Orchid...!”
“Hah? Terus?”
“Mereka adalah sekelompok ahli pedang yang tanah airnya dihancurkan dalam insiden Void Stampede. Mereka yang selamat menjadi sekelompok orang gila yang melanglang buana memburu Void sehingga mereka dapat membalas dendam pada Void Lord yang memerintah serangan itu.”
“...” Sakuya menghabiskan makanannya dan dengan patuh menyerahkan kedua tangannya kepada beastman itu. “Apa? Apa kau tidak akan mengikatku?”
“...T-tidak ada gerakan tiba-tiba, apa kau mendengarku?!” Beastman itu dengan takut-takut mengikat pergelangan tangan Sakuya.
“Tsk, sungguh mematikan...,” kata Gerðr, mendorong Riselia menjauh dan kembali ke anak-anak.
Terima kasih, Sakuya... Riselia memandang adik kelasnya dengan membungkuk hormat, tapi Sakuya menggelengkan kepalanya seolah berkata, “Jangan permasalahkan itu.” Riselia pun duduk kembali.
“Aku akan menonaktifkan bomnya,” bisik Elfiné ke telinganya.
“...?!”
Riselia melirik gadis itu dengan tatapan bertanya. Elfiné mengalihkan pandangannya ke tempat tertentu di langit-langit. Riselia mengikuti matanya dan melihat bola (orb) yang bersinar redup tersembunyi di dalam salah satu lampu sihir aula.
Kapan dia berhasil melakukan itu?!
Mungkin saat para teroris bergegas masuk ke aula. Begitu lampu padam, Elfiné secara refleks mengaktifkan Mata Penyihir (Eye of the Witch)-nya dan mengirimkan satu bola.
Aku tidak percaya dia bisa melakukan itu dengan begitu cepat.
Untungnya, belum ada satu pun dari teroris demi-human yang menyadarinya.
“Aku sedang menganalisis kemampuan bom itu sekarang,” bisik Elfiné.
Keahliannya tidak hanya terletak pada analisis taktis dari Void, tapi juga dalam mengurai kekuatan Pedang Suci yang berbeda. Biasanya, dia menggunakannya untuk memberikan nasihat tentang bagaimana cara menarik kekuatan dari senjata dengan lebih baik, tapi itu juga memungkinkannya untuk menemukan kelemahan pada Pedang Suci orang lain.
Jika Elfiné dapat menjinakkan bom itu...
Maka Riselia dan yang lainnya akan dapat melancarkan serangan mendadak terhadap para teroris dan mengalahkan mereka.
Tapi apa yang harus kami lakukan...?
Setenang mungkin, Riselia berusaha untuk menyusun rencana yang akan mengatasi kebuntuan. Jika dia menunjukkan tanda-tanda menggunakan Pedang Suci miliknya, musuh akan memicu bom.
Bagaimana jika aku menggunakan kekuatan yang tidak ada hubungannya dengan Pedang Suci?
Sebuah kilatan inspirasi tiba-tiba menyambarnya.
---
Di koridor gelap, yang hanya diterangi oleh lampu darurat, berdiri seorang gadis dengan pakaian pelayan. Dia memasang ekspresi bingung.
“...Aku dimana ya?” dia berguman sambil memiringkan kepalanya yang bingung.
Sayangnya, tidak ada orang yang bisa menjawab pertanyaannya. Terlepas dari dirinya yang merupakan seorang pembunuh dari Alam Bayangan dan seorang yang cukup terampil untuk dianggap sebagai orang kepercayaan Raja Undead, Shary sama sekali tidak memiliki kepekaan terhadap arah.
Sementara dia berhasil menemukan jalannya melalui kota, sebuah kapal dengan sektor dan lorong yang terlihat identik seperti ini mungkin juga merupakan labirin sihir yang bergerak saat seseorang berjalan menyusuruinya. Banyaknya sekat yang diturunkan hampir tidak membuat segalanya lebih mudah.
Shary benar-benar tidak tahu harus pergi ke mana.
Kalau terus begini, tuanku akan memarahiku!
Menggunakan cambuk yang dibentuk dari kegelapan, Shary memotong salah satu penghalang logam dengan rapi. Dia telah diberitahu untuk sebisa mungkin tidak merusak kapal, tapi mengingat situasinya, dia tidak punya pilihan lain.
“P-pokoknya, aku perlu menemukan tempat terbuka itu seperti yang tuanku perintahkan...”
Dengan begitu, Shary mulai berlari, menuju ke arah yang berlawanan dari aula pesta.
---
Riselia menggigit bibirnya, membiarkan darah mengalir dan menetes ke lantai di bawahnya. Namun, tetesan merah tua itu tidak meresap ke karpet. Malahan, tetesan-tetesan itu hanya diam di tempat mereka berada dan bergetar.
Bayangkan bilah yang tipis dan tajam...
Riselia memejamkan mata dan memfokuskan mana yang mengalir melalui tubuhnya. Darahnya memanjang dan meregang, membentuk bilah yang lebih tipis dari kawat piano. Pedang merah tua itu bergerak diam-diam di atas karpet, merambat ke arah pria tua yang memasang Bom Apel.
