Seiken Gakuin no Maken Tsukai Volume 3 - Bab 9

Bab 9
Tujuan Pedang Iblis


“...eo... Leo...!”

Anak laki-laki itu mendengar suara putus asa yang memanggilnya.

“...Ugh... Aah...”

Dalam posisi berbaring telentang, Leonis membuka matanya, dan yang memasuki pandangannya adalah Riselia yang menatap ke bawah padanya, rambut peraknya bersinar dan ada air mata berkilau di mata biru esnya.

Aaah. Kau sangatlah cantik, pengikutku. Terlepas dari situasi yang mengerikan, Leonis mendapati pikirannya dipenuhi oleh pemikiran yang sedikit aneh.

Penguasa Kegelapan itu mencoba untuk bergerak, namun upayanya itu hanya memberinya rasa sakit yang mengerikan yang menembus sisi tubuhnya. Dia gagal menghindari serangan Void Lord sebelumnya, yang membuatnya jatuh tersungkur. Darah menyembur keluar dari lukanya dan menggenang di tanah.

Tubuh manusia begitu lemah dan rapuh... Sungguh, hal ini benar-benar tidak bisa diatasi...

Leoonis mengeluh seiring dia terengah-engah. Dia bisa tahu kalau kekuatan dengan cepat meninggalkan tubuhnya. Ini merupakan sensasi yang sudah lama dia lupakan sejak dia mendapatkan tubuh undead.

“Leo, apa kau baik-baik saja?! Leo...!”

Saat suara Riselia semakin terasa jauh, Leonis mengalihkan pandangannya ke tangan kanannya. Bahkan dengan kesadarannya yang memudar, dia tidak melepaskan Dáinsleif dari tangannya. Dia tidak boleh melepaskan pedang itu, karena itu adalah pedang yang Roselia percayakan kepadanya. Itu adalah kenang-kenangan terbesarnya tentang gadis itu. Bilah Pedang Iblis itu masih berdenyut-denyut dengan cahaya ebon.

Dáinsleif, pedang yang diciptakan oleh Dewi Pemberontak... bereaksi terhadap Void Lord.

Apa artinya itu?

Apa Roselia terlahir kembali sebagai Void Lord?

Leonis melalui stasis magis selama seribu tahun untuk melindungi wadah manusia yang seharusnya direinkarnasi oleh Dewi Pemberontak.

Aku bangkit di dunia ini lagi untuk menepati janjiku padanya.

Leonis telah bersumpah untuk menemukan gadis itu lagi, bahkan di dunia aneh yang begitu terpisah dari dunianya sendiri. Namun demikian, jika Roselia benar-benar terlahir kembali sebagai monster mengerikan itu...

Untuk... Untuk tujuan apa aku...?

Sedikit demi sedikit, Void Lord mendekat, dan saat jaraknya semakin dekat, Pedang Iblis mulai bereaksi lebih kuat.

“...Selia... Lari dari sini...” Leonis membuka bibirnya saat pikirannya menjadi keruh karena kehilangan darah. Jika ada satu hal yang bisa diwujudkan di sini, dia ingin agar Riselia bisa bertahan hidup. Bagaimanapun juga, karena Leonis lah gadis muda itu menjadi pengikutnya. “Berkumpul lah kembali dengan Regina dan yang lainnya... Kemudian pergi dari sini...”

“Leo!” Riselia meneriakkan nama anak lelaki itu.

Dia berlutut di tanah, mencengkeram wujud Leonis yang tak berdaya.

“Apa yang kau...? Ugh...”

Taring kecil Riselia menggigit leher Leonis, membuat rasa sakit yang manis menghujani leher anak lelaki itu.

“Kau kan sudah..., meminum darahku sebelumnya...,” gumam Leonis dengan senyum masam dan lelah.

Tapi kemudian, dia menyadari bahwa... Ini berbeda. Riselia tidak meminum darahnya...

Dia berbagi...darahnya denganku...?

Jantung Leonis berdebar kencang. Dia bisa tahu bahwa darah Riselia mengalir di sekujur tubuhnya. Dadanya menjadi hangat karena tindakan yang diambil oleh pengkutinya yang luar biasa. Akan tetapi...

