Bab 267 - Memancing dan Duinkler
Sambil mengenakan topeng dan tudung yang teduh, Hikaru dan para gadis mengikuti Deena keluar dari ruangan. Beberapa prajurit mengawasi mereka dengan beberapa reaksi, ada yang penuh minat, ada yang jijik, dan ada beberapa yang bingung.
Adapun Drake, dia melingkar di sekitar leher Lavia.
Hikaru memeriksa tempat-tempat yang tidak terlarang dan rute keluar darurat. Mereka tidak diizinkan untuk melihat kamar pribadi para prajurit, ruang tenaga, dan anjungan. Tidak ada gunanya memeriksa ruang penyimpanan. Tidak ada kios, dan Deena hanya memberi tahu mereka informasi sesedikit mungkin. Dengan demikian, tur mereka berakhir dalam waktu singkat.
Rombongan Hikaru pun pergi ke geladak.
“Ah, tolong jauh-jauh dari pagar!” Deena memperingatkan. “Di sana ada senjata!”
Mengabaikan peringatannya, Hikaru terus berjalan. Sejauh mata memandang, hanya ada perairan dan awan putih. Selain kapal-kapal lain yang berlayar paralel dengan kapal mereka, tidak ada yang lain lagi. Hanya dunia yang berwarna biru.
“Kalau dipikir-pikir, ini adalah pertama kalinya aku naik kapal seperti ini.”
Hikaru pernah naik pesawat dan kereta peluru, tapi dia tidak pernah naik kapal pelayaran.
“Ini bikin cepat bosan.”
Lavia dan Paula menjelajahi geladak. Khusunya Lavia, dia mencoba mengintip mesin yang dilapisi dengan kain.
“Tidak! Tolong jangan lakukan itu!” teriak Deena.
Saat Hikaru berjalan di geladak, dia melihat ada tiga pria di salah satu sudut sedang memancing. Salah satu dari mereka memperhatikan tali pancingnya dengan penuh semangat, yang satu menatap kosong ke angkasa sambil meletakkan dagu di tangannya, sementara yang lain mageran di lantai.
(Pancingan dengan penggulung... Itu adalah teknologi canggih.)
Hikaru bukan ahlinya memancing, tapi para pemancing yang dia lihat sebelumnya—kebanyakan memancing di sungai—menggunakan tongkat yang lebih primitif, hanya sebuah galah dengan tali yang diikatkan padanya. Dia jarang melihat tongkat pancing yang memiliki gulungan.
(Jauh di sini, di laut terbuka. Mungkin mereka membutuhkan tali yang lebih panjang untuk menempatkan umpan).
Hikaru dengan santai menggunakan [Deteksi Mana]-nya ke arah air.
(Whoa... Ada banyak sekali! Di sana ada sekelompok besar ikan yang sedang berenang.) Dia bahkan bertanya-tanya, bagaimana bisa para prajurit tidak mendapatkan makanan sebanyak itu.
“Begitu ya. Kail dan umpannya tidak tenggelam cukup dalam. Hei kau yang disana. Kupikir kau memancing di tempat yang salah. Jatuhkan tali pancingmu sekitaran tiga puluh meter.”
Orang-orang itu terkejut ketika Hikaru memanggil mereka, apalagi ketika mereka menyadari suara itu berasal dari lelaki bertopeng itu. Sayangnya, mereka tidak bisa mengerti sepatah kata pun dari apa yang dia ucapkan. Hikaru mencari Deena, tapi dia tidak bisa menemukannya.
“Yah, terserahlah.” gumam Hikaru. “Pinjam sebentar.” katanya kepada salah satu orang saat dia mengulurkan tangannya.
Meski masih merasa bingung, prajurit itu tahu apa yang diinginkan Hikaru dan memberikan tongkat pancingnya. Saat Hikaru menggulung tali pancing, dia menyadari tali itu tidak tenggelam terlalu dalam. Setelah memastikan bahwa umpannya terpasang, dia menjatuhkan tali pancing itu sedalam sekitar tiga puluh meter ke dalam air.
