Bab 7
Kediaman Crytalia
“Harusnya di depan sana ada terowongan kereta bawah tanah yang menuju ke Central Garden,” kata Riselia, saat dia menunjuk ke arah peta yang ditampilkan oleh terminalnya.
Arah yang dia tunjuk adalah rute langsung yang melewati tepat di bawah jembatan penghubung ke bangsal administrasi Assault Garden.
“Apa kita bisa menaiki kereta bawa tanah?” tanya Leonis.
“Leo, mengoperasikan kereta itu tidak sama dengan mengoperasikan kendaraan lain,” jawab Riselia sambil mengacungkan jari telunjuknya dengan senyuman.
Tentunya, si Penguasa Kegelapan telah menanyakan sesuatu yang aneh.
“Kita akan berjalan melalui sepanjang rel dengan berjalan kaki,” kata Riselia. “Ini juga akan menghemat waktu kita dibandingkan kalau kita berjalan melalui permukaan.”
“Jalan kaki...?” tanya Leo, dengan nada suara yang tampak tidak puas.
“Saat kita kembali ke Akademi Excalibur nanti, aku akan menambahkan lebih banyak pelatihan stamina ke kurikulummu,” seru Riselia saat dia menyadari maksud nada suara Leonis. “Oke, ayo jalan.”
“Ah, tunggu dulu.” Leonis menghentikan Riselia sebelum gadis itu mulai berjalan.
“...Leo?”
“Selia, ada sesuatu yang mau kuberikan untukmu.”
“Sesuatu..., untukku?” jawab Riselia sambil memiringkan kepalanya karena terkejut.
“Tadi para ksatria hantu itu bilang kalau tiap-tiap jiwa yang berada dekat dengan tungku mana akan berubah menjadi Void dengan lebih cepat,”
“...Ya, terus?”
“Setelah apa yang terjadi sebelumnya, aku tidak yakin kalau aku akan selalu bisa melindungimu dari bahaya...” kata Leonis, sambil menatap kaki Riselia.
Kekuatan Ratu Vampir yang Riselia miliki telah menyembuhkan anggota tubuhnya yang sebelumnya patah, tapi satu langkah yang salah bisa mengakibatkan luka yang lebih parah.
“Apa kau mencemaskanku, Leo?”
“A-Aku cuman bilang kalau kau mesti bisa melindungi dirimu sendiri, itu saja.” Jawab Leonis seiring dia berpaling dari gadis muda yang menatapnya.
Si Penguasa Kegelapan itu kemudian berdehem, lalu dia mengetuk batang Tongkat Penyegel Dosa pada bayangannya sendiri. Riakan menyebar melalui bayangannya, dan dari tengah-tengah riakan itu, sesuatu muncul sambil diiringi oleh sinar cahaya yang mempesona.
Itu adalah gaun merah tua yang indah dengan naungan bunga darah Dunia Bawah. Desain dari gaun itu sangat mencolok dengan model terjun leher. Ujung dan manset gaun itu disulam dengan benang yang diresapi dengan mana.
“...Gaun?” Mata biru es Riselia membelalak.
“Ya. Itu disebut sebagai Gaun Pengantin.”
“Eh? P-Pengantin?!” Wajah Riselia sontak berubah menjadi warna yang bisa menyaingi warna pakaian itu. “L-Leo, erm... Aku sangat senang dengan ini, tapi... A-apa yang harus kulakukan...?” Dia membawa tangannya ke mulutnya, tampak kebingungan.
“A-apa yang kau asumsikan di sini?” kata Leonis dengan tergesa-gesa. “Ini adalah item tingkat tertinggi, item yang hanya akan kuberikan kepada pengikut yang merupakan tangan kananku. Kupikir ini masih terlalu dini untuk memberikan item ini kepadamu, tapi mengingat situasi kita saat ini, aku yakin sekarang aku bisa memberikannya kepadamu.”
Gaun itu merupakan item kelas pahlawan. Nama aslinya adalah Gaun Leluhur Sejati. Gaun itu adalah salah satu item yang sangat berharga yang Leonis simpan di brankas harta karunnya di Alam Bayangan. Dia mencuri gaun itu dari kastil vampir yang dia kunjungi bersama Blackas.
Leonis berencana untuk menunggu terlebih dahulu sampai Riselia menjadi lebih mahir dalam mengendalikan mananya sebelum dia memberikan gaun itu, tapi ini terasa seperti kesempatan yang bagus untuk mewariskan gaun itu kepadanya.
“Gaun Leluhur Sejati akan mengambil mana Ratu Vampir dan menggunakan mana itu untuk memperkuat tubuhmu. Kekuatanu akan meningkat pesat, tapi di saat yang sama akan menghabiskan manamu dengan cepat. Jadi, berhati-hatilah dalam menggunakannya,” seru Leonis. Dia kemudian mengangkat tongkatnya dan merapalkan mantra. Gaun itu dengan cepat terlipat dan tenggelam ke dalam bayangan Riselia.
“Eh, hilang?!”
“Gaun itu bergabung ke dalam bayanganmu. Kalau kau ingin memanggil gaun itu, kau hanya perlu membayangkan dirimu mengenakan gaun itu dan memasukkan manamu padanya. Seharusnya itu tidak terlalu sulit.”
“...A-Aku mengerti.” Riselia mengangguk dengan serius. “Terima kasih, Leo. Aku akan menjaga gaun pemberianmu.”
“Tidak perlu berterima kasih,” jawab Leonis sambil berdehem lagi. “Seorang pengikut haruslah selalu melindungi tuannya. Selagi kita di sini, aku akan meminta kastria-ksatria elitku untuk mengawalmu.”
“Ksatria elit?”
“Ya. Datanglah dari Alam Bayangan, Tiga Juara Rognas!” Leonis berteriak, dan kemudian muncul senyum gigih di bibirnya.
Saat itu, sebuah lingkaran sihir terbentuk di tanah, dan kemudian lingkharan sihir itu menyala dengan cahaya yang tidak menyenangkan. Lalu, apa yang muncul di tengah-tengah lingkaran sihir itu adalah tiga prajurit skeleton yang masing-masing dari mereka memegang senjata sihir.
“Aku adalah Prajurit Berdarah Dingin, Amilas!” Skeleton yang memegang pedang dan mengenakan armor kulit berpose.
“Aku adalah Pegulat Neraka, Dorug!” Sekleton beramor baja yang memegang bola besi mengambil pose lain.
“Dan aku adalah Archmage Dunia Bawah, Nefisgal!” Terakhir, skeleton berpakaian jubah dan memegang tongkat mengambil pose ketiga.
“““Dan bersama-sama, kami adalah Tiga Juara Rognas yang terkenal!”““
Saat Riselia melihat mereka bertiga...
“...”
...Ekspresinya tampak mendung.
“Skeleton lagi...?” tanya gadis itu.
