Six years ago, Nagisa
Berdiri di tepi pantai, aku mendengarkan deruan ombak yang menepi.
Woosh, woosh—dengan lembut, gelombang ombak menghantam pantai dan segera menghilang begitu saja. Hatiku terasa damai, dan kecemasan serta rasa sakit yang kurasakan langsung menghilang. Ini adalah satu-satunya hobi yang kulakukan, yaitu mendengar nyanyian laut dari tepi pantai.
“Kau ngapain di sini?”
Tiba-tiba, dari belakangku, aku mendengar suara dari seorang gadis yang tak kukenal. Suaranya terdengar dingin dan lugas, namun satu hal yang pasti, suara itu tidak terdengar kesepian.
“…Cuman dengerin suara ombak.” Jawabku dengan gugup, tidak menyangka kalau akan ada orang lain yang datang ke sini.
“Cuman dengerin saja? Apa kau tidak melihatnya?”
“Tapi kan saat ini laut memang lagi tidak bisa dilihat?”
Ya, saat ini sudah malam. Di mataku, laut yang berkilauan layaknya zamrud di siang hari itu saat ini hanyalah hamparan kegelapan yang bergantung pada cahaya bintang-bintang. Aku hanya bisa mendengarkan deruan ombak dalam diam, dan dengan cara ini, aku bisa merasakan laut.
“Loh, kau kan bisa datang pas siang-siang?”
Gadis itu duduk di sampingku. Awalnya, aku mengira dia ini adalah orang dewasa, tapi menilai dari mana suara itu berasal, tampaknya tingginya tidak jauh beda denganku. Kurasa dia ini seumuran denganku.
“Sebenarnya aku memang ingin melakukan itu. Tapi..., aku akan ketahuan kalau aku pergi keluar pas siang hari.”
Kuputuskan untuk terbuka padanya, dan melanjutkan percakapan kami.
“Ketahuan? Oleh siapa?”
“…Sebenarnya, aku ini lagi sakit. Dan pada dasarnya, aku tidak boleh pergi ke tempat lain dan harus berada di ruang bangsal*. Tapi, rasanya akan menyakitkan kalau sepanjang waktu aku harus tetap berada di atas ranjang yang keras itu. Karenanya, sesekali, aku akan ke sini pada waktu ini supaya aku tidak ketahuan.”
[Catatan Penerejamh: Ruang bangsal, kalau di rumah sakit, itu di sebut kamar pasien.]
Perlakuan yang menyakitkan, penderitaan yang tak kunjung berhenti.
Setiap kali aku memiliki kesempatan untuk melarikan diri dari hal-hal seperti itu, aku akan merasa disembuhkan.
“Ngomong-ngomong, kamu siapa? Aku baru kali ini mendengar suaramu.” Tanyaku padanya, saat aku merasa senang bisa mengobrol-ngobrol dengan gadis seusiaku.
“Untuk suatu hal yang kecil, baru-baru ini aku dibawa ke tempat ini.”
“…Jadi gitu ya.”
Tempat yang dia bicarakan itu jelas bukanlah rumah sakit. Bagaimanapun juga, kami berada di panti asuhan yang didirikan di suatu pulau tertentu.
“Yah, tenanglah, ini akan baik-baik saja. Anak-anak lain yang tinggal di sini semuanya sama seperti kita.”
Ya, mereka sama seperti kami—anak-anak yang malang. Menurutku..., di sini kami akan baik-baik saja? Tidak, aku tahu betul bahwasannya tidak ada yang baik-baik saja, tapi saat ini, aku hanya bisa mengatakan itu.
“Siapa namamu?” tanya gadis itu padaku.
“Nomor 602.”
Begitulah bagaimana orang-orang dewasa biasanya memanggilku, jawabku padanya.
Itu tidak terbatas padaku saja. Semua anak yang berada di fasilitas ini pun sama seperti itu…, tapi, gadis ini pasti akan terbiasa dengan itu, dan suatu hari nanti—
“Nagisa.”
Awalnya, aku berpikir kalau dia sedang membicarakan tentang ombak yang menepi.
[Catatan Penerjemah: Di Jepang, Nagisa juga bisa berarti pantai, tepi laut, atau air yang menepi.]
“Karena kau menyukai laut, maka itulah namamu.”
Namun gadis itu mengatakan demikian, dan tersenyum. Atau paling tidak, ekspresinya itu terlihat seperti dia sedang tersenyum.
“Hei, kau sendiri, siapa namamu?” Balasku bertanya padanya.
“Aku tidak punya nama…, tapi...,”
“Tapi?”
“Aku punya codename.”
Dan kemudian, nama yang dia katakan itu adalah suata kata yang tidak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
Aku tidak akan pernah melupakannya, pikirku.
Gak paham sumpah
ReplyDeleteKenapa bila gendre romance banyak komen?klu bukan genrw romance x de nak komen?
ReplyDeleteIni dari sudut pandang nagisa masa lalu ya?
ReplyDelete