Bab 8
Ceramah
Ada sebuah apartemen di alamat yang diberitahukan Makiri-sensei kepadaku.
Aku memanggilnya yang tertidur dan memintanya untuk membuka kunci otomatis, sementara itu aku meminjam kunci kartunya untuk mendapatkan nomor kamar. Lalu kami menaiki lift. Aku sedikit lega karena tidak ada orang lain.
Aku menggunakan kunci kartu untuk membuka pintu yang sesui dengan nomor kamar dan memasukinya. Saat aku menyalakan lampu, apa yang memasuki pandanganku adalah kamar yang bersih dan rapi.
Itu adalah kamar satu ruangan, sehingga aku dapat segera melihat ranjangnya. ...Di ranjang itu, ada beberapa boneka binatang dengan karakter lucu. Sepertinya dia menyukai sesuatu yang imut-imut...
Sambil memikirkan itu aku dengan lembutnya membaringkannya, yang sedang tidur dalam pelukannku, ke atas ranjang.
......TIdak lama setelah aku menyelesaikan satu pekerjaan dan menghembuskan napas.
Lenganku dicengkeram oleh Makiri-sensei dan diseret ke atas ranjang. Aku sudah lelah secara fisik karena habis berlari, dan sekarang jadi lelah secara mental setalah tiba-tiba di seret ke sana.
Tepat di sebelahkku ada Makiri-sensei.
Apa yang sebenarnya mau dia lakukan?
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Ketika aku mengangkat suara protes...
“Mmmh...”
Dia masih tertidur nyenyak.
Seperti itu... dia tidak memberikan jawaban apa pun kepadaku. Sepertinya dia hanya mengigau.
Setelah aku merasa lega, aku menatap Makiri-sensei yang sedang tertidur. Dia menunjukkan banyak sisi-nya yang tidak terduga hari ini... seperti yang kupikirkan, dia adalah orang yang cantik.
Aku menyadari sekali lagi bahwa aku berada di ranjang yang sama dengan orang seperti itu... wajahku segera menjadi panas. Aku tidak bisa tinggal di sampingnya lebih lama lagi. Dengan pemikiran itu, aku melepaskan tangannya dan berdiri menjauh.
Lalu, setelah mematikan lampu kamar, aku mengambil kartu kunci. Pas keluar kamar, aku bisa menguncinya dari luar dan meletakkan kuncinya di tiang pintu. Aku bepikir begitu dan mencoba pergi...
Apa Makiri-sensei akan baik-baik saja?
Aku tiba-tiba merasa khawatir.
Sepertinya tidak terlalu mendesak atau berbahaya untuk memanggil ambulans, tapi apakah tidak apa-apa membiarkan dirinya sendiri di dalam kamar? Bagaimana jika saat dia tidur, muntahannya tersangkut di tenggorokan dan membuatnya tersedak sampai ma... yah, tidak mungkin sampai seperti itu.
Berpikir sejauh itu... Aku terjebak. Kalau sudah seperti ini, aku melakukannya sampai akhir.
Dengan pemikiran itu, aku kembali ke kamar tempat Makiri-sensei tidur.
☆
Beberapa jam telah berlalu di ruangan yang gelap itu. Sinar matahari memasuki kamar melalui jendela.
Ketika aku menunggu, agar siap untuk segera merespon jika ada sesuatu yang terjadi pada Makiri-sensei...
“Mmh... Mmh...”
Setelah mendesah seperti itu, Makiri-sensei perlahan bangkit. Sepertinya dia baik-baik saja.
“Ugh... aku minum terlalu banyak. Kepalaku sakit...”
Dengan ekspresi menyakitkan, Makiri-sensei bergumam di atas tempat tidur dan kemudian mencoba untuk berdiri.
“......Eh?”
Lalu, begitu dia melihatku di pojok ruangan, dia bergumam keheranan.
“Halo! Selamat pagi, Makiri-sensei.”
Aku memberikan salam pagi yang menyegarkan kepadanya. Mendengar sapaanku, wajahnya berkedut dan ekspresi ketakutan muncul di wajahnya.
...Dia terlalu mengantuk untuk berpikir jernih, tapi bagaimana jika dia tidak mengingat apa pun saat dia mabuk?
Ketika dia bangun, tau-tau ada seorang pria berada di dalamnya kamarnya. Seorang wanita lemah tentunya akan ketakutan. Tidak, terlepas dari jenis kelaminnya, semua orang pasti akan takut.
Dengan kata lain, ini buruk.
Apa aku akan berakhir dibawa oleh polisi?
“To-Tomoki-kun? ...!! Uumm... apa ini mimpi?”
“...Seandainya saja itu mimpi.”
Saat aku menjawab, Makiri-sensei tersenyum kaku. Aku mengawasinya sebentar untuk melihat kondisinya. Awalnya dia bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi setelah membandingkan wajahku dan pakaiannya sendiri, dia menunjukkan ekspresi terkejut. Wajahnya memerah dan dia langsung menutupinya dengan handuk.