“T-tidak, tidak! Mereka tidak seperti skeleton-skeleton yang kau gunakan untuk latihan!” Leonis mengoreksi gadis itu dengan cepat.
Ketiga skeleton itu tidak terlihat terlalu berbeda dari skeleton yang biasanya Riselia lihat, jadi reaksi yang dia buat wajar-wajar saja. Namun, tidak hanya ketiga skeleton ini lebih kuat dari prajurit skeleton mana pun, ketiganya adalah pejuang elit yang bahkan melampaui Death Knight yang Leonis dipanggil di atas Hyperion.
“Mereka adalah rekan seperjuanganku, para prajurit berpengalaman yang menemaniku di medan perang.”
“...M-mereka?” dalam keraguan, kelopak mata Riselia berkedip-kedip pada ketiga skeleton itu. “Tapi, mereka kelihatan seperti, ermm, sedikit sangkut-menyangkut.”
“Nnng! Dorug, menjauhlah dariku!”
“Mmm! Tidak, kau lah yang menjauh dariku, Amilas!”
“Kalian berdua, jangan banyak gerak! Kalian meretakkan tulang-tulang tuaku!”
Suara gemeretak yang mengkhawatirkan bergema di dalam terowongan bawah tanah.
Apa sih yang tulang-tulang bodoh ini lakukan?! pikir Leonis, saat dia menaruh tangannya di pelipisnya.
“Diam bentar,” Riselia memberikan perintah sambil dengan hati-hati memisahkan bagian-bagian tulang yang menyangkut dari mereka bertiga. “Erm, seperti ini... Terus begini...” Akhirnya, dia memisahkan ketiga skeleton itu satu sama lain.
“Ooh! Kami sangat berterima kasih, putri cantik!”
“Kami tidak akan melupakan hutang budi ini. Kami pasti akan melindungimu dengan nyawa kami!”
“Meskipun kami adalah undead yang tidak punya nyawa untuk diberikan. Ka-ka-ka!”
Amilas, Dorug, dan Nefisgal, mereka semua tertawa terbahak-bahak. Riselia menolehkan pandangan cemas pada Leonis yang seolah-olah bertanya apakah mereka bertiga benar-benar bisa diandalkan.
“K-Keterampilan mereka bisa dijamin!” Kata Leonis untuk mengelak.
“Aku merasa sangat terhormat bisa melayani Ratu Vampir, undead yang paling mulia!” seru Amila.
“Ya, karena dikatakan hanya seorang perawan suci lah yang bisa menjadi Ratu Vampir,” tambah Dorug.
“Peraw—” Riselia tersipu, tapi kemudian...
Bang!
Leonis memukul kepala si pegulat Dorug hingga membuat tulang-tulangnya berserakan di tanah.
“Mm, itu sakit tau, Tuan Leonis!” seru Dorug tanpa sedikit pun tanda-tanda merasa sakit saat tulang-tulangnya kembali berkumpul.
“...D-diamlah! Jangan terus-terusan mengotori nama baikku lagi!” Leonis mengacungkan tongkatnya dengan marah, melemparkan ketiga skeleton itu ke dalam bayangan Riselia.
---
Setelah berjalan sekitar lima belas menit, Riselia dan Leonis sampai di stasiun yang sudah tidak terpakai. Di sana ada beberapa gerbong kereta kecil yang berbaris.
“Ini terlihat bagus,” kata Leonis, saat dia mengetuk suatu sisi yang berwarna hitam.
“Itu adalah kereta kuda khusus untuk royalti dan bangsawan. Saat aku masih kecil, aku pernah berpergian beberapa kali dengan menggunakan itu,” kata Riselia, sambil mengusap-ngusap permukaan kendaraan itu dengan kesan nostalgia.
“Jika demikian, bagaimana kalau kita menggunakannya?”
“Hah?”
“Savel!” Leonis telah merapal sebelum gadis berambut perak itu sempat bereaksi.
Whoosh! Bilah api terbentuk di depan Leonis dan kemudian memotong penghubung gerbong kereta.
“Tunggu, Leo, apa yang kau lakukan—?”
“Yah, aku cuman merasa kalau berjalan berjam-jam agak terlalu melelahkan.” Leonis mengarahkan tongkatnya ke tanah dan mulai merapalkan sihir pemanggilan. “Pembawa Orang Mati yang Binasa di Medan Perang, Datanglah Dari Alam Bayangan, Wahai Kuda Perang.”
Kegelapan di bawah Leonis membentuk riak, dan sesuatu merayap keluar dari dalam kegelapan itu.
“Sssss... Ssss...!” Mata merah bersinar menakutkan di dalam kegelapan. Dengan tubuh yang diliputi api biru, dua kuda perang skeleton muncul. Mereka adalah kuda-kuda menakutkan yang berlari melintasi medan perang—kuda tengkorak, familiar undead tingkat tinggi yang dipekerjakan oleh Leonis.
“Kuda tengkorak?” tanya Riselia.
“Biasanya sih mereka akan datang dengan kereta perang.” Leonis mengangkat bahu dan menggelengkan kepalanya.
Kendaraan pribadi Leonis memiliki sabit besar yang melekat pada setiap rodanya, tapi kendaraan beserta Malaikat Maut yang mengendarainya telah dihancurkan oleh Pendekar Pedang Enam Pahlawan, Shardark, dalam pertempuran terakhir selama perang.
Kedua kuda tengkorak itu meringkik keras dan berjalan beberapa langkah ke depan. Api biru yang menyala-nyala di sekitar tubuh mereka melilit gerbong kereta.
“Dengan ini, kereta logam bisa ditarik oleh kuda-kuda tengkorakku.” kata Leonis, saat dia mengetuk pintu dan merapalkan mantra pembuka kunci.
Pintu itu menyala dan dengan patuh mengayun terbuka. Bahkan peralatan sihir tingkat lanjut ini berfungsi berdasarkan prinsip dasar ilmu sihir. Yang sederhana bisa dengan mudah dioperasikan, bahkan dengan menggunakan mantra kuno.
“Ayo naik, Riselia,” kata Leonis sambil mengulurkan tangannya. Di sisi lain, gadis muda itu terpaku dalam keterkejutan.
---
“Sepertinya kendaraan ini masih bisa beroperasi. Elfiné, apa ada cara agar kita bisa mengoperasikannya?” Regina mencondongkan tubuhnya ke depan, memeriksa roda dari kendaraan militer.
“Di dalamnya ada kunci otentikasi. Aku akan melihat dulu apa yang bisa kulakukan,” jawab Elfiné, kemudian dia mengerahkan Mata Penyihir untuk mencoba memecahkan kunci otentikasi.
Di sisi lain, dengan tangan yang masih mencengkram pedangnya, Arle memperhatikan mereka berdua. Sesekali, telinganya yang panjang akan berkedut ketika dia mendengarkan percakapan kedua gadis itu. Elf peka terhadap suara angin dan memiliki pendengaran yang jauh lebih besar daripada manusia. Menguping seperti ini memberi Arle beberapa informasi.
