Bab 281 - Landasan Kehidupan
Selama tujuh hari berikutnya, Hikaru terus berburu di luar kota, Lavia mempelajari bahasa benua ini, sedangkan Paula menjaga Drake dan sesekali juga pergi keluar setiap kali Sihir Penyembuhannya dibutuhkan.
Hikaru memperbolehkannya untuk menggunakan kekuatannya di kota karena dua alasan: Pertama, dia berpikir bahwa karena orang-orang dari Dream Maker pada dasarnya berbagi nasib yang sama, menyembuhkan siapa pun tidak akan menjadi masalah. Sekalipun tampaknya di antara mereka ada orang-orang yang berkomplot, Hikaru tidak tahu siapa mereka dan memutuskan untuk mengesampingkannya untuk saat ini.
Kedua, itu adalah kesempatan besar bagi Paula untuk mempraktikkan Sihir Penyembuhannya. Setelah menerima kekuatan yang besar dari Hikaru, dia hanya memaksakannya sampai sekarang. Untungnya, sekarang Paula memakai topeng, jadi tidak ada bahaya teridentifikasi, dan juga mereka merahasiakan sesi penyembuhan dari Luke.
Ini adalah kesempatan untuk mempelajari apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh Sihir Penyembuhan. Paula juga dibayar untuk penyembuhannya yang dia gunakan sebagai tunjangannya.
“Hmm... Sungainya terlalu lebar. Aku tidak bisa menyeberanginya.”
Setengah harinya Hikaru habiskan dengan pergi ke utara untuk menyelidiki perubahan monster. Untuk saat ini, dia tidak melihat adanya sesuatu yang luar biasa baik pada flora maupun fauna. Sayangnya, dia tidak bisa melanjutkan lebih jauh karena sungai, yang lebarnya sekitar seratus meter.
“Kurasa sudah waktunya untuk kembali ke kota. Atau mungkin... Aku bisa melihat apa yang ada dari kejauhan.”
Hikaru melihat-lihat ke sekeliling dan menemukan bukit kecil tempat pepohonan besar berdiri. Dengan 5 poin pada [Ledakan Kekuatan] dan 1 poin pada [Kekuatan], dia bisa memanjat hampir semua pohon yang ada. Dia pun memanjat dengan gesit, kemudian menjulurkan kepalanya ke luar lautan pepohonan.
“Whoa...”
Sejauh mata memandang hanya ada pepohonan. Meskipun di sisi timur tidak ada apa-apa, ada beberapa hal yang menarik perhatian Hikaru. Di sisi utara, di balik hutan yang menyeberangi sungai, dia bisa melihat gunung merah. Dan di sisi barat ada ruang terbuka di mana hutannya tidak begitu lebat—pemukiman yang hancur.
"Itu dia."
Meski begitu, untuk sampai ke sana dia harus menyeberangi sungai terlebih dahulu. Hikaru juga bisa melihat laut di balik reruntuhan.
“Bagaimana caraku bisa menyeberangi sungai... Kalau ke sana lewat laut sih akan lebih baik, tapi mereka pasti akan bertanya mengapa aku ingin pergi ke sana... Tunggu sebentar.”
Di sisi utara reruntuhan, suatu gedung menjorok keluar dari pepohonan.
“Apa itu menara?”
Jelas kalau itu merupakan buatan manusia.
---
"Halo. Boleh tidak aku duduk disini? Terima kasih."
Malam harinya, Duinkler muncul di Zagin dan duduk di meja Hikaru. Seorang pria yang berstatus tinggi sepertinya sampai mengunjungi kedai ini sama sekai tidak terpikirkan. Dia datang ke sini setelah mengetahui bahwa setiap malammnya Silver Face biasanya makan malam di kedai ini.
Para pelanggan di sekitar mereka terlihat kesal.
(Aku mengerti perasaan kalian), pikir Hikaru. (Kalian tidak bisa membuat keributan seperti biasanya ketika ada orang besar sepertinya di sekitar kalian.)
Yang mengejutkan Hikaru, Lavia, Paula, dan bahkan Drake pindah ke meja lain. Gin juga mencoba mengikuti mereka, tapi Hikaru meraih bagian belakang kerahnya dan menariknya kembali ke kursinya.
[Lepasin aku, Silver Face! Seseorang ingin aku duduk di meja lain!]
“Tidak, akulah yang ingin kau duduk di sini.”
