Bab 3 Bagian 2
Assault Garden Ketiga
Mereka menetapkan untuk melancarkan serangan mendadak sekitaran empat jam kemudian, pada pukul 17:00 Waktu Standar Kekaisaran. Pemberitahuan yang diberikan pada mereka mungkin memang agak tiba-tiba, tapi mengingat target dari peleton itu sedang bergerak, maka semakin cepat mereka melakukan penyeldikan akan semakin baik.
“Pastikan kau memeriksa dan memastikan perlengkapanmu secara menyeluruh. Karena bagaimanapun juga, perlengkapanmu itu bisa menjadi jaminan hidupmu.”
Berada di kamarnya di asrama Hræsvelgr, Riselia mengemasi barang-barangnya ke dalam tas untuk dibawa dalam misi.
“Oh, rangsum ini masih belum kedaluarsa. Mungkin kita harus memakannya secepat mungkin...”
Melihat gadis itu sibuk berkemas-kemas, Leonis hanya bisa mengangkat bahunya.
Seluruh ibukota dari Alam Bayangan berada di dalam bayangan Leonis. Dan Shary, dia mengawasi perbendaharaannya serta tulang-tulang yang anak itu gunakan untuk membuat prajurit skeletonnya. Baginya, tidak perlu harus repot-repot memasukkan barang bawaannya ke dalam tas. Karena itu, Leonis hanya duduk di ranjang sambil terus melihat Riselia berkemas.
“Baiklah, bekal, terus..., pengering rambut... Ah, tunggu, itu tidak bisa muat di dalam tas, ya?”
Dia benar-benar gelisah. Yah, aku bisa mengerti mengapa dia jadi seperti itu. Setelah menghela nafas kecil, Leonis berbicara, “Kota itu—Assault Garden Ketiga—itu adalah kampung halamanmu, kan?”
“...Ya.” Menganggukkan kepalanya, tangan Riselia berhenti berkemas. Setelah itu, keheningan yang singkat melayang di antara keduanya. “...Tadi pagi, aku bermimpi...,” Gumam Riselia secara tiba-tiba.
“Mimpi?”
“Ya. Mimpi tentang peristiwa yang terjadi enam tahun lalu. Ini sudah cukup lama sejak terakhir kali aku memimpikan mimpi tersebut...” Menutup resleting tasnya, Riselia kemudian berbalik menghadap Leonis. “Stampede yang menghancurkan Assault Garden Ketiga terjadi enam tahun lalu. Kala itu, umurku masih sembilan tahun, dan apa yang bisa kulakukan saat itu hanyalah duduk dan meringkuk di penampungan bersama Regina. Dan di luar penampungan, Ayahku bertarung melawan Void, sedangkan aku hanya mendengarkan suara-suara dari luar sambil gemetaran.”
Saat Riselia mengenang kembali hari yang mengerikan itu, bahunya tampak sedikit bergetar. “Untungnya, setelah itu kami diselamatkan oleh kelompok pencari pengungsi dari Assault Garden Ketujuh, tapi orang-orang yang lainnya telah hilang. Kami bahkan tidak bisa mengbur orang-orang yang kami cintai.” Kata-kata Riselia terasa jauh, dan terdengar diwarnai oleh rasa sakit.
Begitu ya. Dia memiliki rasa bersalah karena menjadi orang yang selamat. Riselia terjebak dalam penyesalan yang seharusnya tidak dia bawa, namun emosi irasional itu adalah sesuatu yang Leonis tidak asing dengannya. “Aku melarikan diri lagi.” Pasti itu yang kau pikirkan, bukan?
“Aku memiliki misi untuk kembali ke tempat itu. Dan sejujurnya, aku merasa cemas, dan aku tidak tahu apa yang mungkin akan terjadi saat di sana, tapi...”
“...Aku mengerti perasaanmu.” Leonis mengangguk.
Saat itu, tiba-tiba terminal komunikasi berbunyi.
“Elfine...”
“Selia, aku telah menganalisis rute ke tujuan kita. Bisakah kau datang ke tempatku dan melihatnya?”
“Ah, baiklah. Aku akan segera kesana,” sesaat setelah Riselia menjawab dengan serius. “Leo, aku mau pergi keluar sebentar. Tolong kemasi barang-barang yang terisa, oke?” Dengan mengatakan itu, gadis berambut perak itu bergegas keluar dari kamar.
“...”
Setelah melihat pintu kamar tertutup dan memastikan bahwa langkah kaki Riselia telah semakin menjauh...