Sudah terlambat...

Leonis tenggelam ke dalam kegelapan...

---

“...Membantumu?”

Sambil menginjak pedal sekuat yang dia bisa, Elfiné berbalik untuk melihat ke belakang.  Arle Kirlesio kemudian menunjuk ke arah Central Garden di depan mereka.

“Aku harus pergi ke menara tertinggi. Menara yang di sana itu. Tolong, bawa aku ke sana.”

Melihat ke arah di mana Arle menunjuk, Elfiné melihat gedung pencakar langit yang sebagian besar strukturnya masih utuh.

“Lantas, apa yang akan kau lakukan saat kau sudah sampai di sana?” tanya Regina saat dia menembak Void-Void di sepanjang jalan.

“Aku akan mengalahkan monster itu.”

Elfiné dan Regina sontak bertukar pandang dengan cemas.

“Mengalahkan katamu...? Itu adalah Void Lord loh.”

“Aku tahu. Aku datang ke sini untuk membunuh monster itu.” kata Arle seiring mengangkat pedangnya di depan Regina.

“Jadi pedang itu...,” gumam Sakuya sambil menebas Void yang mencoba naik ke kendaraan.

“Ya, ini adalah Pedang Suci yang dibuat untuk menghancurkan makhluk itu.”

Sakuya mengangguk pada Arle.

“Elfiné, kupikir kau harus melakukan apa yang dia katakan.”

“Sakuya...”

“Kita sedang menuju ke Central Garden, dan naik ke sana mungkin akan lebih mudah bagi kita untuk menemukan Selia dan Leo.”

“...Kurasa kau benar.”

“Baiklah. Arle, aku menaruh kepercayaanku pada kekuatan Pedang Suci-mu.”

“...Aku tidak akan mengecewakanmu.” Arle mengangguk tegas dengan senjata-nya yang telah siap.

“Satu-satunya masalah di sini adalah apakah kita bisa sampai di sana atau tidak...,” simpul Regina.

Void terus muncul tanpa henti, seperti saat terjadinya Stampede.

Krak... Krak... Krak...!

Tiba-tiba, celah yang besar muncul di depan kendaraan gadis-gadis itu.

“...Apa?!”

Itu adalah celah raksasa yang mengerdilkan semua celah yang pernah terbentuk sebelumnya.

Suatu sosok raksasa dengan sayap bercahaya keluar dari dalam celah itu.

“...Ini buruk. Itu monster jenis malaikat—!” teriak Arle.

“Gooooooooohhhhhhhhhhhh...!” raksasa itu meraung, mengayunkan tangannya yang seperti batu ke atas kendaraan.

Elfiné memutar setir dengan keras ke satu sisi, tapi itu tidaklah cukup untuk menghindarinya dengan tepat waktu karena tangan dari Void itu terlalu besar.

“...?!”

Sesaat lagi tangan itu akan menghancurkan mereka, dan Elfiné hanya bisa memejamkan matanya. Tapi kemudian...

Whoooosh!

Cambuk berwarna hitam melingkari tangan yang besar itu dan melemparkan Void itu.

Booooooooooooom!

Void raksasa itu terlempar dari jembatan dan masuk ke laut di bawahnya, menciptakan percikan air yang sangat besar.

“A-apa itu?!” seru Regina.

“...Aku tidak tahu. Tapi...,” jawab Elfiné. Ini adalah kesempatan mereka untuk menerobos. Menggunakan kekuatan Mata Penyihir untuk menghilangkan pembatas kecepatan kendaraan, Elfiné menginjak pedal gas.

Saat kendaraan itu melaju, seorang gadis kecil tertinggal di belakang mereka, dia sedang bertengger di salah satu tiang penyangga jembatan. Dia memutar pergelangan tangannya dengan ringan, menarik cambuk bayangannya yang panjang ke tangannya. Matanya yang berwarna senja melihat kendaraan itu pergi dan kemudian menoleh untuk melihat ke dalam air yang ada di bawah.