[Pikirmu siapa yang ingin minum bir dengan tenang?! Aku sih tidak!]
“Sudah merupakan tugas dari perwira atasan untuk memberi petunjuk dan membantu seorang pria.”
Duinkler tampak terkejut. “Kalian bisa saling paham?” tanyanya.
Sekalipun Hikaru dan Gin sama-sama tidak memahami bahasa satu sama lain, pertukaran di antara mereka entah bagaimana masih masuk akal.
Di samping catatan, teman Gin yang lainnya, Dolan dan Zuzun memiliki keluarga. Hikaru hanya melihat mereka sekali.
“Sebenarnya, aku senang kau ada di sini.” kata Hikaru.
Duinkler, Gin, dan Hikaru—jelas bukan merupakan kombinasi terbaik. Pengikut Duinkler berada di meja terdekat, melirik ke arah mereka. Sedangkan Lavia dan Paula, mereka sedang asyik mengobrol dengan Wyza. Hikaru hanya ingin ini berakhir scepat mungkin.
Duinkler pasti datang ke sini untuk suatu tujuan. Selain itu, Hikaru juga ingin bertanya kepada pria itu tentang menara yang dilihatnya.
“Menara? Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Mendengarya pun juga belum.” kata pria gemuk itu.
“Apakah reruntuhan sudah pernah diperiksa sebelumnya?”
“Ya, sudah ada beberapa kali. Tetapi setiap kali itu dilakukan, kami hanya memperoleh sedikit informasi. Kalau aku tidak salah, ekspedisi terbaru dilakukan lebih dari sepuluh tahun yang lalu.”
“Saat itu kalian tidak menemukan menara?”
“Kupikir tidak. Tapi, ekspedisi merupakan tugas dari pasukan. Aku tidak tahu banyak.”
Duinkler menatap Gin yang terlihat bosan, menyesap sedikit minumannya, dan menjelaskan apa yang dikatakan Hikaru.
[Menara? Aku tidak punya—aku tidak tahu apa-apa tentang menara.] katanya. [Kurasa pasukan juga tidak tahu.]
[Apa selama ekspedisi tidak ada yang melihatnya?] tanya Duinkler.
[Tidak. Jika ada seseorang yang melihatnya, itu pasti akan dibicarakan.]
“Nah, begitulah, Silver Face.”
“Aku tidak mengerti sepatah kata pun dari apa yang dia katakan. Tolong terjemahkan.”
Menilai dari ekspresi Gin, Hikaru bisa tahu bahwa prajurit itu tidak tahu apa-apa.
“Gin juga tidak tahu apa-apa tentang itu.” kata Duinkler. “Apakah menara itu cukup besar untuk bisa dilihat dari laut?”
“Ya, harusnya bisa terlihat.”
"Itu aneh..."
“Ya... dari kapal kita tidak melihatnya. Tapi, itu tidak mungkin dibangun dalam beberapa hari terakhir. Oh iya, mungkin saja ada penerapan kamuflase optik.”
“Kami tidak memiliki batu sihir yang cukup besar untuk menyembunyikan gedung yang sangat besar. Sekalipun kami punya, menggunakannya untuk menyembunyikan menara sama sekali tidak ada artinya.”
“Kau ada benarnya... Berbicara tentang batu sihir, kalian menggunakannya untuk memberikan daya pada kamuflase optik yang kalian gunakan, bukan? Di mana kalian mendapatkan batu-baru tersebut?”
“Ada tambang untuk itu, tapi aku tidak bisa memberi tahumu lokasinya.”
Bagi mereka yang tidak bisa menggunakan sihir, ilmu sihir adalah penting bagi mereka. Sebagian besar dari itu digunakan untuk memperkuat kekuatan militer mereka untuk melawan monster.
Hikaru pun teringat ketika dia mengajak Deena jalan-jalan di sekitar Ville Zentra, saat itu dia menjadi sangat terkesan ketika melihat lampu sihir. Deena tidak terkesan dengan teknologi itu sendiri, tapi terkesan dengan bagaimana batu sihir Roh digunakan dengan enteng. Batu-batu sihir di sini adalah produk yang sangat berharga. Karena itulah jalanan di sini tidak memiliki lampu.
“Pengeluaran batu sihir pasti rendah, ya?”
Mereka tidak bisa menggunakan sihir, dan pasokan batu sihir Roh—sumber kekuatan untuk ilmu sihir yang mereka andalkan—rendah.
