Bab 4 Bagian 1
Pengurus
Demam Hinako berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan.
Menurut Shizune-san, Hinako harusnya sudah akan pulih pada hari Sabtu, tapi demamnya tidak kunjung turun hingga Minggu pagi. Untuk saat ini, diputuskan kalau dia akan menghabiskan hari dengan beristirahat, dan jika besok paginya demamnya sudah mereda, dia akan pergi ke sekolah.
Keeseokan harinya, Senin pagi.
Setelah sembuh dari demamnya, dengan lesu Hinako masuk ke dalam mobil untuk pergi ke akademi.
“Apa kau masih ngantuk?”
“Mm..., aku tidurnya terlalu larut tadi malam.”
Melihat Hinako yang mengantuk di sampingku, aku teringat akan apa yang telah kuputuskan pada hari Jumat.
Sebagai pengurusnya, aku ingin mengurangi beban Hinako sebanyak mungkin. Dan tentunya, sama sekali tidak ada perubahan dalam perasaan itu.
“...Pinjamin lututmu dong.”
“Ya, ya.”
Plak, Hinako meletakkan kepalanya di pangkuanku.
Aku kemudian dengan lembut mengelus kepala Hinako, yang terlihat sangat mengantuk. Kemudian, meskipun dia mengantuk, entah kenapa mata Hinako sedikit membelakak karena terkejut.
“...Itsuki, entah kenapa kau berubah?”
“...Kenapa menurutmu begitu?”
“Aku merasa kau lebih lembut dari biasanya.”
Baguslah jika memang demikian.
Namun, tanpa mengiyakan atau menyangkalnya, aku terus mengelus-ngelus kepalanya.
“Rasanya hangat......”
Dengan Hinako yang tampak merasa lebih nyaman dari biasanya, kami pergi menuju akademi.
Saat itu, ada lirikan yang datang dari kursi penumpang..., itu dari Shizune-san, yang memperhatikan kami dalam diam.
Begitu aku sampai di ruang kelas, aku langsung duduk di kursiku.
Di SMA-ku yang sebelumnya, biasanya ada banyak siswa-siswi yang tampak malas karena ini adalah awal dari hari kerja, namun siswa-siswi di Akademi Kekaisaran tampak penuh energi sejak hari Senin. Mereka pasti memiliki gaya hidup yang teratur.
“Yo, Tomonari!”
“Selamat pagi, Taisho-kun.”
Saat aku menggantungkan tasku di samping mejaku, Taisho memanggilku.
Setelah acara pesta teh tempo hari, aku jadi merasa semakin dekat dengan Taisho. Shizune-san mengatakan padaku untuk jangan bertindak terlalu berlebihan saat di sekolah, namun aku diingatkan bahwa adalah penting untuk memperdalam hubungan pertemanan dengan teman sekelas.
“Selamat pagi, Konohana-san! Pas hari Jumat kemarin ‘kan kau gak masuk tuh, apa yang kau lakukan saat itu?”
“Selamat pagi, Asahi-san. Aku membantu-bantu pekerjaan di rumah ketika hari Jumat lalu.”
“Begitu ya, itu pasti sulit.”
Sambil berbicara dengan Taisho, aku mendengarkan percakapan antara Asahi-san dan Hinako. Sepertinya orang-orang di akademi ini memang sama sekali tidak berpikir bahwa ketidakhadiran Hinako disebabkan oleh kondisi kesehatannya yang memburuk. Tentunya, itu mungkin cara yang tepat untuk melindungi citranya, tapi tetap saja, itu masih menjadi perasaan yang rumit bagiku.
Istirahat Makan Siang.
Seperti biasanya, aku dan Hinako menyelinap keluar dari kelas dan makan siang bersama-sama.
“Hinako, tolong buka mulutmu sedikit lebih lebar.”
“Mm......”
Setelah Hinako membuka mulutnya sedikit lebih lebar, aku kemudian menyuapi bekal makan siangnya. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya, aku sedang memberi makan siang pada Hinako.
......Aku merasa bahwa jarak inilah satu-satunya hal yang tidak pada tempatnya dari interaksi antara keluarga.
Yah, mungkin tidak juga, pas aku masih kecil, orang tuaku biasanya akan menyuapiku.
Pada intinya, jika ada sesuatu yang bisa membuat Hinako merasa nyaman, aku akan melakukannya sebisa mungkin.
“......Mu~”
Melihat ke arah bekal makan siangnya, Hinako mengerang pelan.
“Itsuki..., nih, untukmu.”
Mengatakan itu, Hinako mengarahkan sumpitnya ke mulutku.
Apa yang dia berikan padaku adalah adalah potongan paprika segar.
“...Tidak. Meskipun kau tidak menyukainya, kau harus tetap memakannya.”
“Eh...”
Jika dengan menuruti perintah Hinako akan bisa membuatnya merasa nyaman, maka aku yakin kalau pengurus lain selain aku juga bisa melakukannya. Tapi, bukan itu yang dia butuhkan. Apa yang dibutuhkan oleh Hinako adalah rasa aman layaknya sebuah keluarga. Aku harus memperlakukannya dengan sedemikian rupa sehingga dia mau mempercayakan dirinya kepadaku.
Untuk itu—lebih daripada menghargai keinginan Hinako, aku harus lebih menghargai apa yang baik untuk Hinako.
“Kalau kau sampai tidak mendapatkan cukup nutrisi, kau nanti malah akan merasa tidak enak badan.”
“Muu~..., tidak juga, kalau aku merasa tidak enak badan, aku hanya akan tidur... Malahan, sesuatu seperti itu justru lebih menyenangkan...”
“Jangan bilang begitu lah.”
Aku tidak ingin kalau dia sampai berpikiran seperti itu, jadi kuputuskan untuk melakukan yang terbaik untuk membujuknya.
“Aku..., akan jauh lebih bahagia jika bisa melihatmu sehat dan ceria.”
Saat aku mengatakan itu, Hinako menurunkan pandangannya dan menarik kembali sumpitnya.
“......Aku akan memakannya.”
Dengan ragu-ragu, Hinako memasukkan paprika itu ke dalam mulutnya.
Saat melihat Hinako yang mengerutkan alisnya dan mencoba untuk mengunyah paprika itu, secara naluriah wajahku jadi memerah.
Sepulang sekolah.
Setelah kembali ke mansion bersama Hinako, seperti biasanya, aku mengikuti pelatihan dari Shizune-san.
“Terima kasih untuk makanannya.”
Setelah menghabiskan makan malam di meja di kamarku, aku menyeka mulutku dan meninggalkan meja.
Hari ini, aku mempraktikkan etiket meja makan.
Shizune-san, yang berdiri di sampingku, dengan tenang menilaiku yang mengerahkan semua pengetahuan yang telah ditanamkan oleh dirinya ke dalam diriku, saat aku memakan semua makanan yang disajikan untukku.
“Pergerakanmu masih terkesan canggung..., tapi paling tidak kau sudah memiliki sedikit pengetahuan.”
“Terima kasih banyak.”
“Tapi yah, harus kukatakan bahwa kau masih naif seperti biasanya. Padahal aku sudah berulang kali mengatakan bahwa ketika kau meninggalkan kursi, kau harus lewat dari sisi kiri.”
“Ah..., maaf, aku lupa.”
Saat aku masih duduk tadi, aku masih mengingat itu. Namun, ketika aku sudah selesai makan, aku merasa terlalu rileks dan berakhir meninggalkan kursi melalui sisi kanan.
Sungguh, masih ada banyak hal yang harus kupelajari.
Untuk bisa terus berada di sisi Hinako sebagai pengurusnya, aku harus mempelajari banyak keterampilan.
“...Ngomong-ngomong, apa yang biasanya Hinako lakukan ketika waktu makan malam?”
Tiba-tiba, aku teringat akan sesuatu yang selalu kupenasari, dan menanyakan itu pada Shizune-san.
“Aku biasanya akan makan sambil diajari etiket di kamarku, tapi di saat seperti itu, Hinako ada di mana..., dengan siapa dia makan?”