Tampaknya mereka benar-benar datang ke sini untuk menyelidiki kota, simpulnya di dalam hati.
Gadis-gadis itu sepertinya setara dengan ksatria-ksatria di era ini. Mereka bahkan melawan monster-monster yang terdistorsi itu. Kekuatan aneh mereka yang mereka sebut sebagai Pedang Suci beroperasi secara berbeda dari sihir.
Dibandingkan dengan sihir, itu secara signifikan kurang fleksibel, tapi... Arle mengernyit, memegangi bagian tubuhnya yang terasa sakit. Kalau saja salah satu dari mereka ada yang bisa menggunakan sihir suci, mereka akan bisa menyembuhkanku... Dia telah meningkatkan sirkulasi mana untuk mempercepat pemulihan tubuhnya, namun demikian, lukanya masih membutuhkan waktu untuk sembuh.
Seorang aku sampai membiarkan musuh mencederaiku. Sungguh memalukan...
Arle tidak pernah menyangka bahwa sesuatu yang sekuat monster besar seperti malaikat itu bisa ada. Tentunya, dia juga menyadari bahwa keterampilan pedangnya jauh dari apa yang dia miliki di masa jayanya. Bagaimanapun juga, Arle telah menghabiskan seribu tahun untuk tidur di dalam Pohon Penatua Suci.
Kalau saja setidaknya aku bisa mendapatkan kembali intuisiku... Dia memegang erat-erat gagang pedang Crozax. Namun, lebih dari segalanya, Arle ingin tahu siapa pria yang memanggil makhluk keji itu.
Apa dia adalah penjaga wadah dewi?
Pohon Penatua Suci yang telah memberikan misi kepada Arle telah mempertimbangkan kemungkinan bahwa Dewi Pemberontak mungkin memiliki penjaga. Mungkin pria itu adalah pengikut Roselia Ishtaris yang ingin melihat kebangkitan dewi itu berhasil.
Besar kemungkinan kalau Penguasa Kegelapan yang menghilang adalah kandidat untuk peran seperti itu. Misalnya, dia yang disebut sebagai Raja Undead, Leonis Death Magnus. Pria itu dikenal lebih kuat dari rekan-rekannya. Ketika semua Penguasa Kegelapan lainnya telah dikalahkan, hanya dia seorang diri yang melanjutkan pertarungan.
Dikatakan bahwa Raja Undead meninggalkan nubuat sebelum kejatuhan Necrozoa: “Selama kegelapan ada di dunia ini, aku akan bangkit lagi dan lagi untuk melemparkan segala sesuatunya ke dalam ketakutan.”
Leonis adalah penguasa yang memerintah atas kematian. Jika ada Penguasa Kegelapan yang berhasil dibangkitkan, besar kemungkinan kalau itu adalah dia.
Atau mungkin, Azra-Ael, Iblis Dunia Bawah?
Namun, ada Penguasa Kegelapan lain yang belum dipastikan telah mati. Azra-Ael disegel di ruang singgasana Kastil Dunia Lain milik Archsage Arakael Degradios. Dari Delapan Penguasa Kegelapan yang ada, Azra-Ael dan Leonis adalah yang paling setia kepada Dewi Pemberontak.
Apa pria itu adalah bawahan Penguasa Kegelapan, ataukah dia melayani orang lain...? Arle merenung, dengan tatapan yang menuju ke tanah.
“Apa lukamu masih sakit?” seorang gadis berambut biru berjongkok dan bertanya kepada Arle.
Jika Arle mengingatnya dengan benar, nama gadis berambut biru itu adalah Sakuya. Dia memiliki ekspresi yang tampak keren dan punya perawakan wajah yang cantik.
“...Ya,” jawab Arle dengan singkat dan mendongak.
Gadis berambut biru ini, Sakuya, telah ditunjuk untuk menjadi pengawalnya.
“Maaf ya. Jika saja kami memiliki ahli medis, kami mungkin bisa membantu mengobatimu lebih banyak,” kata Sakuya, saat dia menatap perban Arle yang berlumuran darah.
“Ini juga bukan luka yang serius, nanti juga akan segera sembuh,” jawab Arle, meskipun dia mengalihkan pandangannya saat dia mengatakan itu.
Sakuya kemudian duduk di sebelah Arle dan memandangnya. “Itu senjata yang bagus. Apa senjata itu punya nama?” dia bertanya, matanya tertuju ke arah Crozax yang berada dalam cengkraman Arle.
“Pedang Pemotong Iblis.”
“Itu gelar yang cukup luar biasa,” kata Sakuya, dengan rasa penasaran yang semakin besar.
“Ya...,” kata Arle dengan singkat, dan kemudian dia bertanya, “Mengapa kau menghentikan pedangmu saat kita bertarung sebelumnya?”
“Kurasa aku hanya melakukannya secara refleks. Saat kita bertukar pedang sebelumnya aku menyadari bahwa kau bukanlah orang jahat.”
“...Apa maksudmu? Apa kau punya semacam kemampuan wawasan?”
“Kira-kira begitu. Dan juga, intuisiku biasanya benar.” kata gadis berambut biru itu sambil tersenyum masam.
“Kau kuat,” kata Arle. “Tapi tidak sekuat aku.”
“Begitukah?”
“Gaya pedang dari negara apa yang kau gunakan?” tanya Arle saat rasa ingin tahunya terusik.
Sakuya terdiam sesaat sebelum menjawabnya, “Anggrek Sakura. Itu adalah gaya pedang yang diturunkan di keluargaku yang disebut Teknik Pedang Tertinggi. Aku dan kakak perempuanku adalah satu-satunya penerus gaya pedang itu.”
“Aku belum pernah mendengar tempat seperti itu.”
Nengara dengan nama itu tidak ada di era asli Arle.
“Tempat itu tidak lagi ada,” kata Sakuya dengan tenang. “Kampung halamanku telah dihancurkan oleh Void.”
“...Begitu ya. Maaf karena pertanyaanku cukup canggung.” Arle menundukkan kepalanya, melingkarkan rambut ponytailnya di sekitar jarinya. “Negaraku juga telah tidak ada.”
Mata biru Sakuya sontak melebar mendengar itu.
“Kami tinggal di hutan, tempat perlindungan suci para elf dan roh, tempat yang sunyi dan indah.”
“...Apa itu karena Void?”
“Tidak.” Arle menggelengkan kepalanya. “Itu karena Dizolf Zoa, Penguasa Amarah..., yah, kurasa kau tidak mengetahui nama itu.”
Dizolf Zoa memerintah atas pegunungan Saag dan merupakan yang paling kejam dari Delapan Penguasa Kegelapan. Pasukan ogre yang dia lepaskan di hutan menginjak-injak dan menghancurkan segalanya.