“Blackas, Shary,” panggil Leonis.
“Kau memanggilku, temanku?”
“A-apa... Uhuk, uhuk... Apakah anda memanggil saya, paduka?”
Bayangan Leonis berdesir, dan sesaaat setelahnya, dari dalam bayangan itu keluar serigala hitam besar. Dan beberapa detik kemudian, seorang gadis menggemaskan yang mengenakan seragam maid muncul setelah binatang itu. Pelayan berambut hitam itu sedang memegang donat yang sudah setengah dimakan di tangannya, dan pipinya yang putih terlihat seperti tupai. Wajahnya tampak kotor dengan remah-remah.
“Apa itu, Shary?” tanya Leonis.
“Ini donat lengket. Aku membeli beberapa donat tersebut.”
“...” Leonis menatap Shary, dengan mata yang menyipit.
“Saya juga punya beberapa donat untukmu, paduka.”
“...Mm.”
Mengeluarkan donat dari salah satu lengan bajunya, Shary memberikan itu kepada Leonis. Dan sambil masih menatap gadis tersebut, anak itu menerima donat yang diberikan kepadanya lalu memakannya.
“Hm, ini...”
Memang benar, donat tersebut memiliki tekstur yang lengket dan tidak biasa yang berbeda dengan makanan manis lainnya yang sejauh ini telah Leonis makan. Aroma dari kayu manis membuat donat itu terasa sangat enak.
“Hmm, tekstur ini... Sungguh, peradaban manusia benar-benar telah berkembang pesat,” puji Leonis.
“Haruskah saya membuatkan anda teh, paduka?” tawar Shary.
“Oke... Tidak, tunggu, tidak usah saja. Kelihatannya kau benar-benar sudah terbiasa dengan dunia ini, ya?” Pengusaa Kegelapan mengobservasinya, merasa setengah terkesan dan setengah kagum.
“Ya, bahkan saya juga mengambil pekerjaan sambilan dengan tujuan untuk mengumpulkan informasi.”
“Hm, tepatnya apa pekerjaan itu?”
“Pekerjaan yang beroperasi dalam membuat manisan,” Jawab Shary, mengangkat tangannya ke dadanya dengan hormat.
“Kau adalah pengikutku. Aku tidak ingat kalau aku ada menyetujui tindakan semacam itu,“ Kata Leonis, saat dia dengan gusar menekankan telapak tangannya sendiri ke dahinya.
“Tapi ‘kan, saya tidak bisa menggunakan dana milik Pasukan Penguasa Kegelapan...”
“Ugh. Tidak, kurasa kau memang tidak bisa...”
Pasukan Leonis benar-benar miskin dalam masalah finansial. Di Alam Bayangan, dia memiliki banyak sekali koin di gudang harta karunnya, tapi semua itu hampir tidak berharga di era ini. Harta-harta tersebut mungkin bisa dijual sebagai barang-barang antik, tapi kalau Leonis menjual banyak artefak kelas mitologi dari ribuan tahun lalu, keaslian dari harta-harta tersebut akan dipertanyakan, yang bisa beresiko mengungkap identitas aslinya.
“Hmph. Baiklah...,” Setelah beberapa saat, Leonis membuat keputusan sambil menyeka mulutnya dengan saputangan yang Shary berikan kepadanya. “Aku ingin kalian berdua melihat ini.”
Mengangkat Tongkat Penyegel Dosa, Leonis menggunakan sihirnya. Saat itu, batu permata yang berada di ujung tongkat, Mata Naga, memancarkan kedipan sinar biru dan mulai memproyeksikan gambar di permukaan mutiaranya—yaitu, cuplikan video dari Assault Gardeng Ketiga yang berlayar di sepanjang lautan.
“Apa ini?” tanya Blackas.
“Ini adalah proyeksi dari ingatanku. Apa yang kalian lihat itu adalah benteng besar dengan model yang sama dengan kota ini. Enam tahun yang lalu, kota itu dihancurkan oleh monster-monster Void biadap itu.”
“Hmm, terus, ada apa dengan kota itu?”
“Lihatlah ini.” Leonis menempatkan tongkatnya di atas hidung Blackas. “Di sana, di alun-alun dekat pusat kota. Apa kau bisa melihatnya?”
“...Itu ‘kan...!?” Mata emas Blackas membelalak.
Itu adalah apa yang sebelumnya Leonis perhatikan di ruang rapat, yang merupakan apa yang diabaikan oleh orang lain selain dirinya. Tentu saja, itu wajar jika mereka mengabaikan hal tersebut, karena bagaimanapun juga, mereka tidak mengetahui pentingnya hal tersebut.