“Ojou-sama makan malam di ruang makan mansion.” jawab Shizune-san, langsung ke intinya.
“...Apa dia makan sendirian saja?”
“Ya. Tentunya ada pelayan yang menemaninya, tapi hanya Ojou-sama saja yang makan.”
Mungkin mengerti apa yang ingin kutanyakan, Shizune-san menambahkan seperti itu.
“Erm..., kalau begitu, bolehkah jika mulai sekarang aku makan malam bersama Hinako?
“Tidak boleh.” Saat aku bertanya begitu, aku langsung tidak diperbolehkan. “Kau masih belum selesai mempelajari etiket, Itsuki-san. Aku akan mempertimbangkannya setelah kau sudah bisa menguasai etiket.”
“......Aku mengerti.”
Jika dengan mengusai etiket akan bisa membuatku berada di sisi Hinako, maka aku harus berusaha lebih keras lagi.
“Dan juga, Itsuki-san. Mulai besok pagi, tolong bangunkan Ojou-sama.”
“Eh..., aku yang membangunkannya?”
“Seperti yang pernah kubilang pada hari pertamamu bekerja, pekerjaanmu akan meningkat selangkah demi selangkah. Pada akhirnya, pengurus adalah posisi yang akan mengurus Ojou-sama sejak dia bangun hingga dia pergi tidur.”
“......Aku mengerti.”
Mendengar itu dari Shizune-san, aku mengangguk.
Keesokan paginya.
Pagi hari di Keluarga Konohana itu lebih awal.
Saat aku bangun pukul 6 pagi, aku langsung membasuh wajahku, berganti pakaian ke seragam Akademi Kekaisaran, dan keluar dari kamar.
Begitu aku keluar dari kamarku, pertama-tama, aku melakukan pembersihan sederhana. Dengan hati-hati, aku memberishkan kotoran di depan pintu, koridor, dan di dekat tangga, lalu meletakkan peralatan pembersih yang kugunakan di tengah lantai pertama.
Tamu pada dasarnya jarang memasuki ruang tamu para pelayan, tapi jika ruangan ini kotor, debu dan semacamnya mungkin dapat menempel pada seragam para pelayan. Akan sangat tidak sopan apabila pelayan berdiri di depan tamu dengan mengenakan pakaian yang kotor, jadi mereka disuruh untuk membersihkan ruangan itu secara menyeluruh.
Tugas bersih-bersih dilakukan secara bergiliran, dan hari ini adalah giliranku. Dan jika itu bukan giliranku, maka aku akan bisa tidur sedikit lebih lama.
Pukul 7 pagi. Para pelayan akan berkumpul di ruang makan untuk sarapan dan memulai rapat pagi.
Di ruang makan itu, ada sekitaran 30 pelayan yang berkumpul. Ngomong-ngmong, pelayan yang bertugas di malam hari dan pelayan yang sedang dapat jatah hari libur tidak akan berpartisipasi dalam rapat tersebut.
“Hari ini tidak ada perubahan dalam jadwal. Ayo selesaikan pekerjaan sesuai jadwal.”
Para pelayan kemudian menjawab “ya” terhadap kata-kata Shizune-san.
Aku mengetahuinya setelah aku aku mulai bekerja di Keluarga Konohana, tapi tampaknya Shizune-san adalah kepala pelayan (maid), posisi terbesar diantara para pelayan wanita (maid) di Keluarga Konohana. Para pelayan keluarga Konohana berpusat di sekitar kepala pelayan wanita (maid) dan kepala pelayan laki-laki (butler).
Pukul 7:30.
Para pelayan menyelesaikan sarapan mereka dan segera pindah ke tempat mereka bekerja.
Aku juga demikian, dan menuju ke kamar Hinako.
“Selamat pagi, Itsuki-san.”
Dalam perjalanan ke kamar Hinako, salah satu pelayan (maid) menyapaku.
“Selamat pagi.”
“Aku tahu kalau itu sulit untuk bekerja sebagai pengurus, tapi tetaplah lakukan yang terbaik.”
“Ya, terima kasih.”
Wanita yang menyemangatiku itu kemudian berbalik dengan gerakan santai.
“...Sedikit demi sedikit, aku mulai diterima di mansion ini.”
Sudah seminggu sejak aku mulai bekerja sebagai pengurus. Dan yah, wajahku sudah dikenal oleh para pelayan yang bekerja di rumah ini.
Ketika aku sampai di depan kamar Hinako, aku berhenti dulu disana, dan merenung sejenak sebelum mengetuk pintu.
“...Aku hanya harus membangunkannya dengan normal, kan?”
Kalau aku memikirkannya dengan tenang, aku tidak pernah membangunkan seorang gadis. Namun demikian, Shizune-san adalah orang tidak akan pernah memberikan intruksi secara sembrangan. Aku yakin kalau aku yang diberi pekerjaan ini karena dia menilai bahwa aku yang sekarang bisa melakukannya.
“Permisi.”
Setelah mengetuk pintu, aku memasuki kamar Hinako.
Normalmya pelayan bisa masuk ke kamar tuannya tanpa harus mengetuk pintu lebih dulu, tapi di dalam Keluarga Konohana, pelayan baru diharuskan untuk mengetuk pintu. Dengan adanya perkembangan peralatan rumah tangga seperti PC, pentingnya privasi telah meningkat, sehingga perlu untuk secara fleksibel mengubah aturan konvensional.
Saat aku memasuki kamar Hinako, kulihat dia masih tidur dengan nyenyak di atas ranjang yang berkanopi.
“Hinako, bangun, sudah pagi.”
“Mmm..., entaran aja, 3 jam lagi.”
Buset dah, selang waktunya gak main-main. Kalau cuman tiga menit, mungkin aku bisa membiarkannya, tapi tidak mungkin aku bisa menunggu selama tiga jam.
“Kalau kau tidak segera bangun, kau akan terlambat pergi ke akademi.”
“...Yaudah, aku mau terlambat aja.”
“Tidak boleh.”
Lagian kalau dia sampai melakukan itu, semua akting yang dia lakukan akan sia-sia.
Jika citra publik Hinako jadi hancur karena aku, aku mungkin akan dipecat sebagai pengurusnya. Jika sudah seperti itu, aku tidak akan bisa untuk berada di sisi Hinako lagi.
“Duh, bangun cepat.”
Menyebarkan tirai anti tembus pandang ke kiri dan ke kanan, cahaya matahari yang menyilaukan menyinari kamar itu.
“Muu~...”
Mengusap-ngusap kelopak matanya dengan punggung tangannya, Hinako kemudian mengankat bagian atas tubuhnya.
“E-Eh..., Itsu~ki...?”
“Selamat pagi.”
Saat aku menyapanya, Hinako terlihat linglung sejenak..., dan kemudian dia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang lagi.
Lah, kenapa dia malah tidur lagi?
“...Bangunin,” kata Hinako, sambil mengangkat tangannya ke atas.
Apa dia ingin aku menariknya bangun? ...Terhadap Hinako yang bertingkah manja seperti itu, aku hanya bisa tersenyum masam.
“Ya, ya.”
Aku kemudian menarik tangan Hinako, mengangkat tubuhnya.
Saat aku melakukan itu, dia dengan lembut memeluk bagian atas tubuhku dan tersenyum.
“Selamat pagi..., Itsuki.”
“Ya, selamat pagi.”
Setelah bertukar salam pagi lagi, aku mengambil seragam perempuan yang digantung di hanger.
“Seragammu kutaruh di sini. Aku akan menunggu di luar pintu saat kau ganti pakaian.”
“...Bantuin.”
“...Hah?”
“Bantuin aku..., mengganti pakaianku.”
Mengatakan itu, Hinako kemudian merentangkan tangannya ke depan.
“Tidak, mana bisa aku melakukan itu...”
“Ce~pe~tan...”
Tugasku adalah membangunkan Hinako dan membawanya ke ruang makan. Dan apakah itu..., termasuk membantunya berganti pakaian?