Aku tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi lagi, pikir Arle sambil menatap pedangnya. Satu-satunya tujuan senjata itu adalah untuk menghancurkan sumber dari semua bencana—Dewi Roselia Ishtaris.
“Ah, sepertinya itu berhasil.” Gadis berambut pirang melambai ke arah Arle dan Sakuya. Rupanya, mereka berhasil mengoperasikan kendaraan.
“...Kita mau ke mana?” tanya Arle.
“Bangsal administrasi kota, Central Garden. Kita akan berkumpul kembali dengan rekan-rekan kami di sana.”
“Jadi yang ada di sini bukan hanya kalian bertiga saja?”
“Ya.” Sakuya mengangguk, lalu menunjukkan Arle sebuah perangkat kecil.
Apa yang diproyeksikan di layar perangkat itu adalah gambar dari seorang gadis berambut perak. Bahkan menurut standar elf, dia adalah gadis yang cantik. Di sebelah gadis itu ada...
“...Anak kecil?”
Itu adalah anak laki-laki dengan perawakan yang baik.
“Ya, dia Leonis. Anak berusia sepuluh tahun yang dulu kami temukan di reruntuhan yang berbeda dari reruntuhan ini,“ jelas Sakuya. “Namun, kekuatannya sebagai Pengguna Pedang Suci sangat besar.”
Bahkan anak seusia itu harus bertarung melawan monster mengerikan itu? Situasi di sini pasti benar-benar mengerikan. Tapi, mengesampingkan tentang itu...
“Leonis?” Arle mengerutkan alisnya. “Sungguh nama yang tidak menguntungkan bagi seseorang untuk disandang.”
“...?”
“Nama itu sangatlah dibenci di kampung halamanku—”
Raungan melengking menyela perkataan Arle. Tampkanya, kendaraaan sudah siap berangkat.
“Kerja bagus, Elfiné. Kau menghancurkan otentikasi militer seolah itu bukanlah apa-apa,“ puji gadis berambut pirang.
“Bagaimanapun juga yang ini sedikit lebih mudah jika dibandingkan dengan keamanan yang ada di ibu kota. Regina, bisakah kau menunjukkan jalannya kepada kami?”
“Ya, serahkan padaku. Sakuya, ayo pergi.”
“Oke.” Sakuya berdiri dan kemudian mengulurkan tangan ke Arle. “Apa kau bisa berdiri?”
“...Aku bisa berdiri sendiri,” gadis setengah elf itu bersikeras. Dia kemudian berdiri dan membawa Crozax.
---
Trtrtrtrtr!
Rel logam mengeluarkan percikan api saat suara tapal kuda yang menggesek tanah bergema. Improvisasi kereta kuda melesat melalui terowongan bawah tanah, meninggalkan gemuruh hiruk-pikuk di belakangnya. Secara keseluruhan, suara-suara itu menjadi raungan mengerikan yang seolah-olah menandakan akhir dunia. Mata merah kuda-kuda tengkorak itu menerangi kegelapan layaknya lampu sorot.
Duduk di dalam gerbong kereta, Leonis dengan santai menyesap sekaleng kopi. Itu adalah kopi kaleng standar yang dijual di kantin Akademi Excalibur.
“Ini agar keras, tapi di sisi lain juga cukup nyaman.”
“Ya...” duduk di seberang Leonis, Riselia menatap anak laki-laki itu dengan saksama.
“Ada apa, Selia?” tanya Leonis sambil mengerutkan alisnya.
“Ah, erm... Maaf.” Gadis muda itu melambaikan tangannya meminta maaf.
“Hmm, mungkin ini memang terlalu cepat, lagipula semakin cepat kita melaju semakin besar resiko kereta akan tergelincir...”
“Tidak, bukan itu. Aku cuman berpikir kalau kamu itu...” Riselia menjeda, seolah-olah dia sedang memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Kamu itu seperti... Penguasa Kegelapan.”
“...?! Pfha, pfft!” Leonis sontak tersedak mendengar itu.
“Ahhh! Apa kau baik-baik saja, Leo?!” Riselia bergegas mengambil saputangan untuk menyeka celana Leo hingga bersih.
“...B-Barusan kau bilang apa...?” tanya Leonis seiring tersedak-sedak.
Memang benar, dia telah menunjukkan sedikit kekuatan Penguasa Kegelapan-nya kepada Riselia, tapi dia belum mengungkapkan identitasnya yang sesungguhnya. Saat ini Riselia harusnya masih percaya kalau Leonis adalah penyihir kuno yang kehilangan ingatannya.
“Itu adalah dongeng yang ayahku ceritakan kepadaku ketika aku masih kecil,” jelas Riselia sambil melipat saputangannya. “Melihatmu membuatku teringat pada sang Penguasa Kegelapan dari cerita itu.”
“Dongeng...?” Leonis menepuk dadanya, merasa sedikit lega karena gadis itu belum menemukan rahasianya.
“Penguasa Kegelapan yang menunggangi kuda tengkorak di kastil tulang dengan banyak pengikutnya. Dia bisa membuat petir jatuh dari langit dan menghembuskan napas api.”
“Menghembuskan napas api?! Itu tidak masuk akal!” Leonis menyangkalnya terlepas dari dirinya sendiri.
“B-benarkah? Tapi ayahku bilang kalau Penguasa Kegelapan bisa menghembuskan napas api...,” kata Riselia, memiringkan kepalanya dengan bingung.
Hmm...
Tampaknya cerita yang Riselia sebutkan tidaklah lebih dari suatu dongeng anak-anak yang tidak berbahaya, tapi dongeng itu memiliki kelucuan tersendiri. Sejauh yang diteliti Leonis, sebagian besar pengetahuan dari zamannya tidak bertahan hingga hari ini. Namun, ada kemungkinan bahwa legenda dewa dan Penguasa Kegelapan tetap ada dalam cerita rakyat.
“Oh, tapi saat aku mengatakan kalau kau mengingatkanku pada Penguasan Kegelapan, dalam hal itu aku tidak bermaksud buruk.”
“...Apa ada artian yang baik dari 'Penguasa Kegelapan'?” tanya Leonis, merasa sedikit heran.
“Ayahku akan selalu bilang padaku kalau Penguasa Kegelapan yang menakutkan akan datang untuk mengalahkan Void.”
“...”
Keheningan melayang di atas kereta, kecuali suara dari hentakan tapal kuda tengkorak. Kenyataannya, saat ini Penguasa Kegelapan memang sedang duduk tepat di depan Riselia. Namun demikian, itu hampir tidak berarti apa-apa. Leonis yakin bahwa cerita tentang penyelamat yang menakutkan itu hanyalah kebohongan yang baik yang diceritakan seorang ayah untuk menenangkan putrinya.
“Maafkan aku, aku telah mengatakan hal-hal yang aneh,” kata Riselia sambil mengintip ke luar jendela. “Aku hanya berpikir, 'Bagaimana jika Penguasa Kegelapan yang menakutkan itu benar-benar muncul?’”