Tidak ada yang memperhatikan. Tak satu pun dari mereka yang bisa mencurigai vampir yang mampu memanipulasi mana ada di ruangan itu.
“—Analisis selesai. Itu bukanlah bom tipe respon. Itu diledakkan dengan mengirimkan mana kepada bom.” Bisikan Elfiné menggelitik telinga Riselia. “Aku tidak bisa sepenuhnya membaurkan bom itu hanya dengan satu bola (orb), tapi dengan hanya satu bola aku bisa menggunakannya untuk melepaskan gangguan (jamming) yang seharusnya mengganggu gelombang mana dan menunda ledakan. Yang terbaik, itu hanya akan memberi kita satu detik.”
Momen sekejap itu akan menjadi satu-satunya kesempatan Riselia mengalahkan elf itu sebelum dia bisa meledakkan bom. Jika dia berhasil memecah konsentrasi si elf, Pedang Suci milik pria itu harusnya akan menghilang.
Dan jika aku gagal, beberapa siswa/i akademi akan mati...
Saat Riselia berkonsentrasi dengan mata tertutup, keringat dingin membasahi dahinya. Dia tidak bisa melakukan kesalahan atau membuat siapa pun menyadari apa yang dia lakukan jika dia ingin berhasil.
“Hey apa yang kau lakukan?!” Gerðr si manusia serigala berseru dengan keras.
Apa dia menyadari pergerakanku?! Tubuh Riselia menggigil.
Namun, itu bukan Riselia yang dibentak oleh si manusia serigala. Sebaliknya, itu adalah Leonis yang tiba-tiba bangkit berdiri.
Leo?! Mata Riselia langsung terbuka.
Dengan fokus pada mananya yang sedikit terganggu, bilah darahnya sedikit bergetar. Riselia buru-buru memusatkan perhatian pada bilah itu lagi, memaksa darah itu kembali ke bentuk yang tadi.
A-apa yang dia lakukan...?!
“Pikirmu kau mau kemana, bocah?! Kami menyuruhmu untuk diam di tempat!” Gerðr menggeram.
“Aku bosan. Selain itu, mana tuanku hampir habis,” jawab Leonis dengan tenang.
“...Berhentilah mengatakan omong kosong, dasar bocah ingusan!” Gerðr mengangkat kerah Leonis.
“...L-Leooo!” teriak Tessera.
Leonis hanya mengangkat bahu dengan ekspresi tenang.
“Jangan terlalu sombong, nak.” Gerðr menghunuskan ujung Pedang Iblisnya ke leher Leonis. “Heh-heh, ini bukannya aku menginginkan wajah maafmu.”
“Gerðr, wanita itu...mengatakan untuk tidak membunuh sandera Pengguna Pedang Suci...,” elf tua yang membuat Bom Apel itu memperingatkan dengan nada rendah.
“Bacot, siapa yang peduli jika aku memotong satu atau dua anak, hah?!”
Manusia serigala itu membuka rahangnya dan menjilat bibirnya. Namun pada saat yang sama, penampilan Leonis berkerut dan berputar, berubah menjadi skeleton yang berderak dan terkekeh.
“...A-apa-apaan ini?!” seru Gerðr yang tanpa sadar melepaskan apa yang tadinya tampak seperti anak kecil. Kali ini, Leonis-lah yang menangkapnya—atau lebih tepatnya, sosok yang yang dulunya Leonis memegangi manusia serigala yang terkejut. Cahaya mana biru mulai memancar dari tulang skeleton itu.
“...?!”
“Aku akan menyingkirkan musuh tuanku. Melgest.”
Boooooooooooom!
Ledakan mengguncang udara dan membuat tubuh Gerðr terbang mundur.
“...L-Leo?!”
Riselia tidak tahu apa yang baru saja terjadi, tapi asap yang tebal mulai memenuhi udara dan mengaburkan pandangan semua orang di ruangan itu.
“Selia!” seru Elfiné.
Riselia pun segera mengalirkan mana melalui darah yang dia kirimkan ke lantai.
“Brengsek!” Elf tua itu melepaskan sentakan mana dari ujung jarinya untuk meledakkan Bom Apel, tapi yang mengejutkannya, bom itu tidak langsung meledak. Gangguan kuat Mata Penyihir menunda pelepasannya pada momen yang tepat. Hanya sekejap yang terbukti yang dibutuhkan.
Vwooooosh!
Bilah darah Riselia terangkat seperti cambuk, menebas lengan kanan elf itu.
“Aaah, aaaaaaaaah?!” Darah mengalir di udara.
Setelah kehilangan kehendak penggunanya, Bom Apel itu pecah menjadi partikel-partikel cahaya.
“S-sial, bunuh mereka!”
Beastemen-beastmen bergerak untuk melakukan apa yang diperintahkan dan bersiap untuk menusukkan cakar mereka ke sandera-sandera terdekat.
Shing!