Namun demikilan, Leonis langsung tertarik pada hal tersebut. Simbol-simbol merah tertulis di tanah di sekitar alun-alun. Yang satu adalah bintang dan yang lainnya adalah mata yang menyala-nyala.
“Simbol Sekte Suci...” geram Blackas.
Sekte Suci adalah organisasi religius yang memuja Kekuatan Cahaya dan memiliki pengaruh kuat atas bangsa manusia seribu tahun yang lalu. Sama seperti para Dewa, Penguasa Kegelapan, dan Enam Pahlawan, pengetahuan tentang mereka seharusnya sudah lama dilupakan.
Lantas, mengapa simbol mereka digambar di reruntuhan kota yang hancur?
Dan yang paling penting, simbol-simbol tersebut tidak mungkin dibuat ketika Assault Garden Ketiga masih belum dihancurkan, karena bagaimapaun juga, simbol-simbol itu terukir dengan sangat jelas di atas puing-puing.
“Ini aneh. Kesannya seolah-seolah hanya simbol mereka lah yang bertahan selama bertahun-tahun,” kata Blackas.
“Kau benar. Dan ini menjadi satu-satunya petunjuk bagi kita tentang semua sejarah yang telah hilang. Ada kemungkinkan kalau simbol-simbol itu juga bisa membawa kita ke sesuatu yang berhubungan dengan wadah Roselia. Untuk itu...” Leonis mengacungkan tongkatnya, menghilangkan gambar yang diproyeksikan oleh permata. “Aku akan menyelidiki kota yang hancur itu. Blackas, maafkan aku, tapi...”
“Ya, aku mengerti.” Teman hitam Leonis mengangguk dengan tenang, menyiratkan bahwa anak itu tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. “Aku akan menjaga kerajaanmu saat kau tidak ada.”
“Aku mengandalkanmu. Kaulah satu-satunya yang bisa kupercayakan masalah ini.”
Dáinsleif telah menetapkan Assault Garden Ketujuh sebagai wilayah kekuasaan Leonis. Karenanya, anak itu tidak bisa seenaknya meninggalkan kota tersebut tanpa meninggalkan perlindungan. Sisa-sisa dari Fraksi Serigala baru saja dilantik bergabung ke dalam Pasukan Pangeran Kegelapan, dan mereka masih perlu dipantau dengan cermat sebelum mereka bisa dipercaya untuk tidak melakukan hal yang tidak diinginkan.
“Paduka, bagaimana dengan—?”
“Shary, kau akan ikut denganku.”
“Sesuai keinginanmu, paduka.” Shary menundukkan kepalanya dengan hormat.
“Berhati-hatilah, Lord Magnus,” kata Blackas.
“Iya. Ngomong-ngomong...” Leonis mengerutkan keningnya, pandangannya tertuju pada leher Blackas. “Aku mau bertanya padamu... Apa itu?”
Di leher Blackas, ada kalung yang ada pita birunya. “Ini hadiah dari pendekar pedang wanita itu...,” kata Blackas, sambil memamerkan pita di bawah tenggorokannya.
“Pendekar pedang wanita...? Oh, maksudmu Sakuya Sieglinde?”
“Ya, gadis itu. Dia bilang misalnya aku sedang berjalan menyusuri hutan di sekitaran akademi, manusia mungkin akan berpikir kalau aku tersesat dan berusaha memburuku. Tampaknya, kalung ini berfungsi untuk menghindari hal-hal seperti itu.”
“Begitu toh...”
Blackas menampilkan aksesori tersebut dengan sedikit rasa bangga. Leonis merasa ingin bertanya, apakah itu adalah sesuatu yang harus dikenakan oleh royalti sepertinya, tapi dia memutuksan untuk tidak mengaakan apa-apa.
Lagipula, aku tidak berada dalam posisi untuk mengkritik. Mengingat kejadian di pemandian, Leonis menghela nafas kecil.
---
“Tidak diragukan lagi. Wanita itu ada di sini...”
Di sana, berdiri seorang gadis.
Dari atas rumah yang bobrok, dia menatap pemandangan dari kota yang hancur. Rambut ponytailnya yang berwarna hijau berkibar pelan dihembuskan oleh angin laut. Kecuali celana yang dia kenakan, pakaian dari gadis itu terlihat sangat asing. Mata birunya tampak sejernih permukaan danau, dan bilah pedang yang dia pegang berkilau tajam.