Permukaan laut meluap, dan Void kelas malaikat naik dari kedalamannya.

“Sepertinya kau adalah mainan yang cukup menyenangkan untuk dimainkan,” kata gadis itu saat dia menggerakkan jari-jarinya ke bibirnya dengan senyum tipis. “Sebagai pelayan yang setia kepada tuannya, aku akan menjadi lawanmu.”

Pelayan umbral dari Alam Bayangan itu menjepit ujung roknya dan membungkuk anggun.

---

“...Leonis... Leonis, dengarkan aku...”

Leonis bisa mendengar suara di kegelapan. Suara itu adalah suara dari seorang gadis, suara yang terdengar dalam kisaran usia muda. Jari-jari yang ramping dari gadis itu dengan lembut membelai rambut Leonis.

“Aku ingin kau berjanji padaku. Di masa depan yang jauh, jika aku berubah dan menjadi sesuatu yang lain...” Gadis itu tersenyum sedih. “Aku ingin kau membunuhku dengan Pedang Iblis itu.”

“...A-apa yang kau katakan?! Aku tidak akan pernah bisa melakukan itu!” seru anak lelaki itu saat dia menggoyangkan tangannya.

“Meskipun aku memintamu untuk melakukannya?”

“Tentu saja! Aku... aku tidak akan pernah bisa...”

Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya, dengan air mata yang menggenang di sudut matanya. Gadis itu kemudian memeluknya dengan lembut.

“Baiklah. Maafkan aku. Lupakan apa yang baru saja kukatan. Tapi...” Dia mendekat untuk berbisik di telinga anak laki-laki itu. “Tapi jika hari itu tiba... aku ingin kau mengingatnya. Keinginanku, serta tujuanmu. Dan kemudian... Tolong temukanlah diriku yang sebenarnya. Aku yakin Pedang Iblis yang kuberikan padamu akan menuntunmu pada takdirmu.”

---

Itu...bukan mimpi. Itu adalah ingatanku...

Leonis merasakan jantungnya berdetak kencang saat dia ditarik kembali ke dunia nyata. Dia mengingat sesuatu yang gadis itu pernah katakan kepadanya pada lebih dari seribu tahun yang lalu. Itu adalah sebuah janji yang telah Leonis lupakan.

Mengapa ingatan itu...?

Mata Leonis terbuka.

“...eo... Leo...?!”

“...Selia...”

Lengan Riselia melingkari kepala Leonis. Itu sama seperti ketika anak lelaki itu pertama kali terbangun di makam agung Necrozoa. Dia masih bisa merasakan rasa sakit yang samar dan manis di lehernya, dan dia bisa merasakan mana mengalir di sekujur tubuhnya. Riselia telah membagikan mana beserta darahnya kepada Loenis.

Begitu ya. Mungkin saja ingatan ini...

Riselia telah berkali-kali mengkonsumsi darah dan mana Leonis. Sisa-sisa dari ingatan itu mungkin telah bercampur dengan darah yang gadis itu ambil darinya. Dan dengan darah itu kembali kepadanya, ingatan itu terbangun. Apakah hal seperti itu mungkin?

Leonis sendiri tidak sepenuhnya yakin dengan itu, tapi itulah satu-satunya penjelasan yang bisa dia dapatkan. Sebuah janji yang dia buat dengan dewi Roselia di masa lalu—sumpah yang dia lupakan.

Tidak... Dia menyegel ingatan itu.

Roselia menyegel ingatan itu sehingga ketika saatnya telah tiba, Leonis akan mengingat tujuannya. Jika reinkarnasi Roselia gagal, dan Roselia berhenti menjadi dirinya sendiri, Leonis harus menghancurkannya dengan senjata yang Roselia berikan kepadanya.

Itu adalah misi yang dia percayakan kepadaku...

Leonis mencengkeram Dáinsleif. Apa Dewi Pemberontak telah meramalkan bahwa Void akan menodai jiwanya yang mulia?

Tapi jika ini adalah tujuanku, untuk akhir seperti apa aku...?

“Leo...” Riselia dengan lembut membelai punggung Leonis saat anak lelaki itu sedang bergumul.