“Oh, aku dapat!”
[Apa?! Siapa sebenarnya orang ini?!]
[Kau benar-benar bisa mendapatkan ikan di sini?]
[Zzzzzz...]
[Tidak bsa dipercaya! Padahal sebelum di sini tidak ada yang pernah menggigit umpannya.]
[Ya...]
[Zzzzzz...]
“Hei, bantu aku dong... Tunggu, apa?!”
Tongkat pancing Hikaru membengkok karena yang ditariknya tiba-tiba menjadi berat.
“Apa?! Ini terlalu berat!”
[Dasar goblok! Angkat tongkatnya!]
[Ini akan patah!]
[Zzzzzz...]
Berteriak dan mengerang, mereka menarik tongkat itu, dan seekor ikan tuna dengan berat sekitar lima kilogram muncul di permukaan. Seorang pria segera mengambil tombak dan bergegas menusuk ikan itu. Mereka pun berhasil menaikkan tuna itu ke atas kapal.
Di mulut tuna itu, ada ikan lain. Tampaknya ikan itulah yang pada awalanya ditangkap oleh Hikaru, tapi kemudian ikan itu dimakan oleh tuna.
“Ini pertama kalinya aku memancing, namun ini terasa menyenangkan.”
[Kau hebat! Luar biasa!]
[Aku sampai dibuat lelah...]
[Zzzzzz...]
[Oh... Bersahabat dengan musuh saat waktu istirahat, ya? Mungkin kedisiplinan lebih banyak diperlukan sekarang.] Duinkler muncul bersama lima prajurit di belakangnya.
[Oh, sial.] kata orang-orang itu saat mereka melarikan diri.
Orang yang sedang tidur, yang tampaknya biasanya membolos, tersentak saat dia merasakan bahaya dan segera pergi dari sana.
“Aku, Duinkler. Senang, bertemu denganmu.”
Ternyata dia bisa berbicara menggunakan bahasa Hikaru, meski bicaranya agak gagap.
“Aku Silver Face. Senang bertemu denganmu juga.”
Salah satu anak buah Duinkler tampak tidak asing. Dia adalah orang yang mengejar Deena saat Hikaru menyelinap ke kapal mereka. Tentu saja, pria itu itu tidak tahu tentang Hikaru.
“Mau ngeteh? Tidak perlu ada penerjemah.”
Pria gemuk itu tersenyum lebar. (Orang ini sangat teduh), pikir Hikaru. Tidak diragukan lagi bahwa Duinkler ini memiliki hubungan antagonis dengan Grucel, karena dia bahkan memerintahkan bawahannya untuk mengejar Deena.
“Apa kau, pikir, berbahaya. Cuman, sama, aku, kok.”
Dia ingin berbicara secara pribadi. Setelah memikirkannya, Hikaru menerima undangannya. Mereka masih punya banyak waktu yang tersisa dalam perjalanan mereka.
“Oke. Ayo pergi.”
Dibandingkan dengan yang lain, tidak ada yang penting di Soul Board Duinkler. Dia unggul dalam pertempuran dan memiliki Soul Rank yang tinggi, namun hanya itu saja. Meski begitu, dia mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang bertanggung jawab atas kapal ini, dan awak kapal tampaknya patuh padanya.
Ketika Hikaru memberi tahu para gadis bahwa dia akan berbicara dengan Duinkler, Deena menjadi pucat.
“Aku akan ikut denganmu.” serunya.
“Dia bilang kami akan berbicara secara pribadi.”
“Tapi aku adalah penerjemahmu!”
Deena bersikukuh untuk ikut, tapi setelah menerima sepatah kata dari Duinkler, dia dengan enggan mundur.
[Ini adalah percakapan pribadi, Deena. Itu bukan urusanmu.]