Percikan cahaya melintas di udara.
“—Terlalu lambat.”
Sakuya berdiri dengan Pedang Suci berbentuk katana, Raikirimaru, di tangannya. Dalam sekejap mata, dia membuat dua dari demi-human itu pingsan. Entah bagaimana, dia sudah memotong tali yang mengikat kedua tangannya saat dia mengaktifkan Pedang Suci-nya.
“M-mundur!”
Setelah menyadari bahwa meja telah dibalikkan pada mereka, para teroris berlari menuju pintu aula.
“Aktifkan—Serigala Es (Frost Wolf)!” teriak Fenris.
Sekawanan tujuh serigala yang terbuat dari es menyerbu ke arah beastmen-beastmen yang melarikan diri dari belakang. Satu demi satu, para teroris dibekukan di tempat. Dan dalam beberapa saat, kendali aula pesta telah diperoleh kembali.
---
“...Leo?!”
Riselia bergegas menuju apa yang dia yakini sebagai sisa-sisa Leonis yang hancur. Tulang-tulang berserakan di tanah, dan tengkoraknya yang pecah bergemerincing di atas lantai.
“L-Leo... Tidak, tidak...!” Dihadapkan dengan sisa-sisa kerangka anak itu, Riselia jatuh berlutut.
“Tenang, Selia. Itu bukan Leo,” kata Elfiné saat meletakkan tangannya di bahu temannya.
“...Apa?”
“Aku pernah merasakan data mana Leo sebelumnya, dan... panjang gelombang Leo yang tadi itu berbeda dari Leo yang kutahu. Itu sepenuhnya dibaca sebagai bukan manusia.”
“A-apa yang kau maksud dengan itu?” tanya Riselia sambil melihat ke arah tengkorak yang berserakan.
Tengokrak yang patah itu mengguncangnya. Itu sangat mirip dengan skeleton-skeleton yang dihancurkan Riselia saat berlatih tadi pagi.
“Penggandaan tubuh?” Riselia akhirnya sadar.
“Menurutku begitu,” kata Elfiné sambil mengangkat bahu. “Aku tahu kalau Pedang Suci miliknya adalah tipe multiguna, tapi itu benar-benar sangat serbaguna.”
“Jadi kau tahu dari awal bahwa Leo yang tadi itu palsu?”
“Iya. Meskipun kuakui kalau aku tidak menyangka dia akan meledak.”
“Pantas saja kau begitu tenang...” Riselia menggembungkan pipinya dan menjentikkan jari ke tengkorak yang tadi terkekeh itu. “Leo itu dan leluconnya...”
Jika serakan tulang-tulang ini bukan Leo yang asli, maka Riselia bertanya-tanya ke mana perginya Leo yang asli.
Dengan kapal dalam keadaan yang mengerikan, dia khawatir teroris telah menangkapnya. Spekulasinya berakhir saat lambung kapal Hyperion bergetar dan berguncang.
“Kita harus melarikan diri selagi bisa,” kata Elfiné dengan nada muram.
“Serigala-serigalaku dapat membantu memandu dan menjaga warga sipil sampai mereka selamat.” Fenris menjentikkan jarinya dan memerintahkan sekawan serigala es untuk merobek tali sandera dengan taring mereka.
Pada saat yang sama, Elfiné mengerahkan delapan bola (orb) Mata Penyihir. Bola-bola yang melayang itu terhubung dengan terminal kapal. Elfiné kemudian menggunakannya untuk mengunduh peta struktur kapal dan mencari sekoci.
“Tunggu, Riselia, kau mau kemana?” Fenris memanggil gadis berambut perak yang bangkit berdiri.
“Aku mau mencari Leo,” jawabnya.
“Selia, itu berbahaya.”
“Itu terlalu berbahaya!”
Baik Elfiné dan Fenris mencoba menghentikannya pada saat yang bersamaan.
“Aku akan baik-baik saja. Kalian berdua fokuslah untuk mengeluarkan semua orang!” Kata Riselia, menendang pintu ke aula dan bergegas keluar.
“Selia...,” Elfiné mencoba memanggilnya untuk terakhir kalinya.
“Aku juga akan pergi bersamanya. Kau harus fokus untuk memastikan semua orang di sini selamat,” kata Sakuya.
“Baiklah, Sakuya. Aku mengandalkanmu,” Elfiné setuju. Dengan anggukan, Sakuya pergi mengejar Riselia.
Elfiné melihat ke arah terminalnya karena Pedang Suci-nya baru saja selesai mendapatkan semua data dari kapal. Namun, apa yang dilihatnya menyebabkan warna wajahnya menghilang.
“Tidak, ini tidak mungkin...!” serunya.
“Ada apa?” Fenris mengintip ke layar dan menjadi pucat seperti Elfiné.
Hyperion bergerak dengan kecepatan maksimum menuju ke kedipan titik-titik merah yang tak terhitung jumlahnya.
“...Apa itu terumbu Void?!”
Mantap
ReplyDeleteThank update nya
Semangat min
Gass update
ReplyDelete