Bab 2 Bagian 9
Makasih ya udah marah
“Siesta!”
Pilar api yang sangat besar muncul di jalan-jalan malam.
Di situlah tempat Sirius dan Betelgeuse mendarat jatuh. Yang artinya, pilot dari kedua senjata itu harusnya tetap berada di sekitaran sana. Aku segera bergegas menuju sumber ledakan di saat bunyi sirene meraung-raung di kesunyian malam.
“Siesta...... oi, Siesta! .....Kau, dimana...... Siesta!”
Asap dan hawa panas membuatku sulit untuk dapat membuka mataku. Bau sesuatu yang terbakar dan lengket membuatku merasa mual, dan seluruh tubuhku terbakar, bahkan lututku hampir lemas. Aku mengangkat tanganku untuk melindungi wajahku sambil mengayun-ngayunkannya saat melewati api, dan kemudian—
“......Kau ini tolol apa?”
Bahkan di lingkungan yang seperti ini, suara hangat yang sangat jelas mencapai telingaku.
“Jangan bertingkah kayak kau aja orang yang bisa berbicara. Kau tidak perlu memanggilku berkali-kali. Aku bisa mendengarmu.”
Embusan angin meniup asap yang mengepul.
Kulit putih yang anggun itu sedikit ternoda, dan itu adalah pemandangan yang memilukan hati..., Siesta kemudian melangkah maju disaat dirinya masih berdarah-darah.
“Dasar goblok.”
Aku berlari ke arahnya, dan secara alami menggendong tubuh kecilnya itu.
“Kenapa kau bertindak begitu gegabah..., kenapa kau membuatku melarikan diri sendirian?”
Kemungkinan besar, sejak awal Siesta memang sudah berencana untuk mengevakuasiku. Sirius hanya dapat dimuati oleh satu orang, dan hanya terdapat satu pintu keluar. Kurasa dia sudah menjalankan rencananya itu saat dia menyuruhku untuk duduk.
“...Yah, itu cuman sekedar langkah terakhir, hanya itu saja. Aku tidak ingin mati di sini. Jika salah satu dari kita harus hidup, maka aku—”
“Sudah cukup dengan leluconmu itu!”
Dari lubuk hatiku, aku membentaknya dengan keras, dan mata biru Siesta terbuka dengan lebar.
Bagus, seperti itu. Buka telingamu itu lebar-lebar dan dengarkan aku yang berbicara dengan cermat.
“Jangan ngebacot perihal dirimu sudah mempersiapkan diri untuk ini. Dengar, tiga tahun yang lalu, kaulah orang yang menyeretku ke semua masalah ini, di atas pesawat itu, di ketinggan sepuluh ribu meter di atas laut. Dengarkan semua yang ingin kukatakan...sampai akhir. Sayangnya, seperti yang bisa kukatakan, aku tidak yakin bahwa aku bisa melarikan diri dari 《SPES》... Aku tidak akan bisa hidup tanpamu! Jika kau memang mendengarku, pastikan kau bertanggung jawab dan terus lindungi aku sampai akhir!”
Badanku terasa panas.
Apa itu karena pilar api berada tepat di sampingku?
Ataukah karena aku berteriak dengan sekuat tenaga?
Tidak, bukan begitu, ini karena aku benar-benar marah dengan apa yang kukatakan, bahwa dia tidak boleh mati jika dia ingin melindungiku. Nafasku ngos-ngosan, dan keringat mengalir di seluruh tubuhku.
“...Dalam hidupku, ini adalah pertama kalinya aku dimarahi seperti ini.”
Dengan ekspresi yang sangat tercengang, Siesta menatapku,
“Jadi kau benar-benar marah ya. Yah—”
“Apa kau terkejut?”
“Menurutku itu lucu.”
“Apanya yang lucu?”
Jangan tertawa.
“Fufu” Siesta tertawa, dan kemudian melanjutkan “Aku tidak akan bisa hidup tanpamu?”
“OI, jangan abstraksi bagian yang anehnya.”
“Ini terasa seperti aku baru saja menerima lamaran yang penuh gairah.”
“Aku tidak melamarmu!”
“Yah, sesuatu seperti ini bisa kita bicarakan sekali lagi saat kau sudah berumur delapan belas tahun.”
“Sudah kubilang! Haaa, terserahlah...”
“Fufu.”
Biasanya dia selalu menunjukkan ekspresi yang dingin dan tabah di wajahnya, namun pada saat-saat seperti inilah dia akan menunjukkan senyuman polos.
Seriussan dah, detektif hebat ini....
“Aku bersumpah.”
Siesta segera mendongak ke arahku.
“Aku tidak akan pernah mati sambil merahasiakan ini darimu—tidak akan pernah,”
Makasih ya sudah marah. kata Siesta, dan kemudian menempelkan dahinya ke dadaku.
Pada saat itu.
“—! Ow——!”
Sesuatu menyerempet mata kiriku, dan penglihatanku menjadi merah..., apa ada darah yang masuk ke mataku? Apa yang terjadi? Apa yang terbang masuk ke dalam mataku...!?
“Asisten!”
Mata Siesta membelalak, dan dia terlihat sangat cemas. Ehh, ekspresi itu benar-benar tidak cocok untukmu, tahu!
“Aku baik-baik saja. Yang lebih penting lagi...”
Aku mengarahkan jariku agar Siesta dapat melihat apa yang sedang kulihat, dan apa yang berada di sana adalah...
“Haa... haaa, ini masih belum berakhir. A-aku masih tidak akan mati..., tidak di tempat ini...”