“Tidak, aku merasa terhormat. Aku tidak menyangka seorang penyihir sepertiku akan disebut sebagai Penguasa Kegelapan...,” jawab Leonis dengan senyum tenang. “Ngomong-ngomong, apa yang terjadi dengan Penguasa Kegelapan dalam cerita itu?”
“Layaknya hal-hal yang terjadi dalam cerita dongeng pada umumnya, pahlawan mengalahkan Penguasa Kegelapan, dan semua orang hidup bahagia selamanya.”
“...Sungguh pernyataan yang menyedihkan untuk sebuah dongeng.”
“Hah?”
“Tidak, lupakan.”
---
“Hiiiiiiiiiii!”
Kuda-kuda tengkorak itu mengeluarkan ringikan keras yang bergema di dalam terowongan, sesuai dengan kemiripan nama mereka dengan kata mimpi buruk.
“Tampaknya kita sudah sampai.”
Leonis mengetukkan tongkatnya ke lantai, dan kereta perlahan melambat sebelum berhenti total. Pintu terbuka, dan Leonis dan Riselia turun ke stasiun. Sebagian dari gerbong kereta itu itu menjorok keluar dari stasiun, tapi Leonis mengabaikannya karena itu berada dalam batas kesalahan yang dapat diterima.
Kuda-kuda tengkorak yang menarik gerbong kereta itu kemudian kehabisan mana dan hancur berantakan. Setelah itu, bayangan Leonis membengkak dan menelan sisa-sisa tulang mereka yang berserakan. Dia mempertimbangkan untuk membawa kendaraan itu juga bersama mereka, tapi...
“Ruang penyimpanan Alam Bayangan sudah terisi penuh!”
...Memikirkan kembali teguran Shary yang marah, Leonis memutuskan untuk tidak membawa kendaraan itu.
“Bagaimana bayanganmu bisa terus melakukan itu?” tanya Riselia sambil memiringkan kepalanya. Dia dengan hati-hati melangkahi bayangan gelap Leonis—tapi tidak terjadi apa-apa.
“Kupikir akan lebih lebih baik jika kau tidak tahu apa yang terjadi di sana,” Leonis menjawabnya sambil tersenyum masam.
Riselia tidak bisa membayangkan kalau itu berisi keseluruhan Alam Bayangan. Dan sebenarnya, bahkan Leonis pun tidak yakin dengan semua yang terjadi di kedalaman tempat itu. Kuburan yang terletak di relung terdalam dari alam itu adalah tempat pengikut terkuatnya disegel, tapi untuk saat ini Leonis tidak punya rencana untuk membangunkannya. Setidaknya saat ini, pengikut yang tersegel itu berada di luar kemampuan Leonis untuk bisa mengendalikannya.
Saat mereka maju menyusuri bawah tanah yang gelap, mereka menemukan lift yang mengarah ke permukaan.
“Ini tidak bisa digunakan, kan?” tanya Leonis.
“Ya. Ayo kita naik tangga,” jawab Riselia.
“...Yah, aku sudah menduga akan seperti ini.” Leonis menghela nafas, menunjukkan rasa tidak puasnya. Bagaimanapun juga, mendaki begitu banyak langkah terasa berat bagi tubuh anak berusia sepuluh tahun yang tidak terlatih.
“Anggap saja ini sebagai latihan stamina, oke?” kata Riselia sambil menepuk kepala Leonis saat dia berangkat dengan hati-hati.
Hanya suara langkah kaki mereka yang bersuara di dalam keheningan. Leonis terus menaiki tangga dengan tangan Riselia yang menuntunnya.
Bukankah menghancurkan langit-langit dan menggunakan mantra terbang akan mempersingkat segalanya? pikir Leonis sambil terengah-engah.
“Ini membuatku teringkat ketika aku pertama kali menemukanmu,” tiba-tiba, Riselia mengatakan itu seiring mereka mendaki tangga.
“...Ya, kau benar,” Leonis setuju dengannya.
Kala itu, Riselia memegang tangan Leonis ketika mereka meninggalkan Makam Agung. Tak lama setelah itu, Void menyerang mereka, dan Riselia mengorbankan dirinya untuk melindungi Leonis.
Pada saat itu, aku hanya melihat dirinya sebagai sumber informasi, kenang Leonis dengan senyum masam.
“...Saat itu, pintu tempat ruangan dimana dirimu berada terbuka sendiri, dan dengan begitu aku bisa menyelamatkanmu, Leo.”
“Pintu?”
“Ya, pintu yang ada di ruangan tempat kau terjebak. Di pintu itu ada terukir huruf-huruf kuno, dan saat aku mencoba menguraikannya, pintu itu terbuka begitu saja...”
“...Oh ya. Kau benar.”
Itu adalah sesuatu yang juga membuat Leonis merasa penasaran. Pintu yang mengarah ke ruang bawah tanah tempat menyimpan peti mati Raja Undead tertutup rapat untuk mencegah orang luar memasukinya. Selama seribu tahun, pencegah itu memenuhi tujuannya dengan sempurna. Lantas, bagaimana Riselia bisa memecahkannya dengan begitu mudah?
Aku ragu kalau itu disebabkan karena adanya beberapa kekurangan dalam mantranya...
“Mengesampingkan perihal itu, sekarang kita harus segera mencapai permukaan,” seru Riselia.
Dan setelah lima menit lagi mereka mendaki, mereka akhirnya mencapai permukaan. Sekarang kedua orang itu berada di stasiun kereta Central Garden di bangsal administrasi Assault Garden Ketiga.
“Kediaman Crystalia seharusnya tidak jauh dari sini,” kata Riselia.
“M-Mau jalan kaki lagi?” keluh Leonis yang jelas merasa muak.
“Cuman sedikit lagi kok.” Riselia tersenyum lembut dan mengacak-acak rambut Leonis.
---
Gerbang ke rumah Crystalia telah rusak, dan taman yang ada di dalamnya berada dalam kondisi menyedihkan. Pada titik ini, menyebutnya seperti itu adalah kesalahan. Miasma telah menyebabkan semua flora layu dan mati, membuat tempat itu hanya menyisakan tanah kosong yang hancur.
Dengan kerikil yang berderak seiring dengan langkah kakinya, Riselia memasuki tempat itu.
Pertama kalinya pulang ke rumah setelah enam tahun, ya? Leonis mengikuti gadis berambut perak itu tanpa berkata-kata. Biasanya, Riselia akan menyamai kecepatan Leonis ketika dia berjalan, tapi kali ini dia tidak memiliki pikiran untuk melakukan itu. Di balik taman yang hancur itu ada sebuah bangunan besar yang tampaknya adalah mansion.
Mansion itu mengingatkan Leonis pada asrama Hræsvelgr, dalam artian bahwa itu dirancang dengan mengikuti gaya arsitektur kerajaan kuno Londirk. Itulah mungkin yang dianggap sebagai budaya retro di mata bangsawan era ini. Tentunya, mansion itu sangat menonjol jika dibandingkan dengan bangunan-bangunan laminasi yang mengelilinginya.