Dia memiliki tubuh mungil dan suara yang terdengar seperti berusia 12 atau 13 tahun. Akan tetapi, karena dia adalah keturunan setengah elf, dia sebenarnya berusia lebih dari 20 tahun.
Arle Kirlesio, dia adalah adalah murid dari Shardark Ignis, yang terkenal sebagai Pembunuh Penguasa Kegelapan, dan Ahli Pedang dari Enam Pahlawan.
Pohon Penatua Suci meramalkan kebangkitan dari Dewi Pemberontak.
Telinga Arle yang ramping dan panjang berkedut dengan lembut. Kota ini sama sekali tidak memiliki adanya tanda-tanda kehidupan, apalagi aktivitas manusia. Itu adalah tempat yang hanya ada logam serta beton, dan hutan yang sangat berbeda dari tanah kelahirannya.
Apa yang menyebabkan tempat ini berada dalam kondisi seperti ini? gadis itu bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Apa ini ulah dari Para Penguasa Kegelapan, entitas yang seribu tahun lalu membawa kekacauan dan kehancuran ke dalam dunia? Tidak, tidak mungkin kalau ini adalah ulah mereka. Karena bagaimanapun juga, delapan orang yang melayani Dewi Pemberontak telah mati.
Jia demikian, maka itu pasti monster terdistorsi yang muncul dari sobekan ruangan. Para penjajah dari kegelapan hampa yang tidak ada di zaman Arle, makhluk yang disebut sebagai Void. Apa sebenarnya makhluk-makhluk yang mengerikan dan jelek itu? Bagi Arle, dunia ini telah benar-benar banyak berubah.
Dalam seribu tahun terakhir yang kuhabiskan untuk tidur, segala sesuatunya telah berubah...
Setengah elf itu melihat sekelilingnya saat dia mengencangkan cengkeramannya pada senjatanya. Pedang Arle adalah Pedang Pemotong Iblis, Crozax, salah satu dari Arc Seven, yang merupakan senjata pembunuh Penguasa Kegelapan yang diberikan oleh Pohon Penatua Suci. Itu merupakan senjata yang dibuat untuk menghancurkan wadah dari Dewi Pemberontak, yang akan menjelma di era ini.
Saat itu, secara tiba-tiba, telinga Arle bergetar, menangkap suatu kehadiran yang menakutkan.
“Oh. Aku penasaran kira-kira siapa sih itu, tapi bukannya itu adalah pahlawan elf kecil.”
“...!?”
Dengan cepat berbalik kebelakang, Arle melihat seorang pria muda yang mengenakan pakaian pendeta muncul dari udara tipis. Dia bertubuh ramping dan tampak berusia 20 tahunan, dengan mata biru dan rambut abu-abu. Dia berdiri samabil tersenyum di atas reruntuhan.
Dia mengenalku? Arle memelototi pria itu. Harusnya, tak seorang pun di era ini yang tahu kalau dirinya telah bangkit. Dan saat itu, Arle merasakan dirinya berkeringat dingin. Aku bahkan tidak bisa merasakan kehadirannya. Dia pasti bukanlah orang biasa... Tangannya yang menggengam pedang semakin ia eratkan.
“...Apa kau adalah penjaga wadah sang Dewi?” Menanyakan itu, Arle menghunuskan pedangnya.
Terhadap Arle, bibir pria itu melengkung dan membentuk senyum sinis. “‘Penjaga’? Yah, kurasa itu adalah gelar yang cukup cocok untukku. Nah, dengan asusmi bahwa aku memang adalah apa yang kau sebutkan, lantas apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan memotongmu!” Menendang pijakannya dengan keras, Arle melompat ke udara dan mengayunkan Pedang Pemotong Iblis di tengah lompatannya. Namun...
“...?!”
Tebasannya yang amat berbahaya tidak memotong apa pun selain udara. Wajah dari pria ramping itu tampak goyah layaknya fatamorgana.
“Ilusi...!”
“Itu membuatku merasa tidak enak untuk menolak seorang tamu, tapi yang jadi masalahnya di sini adalah para Penguasa Kegelapan dan pahlawan tidak memiliki tempat di dunia yang penuh dengan Void.” Suara pria itu bergema melalui angin. “Aku ingin memintamu untuk lengser dari panggung.”
Dan saat berikutnya...
Krak... Krak... Krak...!
Bersamaan dengan suara yang seperti suara pecahan kaca, celah yang besar terbentuk di udara di sekitar Arle.
