Bab 269 - Benua yang Hancur
Pada akhirnya, Hikaru tidak bisa tahu apa sebenarnya item sihir yang mereka gunakan untuk mengusir monster laut tertentu. Dia bahkan tidak tahu apakah kapal-kapal itu telah mengubah rute mereka, karena di sekeliling mereka, hanya ada lautan luas sejauh mata memandang. Dan karena item sihir itu aktif sepanjang waktu, [Deteksi Mana]-nya tidak dapat mendeteksi apa pun. Mereka sepertinya menggunakan kompas dan posisi bintang saat berganti jalur rute.
Itu merupakan dua belas hari yang membosankan di atas laut. Hikaru memainkan semua permainan kartu dan papan yang dia pinjam dan beberpa kali memancing dengan tiga prajurit—nama mereka adalah Gin, Doran, dan Zuzun. Untungnya, arus laut tenang dan mereka tidak menghadapi cuaca badai. Tentu saja, itu membuat perjalanan mereka menjadi lancar namun juga membosankan.
Sementara itu, Deena dan para prajurit mengawasi party Hikaru. Khususnya Deena, dia tidak suka Hikaru berhubungan dengan Duinkler, tapi Duinkler tampaknya tidak mempedulikannya dan terus mendekati Hikaru dan menggunakan bawahannya untuk menjauhkan Deena. Pria itu tidak ingin topik pembicaraan mereka bocor.
Hikaru sendiri tidak akan membocorkan informasi-informasi penting dengan mudah. Percakapan mereka begitu santai, tidak ada pihak yang memberikan informasi terlalu banyak.
“Hahaha!”
“Hahaha!”
Mereka berdua tertawa. (Dasar iblis licik), pikir Hikaru. Dia tidak bisa lengah di sekitar pria itu, tapi dia juga tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Deena seharusnya akan secara rutin melapor kepada Grucel. Namun, Hikaru tidak pernah tahu bagaimana cara dia melakukannya. Meski begitu, setiap siang, ada burung yang terbang dari kapal yang berbeda. Prajurit-prajurit yang menerima burung-burung itu menajamkan telinga mereka, entah mengangguk pelan, tersenyum, atau terkadang berbisik kepada rekan-rekan mereka dan tertawa.
Mudah ditebak kalau burung-burung ini adalah perangkat komunikasi sihir.
Lavia bilang dia akan kelelahan saat terus-terusan terpapar sinar matahari, jadi dia menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar yang diberikan kepada mereka bersama Paula. Sebaliknya, Hikaru sering keluar ke geladak, membuat kulitnya menjadi agak kecokelatan. Namun itu tidak terlalu mencolok, karena dia selalu mengenakan topeng serta jubahnya.
Hikaru berada di geladak kapal pagi hari itu. Akhirnya, dia pun melihatnya.
“Pulau.”
Setelah dua belas hari berlayar di atas laut, Hikaru melihat garis hitam di cakrawala, itu berangsur-angsur bertambah tebal, dan akhirnya dia bisa melihat pegunungan hijau.
“Siapa yang menyebut itu Benua Hancur?”
Sebutan itu mungkin merujuk pada jatuhnya para pemukim awal. Lagian, sebutan itu jelas tidak cocok. Hikaru bisa merasakan bahwa ada banyak kehidupan hanya dengan melihat pepohonan hijau.
Para prajurit meledak dalam kegembiraan dan bersorak. Untuk pertama kalianya dalam 500 tahun, mereka meninggalkan benua mereka dan kini akhirnya kembali. Wajar saja kalau mereka sangat terharu.
“Dari sini, kita akan bergerak ke selatan.” seru Duinkler yang tiba-tiba muncul.”Pemandangan akan berubah dalam tiga hari ke depan. Kau tidak akan merasa bosan.”
Dan perjalanan pun dilanjutkan.
Hikaru mengamati daratan dari geladak kapal tanpa pernah merasa bosan. Ada tempat dengan pantai berpasir yang panjang, hutan yang hampir mencapai garis pantai, tebing terjal dengan kambing-kambing yang memperhatikan kapal, bahkan gua-gua alam. Gerombolan ikan berenang melewati permukaan laut.
Hanya saja, tidak ada tanda-tanda manusia yang terlihat dari masing-masing tempat ini. Hanya hewan-hewan kecil dan beberapa yang lebih besar yang tampak tidak berbahaya.
“Apa di sini ada monster?” tanya Hikaru pada Gin.
Deena menerjemahkan apa yang Hikaru katakan, dan Gin, yang keluar dari air, menggelengkan kepalanya.
“Dia bilang monster menjauh dari laut.” kata Deena.
“Bukannya para pemukim 500 tahun yang lalu membangun kota di dekat pantai?”