Di tengah-tengah api yang mengamuk, Hel menyerang kami sambil dikelilingi oleh api hitam.
“Hel......”
Dengan tubuh yang lebih babak belur dari Siesta, Hel memegang pedang merah, dan muncul di hadapan kami.
“Kau masih hidup?”
Siesta maju selangkah, seolah-olah dia berniat melindungiku.
“Tentu saja..., aku tidak ditakdirkan..., untuk mati di sini.”
Dia tidak memegang buku yang disebut 《Alkitab》. Mungkin dalam ledakan yang tadi, buku itu sudah terbakar. Hel sepertinya mematuhi janji masa lalu saat dia membuka 《Alkitab》 yang tak terlihat di tangan kanannya.
“Kemenangan terakhir akan menjadi milikku. Karena kalau tidak, maka apa arti dari sesuatu yang Ayah tinggalkan untukku...!”
Pada saat itu, untuk pertama kalinya, aku merasa seperti diriku menyaksikan perasaannya yang sesungguhnya.
“Begitu ya. Jadi kau...”
Mata biru Siesta membelalak terkejut.
“Siesta?”
Oi, kau menyadari sesuatu, kan?
“Ayo..., akhiri ini di sini.”
Aku bahkan sama sekali tidak diizinkan untuk bertanya ketika Hel mengangkat pedang militernya.
“Kau akan tetap diam dan ditusuk olehku...!”
Melalui mata merahnya, terdapat darah yang mengalir pelan, dan dia kemudian menyerang Siesta yang berdiri di sana.
“Siesta, lari!”
Sontak aku berteriak..., tapi Siesta sepertinya terjebak di atas aspal, dan sama sekali tidak bisa bergerak dari sana.
“Kemampuan Hel......!”
Tampaknya gadis itu memiliki semacam kemampuan pengendalian pikiran—apapun yang dilihat oleh 《mata merah》 itu akan berakhir mematuhi perintah yang diberikan Hel. Siesta telah melihat 《mata》 itu, yang alhasil membuatnya tidak bisa bergerak...!
“Siesta!”
Hel tanpa ampun memegang pedangnya, dan menghujamkannya ke arah Siesta. Lalu,
“..................Hah?”
Hel lah yang melontarkan suara itu.
Mata merahnya itu berkedip-kedip bingung, dan kemudian dia melihat ke arahku.
Hel melihat ke tempat dimana pedang merah menusuk ke dadanya sendiri.
“Kenapa...”
Hal berikutnya yang memasuki pandangan mata bingung itu adalah cermin yang diikatkan di pinggang Siesta.
Ya, tadi Hel berkata pada mata merahnya sendiri—kau akan tetap diam dan ditusuk olehku.
“Skak.”
Kata Siesta, dan Hel jatuh di hadapannya.
“——”
Darah kemudian menetes di lokasi di mana jantung Hel berada.
Mata itu terlihat sangat bingung.
“Kenapa, aku kalah..., seharusnya, bukan, seperti ini..., aku, punya misi..., aku berjuang untuk misi ini..............., misi? Lantas, mengapa..., mengapa, aku lahir? Mengapa, apakah aku...”
“Mengenai jawaban untuk itu,”
Siesta mencabut pedang dari dada Hel.
Setelah terdengar sedikit rengekan, darah mengalir keluar.
“Kau bisa mencarinya nanti saat di neraka.”
Siesta kemudian bersiap untuk mengayunkan pedang ke kepala Hel.
Tapi pada saat itu.
“—Chameleon......!”
Hel berteriak ke udara.
“S-Semacam panggilan untuk menyerang?”
Dengan panik aku melihat sekelilingku..., dan pada saat berikutnya, aku menyadari kalau tebakanku ternyata salah.
“......! Tubuh itu menghilang...”
Bukan tubuhku, bukan juga tubuhnya Siesta—Tubuh Hel lah yang mulai menghilang.
Itu adalah suatu fenomena, layaknya ada semacam tikar transparan yang menutupi dirinya. Dia terlihat seperti menyatu dengan kegelapan, dan secara bertahap mulai menghilang dari situ.
“...Kau tidak akan bisa melarikan diri!”
Mengangkat senapannya, Siesta menembaki Hel..., tapi saat ini, musuh sama sekali tidak terlihat di mana pun.
“Siesta, apa yang tadi itu kemampuan Hel?”
“Tidak, itu bukan kemampuannya. Mungkin, itu adalah rekannya.”
Siesta dengan tenang menarik hipotesis, dan kemudian menurunkan senjatanya.
“Chameleon... itu adalah codename 《SPES》.”
Aku menduga kalau kemampuannya adalah menyembunyikan dirinya sendiri, bersamaan dengan apa pun yang disentuhnya.
Dan jika sudah seperti ini, kami tidak akan bisa mengejar Hel.
Padahal hanya satu langkah lagi, dan musuh paling buas akan kembali ke kegelapan.
“Kurasa sekarang kita berbagi rampasan, ya?”
“Yah. Begitu kita kembali, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”
Ya. Hel berhasil selamat, tapi dia terluka parah, jadi setidaknya kami punya kesempatan. Kami harus berkumpul kembali dan menyerang balik. Begitu kami mencapai kesepakatan bersama, kami pergi ke hotel tempat kami tinggal—
“──”
Tapi saat dia melangkah maju, wajah Siesta tiba-tiba mengerut.
“Siesta?”
“......Maafkan aku.” kata Siesta, dan dengan lututnya yang lebih dulu terjatuh, dia jatuh ke tanah.
Tadi si Hel nyebut ayah, brarti father yg dimaksud bkn kepercayaannya
ReplyDelete