Bab 9
Kecerdikan Ojou-sama
Seminggu semenjak aku mulai menghabiskan waktuku bersama Tennoji-san saat sepulang sekolah.
“Selamat pagi.”
Membuka pintu ruang kelas, aku langsung menyapa teman-teman sekelasku. Siswa-siswi di dekatku kemudian tersenyum ramah serta membalas sapaanku, dan dengan perasaan hangat di dadaku atas tanggapan mereka, aku duduk di kursiku.
Akhir-akhir ini..., kupikir meskipun sedikit aku sudah bisa beradaptasi dengan suasana di Akademi Kekaisaran. Dan mungkin, itu karena aku telah belajar tentang etiket dari Tennoji-san. Semakin aku banyak belajar tentang etiket, semakin aku bisa memahami betapa siswa-siswi di akademi ini sangat peduli dengan etiket mereka. Dan semakin aku ingin menanggapi apa yang mereka pedulikan itu, tampkanya itu juga semakin meningkatkan ambisiku untuk lebih banyak belajar lagi.
“Yo, Nishinari.”
“Selamat pagi, Nishinari-kun.”
Taisho dan Asahi-san menghampiriku.
“Ngomong-ngomong, Nishinari, apa akhir-akhir ini kau melakukan sesuatu dengan Tennoji-san?” gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba Taisho menanyaiku seperti itu.
“Fufufu... Ada banyak orang juga loh yang mengatakan kalau mereka melihat kalian berduaan~? Mereka bilang, akhir-akhir ini setiap hari kalian akan ketemuan saat sepulang sekolah.” ucap Asahi-san, tampak sangat tertarik dengan topik ini.
Dalama hal ini aku merasa seperti mereka memiliki asumsi yang salah, jadi aku memutuskan untuk memberikan penjelasan pada mereka.
“Sebenarnya, akhir-akhir ini aku mempelajari etiket dari Tennoji-san.”
“Etiket?”
Terhadap Asahi-san yang bertanya balik seperti itu, aku menganggukkan kepalaku.
“Ya, ini semacam perpanjangan dari sesi belajar kelompok yang pernah kita lakukan sebelumnya.”
“Oh, begitu toh, kupikir kau sedang mengincar reverse gem*.”
[Catatan Penerjemah: Idiom ‘Gyaku Tamanokoshi atau Gyakutama (逆玉の輿)’, yang artinya, ketika seorang pria menikahi wanita kaya, pria itu akan menjadi orang kaya. Simpelnya sih, matre.]
“Sayangnya aku bukan orang yang seperti itu.”
Terhadap Asahi-san yang membuat anggapkan konyol, aku menjawabnya dengan datar.
“Oh, baru saja dibicarakan, orangnya sudah muncul.” kata Taisho, saat dia melihat ke arah pintu ruang kelas.
Saat aku mengikuti arah pandangannya, aku melihat di sana ada Tennoji-san.
Di depan pintu, Tennoji-san menatap ke arah kami—atau lebih tepatnya, ke arahku—dan kemudian memanggilku.
Sambil bertanya-tanya apa urusannya memanggilku, aku pun menghampirinya.
“Selamat pagi, Tennoji-san, ada apa?”
“Selamat pagi. Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”
Mau dia bicarakan?
“Sampai tadi aku melupakannya, tapi kafe yang sering kita datangi biasanya akan tutup karena hari libur mereka, dan hari libur itu adalah hari ini.”
“Oh..., jadi begitu ya.”
Biasanya, saat sepulang sekolah, kami akan mengadakan sesi belajar di kafe yang berada di sebelah kantin akademi. Dan karena kafe itu memiliki menu makanan dari berbagai negara, jadi kafe itu juga sangat berguna untuk dijadikan tempat berlatih etiket meja makan.
“Kalau begitu, kita akan mengadakan sesi belajar di tempat lain..., dan kurasa pembelajaran etiket meja makan kita tunda dulu.”
“Nah, mengenai itu, aku punya satu saran.” Ucap Tennoji-san, dan kemudian dia lanjut berbicara. “Maukah kau datang ke rumahku?”
“...Eh?”
Mendengar saran yang tidak terduga itu, aku sontak memiringkan kepalaku.
