Bab 2 Bagian 6
Meneriakkan segala hal yang tidak masuk akal di dunia ini
“Kita sampai, inilah tempatnya,”
Aku memang sudah menduga kalau pemandian air panas yang dia katakan itu cuman bohong, tapi aku tidak pernah menduga kalau ini lah yang akan menjadi tujuan kami sebenarnya.
“Orang tuaku tertidur di sini.”
Dengan lembut, Saikawa berlutut di depan batu nisan di atas bukit hijau.
“Sebenarnya, seluruh area termasuk bukit ini adalah milik keluarga Saikawa. Tempat ini memiliki pemandangan terbuka, dan kuburan mereka dibuat di sini.”
Seiring mengatakan itu, Saikawa menyalakan dupa.
“Boleh aku berdoa?”
“Terima kasih banyak. Aku yakin mereka akan senang.”
Aku dan Saikawa berlutut bersebelahan, menyatukan tangan dan menutup mata.
Tentu saja, aku belum pernah bertemu dengan orang tuanya Saikawa. Namun demikian, sebagai seseorang yang mengetahui perasaannya, aku memanjatkan doa dalam hati.
“Terima kasih.”
Angin sepoi-sepoi bertiup, Saikawa mendongak, dan tersenyum.
“Kupikir mereka berdua merasa lega karena aku telah menemukan rekan seumur hidupku.”
“Lah, sekarang kau kembali ke keadaan di mana kau akan bercanda?”
“Ya, malahan orang tuaku lebih suka bercanda daripada aku.”
“Jadi sifatmu itu berasal dari orang tuamu?”
Kami berbicara, dan merilekskan diri.
“Tapi..., aku masih merasa seperti aku sedang berangan-angan.”
“Berangan-angan?”
“Ya. Aku berpikir kalau ini adalah prank yang benar-benar hebat, dan mereka sebenarnya masih hidup..., dan kemudian mereka akan muncul dari bayang-bayang pada saat tertentu untuk membuatku takut. Itu adalah pemikiran yang pernah kumiliki.”
Mengatakan itu, Saikawa menunjukkan ekspresi yang paling sedih daripada ekspresi-ekspresinya yang pernah kulihat.
Meski tiga tahun telah berlalu, realitas kematian orangtuanya tidak akan pernah pudar di benak Saikawa..., sama seperti satu tahun bagiku.
“Aku selalu takut dengan kesendirian..., dan aku selalu berharap agar seseorang melihatku.”
“Apa itu alasan kau menjadi idol?”
“...Kurasa, itu adalah bagian dari alasanku.”
Saikawa berjongkok, memeluk lututnya, dan menimpali,
“Dan juga, dulu ayah pernah bilang padaku kalau dia ingin aku memakai gaun yang indah, berpakaian bagus, dan terus hidup. Dia ingin aku bersinar di hadapan orang lain. Dan ibu, layaknya melafakalkan mantra, dia selalu mengatakan padaku untuk pergi ke dunia luar dan menjalin pertemanan. Karena itulah, aku—”
Saat dia mengatakan itu, tampak ekspersi nostalgia di wajah Saikawa.
“Tapi..., mungkin aku tidak bisa untuk terus menjadi idol. Bagaimanapun juga, krisis dunia mungkin akan segera terjadi.”
“Begitukah? Menurutku itu menarik kalau ada idol yang bernyanyi serta menari, dan terkadang, idol itu akan melawan 《Homunculus》.”
Seperti seorang detektif hebat yang tahu banyak tentang idol Jepang.
“...Fufu, persuasimu sama menariknya seperti biasanya, Kimizuka-san.”
Menunjukkan senyum, Saikawa segera berdiri.
“Tapi kadang-kadang—aku merasa sedikit lelah.”
Saat dia menggumamkan itu, dia tidak melihat ke arahku.
Dia melihat pemandangan yang ada di bawah bukit, dan meregangkan punggungnya dengan keras.
“Nnn...! Alam memang indah!”
Dia mengatakan itu sambil memunggungiku, dan kemudian berkata padaku dengan penuh semangat.
“Bagaimana? Haruskah aku melepaskan pekerjaanku dan mulai tinggal di pedesaan bersamamu?”
“Itu mustahil bagi seorang nona yang sudah terbiasa tinggal di perkotaan.”
“Mmm, kau salah loh. Aku bisa masak, dan aku bisa hidup mandiri tanpa masalah.”
“Untuk beberapa hari pertama kau mungkin akan baik-baik saja, tapi kau pasti akan merindukan sesuatu seperti toserba dan Wi-Fi.”
“...Aah, kau orang yang membosankan.”
Saikawa tampak tidak senang dengan reaksiku, karena dia jadi cemberut, mengeluarkan ponselnya, dan mulai mengutak-atiknya.
“Astaga, andai kau lebih berhati-hati dengan jawabanmu. Orang-orang tidak akan menyukaimu jika kau terus bersikap meremehkan loh.”
“Benarkah? Cuman masalahnya aku tidak bisa melakukan itu.”
Aku bergurau..., berdiri, dan mendekati Saikawa dari belakang,
“—Kalau begitu, aku tidak akan keberatan jika sekarang kau tidak menyukaiku.”
Dengan cepat, aku mengambil ponselnya dari tangannya.
“Apa—! K-Kembalikan ponselku!”
Saikawa melompat-lompat, mencoba meraih ponselnya yang yang terangkat tinggi di tanganku. Namun, perbedaan ketinggian yang melebihi 20 cm tidak dapat dia atasi dengan mudah.