Sambil berpikir seperti itu, dengan perlahan aku mulai membuka kancing piyamanya Hinako.
Pada saat itu, aku bisa melihat kulit Hinako melalui celah piyamanya.
“......”
Aku benar-benar dibuat kewalahan saat melihat pemandangan yang luar biasa itu.
Namun di sisi lain, Hinako menutup kelopak matanya tanpa pertahanan dan mempercayakan dirinya padaku.
“Tenang..., aku harus tenang.”
Sambil mengatakan itu pada diriku sendiri, aku membantu Hinako mengganti pakaiannya.
Saat aku akhirnya membuka semua kancing piyamanya, aku bisa melihat pakaian dalamnya yang berwarna pink. Aku kemudian menyipitkan mataku sesipit-sipitnya, lalu membuatnya mengenakan seragamnya.
...Hinako..., dia tidak melihatku dalam pandangan yang seperti itu.
Aku yakin..., Hinako ingin mencari kehangatan sebuah keluarga yang bisa dipercaya dari diriku.
Untuk memenuhi keinginannya itu, aku harus menyingkirkan pemikiran-pemikiran yang tidak perlu.
Saat aku berpikir seperti itu——
“Itsuki-san, apa kau ada di dalam?”
“Iya~a?!”
Dari luar kamar, terdengar suaranya Shizune-san.
Aku sangat terkejut akan dia yang tiba-tiba memanggilku, jadinya aku menjawab dengan nada suara yang sangat aneh.
“Aku lupa memberitahumu kalau Ojou-sama sering mengigau dan mengatakan hal-hal yang aneh. Misalnya, dia terkadang akan mengatakan sesuatu seperti menggantikan pakaiannya..., tapi tidak mungkin ‘kan seorang pria sepertimu akan menganggap serius kata-katanya itu?”
Lah, aku malah menganggapnya dengan sangat serius!
Duh, apa yang harus kulakukan sekarang?
Haruskah aku meminta maaf? Dengan begitu, mungkin aku masih bisa terselamatkan..., tidak, itu sudah terlambat. Jika Shizune-san melihatku di situasi seperti ini, hidupku sebagai seorang pria akan berakhir.
“T-Tentu saja! T-Tidak mungkin aku akan menganggapnya dengan serius!”
“Yah, kurasa memang begitu. Maafkan aku. Kau ini memang bukan monyet yang penuh dengan nafsu... Dalam beberapa hari terakhir ini, aku telah mengerti bahwa kau adalah pria yang memiliki kepribadian lugas. Seperti Ojou-sama, aku juga mempercayaimu, Itsuki-san.”
Sakit, sakit, sakit... Kepercayaannya itu sungguh menyakitkan.
Shizune-san, kenapa kau justru memujiku di saat-saat seperti ini?
“Erm..., Hinako.”
“A~pa...?”
“...Bolehkah aku memintamu untuk tidak bilang pada Shizune-san kalau hari ini aku membantumu berganti pakaian?”
Saat aku bertanya sambil berkeringat dingin, Hinako tampak berpikir sejenak dan kemudian menjawabku.
“...Jika kau mau, kau bisa loh menjadikan ini sebagai bagian dari rutinitas harianmu.”
“Eh?”
“Mulai sekarang, mohon bantuannya ya setiap pagi...”
Tolong Ampunilah Hambamu Ini.
Dalam hatiku, aku menangis dengan keras.
---
Di ruang kelas Akademi Kekaisaran yang saat ini aku sudah cukup terbiasa dengan suasananya.
“Ujian tengah semester?”
Duduk di kursiku, aku menanyakan itu pada Taisho.
“Ya, ‘kan kau baru-baru saja pindah ke akademi ini, jadi untuk berjaga-jaga, kupikir lebih baik aku memberitahukanmu kalau ujian tengah semester akan dimulai minggu depan.”
“Minggu depan, ya..., meskipun itu hanya ujian tengah semester, itu diadakan cukup awal.”
“Begitulah. Bagaimanapun juga akademi ini memiliki upacara pembukaan yang lebih awal dibandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya.”
Kurang lebih aku paham maksudnya Taisho. Aku belum mendengar apapun tentang ini dari Shizune-san, tapi yah..., pada dasarnya aku setiap hari melakukan persiapan dan pengulasan materi. Meskipun aku baru akan mendengar tentang ini sehari sebelum ujian itu diadakan, apa yang akan kulakukan pada dasarnya masih sama.
“Ngomong-ngomong, ini soal dari ujian yang sebelumnya. Biasanya, sebelum ujian dimulai, pihak akademi akan membagikan ini di depan ruang guru. Kalau kau memerlukannya juga, kupikir lebih baik kau pergi untuk mengambilnya, Tomonari.”
Mengatakan itu, Taisho menunjukkan padaku setumpuk kertas.
Saat aku melihat isi soalnya..., aku langsung keringat dingin.
Gawat nih.
Kebanyakan dari soal-soal itu adalah soal-soal yang aku tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Meskpun aku menerima bimbingan dari Shizune-san, apa minggu depan nanti aku akan bisa mengerjakan soal ujian yang diberikan?
Yah, bukan berarti kalau sampai saat ini kerjaanku hanya mengendur saja, tapi meski begitu, aku merasakan perasaan krisis yang luar biasa.
Istirahat makan siang.
Seperti biasanya, aku dan Hinako sedang makan siang bareng.
“Itsuki, selanjutnya aku mau makan yang itu,” kata Hinako, saat dia melihat ke arah kotak bekal makan siangnya.
Namun aku tidak menanggapinya, dan terus menutup mulutku saat aku berkelana dalam pikiranku.
“......Itsuki?”
“Mm.... oh, maaf. Kau mau makan hamburger, kan?”
Menggunakan sumpitnya, aku mengambil steak hamburger yang terbuat dari daging sapi hitam Jepang dan membawanya ke mulut Hinako.
Itshukwii..., khwau kwhnpwa?”
“...Telan dulu makananmu sebelum kau berbicara.”
Kalau seperti itu, aku tidak akan bisa mengerti apa yang dia katakan.
Hinako kemudian menelan makanan di mulutnya, lalu dia membuka mulutnya lagi.
“Itsuki..., kau kenapa?”
Tampaknya Hinako memperhatikan kalau aku bertingkah aneh.
Setelah menghela napas singkat, aku kemudian menjawabnya.
“Yah, ini bukan masalah besar sih, hanya saja..., tampaknya ujian tengah semester minggu depan akan jauh lebih sulit dari yang kupikirkan. Jadinya, aku merasa sedikit tertekan.”
Sebenarnya, ini adalah masalah yang sangat besar. Bagaimanapun juga, jika aku sampai mendapatkan nilai yang buruk, aku mungkin akan dipecat sebagai pengurusnya Hinako.
IPS, Ekonomi, dan Bahasa Inggris adalah mapel dimana kau dapat membuat nilai yang kau raih menjadi sedikt lebih tinggi hanya dengan melakukan hafalan. Namun sayangnya..., aku tidak bisa melakukan apapun pada mapel yang tidak terlalu berpatokan pada hafalan.
“Haruskah aku mengajarimu...?”
“...Eh?”
“Gini-gini aku adalah murid terbaik di angkatan kita loh,” katanya, dengan penuh kebanggan sambil membusungkan dadanya.
“Oh iya, kau biasanya mengajari teman-teman di kelas tentang mapel yang mereka tidak kuasai, bukan?”
“Mm... kemampuanku ini sudah terbuktikkan. Do~ya?” katanya, dan lagi-lagi menunjukkan ekspresi yang penuh rasa kebanggan.
Aku yang mengetahui kepribadian asli Hinako tidak benar-benar memikirkan tentang ini, tapi dia ini adalah murid yang paling berbakat di Akademi Kekasiaran.
Namun, aku sedikit kesulitan untuk menjawabnya. Aku melakukan yang terbaik untuk bisa menjadi orang yang dapat dipercayai oleh Hinako, tapi..., aku ragu, apakah aku harus meminta bantuan dari dirinya.