“Aku... membuat janji,” Penguasa Kegelapan menghela napas.

“Ya.” Riselia mengangguk. “Janji apa?”

“Bahwa apa pun yang terjadi, aku akan menemukan dirinya. Dan...”

Pada hari itu, Leonis telah bersumpah bahwa, bahkan jika itu jauh di masa depan, apa pun yang terjadi dia akan menemukan Roselia. Dia akan menemukan diri yang sebenarnya dari Roselia.

...?! Sesuatu menghentak Leonis layaknya dia mendapatkan pencerahan. Dirinya... yang sebenarnya...? Mata anak lelaki itu melebar.

Roselia dengan jelas mengatakan, [Aku ingin kau menemukan diriku yang sebenarnya.]

Leonis melihat pedang Dáinsleif yang berdenyut seiring dengan Void Lord. Suara Roselia, saat dia mengingatnya, muncul di benaknya:

[Aku yakin Pedang Iblis yang kuberikan padamu akan menuntunmu menuju takdirmu.]

Apa artinya itu?

Roselia memberiku senjata ini untuk membunuhnya.

Jika Void Lord itu adalah wadah sesungguhnya untuk jiwa Roselia... Leonis tidak akan pernah bisa menarik pedang itu untuk melawannya. Itu adalah hal yang sudah jelas. Bagaimanapun juga, Roselia adalah master sesungguhnya dari Pedang Iblis.

Aku mengerti. Jadi begitu ya...

Dáinsleif memberi isyarat pada Leonis untuk mengalahkan dewi palsu yang telah jatuh ini—menuntunnya untuk mencari jiwa asli Roselia Ishtaris.

Tugas sebenarnya yang Roselia berikan padaku adalah...

Leonis meraih lengan Riselia dengan satu tangan dan menarik dirinya sendiri untuk berdiri tanpa berkata-kata.

“Leo...?”

“Sekarang aku baik-baik saja, Selia—”

Leonis menggelengkan kepalanya dan menghadapi Void Lord yang mendekat, Dewa Palsu dari Ketiadaan yang menampung jiwa Dewi Pemberontak.

“Ooooh... Oooh... Oooh, oooooooooh...!” Nyanyian Wanita Suci memanggil pasukan kecil Void humanoid. Celah-celah terbentuk di udara, lusinan tangan abu-abu merayap dari celah itu dan menyerang Leonis dan Riselia.

“Saat aku menggunakan Pedang Iblis, pada dasarnya aku tidak memiliki pertahanan. Bisakah kau menjagaku tetap aman?”

“...Ya. Serahkan itu padaku, Leo.” Riselia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Bahkan ketika Void mengelilingi mereka, mata gadis muda itu tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut.

Pengikutku memang hebat. Senyum tak kenal takut muncul di bibir Leonis.

Akan tetapi, terlepas dari kepercayaan diri yang Riselia miliki, dia akan kesulitan menahan Void sebanyak ini sendirian. Leonis kemudian menghunuskan Pedang Iblis-nya ke atas.

“Prajurit setia dari Alam Kematian, berkumpullah sebagai pasukanku!” Dia meninggikan suaranya dengan perintah yang jelas dan nyaring. Bayangan di kakinya melebar, melukis tanah di sekitarnya menjadi hitam.

Rak... Rak, rak, rak... Rak, rak, rak...

Ratusan hingga ribuan pasukan merangkak keluar. Ini adalah salah satu mantra anti-pasukan tingkat delapan milik Leonis—Pasukan Undead. Sayangnya, mantra itu hanya bisa membuat skeleton tingkat rendah yang tidak sepadan untuk melawan Void.

Para prajurit ini hanyalah boneka tulang yang beroperasi di manaku. Namun...

Jika jiwa para pejuang pemberani menggunakan wadah-wadah kosong itu, segala sesuatunya akan menjadi certa yang berbeda. Dan sebagai Raja Undead, Leonis bisa merasakan bahwa jiwa para Ksatria Crystalia masih terperangkap di kota yang hancur ini.

Jiwa-jiwa para pejuang pemberani ini masih ingin bertarung bersama Riselia Crystalia.