“Kok kau kejam sekali sih! Apa kau melakukan ini karena aku menggunakan ponsel meskipun barusan aku mengatakan kalau aku ingin tinggal di pedesaan!? Kalau itu masalahnya, maka...”
“Bukan.”
...Baiklah, izinkan aku menjadi orang yang sibuk di sini.
Aku menahan Saikawa yang mengamuk, dan menunjukkan layar ponselnya kepadanya.
“Itu karena sepanjang hari ini kau terus-terusan menatap ini.”
Apa yang tampil di dalam layar adalah timeline suatu media sosial yang dipenuhi dengan komentar-komentar yang menghina Saikawa atas laporan berita terbaru.
Saikawa adalah orang yang tidak akan pernah menunjukkan kelemahannya.
Tapi lebih daripada seorang idol, dia adalah seorang gadis yang masih dalam masa kelas 3 SMP. Itu mustahil kalau dia sampai tidak merasa terguncang oleh berita harian.
“...Tolong kembalikan ponselku.”
“Mm, maaf.”
Saikawa menerima ponselnya kembali dan menundukkan pandangannya dengan canggung.
“Aku tidak keberatan kalau orang-orang mengatakan hal-hal yang buruk tentangku.”
Dia menggigit bibirnya sendiri dan mematikan ponselnya.
“Tapi..., menjelek-jelekkan orang tuaku..., aku tidak bisa menerima itu.”
Bagi Saikawa, orang tuanya adalah pedoman terpenting dalam hidupnya. Dia tidak akan pernah memaafkan orang lain yang bersikap kurang ajar terhadap mereka..., namun demikian, dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah situasi. Sejak awal, tidak ada cara untuk melawan kejahatan besar tanpa bentuk.
—Akan tetapi...
Jika ada satu hal yang saat ini dapat kami lakukan...
“Kimizuka-san?”
Aku berjalan beberapa langkah ke depan, dan Saikawa menatapku dengan ekspesi bingung.
...Maaf, Saikawa, namun, hanya ini yang bisa terpikir olehku.
Aku menarik nafas dalam-dalam...,
“—Omong kosoooooooooooooong!”
Berdiri di puncak bukit, aku berteriak sekeras mungkin pada pemandangan yang ada di bawah bukit.
“K-Kimizuka-san?”
Saikawa, yang tadinya terlihat murung, langsung terkejut dan menatapku dengan raut tak percaya.
“Erm, itu adalah hal yang bagus dari dirimu untuk marah padaku, tapi itu memalukan...”
“Jangan cuman taunya membuat pertunjukan dan kemudian menghilang semaumu! Dasar Siesta gobloooooooooooook!”
“J-Jadi itu yang kau maksud...!”
Saikawa membalas dengan sikap bingung yang jarang dia tunjukkan.
Maaf, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak meneriakkan apa yang ada di benakku.
—Karenanya...,
“Ayo, Saikawa.”
Aku mengulurkan tanganku padanya.
“Teriakanlah semua yang kau pikirkan.”
Kita tidak bisa..., mengubah hidup orang lain. Namun, kita diizinkan untuk meneriakkan betapa tidak masuk akalnya apa yang mereka lakukan.
“...Apa itu tidak masalah bagi seorang idol untuk mengutuk dan mengumpat?”
“Sekarang ini kau tidak sedang menjadi idol, kan?”
Sampai live konser berlangung..., Saikawa Yui hanyalah siswa kelas 3 SMP normal.
Dia diizinkan untuk mengatakan apapun yang ingin ia ktakan.
Paling tidak..., di tempat ini...
“————!Dasar goblok!!!”
Di sampingku, Saikawa berteriak sekeras mungkin.
Dalam menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan, ketidaklogisan yang tak tertahankan, dia melepas penutup matanya, dan berteriak.
“Kalian itu gak tahu apa-apa!”
“Kalian semua!”
“K-kalian semua!”
Dan kemudian, seolah menunjukkan sisi yang berbeda dari dirinya, dia menarik napas dalam-dalam...,
“Jangan mengolok-olok orang tuaku yang kusayangiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!”
Suara itu sepertinya menjangkau langit yang jauh, amat jauh.
“...Entah apakah mereka mendengar itu atau tidak.”
Dia menarik napas, dan mengatur napasnya.
Saikawa melebarkan mata birunya, dan berkata dengan ekspresi yang sangat lega.
Ini memang bukan akhir dari semuanya, tapi setidaknya, aku yakin kalau dirinya akan bisa menyanyi sebaik-baiknya—itulah..., keyakinan yang kumiliki.
“Yah, itu teriakan luar biasa yang bisa didengar dari menara radio.”
“Ahaha, kurasa itu akan buruk kalau para fans mendengarnya.”
Tapi yah, lanjut Saikawa, sambil meletakkan tangannya di belakang dan menatapku,
“Kalau aku terbakar, tolong padamkan apinya, ya—produser?”
Dia menunjukkan senyum polos dan berseri yang layaknya bunga.
Kemana aja min
ReplyDeleteLama juga 1 Minggu baru update min
ReplyDeleteTerimakasih kasih atas babnya min....
ReplyDeleteSemangat tlnya 👍💪
Mantap...semangat terus min
ReplyDelete👍
ReplyDeleteMenunggu
ReplyDeletestill waiting for updates...
ReplyDelete