“Bolehkah aku memintamu mengajariku?”
“Tentu, serahkan saja padaku...”
Kemudian, aku menyuapi Hinako yang sedang dalam suasana hati yang baik beberapa hidangan dari bekal makan siangku sebagai ungkapan terima kasih,
Setelah selesai makan, aku kembali ke ruang kelas dan duduk di kursiku.
Ketika aku merasa lega mengetahui bahwa aku memiliki prospek yang baik untuk bersiap-siap menghadapi ujian yang akan datang, Taisho dan Asahi-san mendekatiku.
“Tomonari-kun, tadi aku sempat mendengar tentang ini, tampaknya kau cemas tentang ujian tengah semester nanti, ya?” tanya Asahi-san.
Tampaknya, Taisho memberitahukan perihal itu kepadanya.
“Iya... Untuk itu, sebagai referensi untukku, apa kalian memiliki ide tentang bagaimana cara belajar yang baik untuk menghadapi ujian?”
“Menurutku sih tidak ada cara yang baik atau semacamnya perihal itu. Tapi jika aku harus menjawabnya, maka aku akan menjawab bahwa kau perlu menghabiskan lebih banyak waktumu untuk belajar daripada yang biasanya..., yah, kira-kira begitulah.”
“Jawabanku juga sama dengan Asahi. Yah, intinya sih melakukan persiapan maupun pengulasan.”
Setelah pulang sekolah, siswa-siswi di Akademi Kekaisaran biasanya akan melakukan pembelajaran mandiri. Itu sebabnya, aku yakin mereka dapat menghadapi ujian tanpa harus melakukan sesuatu yang berbeda dari biasanya.
“Ngomong-ngomong, Tomonari-kun, bagaimana kau akan belajar saat kau masih berada di sekolahmu yang sebelumnya?”
“Hmm..., kadang-kadang aku akan SKS. Selain itu...., kurasa aku akan melakukan belajar kelompok dengan teman-temanku.”
“Belajar kelompok?” tanya Asahi-san, sambil memiringkan kepalanya.
“Maksudku, beberapa orang akan berkumpul untuk belajar bersama-sama. Di saat ada orang yang belajar bersamamu, itu akan membuatmu jadi lebih semangat lagi belajarnya, dan bahkan kalian akan bisa saling bekerja sama dengan mengajari apa yang kalian kuasai dan meminta diajari materi yang tidak kalian kuasai.”
Tapi yah, meskipun aku bilang bekerja sama, ada banyak kasus di mana itu akan berakhir dengan terus mengobrol dan malah tidak jadi belajar.
“Bagaimana kalau kita mencoba melakukan itu?”
“Eh?”
Saat aku merasa bingung, dengan gembira Asahi-san mengatakan niatnya di sampingku.
“Ayo kita lakukan belajar kelompok itu, kedengarannya menarik!”
Untuk suatu alasan, mata Taisho dan Asahi-san tampak berbinar.
“Untuk anggotanya, bagaimana kalau orang-orang yang sama seperti yang hadir di pesta teh kemarin. Saat itu ada banyak orang yang memiliki nilai yang tinggi-tinggi.”
“Kedengarannya bagus tuh! Oke, aku akan segera mengajak mereka!”
Aku yang mengemukakan topik belajar kelompok itu hanya untuk sekadar dijadikan bahan obrolan, tapi tau-tau saja, mereka berdua menjadi sangat antusias tentang itu.
Hanya saja..., gimana nih?
Aku berencana meminta Hinako untuk mengajariku belajar supaya aku bisa menghadapi ujian, tapi....
“Tomonari-kun, kapan kau punya waktu luang?”
“Erm, tapi kan aku belum memutuskan apakah aku akan berpartisipasi atau tidak...”
“Eh! Kau tidak berpartisipasi, Tomonari-kun!? Bukannya kau sendiri yang mengemukakan ide itu?!”
“Itu benar! Karena kau yang mengungkitnya, maka kau juga harus berpartisipasi!”
Rasanya sulit sekali untuk menolak mereka.
Tapi yah..., kurasa aku bisa meminta Hinako untuk mengajariku di sesi belajar kelompok itu.
“...Baiklah.”
Sepulang sekolah.
Setelah menyelesaikan latihan rutinku, aku memberitahukan Shizune-san mengenai sesi belajar kelompok yang akan diadakan.
“Belajar kelompok?”
“Ya. Aku berpikir untuk mengadakan sesi belajar kelompok dengan anggota yang sama seperti pesta teh sebelumnya sebagai persiapan untuk menghadapi ujian yang akan datang.”
“Ini masih belum lama semenjak pesta teh sebelumnya..., tapi apa itu memang berarti untuk melakukan sesi belajar kelompok?” tanya Shizune-san, sambil menatapku dengan tajam.
“Karena ini adalah persiapan untuk menghadapi ujian, jadi kupikir akan bagus untuk diajari oleh orang-orang yang sudah mengikuti ujian dari Akademi Kekaisaran berkali-kali.”
Namun, jika memang itu masalahnya, pada dasarnya yang harus kulakukan adalah belajar dari Hinako. Itu sebabnya, mengapa itu penting untuk belajar kelompok dengan anggota yang sama seperti di acara pesta teh tempo hari? Aku punya jawaban yang bagus untuk itu.
“Selain itu, ini adalah keegoisan pribadiku, tapi..., semua orang yang kutemui di pesta teh lalu adalah orang-orang yang dapat diandalkan. Asahi-san, Taisho, Tennoji-san, dan Narika, hubungan pribadiku dengan mereka sangatlah berhaga, dan aku juga ingin menghargai mereka.”
Karenanya, jika boleh, aku ingin belajar bersama mereka.
Saat aku menyiratkan hal tersebut, Shizune-san menganggukkan kepalanya.
“Baiklah. Sebenarnya mulai besok aku juga berencana untuk menerepakan kurikulum sebagai persiapan untukmu menghadapi ujian yang akan datang, tapi kalau sudah begini, aku akan menyesuaikan jadwalnya.”
Shizune-san mengatakan itu dengan jelas, yang membuatku sontak melebarkan kelopak mataku.
“Maaf ya. Padahal kau telah mempersiapnya banyak hal untukku.”
“Kau tidak perlu khawatir tentang itu, lagipula aku ini hanyalah orang luar. Seperti yang kau katakan sebelumnya, aku yakin kalau belajar dengan sesama siswa yang terlibat akan jauh lebih baik.”
Namun demikian, jika memang Shizune-san sudah mempersiapkannya, aka sia-sia jika tidak dimanfaatkan. Yah, bersamaan dengan sesi belajar kelompok itu, kupikir aku juga harus menyelesaikan persiapan ujian yang telah Shizune-san siapkan untukku.
“Baiklah, pelatihanmu hari ini sudah selesai. Dan karena Ojou-sama sedang menunggumu, jadi silakan pergi ke kamarnya secepat mungkin.”
Dengan begitu, setelah berterima kasih pada Shizune-san, aku langsung meninggalkan dojo.
Sepulang sekolah, seorang pengurus memiliki jadwal yang cukup padat. Setelah melakukan persiapan dan pengulasan materi, aku akan diberi pelajaran etiket saat makan malam, kemudian belajar lagi sebentar, dan terakhir akan diberikan pelatihan bela diri. Setelah semua itu selesai, aku akan pergi ke kamar Hinako untuk mandi bersamanya.
Jadwal ini awalnya agak berat untukku, tapi lama-kelamaan aku jadi mulai terbiasa.
“...Oh, ada yang kelupaan...,”
Teringat akan sesuatu, aku pergi ke kamarku lebih dulu. Setelah mendapatkan apa yang aku lupa, aku menuju ke kamar Hinako lagi.
“Muu~...”
Dan sekarang, aku bergabung dengan Hinako yang sudah ada di kamar mandi, dan kemudian mencucikan rambutnya. Sementara itu, sedari tadi Hinako terus-terusan mengeluarkan erangan yang terdengar kesal.