Kalau begitu, sebagai Penguasa Kegelapan, aku akan mengabulkan permintaan kalian! Leonis melepaskan kendali atas gerombolan undead. Segera, rongga mata para prajurit menyala dengan cahaya merah. Mereka mulai menggemeretakkan gigi mereka dalam tawa yang terdistorsi, ekspresi kegembiraan mereka sangatlah tak terbatas terhadap kesempatan untuk bisa menggunakan pedang lagi dalam pertempuran.

“Leo, apa ini...?” Riselia melihat skeleton yang berceloteh dengan ekspresi bingung di wajahnya. Jika itu adalah seorang gadis biasa, dia pasti akan pingsan saat melihat adegan seperti itu.

“Jiwa-jiwa para Ksatria Crystalia menempati skeleton-skeleton ini. Selia, pimpin mereka ke pertempuran.”

“Hah? Aku?!”

“Aku mengandalkanmu. Aku ingin kau menahan gerombolan Void selama mungkin.”

“...Baiklah!” Riselia mengangguk, ekspresi terkejutnya sontak berubah menjadi—penuh tekad.

Rambut keperakannya bersinar, dan mata biru esnya berubah merah. Mana menyelimuti tubuhnya, lalu melingkari tubuhnya untuk membentuk gaun merah yang indah. Dia berdiri penuh martabat dengan Pedang Darah di tangannya, suatu citra yang sempurna dari seorang Ratu Vampir. Dengan Pedang Suci-nya terangkat tinggi, dia memberikan perintah, “Ksatria Pemberani dari Keluarga Crystalia! Ikuti aku!”

Pasukan prajurit skeleton itu mendecakkan gigi mereka sebagai tanggapan untuknya.

---

Saat pertempuran antara undead dan Void telah dimulai, bunga merah mekar di medan perang.

“Aaaaaaaaaaaah!”

Riselia menerobos jalannya dengan tebasan, ujung Gaun Leluhur Sejati berkibar-kibar saat dia melangkah maju. Pedang Darah di tangannya mengeluarkan cahaya yang tidak menyenangkan, meninggalkan jejak merah di udara. Darah yang mengalir di tepinya berubah menjadi bilah yang terbang ke segala arah.

Void humanoid adalah jiwa yang tercemar dari mereka yang telah bertarung untuk Assault Garden Ketiga di masa lalu. Namun kebenaran ini tidak membuat Riselia goyah. Pedang Suci-nya akan menghancurkan jiwa mereka, membuat mereka terbebas. Itulah yang mendorong Riselia untuk maju.

Dia terus menebas Void, dan pasukan skeletonnya mengikuti cahaya merah senjatanya. Itu rasannya seperti semua kekuatan di tubuhnya telah dibuka. Kekuatan seperti mengalir dengan sangat deras dari dirinya. Gaun yang Leonis berikan kepadanya melahap mananya dengan cepat, tapi sebagai gantinya hal itu membuat kekuatan Ratu Vampirnya keluar secara paksa.

Ini menghabiskan lebih banyak mana daripada yang kukira.

Kalau pertempuran ini berlangsung lebih lama, hal itu tentunya akan menguras mana Riselia. Saat dia memotong Void satu demi satu, dia melirik ke arah Leonis. Anak lelaki itu berdiri di atas puing-puing, Pedang Iblisnya mengarah ke atas langit. Dan di atas kepala anak lelaki itu, ada bulan hitam kecil yang mulai terbentuk.

Bulan itu... Riselia mengerutkan alisnya dengan curiga. Setiap kali ada skeleton yang dikalahkan dalam pertempuran, berkas cahaya akan keluar dari sisa-sisa tulang mereka dan diserap oleh bola obsidian itu. Masing-masing dari cahaya yang di serap itu kemudian membuat bulan itu menjadi lebih besar.

Apa berkas cahaya itu adalah jiwa para Ksatria Crystalia...?! Saat Riselia menyadari kenyataan yang mengejutkan itu...

“Graaaaaaaaaaah!”

Void menerjangnya sambil mengacungkan cakarnya yang tajam.