...Mungkinkah dia mengingat apa yang terjadi?
Mengharapkan hal semacam itu, Makiri-sensei perlahan berdiri setelah memindahkan handuk itu dari wajahnya.
Kemudian, dengan air mata berlinang dan ekspresi malu di wajahnya, dia berkata,
“Aku minta karena telah merepotkanmu...!”
Dia membungkuk dan meminta maaf dengan nada sopan. Sepertinya dia mengingatnya dengan baik. Itu bagus untukku. Sepertinya aku tidak akan mendapatkan masalah.
“Kau benar. Itu sungguh merepotkan.”
Ketika aku menanggapi permintaan maafnya dengan suara dingin,
“...Aku benar-benar minta maaf telah merepotkanmu. Dan izinkan aku meminta maaf kepada orang tuamu karena telah membuat mereka khawatir.” serunya.
“Tidak, lagian juga aku tidak akan pulang ke rumah, jadi tidak apa-apa.”
Makiri-sensei kaget mendengar kata-kataku. Dia terlihat menyesal, tapi dia mungkin tidak tahu harus berkata apa. Aku menghela nafas dan kemudian bertanya apa yang telah menggangu pikiranku beberapa waktu ini,
“Sepertinya menjadi seorang guru itu cukup sulit. Aku bisa mengerti bahwa kau pergi minum-minum untuk menghilangkan stres-mu tapi.... Apa kau memang biasanya minum sampai kau menjadi seperti itu?”
“Tidak, ini pertama kalinya aku mabuk berat seperti ini...”
Dengan ekspresi merah cerah, dia menjawab sambik memalingkan pandangannya.
“...Apa itu berarti ada sesuatu yang terjadi?”
Agak sulit untuk mengurusi guru, jadi aku akan memberikan ceramah, tapi aku tidak ingin melakukannya secara berlebihan tanpa mengetahui situasinya.
Menanggapi pertanyaanku, dia menutup mulutnya dalam satu garis lurus dan menggelengkan bahunya. Apakah itu sesuatu yang tidak ingin dia jawab? Memikirkan itu, dia membiarkan matanya berkaca-kaca dan kemudian,
“K-Kau ingat kan kemarin... s-saat aku bilang kalau aku masih perawan!?” katanya dengan tatapan mencela.
Itu terlau memalukan ketika Makiri-sensei yang berwajah asli mengatakannya. Jadi aku menjawabnya sambil mengalihkan pandanganku.
“Y-Ya.”
“...Aku akan mengatakannya sendiri. Aku dibesarkan sebagai gadis yang terisolasi. Dari SMP hingga masuk perguruan tinggi, aku selalu memasuki sekolah swasta khusus perempuan... jadi aku tidak pernah punya banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan pria.”
“Y-Ya.”
“...Mungkin karena khawatir tentangku yang sudah berusia 23 tahun namun tidak memilikii pengalaman romantis apapun, ayahku mengemukan gagasan perjodohan. Karena tingkat jomblo seumur hidup semakin meningkat, dia takut kalau aku akan berakhir seperti itu. Sepertinya dia sudah tidak sabar untuk melihat wajah cucunya.”
Makiri-sensei yang memiliki ekspresi tidak puas tampak sangat marah.
“Aku menentang itu... jadi aku curhat dengan seorang teman baik mengenai itu. Tapi dia mengkhawatirkanku dan mengatakan [padahal kau sudah mau 24 tahun, tapi kau memang terasa seperti masih perawan]... aku begitu kesal hingga tidak bisa mencurahkannya dalam perkataan.”
Kemudian, Makiri-sensei memberi pandangan mengejek diri sendiri dan melanjutkan.
“Itu sebanya aku melampiaskannya dengan minum alkohol...”
“J-Jadi begitu.”
Merasa sangat malu, aku mendengarkan perkataannya. Sejujurnya, aku terkejut bahwa dia tidak memiliki pengalaman seperti itu, mengingat sosoknya begitu cantik. Dan, semakin aku memikirkannya, semakin aku khawatir.
“Melakukan malam pertamu sebelum menikah... hal seperti itu tidaklah bermoral.”
Saat aku diam, Makiris tersipu dan mengatakan itu sambil menunduk.
Aku mengerti situasinya. Makiri-sensei memang seorang guru, tapi dia juga manusia. Dia memiliki kekhawatirannya sendiri dan malam-malamnya ketika dia ingin menikmati minum alkohol. Aku ingin membantunya jika aku bisa, karena dia sangat baik kepadaku.
“Aku mengerti situasinya. Untuk saat ini... bolehkah aku memintamu untuk duduk?”
Dengan pemikiran itu, aku memutuskan untuk memberinnya ceramah.
Matanya membelak, tapi setelah melihat ekspresiku, dia mengangguk penuh tanda tanya dan mengatakan “Ya...”, lalu duduk manis.
“Sekarang aku lagi marah.”
“...Kurasa begitu.”