Setelah berjalan di sepanjang jalan beraspal menuju mansion, mereka mencapai pintu depan.
“Tampaknya kuncinya tidak berfungsi,” Riselia mengamati, kemudian dia menganggukkan kepalanya satu kali. “Hyaahhh!” Dia mengisi tinjunya dengan mana dan meninju pintu itu, membuat pintu tersebut hancur menjadi serpihan.
“Itu terlalu bar-bar, Selia,” tegur Leonis padanya.
Namun, Riselia tidak memedulikan kata-kata Leonis dan bergegas masuk ke dalam mansion. Lapisan tebal debu yang terkumpul menari-nari di udara, membuatnya jadi sedikit terbatuk. Apa yang ada setelah memasuki pintu masuk adalah lobi, dimana di kedua sisinya ada tangga yang menuju ke lantai dua.
“Tampaknya tempat ini relatif tidak tersentuh,” Leonis mengamati tempat itu, menyinari ruangan dengan bola cahaya di ujung tongkatnya.
“Ya. Pada saat Void tiba kala itu, kami telah dievakuasi dari kediaman.”
Kediaman itu tampak hampir sangat sepi. Satu-satunya pemecah kesunyian adalah suara langkah kaki Leonis dan Riselia.
Tidak ada tanda-tanda hantu di sini.
Menurut hantu para Ksatria Crystalia, jiwa-jiwa orang mati yang berkeliaran di sepanjang Central Garden semuanya telah berubah menjadi Void humanoid.
“Aku akan memeriksa bagian dalam mansion. Apa kau mau ikut?” tanya Riselia.
“Akan lebih baik jika aku tetap di luar. Regina dan yang lainnya mungkin akan muncul nanti,” jawab Leonis. Anak lelaki itu tidaklah bodoh. Di saat-saat seperti ini, jelas kalau Riselia pasti ingin menyendiri.
Setelah menyalakan lampu pada perangkat portabel yang dia bawa, Riselia naik ke lantai dua kediaman.
---
Pintu ruang kerja terbuka saat engselnya mengeluarkan deritan yang nyaring. Mengambil napas dalam-dalam, untuk sesaat Riselia berdiri diam di ambang pintu. Ruangan itu tidakklah besar. Dindingnya dilapisi dengan rak-rak yang penuh dengan peralatan sihir kuno dan teks yang digali dari reruntuhan. Enam tahun yang telah berlalu tidak terlalu merubah tempat ini, seolah-olah di tempat ini waktu telah berhenti.
Saat dia masih kecil, Riselia sering menyelinap masuk ke sini untuk membaca. Memikirkannya kembali, gadis itu menyadari bahwa mungkin minatnya untuk menyelidiki reruntuhan kuno telah dipupuk oleh ayahnya.
Dan berkat itu, aku bisa menyelamatkan Leo dari ruang bawah tanah itu.
Menginjak-injak lapisan debu, Riselia berjalan melewati pintu masuk dan masuk ke ruang kerja. Di sana ada meja kerja besar dan kursi. Dia menajamkan matanya, tapi tentu saja, hantu Duke Edward tidak terlihat.
Apakah jiwa ayahnya masih berkeliaran di kota ini? Ataukah dia telah...?
Riselia menggelengkan kepalanya untuk membuang pikiran buruk itu dari benaknya. Dia kemudian melihat sebuah buku tebal terduduk di atas meja. Buku itu memiliki ikatan kulit, tapi tidak ada judulnya.
“...Buku? Apa ini? Tulisan kuno?”
Membersihkan debu dari teks kuno, dia mulai membolak-balik halaman.
Aku belum pernah melihat bahasa ini sebelumnya...
Fokus utama pembelajan Riselia di Akademi Excalibur adalah penyelidikan budaya dan reruntuhan kuno. Dia adalah salah satu murid yang lebih berpengetahuan dalam hal bahasa kuno. Namun, apa pun yang tertulis di buku itu, itu menggunakan sistem yang tidak seperti apa pun yang pernah Riselia lihat. Itu tampak sepenuhnya asing bagi dirinya.
Buku terakhir yang Ayah teliti...
Dengan minatnya yang terusik, Riselia mengambil buku itu.
Ini adalah kenang-kenangan...
Meninggalkan ruangan itu, dia menuju kamar tidur lamanya. Saat itulah...
“Aku penasaran siapa yang masuk tanpa izin di kota ini, tapi bukankah kau adalah gadis kecil yang cantik?”
“...Siapa kau?!” merasakan suatu kehadiran dari belakangnya, Riselia langsung berbalik.
Itu adalah seorang pria muda bertubuh ramping dengan perawakan wajah yang aneh. Pria itu memakai jubah putih yang ketinggalan zaman dan tampak berusia dua puluhan. Dia memiliki senyum bahagia di bibirnya, tapi sesuatu tentang senyuman pria itu membuat Riselia dipenuhi dengan rasa takut yang mengerikan.
Dipenuhi dengan insting bahaya, Riselia langsung melompat.
“Pedang Suci, Aktifkan!”
Pedang Darah terwujud di tangan kanan Riselia. Namun di sisi lain, pria muda itu memperhatikan Riselia dengan penuh minat di matanya.
“Jadi kau adalah Pengguna Pedang Suci Wanita, ya. Aku berharap untuk bisa melanjutkan ini secara rahasia, tetapi kurasa teknologi umat manusia telah maju ke titik di mana kita tidak mesti lagi peduli dengan penampilan.”
“...Siapa kau?” Riselia bertanya lagi. “Apa yang manusia lakukan di sini?”
“...Manusia? Ah, maksudmu aku?” Pria muda itu memberi Riselia senyum mengerikan. “Aku berani mengatakan bahwa itu adalah penghinaan terbesar yang pernah aku dengar.”
“...?!”
“Kau akan mengetahui bahwa aku tidaklah murah hati seperti orang-orang yang memerintahku. Hutang penghinaanmu itu akan dibayar dengan darah.”
Pria berpakaian layaknya pendeta itu mengangkat tangannya, dan heliks api merah meledak dari jari-jarinya.
“Farga!”
---
Leonis pergi ke halaman kediaman dan duduk di salah satu batu taman, kemudian dia memoles-moles tulang naga. Itu adalah salah satu hobi yang dia miliki. Tulang yang dipoles dengan baik akan menambah martabat skeleton saat digunakan. Bagaimanapun juga, sebagai Raja Undead, Leonis secara teratur menggunakan skeleton.
Musuhku tidak akan salah menganggap bahwa prajuritku sama seperti prajurit-prajurit yang digunakan oleh rata-rata necromancer ataupun lich.