“...!”

“Nyonya!”

Bola besi berruncing yang terhubung ke rantai menghantam kepala Void. Skeleton raksasa yang mengenakan armor berat telah melemparkan senjatanya tepat pada waktunya.

“Kau tidak boleh lengah, tuan putri!” tegur Dorug si pegulat.

“Dia benar! Kekuatan Ratu Vampir memang sangat besar, tapi kau tidak boleh terlalu percaya diri.”

“Kami akan bertarung bersamamu!”

Archmage Nefisgal dan pendekar pedang Amilas berdiri di samping Riselia dengan masing-masing dari mereka memegang senjata.

“Terima kasih! Kalian sudah menyelamatkanku...”

Tanpa kehilangan momen, Riselia bergabung kembali dalam pertarungan, gaun merahnya menari-nari tertiup angin. Pedang Darah-nya mengamuk dengan mana, menyapu para Void.

Enam tahun yang lalu, aku tidak bisa melindungi apa pun.

Dulu Riselia hanya bisa meringkuk dan berdoa untuk keselamatan. Namun saat ini, dia memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri dan orang lain, kekuatan dari Pedang Suci yang diberikan planet ini kepadanya, serta kekuatan Ratu Vampir...

Mana gadis berambut perak yang meluap meninggalkan jejak cahaya merah saat dia melalui udara. Void-void kemudian berkumpul di sekelilingnya, seolah-olah mereka tertarik pada cahaya itu.

“...Aaaaaaaaaaaah!” Riselia bergerak untuk memaksa diri keluar dari pengepungan ini. Tapi saat itu...

Bum, bum, bum!

Kilatan cahaya meledak seperti bintang jatuh, menembus kepala Void dengan akurasi yang tepat.

“...?!” Riselia berbalik dengan terkejut, dan melihat...

---

Empat sosok berdiri di atap gedung pencakar langit yang hancur. Regina telah menyiapkan Senapan Naga-nya dan menembak Void dari jauh dengan tembakan mematikan. Dia tidak menggunakan Ledakan Naga yang sangat kuat karena takut itu akan berdampak pada Riselia.

“Aku benar-benar tidak bisa melihat apa-apa dalam kekacauan besar itu. Apa-apaan dengan semua tulang-tulang itu!?” seru Regina.

“Mungkin itu adalah kekuatan Pedang Suci Leo...,” jawab Elfiné sambil mengangkat tangan ke pelipisnya.

Tiga bola Mata Penyihir melayang di sekelilingnya, dimana di sekitar bola-bola itu terdapat aliran angka bercahaya.

Bahkan penembak jitu yang terampil seperti Regina tidak dapat secara akurat mengenai target pada jarak yang begitu jauh hanya dengan menggunakan mata telanjang. Untuk itulah, Pedang Suci Elfiné menghitung lintasan tembakan Regina untuk membantunya.

“Bagaimana?”

“Sedikit lagi...,” jawab Arle Kirlesio.

Dengan salah satu dari Arc Seven—Pedang Pemotong Iblis, Crozax—dipegang di tangannya, Arle mengisi bilah pedangnya dengan mana.

“Mereka mulai memanjat, Elfiné,” Sakuya mengamati situasi, kemudian mengayunkan Raikirimaru untuk mengurangi pasukan Void yang mencoba memanjat dinding.

Namun sayang, terlepas dari upaya yang Sakuya lakukan, jumlah Void itu terlalu banyak. Regina kemudian beralih dari membantu Riselia menjadi membantu Sakuya dalam mencegah serangan Void. Pedang Raikirimaru berderak dengan kilatan listrik saat menebas udara, memenggal kepala monster secara berurutan.

Dengan lolongan mengerikan dan suara benturan logam bergema di sekelilingnya, Arle menutup matanya. Crozax adalah senjata pahlawan, senjata yang dipercayakan kepadanya untuk membunuh sang dewi. Kilauan pedang yang tajam membuat udara di sekitar setengah elf itu menjadi bercahaya putih.

“...Apa itu benar-benar Pedang Suci?!” seru Regina saat dia melindungi matanya.

