Bab 18
Perasaan aneh Ojou-sama
“Eh? I-Itsuki..., kau menginap di rumahnya Tennoji-san?”
Sambil menikmati makanan kami di kafe, aku memberi tahu Narika tentang apa-apa saja yang telah terjadi selama sesi belajarku dengan Tennoji-san, membuatnya jadi tampak terkejut.
“Ya, tiba-tiba saja aku jadi harus menginap di rumahnya.”
“I-Itu bukanlah sesuatu yang bisa terjadi secara tiba-tiba, tahu...! A-Aku sudah memikirkan soal ini sejak lama, tapi kok bisa-bisanya sih kau bergaul dengan nama-nama besar seperti Konohana-san dan Tennoji-san?!”
Harusnya, Narika yang merupakan putri dari Keluarga Miyakojima juga termasuk dalam nama-nama besar seperti Hinako dan Tennoji-san. Cuman, dia-nya aja yang merasa kalau dirinya tidak sepantaran dengan kedua orang itu.
“Ngomong-ngomong Nishinari-san, saat kau tinggal di rumahku, ayahku telah mengakui bahwa etiket meja makanmu sudah cukup baik. Itu sebabnya, kupikir hari ini kita akhiri saja latihan etiket meja makan kita.”
“Baiklah.”
Aku pribadi juga sependapat dengan kata-katanya Tennoji-san.
Bisa dibilang, latihan hari ini adalah semacam konfirmasi akhir. Kalau misalnya di sini aku membuat kesalahan dalam etiket meja makanku, maka aku pasti harus mempelajari etiket meja makan lagi... Tapi, mungkin karena aku pernah makan malam dengan Masatsugu-san, jadi aku merasa bahwa aku mendapatkan keberanian untuk menghilangkan rasa gugupku.
“Tapi ngomong-ngomong...”
Saat kami sementara makan, sesekali aku memperhatikan Narika.
Meskipun tidak sebaik etiketnya Tennoji-san, tapi dia juga bisa beretiket saat dia sedang makan. Dia menggunakan pisau dan garpunya dengan mudah dan tidak membuat suara yang tidak perlu saat dia meminum supnya.
“Narika..., rupanya kau hebat juga ya dalam beretiket.”
“K-Kau berpikir kalau aku ini orangnya tolol ya? Sebelumnya ‘kan aku sudah bilang, gini-gini aku adalah putri dari Keluarga Miyakojima.”
Terhadap kata-kataku, wajah Narika langsung berubah menjadi merah padam.
“Pfft...”
Saat itu, kudengar Tennoji-san tertawa.
“Oh, maaf..., hanya saja kulihat kalian berdua sangat bersenang-senang, jadi tawaku kelepasan.”
Mengatakan itu, Tennoji-san menyeka air mata yang berlinang di sudut matanya.
Baiklah, mungkin ini saat yang tepat untuk menanyakan masalah dia yang alami.
Berpikir begitu, aku menatap Tennoji-san dan bertanya kepadanya.
“Erm, Tennoji-san, apa ada masalah yang sedang kau hadapi? Aku sudah menerima banyak sekali kebaikan darimu, jadi kalau kau mau, kau bisa kok kalau mau curhat sedikit kepadaku.”
Saat aku mengatakan itu padanya, ekspresi Tennoji-san menjadi murung. Tapi kemudian, seolah-olah dia telah mengambil keputusan, dia mulai membuka mulutnya sambil menurunkan pandangannya.
“Sebenarnya, orang tuaku sedang mendiskusikan perjodohan untukku.”
Mungkin karena aku tumbuh sebagai orang biasa, jadi aku tidak terbiasa dengan masalah semacam itu. Tapi, melalui situasi yang dihadapi Hinako—atau lebih tepatnya situasi yang dihadapi Keluarga Konohana—kurang lebih aku bisa sedikit mengerti.
Pada dasarnya, perjodohan tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang buruk. Namun, melihat dari fakta bahwa ekspresinya Tennoji-san tampak murung seperti ini, itu artinya...
“Apa kau keberatan kalau kau dijodohkan?”
“Tidak, bukan begitu maksudku.” Sangkal Tennoji-san, bertentangan dengan dugaanku. “Aku adalah putri Keluarga Tennoji, jadi semenjak aku masih kecil aku sudah siap untuk dijodohkan. Hanya saja, karena ini diungkit secara tiba-tiba, jadi aku terkejut..., atau seperti aku merasa gundah dengan situasi seperti ini.”
Sungguh suatu hal yang tidak biasa bagi seorang seperti Tennoji-san akan merasa gundah seperti ini.
“Yah..., meskipun bisa dibilang hal semacma ini sudah menjadi takdir bagi orang-orang seperti kita, tapi tetap saja tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan.” kata Narika, menampilkan ekspresi rumit di wajahnya.
“Apa keluargamu juga sedang membicarakan soal perjodohan untukmu, Narika?”
“Tidak, tapi aku pernah mendengar bahwa nantinya perihal itu pasti akan dibicarakan kepadaku... E-Eh, tunggu dulu, jangan salah paham, oke?! Aku pribadi maunya menikah karena cinta..., j-jadi intinya, aku tidak akan mau kalau aku dijodohkan.”
“B-Begitu ya...”
Aku dibuat bingung saat Narika tiba-tiba memberikan pernyataan yang begitu antusias.
“Selain itu, dalam kasusku, orang tuaku tidak terlalu antusias dengan masalah perjodohan. Dulu aku pernah menanyakan soal itu kepada ayah dan ibuku, tapi mereka langsung mengakhiri topik itu dengan satu kalimat ‘Itu masih terlalu dini untukmu’.”