“...Apa kau masih marah?”
“Padahal harusnya aku yang mengajarimu, tapi... Muu~...”
“Erm, aku memang salah karena sudah memutuskannya seorang diri, tapi itu bukan berarti aku akan kehilangan sesi belajarku denganmu...”
“...Apa aku saja tidak cukup baik untukmu?”
“Tidak, bukan itu masalahnya, tapi...”
Tampaknnya kalau seperti ini aku tidak bisa memperbaiki suasana hatinya. Itu sebabnya, aku segera membilas sampo dari rambutnya dan berdiri.
“...Tunggu di sini bentar ya.”
Mengatakan itu, aku pergi ke ruang ganti dan mengambil sesuatu yang telah kupersiapkan sebelumnya.
“Ingat, rahasiakan tentang ini dari Shizune-san, oke!” Kataku, saat aku mengeluarkan sesuatu dari kantong pendingin dan menyerahkannya pada Hinako.
“......Apa ini?”
“Itu es krim. Sebelum mobil datang menjemputku, aku membelinya secara diam-diam.”
Karena pengaturan cerita yang dibuat adalah aku dan Hinako tinggal di rumah yang berbeda, ketika pulang sekolah aku harus pergi ke titik pertemuan dan kemudian akan dijemput di sana menggunakan mobil yang sama dengan Hinako. Dan tadi, secara diam-diam aku membeli es krim beserta kantong pendinginnya sebelum aku sampai di titik pertemuan, dan kemudian aku menyembunyikannya di tasku untuk dibawa pulang. Saat aku pergi ke akademi, Shizune-san akan memberiku sejumah uang saku, jadi dengan uang itu, aku membeli es krim tersebut.
“Hinako, apa kau pernah makan es krim sambil berendam di bak mandi?”
“Tidak, tapi...”
“Rasanya enak sekali loh!”
Aku juga membeli es krim untuk diriku sendiri, jadi aku mencobanya lebih dulu. Kemudian, Hinako meniruku dan memakan es krimnya sambil berendam di bak mandi.
“Enak...! Enak...! Enak~...!!”
“Ya ‘kan?”
Dengan mata yang berbinar, Hinako merasa terkesan. Melihat ekspresi bahagianya itu, secara tak sadar aku tersenyum kepadanya.
Tampaknya aku berhasil memperbaiki suasana hatinya.
Sejak awal, esk krim ini kusiapkan untuk membuat Hinako jadi merasa rileks.
Tugasku sebagai pengurusnya adalah memastikan bahwa Hinako tidak harus sering-sering pingsan . Jika sampai saat ini dia sering sekali pingsan..., maka aku yakin, dari dulu niat yang seperti kulakukan saat ini tidak pernah berhasil terhadapnya. Itu sebabnya, kupikir aku harus mencoba berbagai hal dengan caraku sendiri. Bagaimanapun juga, akumulasi kebahagian seperti ini itu penting, dan dengan pemikiran seperti itulah, aku mempersiapkan semua ini..., dan syukurnya, itu bisa membuatnya berada dalam suasana hati yang baik.
“Ah......” seru Hinako, saat potongan es krimnya jatuh ke lantai.
Karena lantai yang ada di kamar mandi suhunya hangat, potongan es itu dengan cepat jadi cair..., tapi, Hinako dengan cepat mengambil cairan es itu dengan telapak tangannya.
“Aturan tiga detik.”
Mendengar Hinako yang mengatakan itu dengan santai, sontak aku mengerutkan keningku.
“Eh, itu kan udah kena air sabun..., udah, jangan dimakan deh,”
“...Tapi, aturan tiga detiknya....”
Kalau kasusnya begini, aturan itu tidak berlaku.
Kemudian, dengan sedih, Hinako meletkkan cairan es itu kembali ke lantai.
“Biar kuingatkan, jangan sampai menerapkan aturan tiga detik ini di depan umum, oke?”
“Mm..., aku akan berhati-hati.”
Jawabannya terasa ambigu, jadinya aku tidak yakin apakah dia benar-benar mendengarkanku atau tidak.
“Itsuki..., kapan sesi belajar kelompok itu di adakan?”
“Waktunya masih belum ditentukan sih, tapi menurutku lebih cepat akan lebih baik. Mungkin, besok atau lusa...”
“......Aku juga akan bergabung.”
Dari alur percakapan ini, aku sudah menduga kalau dia akan mengatakan itu. Tapi, tidak seperti saat acara pesta teh, saat ini aku merasa ragu-ragu untuk membiarkannya bergabung dalam sesi belajar kelompok itu.
“Sampai sekarang aku memang belum sempat menanyakan ini padamu..., tapi, mungkinkah alasan kenapa kau sakit sebelumnya adalah karena kau menghadiri pesta teh?” Dengan perasaan bersalah, aku melanjutkan perkataanku. “Kalau memang begitu, kupikir sesi belajar kelompok ini akan menjadi beban untuk tubuhmu. Itu sebabnya, akan lebih baik jika kau kembali ke mansion lebih dulu.”
“Hmm......” Terhadap kata-kataku, Hinako mulai merenung, dan kemudian, “Tapi seperti itu juga tidak terlalu baik untukku.”
Dia hanya mengatakan itu dalam beberapa patah kata, tapi aku bisa memahami pemikiran Hinako.
“......Begitu ya.”
Tentunya, semuanya akan lebih mudah bagi Hinako jika dirinya bisa menghabiskan waktu seorang diri tanpa harus muncul di depan publik. Namun demikian, sesuatu seperti itu tidak selalu membawa kebahagian bagi dirinya.
Jujur saja, aku pribadi ingin agar Hinako berinteraksi sebanyak mungkin dengan orang lain. Mempertimbangkan Narika dan Tennoji-san sebagai contoh, kupikir akan lebih baik jika dia memiliki beberapa teman untuk dirinya.
“Selain itu, aku yang sekarang..., tidak ingin jika kau tidak berada di sisiku,” kata Hinako, yang kutanggapi dengan senyum masam.
“Baiklah, kalau begitu kita akan pergi bersama-sama nanti.”
“Mm.”
---
Sepulang sekolah.
“Erm......” erangku, saat aku melihat wajah siswa-siswi yang berkumpul di sekitar meja bundar. “Oke, kalau begitu, ayo kita mulai sesi belajar kelompok ini.”
“Yay!!”
Orang yang meneriakkan sorakan kebahagian itu adalah Asahi-san. Nah, menilai dari suasananya, ini tidak bisa disebut sebagai sesi belajar kelompok. Tapi yah, kurasa lebih baik aku tidak mengatakan itu, jadi kuputuskan untuk tutup mulut saja.
Begitu kami pulang sekolah, kami segera mengunjungi kafe yang sebelumnya kami gunakan sebagai tempat untuk mengadakan pesa teh. Orang-orang yang hadir juga sama seperti sebelumnya, termasuk aku, Asahi-san, Taisho, Hinako, Narika dan Tennoji-san.
“Tapi tetap saja..., ini sungguh wajah-wajah yang kuar biasa. Memiliki peringkat satu dan peringkat dua di akademi ini untuk bergabung dalam sesi belajar kelompok ini, sungguh orang-orang yang dapat diandalkan.”
Terhadap perkataan Taisho, aku menanyakan sesuatu.
“Setauku peringkat satunya adalah Konohana-san, tapi siapa peringkat keduanya...?”
“...Aku yang peringkat kedua.”
Tennoji-san, yang duduk di sebelah kananku, menjawab pertanyaanku dengan nada yang kesal. Seperti biasanya, persaingan antara Tennoji-san dan Hinako masih membara. Sambil merasa canggung, aku meminta maaf padanya dengan suara yang hanya dia yang bisa mendengarnya.
“Kau sendiri juga memiliki nilai yang bagus ‘kan, Asahi?”
“Begitulah~, aku juga cukup yakin kalau Miyakojima-san pun memiliki nilai yang bagus, kan?”
“Eh!?”