Deena menampilkan ekspresi campuran dari kekesalan dan ketidakberdayaan. Ini mengkonfirmasi dugaan Hikaru bahwa Grucel dan Duinkler berasal dari pihak yang berlawanan.
Duinkler pun membawa Hikaru ke tempat yang kemungkinan besar adalah kamarnya. Itu lebih kecil dari kamar tamu, jubah dan topi yang tergantung di dinding dan meja semuanya tampak seperti barang-barang mewah.
Seperti yang dijanjikan pria gemuk itu, hanya ada dua orang di sini. Karena itulah, Duinkler sendiri yang menyeduhkan teh.
“Oh...”
Teh yang diseduhkannya harum, mirip dengan teh hijau yang dipanggang.
“Ini teh yang enak.”
“Jadi kau bisa tahu?”
“Itu harum dan beraroma. Meskipun kita tinggal di benua yang berbeda, sepertinya selera kita masih sama.”
Duinkler mengangguk puas. Hikaru pun menjadi tahu setelah berbicara dengan pria itu selama beberapa waktu. Meskipun dia tidak bisa berbicara dengan baik menggunakan bahasanya Hikaru, dia bisa mengerti dengan baik apa yang Hikaru ucapkan.
“Kau mengundangku ke sini karena suatu alasan, kan?”
“Apa kau waspada?”
“Mengapa aku tidak waspada? Kami bertiga sedang berada di wilayah musuh. Tentu saja aku akan waspada.”
“Kau bisa, menghancurkan kapal seorang diri.”
Tentunya dengan kekuatan sebesar itu, tidak ada yang perlu ditakutkan adalah apa yang coba Duinkler katakan.
“Apa yang akan terjadi pada kami jika aku menghancurkan kapal ini? Aku bahkan tidak tahu apakah senjataku akan efektif melawan monster laut.”
“Oh, iya. Kau tidak dapat membunuh monster yang ada di sini.”
“Apa kalian bisa?”
“Tidak, bisa. Tidak ada monster, di rute yang kami ambil.”
Hikaru terkejut. Duinkler baru saja mengungkapkan rahasia mereka seolah itu adalah hal yang sepele.
Pria itu tersenyum. “Hal-hal penting. Bicarakan saja secara langsung.”
(Kurasa dia bermaksud mengatakan dia akan terbuka tentang segala hal.)
“Jadi kalian menemukan rute yang tidak ada monster lautnya? Dan kalian menjadi harus mengambil jalan memutar yang panjang, sekaligus menjadi alasan mengapa perjalanannya memakan waktu yang lama.”
“Hampir benar. Rute ini masih memiliki monster, tapi kami mengusir mereka.”
“Kalian bisa mengusir mereka? Bagaimana caranya? Menggunakan item sihir?”
“Iya.”
“Tidak dengan artileri berat?”
“Artileri? Oh, meriam ledakan itu?”
“Iya, tabung yang menembakkan peluru menggunakan bubuk mesiu.”
“Ya, itu meriam ledakan. Kami tidak menggunakannya. Itu tidak efektif.”
Mereka tidak membunuh monster, tapi justru mengusir mereka. Menurut Duinkler, mereka berhasil membuat item sihir yang bisa mengusir monster tertentu. Mereka kemudian menemukan rute yang hanya dihuni oleh monster-monster ini.
“Mari kembali ke pertanyaanku. Kenapa kau mengundangku untuk minum teh?”
“Pertama, untuk bertukar informasi. Aku, punya banyak hal, yang ingin kuketahui.”
“Begitu juga denganku.”
“Maka kita memiliki minat yang sama di sini. Ayo bicara.”
“Ada yang lain? Kau tadi bilang ‘pertama’.”
Sampai saat ini, Duinkler berada dalam suasana hati yang baik.
“Setelah bertukar informasi. Jika menurutku kau dapat dipercaya, aku akan memberitahumu. Itu yang terbaik.”