“Di atas itu, serangan Yamamaneki, adanya pengkhianat di sekitar, dan sekarang menara misterius... Aku terkejut kalian bsia selamat selama ini.”
Duinkler tersenyum lebar. “Di sini kami menjalani hidup seperti di tepi jurang. Kami akan menggunakan semua yang bisa kami gunakan, dan memakan apa pun yang bisa kami makan. Begitulah cara kami bertahan hidup. Bagaimanapun juga, hidup itu terlalu berharga.”
“Jadi, aku yakin kau datang ke sini karena kau ingin ‘menggunakan apa pun yang bisa kau gunakan’. Apa yang kau mau dariku?"
“Aku suka dengan sifatmu itu, Silver Face. Kau orang yang tidak bertele-tele. Yah, maksud kedatanganku sih sederhana. Aku ingin kau berhenti menjual barang rampasanmu.”
(Dia pasti berbicara tentang hewan yang aku buru setiap hari.)
“Alasannya?”
Permintaan Duinkler membuat Hikaru tertarik. (Bukan untuk memuji diriku sendiri, tapi itu fakta bahwa orang-orang menjadi senang karena semua hewan yang aku buru), pikir Hikaru. Itu wajar saja; dengan banyaknya pasokan daging di pasar, harga menjadi turun dan itu artinya akan ada lebih banyak makanan di atas meja.
Faktanya, banyak kereta yang bersiaga di luar kota saat senja, berharap Hikaru telah memburu banyak hewan. Dan sekarang, Duinkler memintanya untuk berhenti.
“Menimbun koin tidaklah bagus. Kau tidak bisa menghabiskan banyak koin.”
"Oh, begitu. Tapi itu tidak banyak, bukan?”
“Saat ini kau memiliki sekitar 20.000. Itu terlalu banyak untuk satu orang, dan tentunya itu akan terus bertambah, bukan? Kau harus menghabiskannya.”
Di Dream Maker, melakukan barter adalah penggerak utama perekonomian; uang hanyalah sekunder, dan karena itu, tidak banyak uang yang diedarkan.
(Apa yang harus kulakukan?)
“Kau harus membeli rumah.” kata Duinkler sambil tersenyum.
“Oh, itu agak mendadak. Dengan uang 20.000 yen, mana bisa aku membeli rumah.”
“Beli satu di akun. Hutangmu akan dikreditkan dengan berapa banyak hewan yang kau buru.”
“Aku terkejut kau mengetahui kata-kata itu.”
(Menteri keuangan memang hebat.)
“Tentu, aku bisa saja membelinya. Lagipula aku yang berada di sini tidak benar-benar bermaksud untuk menghasilkan uang.”
"Benarkah? Baguslah kalau begitu."
Duinkler jelas terlihat lega. Pria itu rupanya tahu bahwa permintaannya itu tidak masuk akal. Bagaimanapun juga, tidak ada artinya kalau Hikaru membeli rumah di sini.
“Tapi ada syaratnya.” kata Hikaru.
Duinkler mendengus pelan. Dia pasti sudah siap untuk ini.
"Santai saja. Aku cuman mau kau menunjukkanku beberapa properti yang bagus.”
“Kalau itu aku bisa melakukannya. Serahkan saha padaku. Aku akan mengirim utusan besok.”
Duinkler berdiri dan kemudian pergi, para pengikutnya dengan cepat mengejarnya.
(Dia tidak perlu terlalu waspada), pikir Hikaru.
[Hmm? Kupikir Duinkler sialan ada di sini.]
Pelayan besar tiba, mengguncang lantai dengan setiap langkahnya. Pakaiannya bernoda darah karena menyembelih daging. Hikaru sangat ingin dia kembali ke dalam karena penampilannya sangat jorok.
[Tsk, bajingan itu. Aku ingin memberinya sebagian dari pikiranku untuk semua permintaannya tentang perluasan tokoku.]
Pria itu pergi, setiap langkahnya membuat bunyi gedebuk yang keras.
(Jadi Duinkler tidak ingin melihat pria itu. Tapi tetap saja, membeli rumah ya...)
Hikaru tidak terlalu peduli tentang gagasan membeli rumah. Lagian dia hanya ingin menghindari perselisihan apa pun, meski begitu Lavia dan Paula tampak gembira karenanya.
“Kita harus dengan pasti mendapatkan rak buku.” Kata Lavia, terengah-engah karena kegembiraan.
“Rumah dengan dapur yang besar akan bagus.” tambah Paula.