Menerima pertanyaan dari Asahi-san, Narika sontak melebarkan kelopak matanya.
“A-Aku cuman pandai di pelajaran PJOK dan Sejarah saja... “
“Sejarah?”
“Y-Ya. Bagaimanapun juga, keluarga Miyakojima adalah keluarga yang menghormati semangat Bushido. Itulah sebabnya, sejak aku masih kecil, aku sudah banyak diajari tentang sejarah,” kata Narika, seolah dia kesulitan untuk mengatakannya.
[Catatan Penerjemah: Semangat Bushido adalah semangat hidup yang terinspirasi dari para ksatria Jepang. Bushi sendiri artinya ‘Ksatria’ dan Do artinya ‘Jalan’.]
“Tapi, di mapel-mapel lainnya...., kebanyakan nilaiku merah.”
Seketika, tempat itu menjadi sunyi, dan Narika menunduk karena malu.
Tidak seperti Hinako yang berspesialisasi baik dalam hal akademis maupun olahraga, Narika hanya berspesialisasi dalam olahraga.
“Erm, apa yang harus kukatakan..., maafkan aku.”
“...T-Tidak, tidak apa-apa kok, jangan khawatirkan itu,” kata Narika, dengan ekrpresi menyedihkan.
Karena berbagai kesalahpahaman tentang dirinya, Narika jadi ditakuti, namun karena itu juga, ada banyak hal yang terlewatkan dari dirinya yang tidak diketahui. Selama acara pesta teh sebelumnya, Asahi-san dan Taisho memandang Narika dengan hormat, tapi sekarang, mereka menatapnya dengan tatapan yang lebih akrab.
“Ini..., tampaknya kita harus benar-benar serius dalam mengadakan sesi belajar kelompok ini,” dengan wajah sulit, Tennoji-san mengatakan itu saat dia menatapku. “Tomonari-san, apa kau punya ide tentang bagaimana kita harus melanjutkan belajar kelompok ini?”
“Tidak juga..., pada dasarnya kita hanya harus berkumpul dan belajar bersama, jadi...”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita dibagi menjadi sisi yang mengajar dan diajari? Dengan demikian, belajar kelompok ini akan menjadi efisien... Aku, Konohana-san, dan Asahi-san akan berada di sisi pengajar.”
Dengan kata lain, tiga orang sisanya; aku, Taisho, dan Narika akan menjadi orang yang diajari.
“Nah, Tomonari-san, mapel apa saja yang tidak terlalu kau kuasai?”
“Pada dasarnya mapel-mapel yang tidak berpatokan pada hafalan...., terutama Matematika, itu sangat sulit.” kataku, jujur mengungkapkan mapel yang tidak kukuasai.
Kemudian, Hinako, yang duduk di sebelah kiriku, menunjukkan reaksi.
“Kalau begitu, jika kau tidak keberatan, biar aku—”
“――Kalau begitu, aku akan membantumu belajar, Tomonari-san. Aku ini pandai loh dalam mapel Matematika.”
Hinako terdengar seperti dia mengatakan sesuatu, tapi suara melengking dari Tennoji-san menenggelamkan suaranya.
Seketika, senyum Hinako langsung membeku.
“Kalau begitu, haruskah aku mengajarimu, Miyakojima-san? Aku memang tidak memiliki mapel yang kukuasai, tapi aku juga tidak memiliki mapel yang aku buruk di dalamnya, jadi kupikir aku bisa membantumu hingga mencapai nilai rata-rata.”
“M-Mohon bimbingannya!” Jawab Narika, dengan suara yang agak keras.
“K-kalau begitu, aku akan diajari oleh..., Konohana-san...?”
“...Ya. Mohon kerja samanya, Taisho-kun.”
“Y-Ya, aku juga, mohon bimbingannya!”
Meskipun terlihat kalau Taisho merasa gugup, tapi jelas kalau dia pasti merasa senang.
Di sisi lain, Hinako menampilkan senyum lembut—sambil menginjak kakiku dengan kuat.
Buset, sakit banget...
Kalau dipikir-pikir lagi, sejak kemarin Hinako ingin mengajariku belajar. Aku yakin, itulah yang menjadi penyebab dia berada dalam suasana hati yang buruk karena aku justru diajari oleh Tennoji-san, bukan dia.
Tapi ‘kan, ini tidak seperti aku dan Hinako tidak bisa belajar bersama saat kami pulang di mansion nanti... Ampun dah, sakit banget, jangat menekan tumitmu dengan sekuat tenaga di kakiku.
“Baiklah, ayo kita mulai sekarang juga.”
Atas kata-kata Tennoji-san, kami pun mulai belajar.
Dua jam setelah kami mulai belajar kelompok.
Di SMA-ku yang sebelumnya, saat aku bersama teman-temanku mengadakan sesi belajar kelompok, hanya dalam 30 menit setelah dimulainya belajar, suasananya akan berubah menjadi obrolan penuh. Tapi, siswa-siswi di Akademi Kekaisaran tetap diam dan fokus pada pelajaran mereka. Nah, mungkin ini salah satu alasan mengapa orang-orang mengatakan kalau siswa-siswi di sini itu memiliki lingkungan tumbuh dewasa yang berbeda dari yang lainnya. Dan yah, ini adalah situasi yang baik untukku, karena aku benar-benar merasa terancam oleh ujian yang akan datang ini.
“Apa kau baik-baik saja, Miyakojima-san? Haruskah kita istirahat sebentar?”
“Y-Ya..., ayo istirahat dulu. Sejujurnya, kepalaku benar-benar merasa pusing sekarang...,” kata Narika, dengan suara yang pelan saat dia memegangi kepalanya.
“Ayo kita juga istirahat sebentar, Taisho-kun.”
“Eh, y-ya!”
Masih merasa gugup, Taisho menjawab usulan Hinako dengan suara yang melengking.
“Bagaima kalau kita beristirahat juga?”
Tennoji-san, yang mengajariku mapel Matematika, memberikan usulan tersebut. Namun, tanpa mengalihkan pandanganku dari buku catatanku, aku menjawabnya...,
“...Tidak, tolong ajari aku sebentar lagi.”
Berkat Tennoji-san, aku jadi bisa memahami bagian-bagian yang sampai sebelumnya tidak bisa kupahami. Pada dasarnya, aku ini adalah orang yang sebisa mungkin tidak ingin terlalu banyak belajar, meski begitu, di saat aku merasakan pertumbuhanku saat ini, aku merasa kalau..., ini menyenangkan. Aku ingin melanjutkan belajarku sedikit lebih lama lagi.
“...Kau ini serius sekali, ya, Tomonari-kun?” Tiba-tiba, Asahi-san mengatakan itu saat dia menatapku. “Oh, tidak, ini tidak seperti aku sedang mengejakumu. Maksudku, ini lebih seperti kau gigih sekali.”
“Dia benar. Aku suka kau memiliki kegigihan yang sangat tinggi.” Sela Tennoji-san, setuju dengan perkataan Asahi-san. “Sesi belajar kelompok ini juga diusulkan oleh dirimu kan Tomonari-san? Nah, kau itu tidak memiliki kepercayaan diri untuk berada di posisi yang ada di atas orang lain, namun demikian..., di sisi lain, kau tampaknya sangat pandai dalam mendukung dan memotivasi orang lain.”
Aku memang tidak berada di posisi yang ada di atas orang lain, jadi aku hanya mendengarkannya begitu saja..., cuman, aku sedikit terkejut saat mendengar pujian di bagian akhir perkataannya.
“Hmm, ada apa dengan tatapanmu itu?”
“Tidak, hanya saja tadi itu benar-benar pujian yang langsung diutarakan begitu saja, jadi yah, aku merasa senang, tapi aku juga agak terkejut...”
“Oh, bagaimanapun juga aku ini seorang yang baik dalam menilai karakter seseorang. Dan asal tahu saja, aku sendirilah yang memilih semua pelayanku,” kata Tennoji-san, dengan penuh kebanggaan.