“Kalau begitu, aku akan memastikanmu mendengarkan apa yang kukatakan.”
Dia mengangguk. Aku menarik napas dalam-dalam, menatap lurus ke arahnya yang menunduk, dan kemudian membuka mulutku.
“Jika orang cantik sepertimu mabuk di taman seperti itu, kau tidak akan pernah tahu apa yang mungkin dialkukan orang jahat padamu! Jika kau tidak berhati-hati, kau mungkin saja akan diserang!”
Wajahnya memereah terhadap perkataanku. Ini jelas merupakan kasus pelecehan. Dengan ini kupikir aku mungkin akan dibenci oleh guru yang kuhormati... tapi aku terus berbicara,
“Aku tidak bisa menyalahkanmu yang ingin melampiaskan stresmu dengan minum alkohol. Tapi jika kau justru berakhir seperri itu, naiklah taksi atau minta seseorang yang kau percayai untuk mengantarmu pulang... Aku benar-benar mengkhawatirkanmu ketika melihat penampilanmu yang kemarin.”
Makiri-sensei mendongak dan menatap wajahku dengan ekspresi terkejut.
“Aku telah banyak dibantu olehmu, dan aku sangat menghormatimu. Karena itu aku tidak mau melihatmu merasa sedih.” Setelah mengambil nafas, aku melanjutkan. “Itu sebabnya, jika kau merasa khawatir atau stres... tolong berkonsultasilah kepadaku. Aku akan mendengarkan keluhanmu sebanyak yang kau mau.”
Ketika aku menyelesaikan ceramahku... Anehnya, Makiri-sensei memiliki senyum lembut di wajahnya.
“...Apa yang lucu?”
Aku merendahkan suaraku dan bertanya kepadanya yang memiliki senyum normal setelah mendengarkan ceramah seriusku.
“Oh, maafkan aku, tapi ini tidak seperti aku mengganggap ada sesuatu yang lucu, tahu? Hanya saja... aku jadi merasa sulit untuk mengatakan siapa di antara kita yang merupakan guru dan murid!”
Aku teralihkan oleh senyum lucu Makiri-sensei. Dia yang selalu berwibawa, keren, dan cantik... bagaimana aku harus mengatakannya? Dia terlihat sangat imut.
“Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku, Tomoki-kun. Dan aku senang kau menghormati guru yang buruk sepetiku. Aku sungguh bahagia.” katanya.
Sepertinya kupikirkan, itu memalukan. Aku telah mengatakan apa yang ingin kukatakan dan aku lelah karenanya.
“...Kalau begitu aku akan pulang.”
Aku berkata begitu dan berlajan menuju ke pintu depan. Kemudian, Makiri-sensei juga berdiri dan berkata padaku.
“Aku akan mengantarmu.”
“Tidak usah, rumahku hanya sekitar 10 menit dari sini, aku bisa berjalan pulang dengan santai tanpa perlu khawatir.”
“...Itu cukup dekat.”
Tanpa menoleh ke arahnya yang terkejut, aku mengambil sepatu lari yang kuletakkan di pintu masuk.
“...Oh iya. Bolehkah aku meminta nomor ponselmu?” serunya saat aku selesai memakai sepatuku.
“Eh?”
“Kenapa wajahmu terlihat seperti orang tolol? Jika aku tidak punya nomormu, aku tidak akan bisa berkonsultasi denganmu, bukan?” katanya sambil tersenyum nakal.
Aku tidak menyangka dia benar-benar akan berniat mengandalkanku. Aku sangat senang dan memberikan nomor ponselku seperti yang dia minta. Dia mengetik nomorku di ponselnya dan kemudian tersenyum lembut. Itu berbeda dari senyum wanita dewasa seperti yang dia tunjukkan ketika menjadi guru di sekolah, tapi lebih seperti... senyuman indah dari gadis seusianya.
“Kalau begitu, mohon bantuannya saat aku membutuhkanmu untuk mendengarkan keluhanku... Tomoki-sensei?”
Aku menoleh ke arahnya ketika dia memiringkan ponsel di tangannya.
“...Jika kau tidak keberatan dengan orang sepertiku, kapanpun aku siap.”
Menahan rasa malu, aku menjawabnya dan keluar dari kamar Makiri-sensei.
Emang sensei selalu terbaik. Tp selalu kalah :'(
ReplyDeleteIya cuuu rute sensei terbest tpi bakal kalah:(
DeleteMantap
ReplyDeleteThank update nya
Semangat min
sensei emg best dah. lanjut min
ReplyDeleteMaaf mungkin telat, tapi makasih min buat update ni novel.
ReplyDeleteMantap
ReplyDeleteSensei best, ideallah😋
ReplyDeleteBismillah gw nge bet sensei win walaupun kecil kemungkinanya
ReplyDeleteHahh , semoga endingnya nge-harem (walaupun mustahil) , atau punya rute ending yang berbeda" setiap heroinnya biar semua faksi menjadi bahagia..
ReplyDelete