“...Sepertinya orang tuamu sangat mengerti dirimu, ya.”
“Apa maksudmu?”
Narika tampak bingung, tapi aku mengabaikannya. Karena bagaimanapun juga, saat aku mencoba membayangkan ketika Narika dijodohkan..., aku hanya bisa membayangkan kalau dia akan merasa gugup sepanjang waktu sampai dia tidak akan bertukar sepatah kata apa pun dengan lawan bicaranya.
“Kalau kamu, Nishinari-san..., apa pendapatmu tentang masalah perjodohanku?” tanya Tennoji-san, saat dia menatapku.
Mendengar pertanyaan itu, aku berpikir sejenak, dan kemudian menjawabnya.
“Di keluargaku kami tidak pernah membicarakan soal perjodohan atau semacamnya..., jadi sejujurnya, aku tidak begitu tahu soal masalah ini. Tapi, kalau bagimu perjodohan itu adalah hal yang baik, maka aku akan mendukungmu.”
Aku benar-benar serius dalam mengatakan itu. Lagian, aku telah berhutang banyak pada Tennoji-san, jadi sebisa mungkin aku ingin agar aku bisa membantunya.
“Makasih ya..., berkat kalian, aku jadi merasa lebih baik.” Ucap Tennoji-san, mengangkat pandangannya. “Kalau dipikirkan dengan tenang, menerima perjodohan itu bukan berarti bahwa hubungan yang telah kujalin sampai saat ini akan berubah sepenuhnya... Kupikir, aku mungkin terlalu overthinking yang tidak-tidak.”
Melihat Tennoji-san telah semangat kembali, aku menganggukkan kepalaku kepadanya.
“Aku juga..., aku menikmati waktu yang kuhabiskan bersamamu seperti ini, Tennoji-san. Karenanya, sekalipun nanti perjodohanmu sudah diputuskan, aku ingin agar hubungan kita terus berlanjut.”
“A-Aku juga!” kata Narika, sepemikiran denganku.
Dan dengan begitu, kami menyelesaikan makan malam kami dengan Tennoji-san yang telah kembali bersemangat, kemudian kami berpisah.
---
Setelah berpisah dengan Itsuki dan Narika, Mirei menghampiri mobil Keluarga Tennoji yang telah menunggu di depan akdemi.
“Kerja bagus untuk hari ini, Mirei-ojousama.”
“Ya.”
Pelayan membukakan pintu kursi belakang, dan kemudian Mirei masuk ke dalam mobil.
Lalu, di dalam mobil yang mulai melaju, Mirei melihati pemandangan yang berganti-ganti dan mengingat percakapan baru saja dia lakukan.
Sungguh..., dia benar-benar orang yang tidak berpikir panjang.
Tanpa ada yang memperhatikan, Mirei menghela napas kecil.
Setelah perjodohanku diputuskan nanti, kita tidak akan bisa lagi menghabiskan waktu bersama-sama saat sepulang sekolah seperti hari ini...
Jika Mirei sudah memiliki tunangan, maka dia akan ragu untuk bertemu dengan pria lain selain tunangannya kecuali ada keperluan.
Mungkin acara-acara yang ada di akademi bisa membuat mereka menghabiskan waktu bersama-sama, tapi kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama secara pribadi pasti akan berkurang. Paling tidak, mereka tidak akan bisa bertemu setiap hari seperti yang mereka lakukan akhir-akhir ini.
Tapi..., Nishinari-san rupanya orang yang lebih acuh tak acuh daripada yang kupikirkan... Dia ‘kan harusnya bisa mengatakan sesuatu yang lebih baik daripada yang dia katakan tadi....
Tadi, Itsuki mengatakan bahwa jika Mirei merasa perjodohan itu adalah hal yang baik, maka dia akan mendukungnya. Apa yang dia ucapkan itu mungkin memang terdengar tulus..., tapi dari sudut pandang lain, itu juga bisa disebut acuh tak acuh.
Padahal tempo hari dia mengatakan sesuatu seperti itu kepadaku...
[Kupikir bekerja bersamamu akan terasa menyenangkan, Tennoji-san.] ——Itulah apa yang tempo hari Itsuki katakan kepada Mirei.
Kata-kata itu—bukankah itu artinya dia ingin terus bisa bersama dengan Mirei bahkan setelah mereka lulus dari akademi?
Berpikir sejauh itu, Mirei tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh di dadanya.
“...Ini aneh.”
Mirei telah memutuskan bahwa dia akan hidup untuk Keluarga Tennoji..., dia berpikir bahwa dengan berkontribusi pada Keluarga Tennoji, itu akan menjadi kebahagian terbesar bagi dirinya, tapi... Apa sih sebenarnya perasaan aneh yang kurasakan ini...? Anehnya, Mirei berpikir bahwa dirinya tidak akan merasa bahagia melalui perjodohan ini.
Benih-benih cinta sepertinya mulai tumbuh bung~
ReplyDeleteKalo soal perjodohan dada gue nyesek njir,kaya baca novel NTR😢
ReplyDeleteSama
DeleteNTR itu seru tau Patrick. Jpg
DeleteHarem lah🤬
ReplyDeletePas volume satu fokus utama nya kan hinako,dan volume 2 ini fokus utama nya tennouji 🤔apa nanti pas volume 3 fokus utama nya si narika🤔...
ReplyDeleteHmmm...🧐
Yee tennoji udh jatuh cinta sama itsuki juga, gimana ya reaksinya pas tau kalo itsuki adalah pengurus hinako, jadi gak sabar
ReplyDeleteHm.. Kasian juga si mirei
ReplyDelete