“Dewi Pemberontak, Roselia Ishtaris! Aku akan menghancurkanmu!”

Melepaskan semua mana di tubuhnya, Arle melepaskan kekuatan Crozax!

---

Kembali ke medan perang, saat pasukan skeleton bentrok dengan monster terdistorsi, Leonis menghadapi Void Lord yang melayang di atasnya. Wanita Suci, Tearis Resurrectia, yang saat ini berisi jiwa Roselia.

Namun, makhluk itu bukanlah Dewi Pemberontak. Dengan Pedang Iblisnya terangkat tinggi, Leonis menengadah ke atas langit. Bulan hitam berkilauan di atas. Itu adalah mantra tingkat ketujuh dari Alam Kematian—Suray Gira, Bulan Biru Kematian. Itu merupakan sihir ritual yang mengumpulkan jiwa-jiwa yang berkeliaran dan mengubah jiwa itu menjadi mana.

Bulan obsidian itu menyerap jiwa para Ksatria Crystalia dan membesar hingga tiga kali dari ukurannya asilinya.

“Wahai Orang-Orang Mati, Biarkan Mana Kalian Menjadi Milik-Ku, Karena Kalian Akan Terbebas Dari Belenggu Yang Mengikat Jiwa Kalian.” Atas perintah Leonis, bulan menyebar menjadi partikel mana yang berkumpul di bilah Pedang Iblis.

 

Wahai Pedang untuk Menyelamatkan Dunia, Dikaruniai oleh Surga.
Wahai Pedang untuk Menghancurkan Dunia, Dibuat untuk Memberontak Melawan Surga.

Pedang Suci, Disucikan oleh Deata.
Pedang Iblis, Diberkati oleh Dewi.

Dáinsleif mengeluarkan cahaya gelap, bilahnya diputari oleh mana dalam jumlah besar. Tapi diwaktu yang sama...

“Goooooooooooohhhhhhhhhhhh!”

Banyak lingkaran sihir terbentuk di atas Void Lord. Itu adalah mantra yang sama yang telah membuat Central Garden menjadi puing-puing yang terbakar hanya dalam beberapa saat, Hukuman Bintang Surgawi.

Sihir itu lagi?! Dan di timing ini?!

Karena dia mesti berkonsentrasi dalam mengendalikan kekuatan Pedang Iblis, Leonis benar-benar tidak memiliki pertahanan. Dia tidak bisa menjaga dirinya sendiri atau merapalkan mantra pelindung seperti yang dia lakukan sebelumnya.

Baiklah, siapakah di antara kita yang akan lebih dulu melakukan serangan...?!

Tapi tiba-tiba, kilatan cahaya ditembakkan dari jauh dan membelah tungku mana Void Lord.

Apa?! Mata Leonis membelalak terkejut.

Berkas cahaya yang kuat membatalkan mantra yang hampir selesai dirapal, menghancurkan lingkaran sihir yang telah terbentuk di langit.

Serangan yang barusan itu... Apa itu Ledakan Naga-nya Regina? Atau apakah Shary yang melakukan itu?

Satu hal yang pasti, ini adalah kesempatan untuk Leonis. Dia kembali fokus pada Dáinsleif, sedang di sisi lain Void Lord mengeluarkan lolongan gemuruh. Serangan yang monster itu terima tampaknya cukup besar, meskipun serangan itu masihlah belum cukup untuk membunuh Wanita Suci.

“Binasalah, Tearis Resurrectia dari Enam Pahlawan, wadah dewa palsu...!” Leonis mengayunkan Dáinsleif ke bawah, memasukkan semua mana yang dia miliki ke dalam serangannya.

Wuuuuussssssh

Cahaya hitam yang meluap dan mengamuk memakan tungku mana, menghancurkannya menjadi berkeping-keping... dan dengan ini, Void Lord raksasa mulai ambruk, runtuh dengan sendirinya layaknya kastil kuno.



close

2 Comments

  1. Alur ceritanya begitu begitu doank selama 3 volume,duh author nya gk ada ide nih.

    ReplyDelete
Previous Post Next Post