“Pelayan-pelayanmu itu orang-orangnya tampak kuat-kuat, bukan, Tennoji-san?”
“Begitulah, lagipula saat aku sedang tidak berada di rumah, pelayanku harus bisa mengawalku. Dan saat aku ada di rumah, aku akan memiliki pelayan yang lain di sisiku.”
Para pelayan di Keluarga Konohana pada dasarnya dipekerjakan oleh Kagen-san, tapi tampa di Keluarga Tennoji, putri mereka, Tennoji-san, memiliki hak untuk memilih sendiri pelayannya.
“Itu artinya, di mata Tennoji-san, Tomonari-kun adalah pemuda yang menjanjikan di masa depan, kan?”
“Begitulah. Meskipun menurutku agak kasar untuk memandang teman seangkatanku sebagai pelayan, tapi..., jika dia mau, kupikir dia cukup menjanjikan untuk direkrut.”
“Wuis, kondisinya tidak buruk loh jika kau menjadi pelayannya Keluarga Tennoji~..., kau mungkin bisa mempertimbangkan ini, Tomonari-kun!” Kata Asahi-san, dengan ekspersi yang gembira.
Tapi kemudian, saat itu, tatapan yang dipenuhi dengan niat membunuh diarahkan kepadaku. Itu berasal dari Hinako dan Narika, yang memolotiku dengan tajam.
“...Y-Yah, aku tidak punya niatan untuk melakukan itu, jadi...”
“Begitu ya, itu disayangkan.”
Tentunya, Tennoji-san hanya bercanda tentang ini, jadi terlpas dari kata-katanya, dia tidak benar-benar merasa begitu kecewa.
“Nah sekarang, kupikir kita juga harus beristirahat. Lagipula, ada batasan pada kemampuan kita untuk berkonsentrasi, dan dengan beristirahat, kita akan bisa berpikir dengan lebih baik lagi.”
“...Kau benar, oke, ayo istirahat.”
Yah, bagaimanapun juga, aku berencana untuk belajar lagi setelah aku kembali ke mansion. Jadi, aku harus melakukan penyesuaian agar aku tidak berakhir menggunakan semua energiku di sini.
“Hm, kau mau ke mana, Tomonari?”
“Oh, karena sekarang kita lagi istirahat, jadi aku ingin merilekskan tubuhku dengan berjalan-jalan sebentar.”
Mengatakan itu pada Taisho, aku pun meninggalkan kafe.
Aku ingin melakukan peregangan untuk menyegarkan diri, tapi aku merasa tidak nyaman untuk melakukannya di tempat yang mencolok. Itu sebabnya, aku pergi ke bagian belakang gedung sekolah yang kurang ramai dikunjungi.
Bagian belakang gedung sekolah yang biasanya tidak dilihat oleh orang-orang dibersihkan dengan baik. Aku mulai meregangkan tubuhku dengan perlahan, sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus.
“...Aku ini sungguh diberkati, kan?”
Hinako, Narika, Taisho, Asahi-san, Tennoji-san. ... Mereka semua adalah teman-teman yang baik dan dapat diandalkan. Di SMA lamaku, aku memang memiliki teman, tapi hubunganku di akademi ini juga tidak terlalu buruk.
Awalnya, aku berpikir bahwa pekerjan menjadi pengurus ini akan sulit dan berat, tapi tau-tau, saat ini aku justru merasa nyaman dengan situasinya. Tentunya, aku memiliki keinginan untuk terus mendukung Hinako, tapi aku juga benar-benar ingin menjaga hubunganku saat ini.
Baiklah, ayo terus belajar dengan giat.
Saat aku mengambil keputusan seperti itu di dalam hatiku, tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki dari belakangku.
“Tomonari-san.”
Mendengar namaku dipanggil, sontak aku langsung berbalik ke belakang..., dan di sana, ada Tennoji-san.
“Eh? Apa kau juga sedang jalan-jalan, Tennoji-san?”
“Ya, aku juga ingin sedikit merilekskan tubuhku.”
“Jadi gitu toh,” jawabku padanya.
“—Yah, yang tadi itu cuman dalih,” kata Tennoji-san. “Aku punya sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, Tomonari-san.”
“Sesuatu yang ingin kau tanyakan? Apa itu?”
Aku tidak tahu apa maksud sebenarnya dari perkataannya, jadi aku bertanya, dan Tennoji-san pun membuka mulutnya.
“Tomonari-san, apa kau benar-benar putra pewaris dari perusahaan menengah?”
Pertanyaan itu menyentak jantungku.
Perasaan rileksku hilang, dan keringat dingin sontak bercucuran di seluruh tubuhku.
Apa aku ketahuan?
Mengapa? Bagaimana bisa? Apa ada informasi yang tidak sengaja bocor?
Tidak, aku harus tenang.
Aku menekan kegelisahanku dan mencoba untuk terlihat setenang mungkin.
“...Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”
Aku tidak bisa melihat maksud dari pertanyaannya Tennoji-san. Apa dia telah tahu dan yakin bahwa identitasku ini dipalsukan? Jika demikian, maka saat ini sudah terlambat bagiku untuk melakukan apapun.
“Itu karena etiket mejamu,” kata Tennoji-san, langsung pada intinya.
“...Apa maksudmu etiketku itu buruk?”
“Tidak juga, tentunya aku tidak bisa mengatakan itu bagus, tapi pada dasarnya itu sudah cukup. Namun, di mataku, etiketmu itu seperti..., sesuatu yang baru-baru ini kau pelajari,” kata Tennoji-san, menatap dengan jeli ke arahku.
“Aku merasa ada semacam ketidaksesuaian dengan setiap gerakanmu. Sikapmu itu..., tampak seperti kau hanya berakting, seolah-olah kau hanya sekadar menjejalkan pengetahuanmu ke dalamnya. Paling tidak, sebagai seorang pewaris perusahaan, gerakanmu itu bukanlah gerakan dari seseorang yang telah diajari etiket sejak usia dini.”
Sebelumnya, Tennoji-san sempat mengatakan bahwa dirinya itu cukup baik dalam menilai karakter seseorang. Dan karena apa yang dia nyatakan itu adalah apa yang bahkan Shizune-san tidak beritahukan padaku, jadi sudah pasti aku juga tidak bisa menyadairnya.
“Tidak, bukan berarti di sini aku ingin menyudutkanmu atau semacamnya.”
Saat aku tetap diam, Tennoji-san mengatakan itu dengan nada yang sedikit lebih tenang.
“Aku cuman sedikit penasaran saja. Kau adalah murid pindahan, jadi jika dipikirkan dari sudut pandang itu, akan masuk akal jika sebelum kau pindah ke sini kau tidak mempelajari sesuatu yang namanya etiket. Hanya saja..., kupikir kau melakukannya dengan terlalu mencolok.”
“...Terlalu mencolok?”
“Maksudku, hanya pengetahuanmu yang luar biasa yang tampil di depan. Dalam beberapa terakhir ini, kau pasti telah melakukan banyak sekali upaya untuk itu, kan?”
Perkataannya memiliki kesan seperti dia sedang bertanya, tapi menilai dari sikapnya, Tennoji-san jelas merasa yakin akan perkataannya itu.
“Mengapa kau sampai melakukan banyak sekali upaya seperti itu, Tomonari-san? Sebagai hasil dari pertanyaan itu, aku berpikir bahwasannya mungkin saja ada alasan terkait dengan statusmu itu... Tentunya, jika kau tidak ingin membicarakannya, maka aku juga tidak akan membahasnya lebih jauh.”
Dia tidak ingin mengorek-ngorek informasiku. Aku berterima kasih atas pengertiaannya itu, tapi pada saat yang sama aku memiliki keraguan.
“...Tidakkah..., menurutmu itu mencurigakan?” Tanyaku dengan takut-takut, yang dijawab dengan senyum lembut oleh Tennoji-san.
“Siswa yang mencurigakan tidak akan bisa menghadiri akademi ini. Aku yakin kalau Tomonari-san juga menjalani pemeriksaan latar belakang dari pihak akademi saat kau pindah ke sini.”