Ini adalah sesuatu dari obsesi Leonis. Hal-hal rumit lainnya adalah tulang tampaknya lebih sulit didapat di era ini. Bahkan Leonis tidak yakin apakah naga benar-benar ada di zaman ini.
Mungkin aku memang punya puluhan ribu pasukan yang tertidur di Alam Bayangan, tapi aku masih harus hemat...
“...eo... Apa kau bisa mendengarku, Leo?” Mata Penyihir yang duduk di sebelah Leonis menyala, mengeluarkan suara yang berderak.
“Regina?” jawab Leonis seiring tangannya berhenti memberikan polesan.
“Ah, ya. Sekarang kalian ada di mana?”
“Kami berada di kediaman Crystalia.”
“Hah? Bagaimana kalian bisa sampai di sana secepat ini?” Regina meninggikan suaranya dalam keterkejutan.
“Kami menggunakan jalur kereta bawah tanah untuk langsung menuju ke Central Garden.”
“Tapi rel linier bawah tanah tidak bisa bergerak, kan?”
“Kami membuatnya bergerak,” jawab Leonis dengan singkat, tidak ingin menjelaskan lebih lanjut situasinya. “Nah, cukup tentang itu. Kalian sendiri ada di mana?”
“Kami sedang menuju jembatan penghubung.”
“Begitu ya. Kami akan menunggu kalian di sini.” Mengingat bagaimana Assault Garden Ketiga telah porak poranda, Regina, Elfiné, dan Sakuya akan tiba dalam waktu satu jam.
“Ya. Ngomong-ngomong, di mana Lady Selia?”
“Dia di dalam mansion. Kupikir aku harus memberinya waktu untuk menyendiri.“
“Kau cukup dewasa juga, Nak.” Leonis merasa Regina sedang tersenyum di sisi lain panggilan. “Ah, apa nanti kau ingin melihat kamarku? Aku akan membiarkanmu masuk begitu kami sampai di sana.”
“Ah, tidak perlu...”
“...A-Apa kau tidak mau melihat kamar seorang gadis, Nak?”
“Errm...”
Tapi saat Leonis hendak menjawab Regina...
Booooooooooooooooooooooooom!
Setiap jendela di lantai dua mansion itu meledak dengan suara bergemuruh.
---
Ledakan menderu bergema saat api merah melahap koridor, membuat semua yang api itu sentuh menjadi abu.
“Mungkin aku terlalu berlebihan dalam menghadapi manusia biasa. Bagaimanapun juga, mantra tingkat ketiga itu mampu membunuh raksasa.” Nefakess tersenyum, dengan tidak ada setitik debu pun di jubahnya. “Nah, berapa banyak lagi serangga tak diundang yang harus kusingkirkan...?”
Pria itu berbalik untuk pergi sambil melambai-lambaikan tangannya untuk menghalau asap, tapi saat itu...
“...Hmm?”
Dia sontak berhenti di tempat, dan alisnya berkerut curiga. Di sana, di antara abu yang melayang di udara, ada kerangka berpakaian jubah.
“...Apa...?”
“Hmm, ini cukup membebani tulang-tulangku yang sudah tua,” seru sesosok tulang yang menjulurkan tongkatnya dan membentuk penghalang sihir biru yang bersinar.
Pho Rias, mantra penghalang sihir, itu adalah sihir pertahanan tingkat empat, yang mana sihir setingkat itu hanya dapat digunakan oleh penyihir tingkat tinggi .
“...Skeleton?”
“Ka-ka-ka!” Makhluk undead itu mengeluarkan suara tawa yang menakutkan. “Jangan samakan aku dengan skeleton lain yang pada lemah, brengsek! Karena aku adalah undead tingkat tinggi! Elder Lich!”
“Apa...?!” bisik Nefakes.
Skeleton berjubah itu mengayunkan tongkatnya yang menyala dan menghasilkan lusinan panah mana.
“...Tidak mungkin!” Seru Nefakess saat dia dengan cepat merapalkan mantra pertahanan dan memblokir proyektil yang muncul. “Kenapa di sini ada undead...?!”
“Hmph, sungguh orang bodoh yang kurang ajar. Berani-beraninya dia mencoba mengancam hidup nyonya kita!” seru skeleton lain yang memegang pedang,
“Siapa yang berada di balik semua ini...?!” Nefakes bertanya-tanya, tapi tak lama setelah itu, prajurit ketiga yang terbuat dari tulang menyerangnya dari belakang. Skeleton yang satu ini ini adalah monster raksasa yang membawa bola besi.
“...?!”
“Aku adalah Prajurit Berdarah Dingin, Amilas!”
“Aku adalah Pegulat Neraka, Dorug!”
“Dan aku adalah Archmage Dunia Bawah, Nefisgal!”
Ketiga juara itu melangkah maju sebagai kesatuan.
“““Dan bersama-sama, kami adalah Tiga Juara Rognas yang terkenal!””” teriak mereka dengan serempak sambil masing-masing dari mereka melakukan pose unik.
“A-apa yang terjadi...?!” Mata Nefakess melesat kebingungan. “Apa yang dilakukan makhluk-makhluk ini di sini...? Bagaimana...?!”
Cara mereka membawa diri tidak diragukan lagi tidaklah masuk akal, tapi mereka jauh lebih kuat daripada undead biasa. Nefakess tahu bahwa mereka semua adalah prajurit berpengalaman yang menyaingi para pahlawan. Di belakang ketiga skeleton itu, suatu bayangan berdiri. Rambut keperakannya goyah dalam kobaran api. Nefakess mengira kalau dia telah melenyapkan Pengguna Pedang Suci Wanita itu dengan mantranya, tapi dia salah besar.
“...Terima kasih. Kalian telah menyelamatkanku,” kata gadis itu.
“Tidak perlu berterima kasih, Nyonya!” Nefisgal sang archmage menjawab gadis itu dengan gerakan satu tangan. “Lagipula, kau sangatlah berharga di hati tuan kami! Nah, nyonya, apa kau tahu siapa bajingan ini?”
“...Aku tidak tahu.” Riselia menggelengkan kepalanya saat matanya tertuju pada Nefakess.
“Hmm. Tapi dia terlihat terampil,” kata Amilas sang prajurit. “Di sini lebih baik kau mundur saja, Nona.”
“Tidak, aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu,” kata Nefakess. “Kupikir kau hanyalah cacing yang tidak penting, tapi manusia yang memerintah undead tingkat tinggi seperti ini jarang terjadi. Ku’akui, kau telah menggelitik minatku. Siapa sebenarnya dirimu itu?”
Seketika, sikap Nefakess langsung berubah. Dia mengarahkan jarinya ke arah Riselia dan mulai merapalkan mantra. Udara sontak berderak begitu mendengar kata-katanya.
“Ini adalah mantra tingkat enam—sihir yang lebih kuat dari apa pun yang bisa dicapai oleh manusia biasa.” Bibir tampan Nefakess meringkuk dalam ejekan kejam. “Apa kau bisa memblokir ini?”