Ekspresi Deena meredup.”Ya. Kau harusnya akan melihatnya besok.” katanya, mengacu pada kota yang jatuh.
Seperti yang Deena bilang, keesokan harinya mereka melewati reruntuhan kota.
Hikaru, Paula, dan Lavia berdiri bersebelahan di geladakan. Bukan hanya mereka. Pria yang tidak ada hubungannya berdiri dengan mereka, melihat-lihat.
Di tepi pantai, hanya fondasi batu yang tersisa dari apa yang tampaknya merupakan dermaga. Pasir telah menutupi area-area lain. Tembok luar kota telah runtuh, tertutup rumput dan tanaman menjalar. Pepohonan tumbuh di tengah rumah. Pikiran tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi pohon-pohon untuk tumbuh sebesar itu membuat Hikaru kewalahan.
Hampir tidak ada jejak peradaban manusia yang tersisa di sana. Namun apa yang tersisa di sana cukup untuk menduga bahwa orang-orang pernah tinggal di sana, karena itu sangat kontras dengan alam ibu agung yang telah mereka lihat sampai sekarang.
Semua orang hanya menatap reruntuhan itu tanpa suara. Beberapa memejamkan mata, yang lain tampak bosan, sementara beberapa menatap dengan tidak senang.
Adapun Hikaru, dia baru saja kewalahan.
“Selama reruntuhan ini tetap ada, orang-orang dari Dream Maker tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi 500 tahun yang lalu.”
Kurang dari satu jam telah berlalu ketika reruntuhan akhirnya menghilang dari pandangan dan armada mulai mendekati daratan.
“Dari sini, kita akan pergi ke sungai.” kata Deena.
“Sungai? Kupikir Dream Maker ada di dekat laut.”
“Area ini dekat dengan Roots.”
“Roots...?”
“Tempat di mana monster-monster biasanya berkumpul.”
Yang segera muncul di benak Hiraku adalah Dungeon. Tapi mereka tidaklah menggunakan kata Roots untuk itu.
“Apa kau tahu di mana Roots berada?”
“Kami memiliki item sihir yang dapat menemukannya. Kami menandai mereka di peta kami dan menjauhinya.”
“Jadi para pemukim 500 tahun yang lalu membangun kota di dekat Roots ini.”
Deena mengangguk dalam diam. Monster menjauh dari laut. Namun monster menghancurkan kota yang dibangun di dekat pantai. Ini sangat kontradiksi. Tapi dengan adanya Roots yang ditambahkan ke persamaan, sekarang itu jadi masuk akal.
“Jadi begitu. Jika mereka memiliki item sihir yang sama yang mendeteksi Roots...”
(Mereka tidak akan mati), pikir Hikaru. Dia tidak mengucapkan kata-kata itu dengan lantang. Itu tidak perlu. Penduduk asli yang sudah lama tinggal di sini seharusnya mengetahui hal-hal ini.
“Kita dijadwalkan akan sampai di Dream Maker besok pagi. Saat itu, kalian akan segera dibawa ke kediaman Raja, jadi bersiaplah.” ucap Deena dan pergi.
Besoknya, Hikaru dan para gadis bangun segera setelah matahari terbit dan bersiap-siap untuk turun dari kapal. Mereka telah tumbuh terikat di kamar mereka setelah tinggal di sana selama dua minggu, tapi jika mungkin, Hikaru tidak ingin bepergian untuk sementara waktu. Itu terlalu membosankan.
Dia akan senang menggunakan Jalur Drakon, jadi dia bertanya pada Drake tentang itu, tapi ini pertama kalinya drakon itu mengetahui tentang benua ini. Dia sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang tempat ini. Namun, ada satu hal.
[Ini bau.]
Drake mengerutkan kening sejak benua itu mulai terlihat. Itu kemungkinan besar mengartikan bahwa ada banyak makhluk jahat yang tinggal di sana. Hikaru tidak bisa benar-benar melihat monster, bahkan dengan jangkauan maksimum pada [Deteksi Mana]-nya.
“Semoga kita segera melihatnya... Hmm?”
Di koridor sangat berisik. Para prajurit bergegas menuju geladak kapal. Awalnya Hikaru mengira mereka sangat senang bisa kembali ke kampung halaman mereka, tapi dia bisa mendengar suara-suara marah.
“Kedengarannya seperti ada sesuatu yang terjadi.”
“Ya.”
“Kurasa begitu!”
[Ini bau.]
“Ayo kita periksa. Drake, kau tetap bersama Paula.”
Hikaru dan para gadis meninggalkan kamar mereka dan berjalan ke geladak. Mereka bisa mendengar suara-suara bising. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menyadari dari mana asal suara itu.
Di depan ada kota yang dikelilingi oleh hutan. Asap mengepul dari situ. Monster humanoid raksasa sedang menyerang kota.