“Ini...!”
Itu adalah fenomena yang menjadi tanda akan munculnya monster-monster terdistorsi itu.
“Kau... memanggil makhluk-makhluk itu? Siapa dirimu..!?” tanya setengah elf itu.
“Aku Nefakes. Void Lord Nefakes.” Pengenlan itu dengan cepat memudar, dan lengan malaikat besar merayap dari celah-celah di udara.
---
Bertepatan dengan matahari yang terbenam di cakrawala, peleton 18 menaiki pesawat tempur taktis Lindwyrm Mk.III, yang diluncurkan dari pelabuhan militer ketiga Akademi Excalibur. Lindwyrm Mk.III adalah pesawat yang satu generasi lebih tua dari Ksatria Naga yang sebelumnya Leonis hancurkan di Hyperion.
Nah, ini bukan berarti pihak akademi menganggap remeh misi yang akan dilakukan oleh peleton 18. Karena bagaimanapun juga, kapal pribadi royalti itu dilengkapi dengan prototipe mutakhir yang belum tersedia untuk digunakan dalam urusan militer.
“Bagaimana, apa kau suka menaiki pesawat tempur?” Elfiné, orang yang mengemudikan pesawat, menanyakan itu.
Di sekelilingnya, terdapat bola-bola melayang yang menampilkan berbagai simbol bercahaya. Bolah-bola itu adalah Pedang Suci Elfiné, Mata Penyihir (Eye of The Witch). Dia menggunakan bola-bola itu sebagai pembantu untuk mengemudikan pesawat.
“Ini terasa nyaman. Dan ini juga jauh lebih luas dari yang kukira,” Jawab Leonis, sambil melihat-lihat sekeliling interior pesawat yang tidak didekorasi. Dan apa yang dia katakan itu memang benar, untuk sebuah pesawat, interiornya memang cukup luas.
“Semua laki-laki itu suka pesawat tempur, bukan?” Duduk di sebelah Leonis, Regina lah yang melontarkan komentar tersebut.
“Ah, tidak juga. Bahkan gadis-gadis juga menyukai pesawat tempur.” Elfine tertawa. Dia adalah gadis yang memiliki minta pada senjata, peralatan magis, terminal, dan segala sesuatu yang berbau mekanis. Terhadap itu, Leonis berpikir bahwa Elfiné mungkin akan akrab dengan Linze, si bungsu dari dua bersaudara dari panti asuhan.
Yah, tengkorak nagaku jauh lebih keren dan menggairahkan daripada ember baut ini, pikir Leonis pada dirinya sendiri, saat dia duduk dengan nyaman di kursinya. Saat ini, hatinya terbakar dengan rasa persaingan yang aneh.
Kursi di dalam pesawat dibuat dalam tiga barisan. Leonis, Riselia, dan Regina menempati satu baris kursi. Dan rupanya, Sakuya tidak terlalu baik saat melalui penerbangan. Karenanya, dia duduk di kursi yang berbeda sambil mengenakan penutup mata serta headphone.
Tadi dikatakan kalau penerbangan ini harusnya akan berlangsung selama sepuluh jam. Terus duduk dalam waktu selama itu rasanya pasti akan melelahkan.
Merasakan getaran dari bawah kakinya, Leonis menghela nafas. Dulu, ketika dia masih menjadi Raja Undead, tidak ada yang namanya konsep kelelahan bagi dirinya, dan dalam hal itu, tubuh manusia yang ia miliki sangat tidak bisa diperbaiki. Tatapan Leonis berkelana ke pemandangan yang tampak di luar jendela, dan sebuah pertanyaan muncul di benaknya.
“Apa Void juga punya kendali di atas langit?” Pertanyaan itu itu ditujukan pada Riselia, yang duduk di sebelahnya. Di lautan, terdapat terumbu Void. Menyeberang di atas itu saja seharusnya sudah cukup berbahaya.
“Void tertentu, seperti kelas wyvern, bisa saja akan menyerang, tapi tidak ada catatan apapun seperti terumbu yang pernah muncul di atas langit,” jelas Riselia, sambil mengacungkan jari telunjuknya. “Tentunya, itu bukan berarti langit benar-benar aman. Karenanya, untuk bisa menggunakan pesawat dalam menjalankan misi, mesti ada Pedang Suci yang bisa melakukan serangan jarak jauh seperti punyanya Regina. Memang sih, pesawat ini dilengkapi dengan persenjataan minimal, tapi tetap saja, semuanya akan akan lebih baik kalau kita berjaga-jaga.”