“Berlindunglah di belakangku, putri cantik...!” Dorug si pegulat menyerukan itu sebelum dia melompat ke depan.
Pada saat yang sama...
“Selia!”
“...!”
Teriakan seorang anak lelaki memenuhi ruangan itu, dan sesaat setelahnya mantra api keluar dari belakang Riselia. Api kemudian dengan cepat melahap Nefakess.
“...Leo?!” Riselia berbalik ke belakang dan melihat Leonis yang memegang Tongkat Penyegel Dosa.
---
“L-Leo...,” kata Riselia, mata biru esnya membelalak terkejut.
Anak lelaki itu berdiri di ujung koridor. “Syukurlah kau baik-baik saja...” Dia menghela napas dengan lega.
Tampaknya Tiga Juara Rognas telah menjaga Riselia dengan baik.
“Apa yang terjadi? Siapa itu...?” tanya Leonis.
“Aku tidak tahu...” jawab Riselia sambil menggelengkan kepalanya.
Leonis menatap ke arah lorong yang terbakar. Sebelumnya dia telah menembakkan mantra peledak tingkat ketiga, dimana itu adalah sihir yang seharusnya cukup untuk membuat orang biasa menjadi abu.
Sial. Aku lalai dalam menahan diri, caci Leonis pada dirinya sendiri. Ketika ada sesuatu yang terjadi kepada pengikutnya, sang Penguasa Kegelapan ini cenderung akan kehilangan ketenangannya.
“Keh-heh-heh-heh...”
Tawa terdengar dari dalam kobaran api.
“...?!”
“Jadi kau membawa orang lain bersamamu, ya. Mantra yang barusan itu cukup lumayan. Aku akan memujimu untuk itu. “
Suatu sosok berdiri dalam nyala api yang membara. Seorang pria muda yang mengenakan pakaian pendeta kemudian melangkah keluar dari api, menyapu jelaga dari bahunya sambil tersenyum tenang. Melihat pria itu, mata Leonis langsung melebar tak percaya.
Apa?! Bagaimana bisa? Mengapa dia ada disini?!
Namun, pria itu tidak terlalu memperhatikan reaksi Leonis.
“Ah-ha-ha, apa kau terkejut? Ya, kurasa sihir semacam itu adalah sihir yang bisa dikatakan cukup untuk membunuh targetnya.” Salah mengartikan keterkejutan Leonis, Nefakess mengulurkan tangannya di sekitaran kobaran api. “Maaf mengecewakanmu, tapi serangan seperti itu tidak akan bisa membunuhku.”
Dia kemudan merapalkan mantra lain, membentuk bola api yang kuat di jari-jarinya.
Sihir. Seperti yang kuduga. Ini benar-benar dia...
Tepat saat Leonis hendak memberitahu Nefakess untuk menunggu...
Voom!
Lantai tempat mereka berdiri mulai bergetar dengan sendirinya.
“Apa?” “Hah?!” Leonis dan Riselia berseru bersamaan.
Vrrrrrr! Getaran itu menjadi semakin kuat, sangat kuat hingga mengguncang fondasi mansion, membuat Leonis kehilangan keseimbangannya dan tersandung.
“A-apa ini?!” “Ini bencana alam!” “Lindungi nyonya!” para prajurit skeleton itu berteriak panik.
Gempa bumi? Ini tidak mungkin. Kota ini berada di lautan.
Apa ini adalah ulah pria itu? Leonis meletakkan tangannya di dinding untuk menstabilkan dirinya dan melihat ke atas.
“Heh-heh-heh... Heh-heh... Ah-ha-ha-ha-ha, ha-ha-ha!” Pria itu tertawa. Dia merentangkan kedua tangannya saat wajahnya menunjukkan raut gembira.
“...Apanya yang lucu?” tanya Leonis dengan curiga.
Pertanyaan itu sontak membuat tawa gembira pria itu terhenti dengan cepat. “Dia telah bangkit. Jadi tentu saja aku akan bersukacita.”
“...Dia?”
“Ya, dewi yang agung telah bangkit dari wadah Wanita Suci!” Pendeta itu mengalihkan pandangannya ke langit, dengan ekspresi yang masih terpaku dalam kegembiraan yang luar biasa.
“...Dewi? Apa barusan kau mengatakan dewi?” Leonis maju selangkah, menuntut jawaban dari pria itu.
Krak...!
Namun, sebelum dia bisa mendapatkan jawaban, retakan muncul di wajah pria itu.
Krak... Krak... Krak...!
Apa?
Retakan itu semakin meluas di seluruh tubuhnya, seolah-olah...
“...Hmm, kurasa waktunya tepat. Baiklah, kalau begitu...,” orang misterius berpakaian pendeta itu berkata-kata dengan tenang meskipun tubuhnya pecah-pecah. “Aku akui bahwa aku sedikit kecewa karena aku tidak cukup beruntung untuk bisa melihat kebangkitan dewi dengan kedua mataku sendiri, tapi biarlah. Tugasku di sini sudah selesai...”
Krak... Krak... Kraaaaaaak...!
Retakan tebentuk di seluruh tubuh pemuda itu, dan ketiadaaan di antara mereka dengan cepat menguasainya.
“...Tunggu!”
“Diamlah di tempatmu!”
Leonis dan Riselia sama-sama berlari untuk menangkap pria itu, tapi...
“Kalian akan menjadi korban pertama yang dipersembahkan kepada sang dewi.”
Pada saat Riselia dan Leonis telah mencapai pria itu, wujudnya telah menghilang, hanya menyisakan ketiadaan. Namun, hilangnya pendeta itu tidak mengakhiri gempa.
“Siapa dia...? Dewi apa...?” Riselia benar-benar bingung.
“...Aku tidak tahu.” Leonis menggelengkan kepalanya. Secara internal, pikirannya berpacu dengan pemikiran dan keraguan yang kontradiktif.
Apa yang terjadi di sini? Leonis mengenali pria ramping berjubah putih itu. Tidak salah lagi. Dia adalah...
Nefakes Reizaad. Orang kepercayaan Azra-Ael, Iblis Dunia Bawah, salah satu pelayan paling setia Dewi Pemberontak.
Aku pernah melihatnya beberapa kali di Pertemuan Delapan Penguasa Kegelapan. Dia selalu membayangi Azra-Ael, dan tidak sekalipun menginjakkan kakinya di medan perang. Tampaknya dia tidak mengenaliku dalam wujudku saat ini, tapi...
Mengapa orang kepercayaan Penguasa Kegelapan berada di tempat seperti ini, di zaman ini...? Dan jelas kalau tadi dia mengatakan “dewi.” Leonis tenggelam dalam kontemplasi.
“Leo, lihat itu!” Riselia menunjuk ke luar jendela.
Suatu bentuk raksasa mulai muncul dari jantung Central Garden.
Oke. Lanjut👍
ReplyDeleteLanjutkannn
ReplyDelete