Kalau dipikir-pikir lagi, sebelumnya Narika juga mengatakan bahwa akan ada pemeriksaan latar belakang saat seseorang memasuki Akademi Kekaisaran ini.
Tapi masalahnya, mengapa Tennoji membicarakan topik seperti ini?
“...Aku yang menanyakan ini hanya karena aku penasaran, itu saja,” kata Tennoji-san, seolah-olah dia bisa membaca pikiranku.
“Mungkin saja, dirimu juga......”
Dengan suara yang pelan, Tennoji-san menggumamkan sesuatu.
Karena tidak bisa mendengar perkataannya itu, aku memiringkan kepalaku, dan Tennoji-san menatapku seolah dia telah mendapatkan kembali ketenangannya.
“Tidak, bukan apa-apa...., ayo segera kembali ke kafe.”
“......Kau benar.”
Saat aku kembali ke kafe bersama Tennoji-san, di sana, Asahi-san dan yang lainnya sedang ayik mengobrol dengan riang.
“Kelihatannya cerita kalian seru sekali ya,” seru Tennoji-san, saat dia duduk di kurisnya.
“Oh, Tennoji-san. Kami lagi membicarakan tentang pesta teh yang akan diselenggarakan oleh Keluarganya Konohana-san.”
“Pesta teh? ...Oh, apa maksudmu adalah pertemuan sosial yang diselenggarkan oleh Keluarga Konohana setiap musim semi?”
“Seperti yang diharapkan, kau pasti tahu tentang itu ya, Tennoji-san.”
“Ya, bagaimanapun juga itu adalah acara yang terkenal. Kalau tidak salah, itu akan diadakan seminggu setelah ujian tengah semester berakhir... Kudengar-dengar, ini adalah acara sosial dengan banyak orang-orang ternama yang akan hadir.”
Sepertinya, akan ada pertemuan sosial yang akan diselenggarakan oleh Keluarga Konoha. Aku sama sekali tidak tahu tentang itu.
“Apa kau pernah berpartisipasi di dalamnya, Tennoji-san?”
“Ayahku sudah beberapa kali berpartisipasi, tapi aku tidak pernah. Bagaimanapun juga, pertemuan sosial itu diperuntukkan bagi orang dewasa, dan selain itu..., Keluarga Tennoji dan Keluarga Konohana memiliki hubungan yang cukup rumit.”
“Aa......”
Mengerang seperti itu, Asahi-san menebak kondisi pikiran Tennoji-san.
“Yah, bukan berarti itu dalam pengertian yang buruk. Hanya saja, gagasan naluriahku tidak cocok, jadi sampai sekarang aku tidak pernah berpartisipasi.”
Mencegah suasana di sini jadi memburuk, Tennoji-san dengan sigap mengatakan itu dengan cara yang bermartabat.
Sebagai orang biasa, aku tidak begitu mengerti tentang gagasan naluriah yang dia bicarakan itu, tapi selain aku, yang lainnya entah bagaimana terlihat bisa mengerti.
“Bagaimana denganmu Miyakojima-san? Apa kau pernah berpartisipasi?”
“T-Tidak, aku sih menerima undangannya, tapi..., aku tidak mahir dalam bersosialisasi...”
Terhadap pertanyaan dari Asahi-san, Narika menjawabnya dengan terbata-bata.
“Seperti dugaanku, keluarganya Tennoji-san dan Miyakojima-san mendapatkan undangan itu ya... Itu pasti menyenangkan sekali. Jika itu adalah pertemuan sosial yang diselenggarakan oleh Keluarga Konohana, mereka pasti akan mengadakan dansa, kan? Aku sangat suka memakai gaun, jadi jika ada pertemuan sosial seperti itu, maka aku ingin sekali berpartsipasi secara aktif,” kata Asahi-san, dengan perasaan yang terkesan iri.
Mendengar itu, Hinako tersenyum lembut, dan kemudian——
“Asahi-san, kalau kau mau, aku bisa loh mengirimimu undangan?”
“Eh, beneran?”
“Ya, seperti yang Tennoji-san bilang, acara ini memang dianggap sebagai pertemuan sosial orang dewasa, tapi penyelenggara tidak memiliki niat seperti itu, itulah sebabnya, silakan berpartisipasi dalam acara tersebut. Kami juga akan mengadakan pesta dansa, dan tentunya, akan ada beberapa peserta lainnya yang sebaya.”
“G-Gimana, ya... Aku jadi sedikit gugup ketika aku diberi tahu kalau aku dapat berpartisipasi. Tapi, mungkin ini adalah kesempatan yang berharga..., j-jadi, bisakah aku mendapatkan undangan itu?”
“Ya, aku akan mengaturnya agar undangan itu sampai padamu dalam tiga hari.”
“Baiklah... Kalau begitu begitu aku akan menjadi antusias dan modis pada hari itu! Terima kasih banyak, Konohana-san!”
“Ya, sama-sama.”
Dengan mudah, Hinako berjanji untuk mengundang Asahi-san.
Melihat itu, aku bertanya pada Hinako secara pelan-pelan melalui bisikkan.
“...Apa itu tidak apa-apa kalau kau memutuskannya sendiri?”
“Mm.... Pertemuan sosial ini adalah bentuk perwujudan kewibawaan Keluarga Konohana, karenanya, aku diberi tahu kalau-kalau aku memiliki kesempan untuk mengundang seseorang, maka aku harus mengundangnya... Yah, sampai barusan aku belum pernah ada melakukannya sih.”
Lah, jadi ini baru pertama kalinya kau melakukannya?
Tapi yah, semua siswa-siswi di Akademi Kekaisaran adalah anak-anak dari keluarga kaya. Itulah sebanya, tidak ada ruginya bagi Keluarga Konohana untuk mengundang mereka.
“K-Konohana-san, bisakah aku juga berpartisipasi dalam acara tersebut?”
“Ya, nanti aku juga mengirimkan undangannya padamu, Taisho-kun.”
Mendengar itu, Taisho sontak menunjukkan kegembiraannya.
“...Tampaknya ini juga memiliki semacam hubungan.” Gumam Tennoji-san, dan dia melanjutkan perkataannya. “Konohana-san, kali ini aku juga akan berpartisipasi.... Kita telah berkumpul di satu meja yang sama di pesta teh dan sesi belajar kelompok seperti ini, dan dengan demikian, kupikir aku bisa menanggapi undangan itu sebagai temanmu, bukan sebagai putri dari Keluarga Tennoji.”
Setelah Tennoji-san mengatakan itu sambil tersenyum....,
“Maukah kau juga berpartisipasi dengan kami, Tomonari-san?”
“Eh, aku...”
Saat aku ditanyai seperti itu oleh Tennoji-san, aku melirik ke arah Hinako.
Menanggapi lirikanku, Hinako tersenyum lembut. Sebagai pengurusnya, aku telah pergi ke akademi bersamanya seperti ini. Jadi, kupikir aku harusnya diizinkan untuk berpartipasi dalam acara peretmuan sosial...
“...Yah, karena ini adalah kesempatan yang bagus, jadi aku juga ingin berpartisipasi.”
Secara implisit, aku menyampaikan nuansa bahwa aku tidak bisa menjanjikan apa pun.
“...Bagaimana denganmu, Miyakojima-san?”
“A-Aku?”
Saat Narika ditanyai, bahunya langsung tersentak karena terkejut.
“Aku..., jika bisa, aku akan berpartisipasi.”
Di sini, semua orang kecuali Narika memandang pertemuan sosial itu sebagai acara sosialisasi yang standar. Dan dengan demikian, kesannya akan tidak enak jika dia diundang secara paksa, jadi ayo hentikan topik ini di sini.
Setelah itu, sesi belajar kelompok dilanjutkan—dan beberapa hari kemudian, ujian tengah semester di Akademi Kekaisaran dimulai.
Broh Kenapa Sekolah doang Rumit Harus Pake Etiket
ReplyDelete