“Jadi begitu,” jawab Leonis.
Intinya, Void telah merebut kendali atas laut dan langit dari umat manusia. Di masa lalu, delapan Penguasa Kegelapan yang telah menjerumuskan dunia ke dalam teror telah menguasai tidak hanya lautan dan udara, tapi juga gunung-gunung tempat para naga bersarang serta desa ilusi tempat para roh dilahirkan. Bahkan tanah kematian telah di bawah ibu jari mereka.
Rivaiz Deep Sea adalah orang yang menguasai lautan, dan langit menjadi milik dari saingan Leonis, Veira Greater Dragon.
Ketika Pasukan Penguasa Kegelapan muncul kembali, aku pasti akan merebut kembali langit dan laut dari makhluk-makhluk sialan itu.
Seperti itu, Leonis terus menghabiskan beberapa waktunya untuk menatap ke luar jendela. Di sisi lain Sakuya, yang punggungnya bersandar di kursi, segera tertidur. Menyaksikan gadis itu tertidur membuat Leonis juga mulai merasa mengantuk.
Semalaman aku begadang untuk mengerjakan desain kastilku.
Ketika dirinya dirinya masih menjadi Raja Undead, Leonis selalu membuang kebutuhan untuk tidur dan beristirahat. Tapi sekarang, dia memiliki tubuh anak laki-laki yang masih dalam proses pertumbuhan, jadi sudah sewajarnya, tubuh itu perlu untuk tidur dan beristirahat. Mencoba untuk menghidari panggilan tidur itu sulit; lagipula, tidur juga merupakan sesuatu yang menyenangkan.
“Eehehe, apa kau mengantuk, Nak?” Menyadari bahwa Leonis mulai mengantuk, Regina menanyakan itu.
“Kita punya banyak waktu sampai kita tiba di tujuan kita, jadi kau bisa tidur dan beristirahat,” kata Elfiné, dari tempat duduknya di kursi pilot.
“Apa kau tidak ingin tidur juga, Fine?”
“Begitu kita sudah berada di jalur yang stabil, aku akan menyerahkan masalah kemudi dan berpatroli pada Mata Penyihir-ku dan beristirahat sebentar,” jelasnya.
“Kau bisa membaringkan kepalamu di sini, Nak,” kata Regina, menunjuk ke arah pangkuannya.
“T-Terima kasih, tapi tidak usah!”
“Gak usah malu-malu. Ayo sini.”
Denga lembut, Regina memeluk kepala Leonis dan mendorong kepala anak itu ke pahanya.
“R-Regina—!” Leonis merasakan pipinya memerah. Dia berusaha untuk segera duduk kembali, tapi kepalanya ditekan di antara pangkuan dan payudara lembut Regina, yang membuatnya jadi tidak bisa bergerak.
“...R-Regina, hentikan itu!” Dengan ekspersi marah, Riselia mengerutkan alisnya.
“Ehehehe. Bersantai dan beristirahatlah,” bujuk Regina, napasnya menggelitik di telinga anak itu.
Dan saat itu, suatu getaran menjalar di tubuh Leonis.
“Aku akan membersihkan telingamu. Dengan begitu, kau akan tertidur sebelum kau menyadarinya.” Mengatakan itu, Regina mengambil kapas besar dari sakunya.
“I-itu curang. Aku juga ingin membersihkan telinganya Leo...,” Keluh Riselia, menunjukkan ekspersi cemberut.
“Siapa cepat dia dapat, Lady Selia,” jawab Regina dengan acuh tak acuh, dan dia memasukkan kapas itu ke telinga Leonis.
“Ah... Kuh... Nn...” Semua ketegangan terkuras dari tubuh Leonis. Terlepas dari kehendaknya sendiri, erangan feminim keluar begitu saja dari bibirnya.
“Ehehe. Jangan banyak gerak, Nak.” Jari-jari ramping Regina menahan dagu Leonis di tempatnya. Ujung emas dari rambut twintailnya menggoda pipi sang Penguasa Kegalapan itu.
Kuh...! Bagaimana mungkin... ini terasa begitu menyenangkan...!?
Leonis yang berharga diri tinggi ingin memprotes, tapi tubuh anak kecilnya itu tidak mampu menahan sensasi kesenangan. Beristirahat di pangkuan pelayan yang cantik, Leonis hanya bisa menggeliat tanpa daya di tengah-tengah kegembiraan.
Thanks min updatenya
ReplyDelete