“Dalam mempelajari etiket, bagian tersulitnya adalah pembiasaan. Entah segugup apapun dirimu di awal-awal melakukan etiket, setelah terbiasa dengan situasi dan lingkungan, kau akan bisa tenang secara alami. ...Namun, ketenangan itu hanya bisa diperoleh dari membiasakan diri dengan situasi, dan itu tidak bisa diperoleh hanya dari mempelajari etiket saja.”
“Kurasa kau benar.”
“Ya. Itu sebabnya, kupikir akan lebih baik untuk mengubah lokasi secara tertatur agar bisa membuatmu lebih membiasakan diri. Dan karena ini adalah kesempatan yang bagus untuk itu, bagaimana kalau hari ini kita mengadakan sesi belajar di rumahku?”
Tennoji-san memberikanku penjelasan secara logis, dan terhadap saran darinya itu, aku——
◆
“...Itulah yang kami bicarakan tadi. Jadi, bagaimana?”
Istirahat makan siang.
Seperti biasanya, aku bertemu dengan Hinako di gedung sekolah lama, dan aku menceritakan padanya tentang saran yang Tennoji-san ajukan kepadaku.
Aku memang sudah diberitahukan kalau aku bebas dalam menjalin hubungan di akademi ini, tapi tetap saja, aku masihlah pengurusnya Hinako. Kupikir itu logis untuk menanyakan pendapatnya Hinako terlebih dahulu.
“...Mu~”
“Hinako?”
“Muu~~~~~…”
Tidak seperti biasanya, Hinako tampak sedang berpikir dengan serius.
Sejujurnya, menurutku dia tidak perlu sampai berpikir terlalu serius tentang ini, tapi..., dia masih menunjukkan eksrpesi wajah yang rumit sambil menyilangkan tangannya.
“...Itsuki.”
“Apa?”
“........Apa kau akan menginap di sana?”
Entah kenapa, Hinako menanyakan itu dengan takut-takut dan tanpa melakukan kontak mata denganku.
“Tidak, aku akan pulang setelah sesi belajarnya selesai.”
“...Baiklah, kau boleh pergi.”
Sekalipun dia bilang begitu, dia masih menunjukkan ekspresi rumit di wajahnya.
“Itsuki..., apa kau menikmati sesi belajarmu dengan Tennoji-san?”
“Ya. Tennoji-san adalah tipe orang yang bahkan tidak memberikan kompromi sekalipun dia berinteraksi dengan kenalannya, makanya secara alami pun aku jadi bisa mengikuti pembelajaran darinya...”
“...Fu~un.”
Sangat jarang menemukan seseorang yang bisa bersikap tegas pada kenalannya. Biasanya, saat berhadapan dengan seorang kenalan, perasaan “aku tidak ingin dibenci” akan sangat mendominasi diri, tapi Tennoji-san tidaklah seperti itu. Mungkin karena dia memiliki keyakinan yang mutlak pada dirinya sendiri, makanya dia dapat lebih menekankan bagaimana dia akan berperilaku daripada apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya.
Mengesampingkan posisiku saat ini, perilakunya yang bermartabat itu adalah suatu hal yang sangat kukagumi.
Tapi saat aku berpikir seperti itu, kusadari kalau Hinako sedang menarik ujung baju seragamku.
“...Kau adalah pengurusku.”
“Eh?
“Itsuki..., kau adalah pengurusku.”
Dia menatap mataku dengan lugas dari jarak yang dekat.
Aku dibuat kewalahan saat melihat wajahnya yang menawan tampak di depan mataku. Dan meskipun kami tinggal di mansion yang sama, entah mengapa, saat ini aku mencium ada aroma harum yang berbeda dari biasanya datang dari Hinako.
Untuk meredam kewalahanku, aku mulai mengambil napas dengan pelan dan menghembuskannya. Kemudian, aku melihat ke arah kotak bekal makan siang di tanganku.
“Untuk saat ini... berhentilah menaruh sayuran ke dalam kotak bekal makan siangku.”
“...Eh, jadi aku ketahuan, ya.”
Asataga,dia ini benar-benar nyonya yang cerdik dalam membuat pengalihan.
Chembhuru
ReplyDeletekyaa..Hinako
ReplyDeleteMuuu~~~~~
ReplyDeleteNjir gula
ReplyDelete