Bab 2 Bagian 1 (dari 3)
Wanita yang bertekad kuat dan pemberani
Ruang kelas, atau lebih tepatnya suasana yang ada di dalam ruang kelas sangatlah aneh. Entah seberapa ributnya ruang kelas, begitu jam pelajaran dimulai, ketertiban langsung terpulihkan.
Di dalam kelas yang sudah sangat riuh sejak pagi, “Ayo, ayo, bel sudah berbunyi, kembali ke bangku kalian masing-masing kalau tidak mau dihukum,” dengan satu kalimat tersebut, Aizawa Makoto menenangkan kelas.
“...Baiklah, kita akan memulai pelajaran pertama kita yang sangat-sangat menyenangkan. Topiknya adalah...”
Dengan mata yang sipit ber-eye shadow gelap dan rambut sebahu berwarna abu-abu, dia adalah seorang mantan anak nakal yang kini menjadi guru matematika sekaligus wali dari kelas 2E (sarjana 29 tahun), memiliki hobi bermain mahjong dan juga membawa motor, seseorang yang akan menggunakan area merokok sebagai habitatnya saat waktu istirahat.
“...Nah, ini dia topiknya. Baiklah, ayo segera kita putuskan~”
Meletakkan kapur yang dia pegang, bang, bang, Makoto memukul meja dengan pelan. Di papan tulis, ada huruf-huruf besar yang bertuliskan [Ketua Kelas].
“...Baiklah, angkat tangan yang mau mengajukan diri.”
Makoto melihat ke sekeliling wajah siswa-siswi, tapi hampir semua dari mereka memalingkan wajah dengan canggung.
Nah, karena ketua kelas adalah orang yang akan melakukan banyak tugas-tugas yang merepotkan untuk kelas, jadi reaksi yang mereka tunjukkan itu bisa dikatakan wajar, tapi sepertinya ada orang yang memiliki perbedaan pendapat mengenai posisi tersebut.
“Loh? Kenapa kalian diam saja? ...Apa tidak ada yang mau mengajukan diri? Ini menjadi ketua kelas loh? Orang yang mendominasi kelas ini? Jika aku jadi kalian, maka aku pasti akan mengajukan diri... Apa aku salah, yang di sana?”
Makoto mengerang dan kemudian melipat tangannya. Dia adalah guru yang digambarkan sebagai sosok yang sedikit menakutkan dan sulit didekati, tapi Tenma tidak membencinya karena kenyataannya dia adalah guru yang ramah dan juga sedikit memiliki sisi lugu.
“Erm, Aizawa-sensei?”
Di tengah-tengah suasana kelas yang dipenuhi dengan perasaan tidak mampu berdiri, sebuah kapal penyelamat datang saat salah seorang gadis mengangkat tangannya.
“Hm, ada apa, Tsubaki?”
“Kalau teman-teman yang lain tidak ada yang mau menjadi ketua kelas, maka aku akan mengajukan diri.”
“Hou~..., begitu ya. Terlepas dari penampilanmu itu, rupanya kau adalah orang dengan ambisi yang kuat, Tsubaki.”
Makoto mengatakan itu seolah-olah menyiratkan bahwa Reira memiliki potensi yang kuat, tapi tentu saja, Reira sama sekali tidak memiliki ambisi untuk mendominasi kelas.
Reira mengajukan dirinya hanya karena pada dasarnya dia adalah orang yang baik dan berdedikasi. Dia adalah anggota OSIS, komite humas, komite disiplin, komite administrasi, dan masih ada banyak posisi lain yang dia pegang. Dia akan mengulurkan tangannya kepada siapa pun orang yang sedang berjalan sambil membawa setumpuk buku, mengganti air di dalam vas tanpa disuruh, dan selalu tersenyum tanpa pernah merasa bangga diri dengan apa yang dia lakukan.
Dia benar-benar merupakan orang yang suci, malah sampai pada tingkat dimana orang-orang akan percaya jika Kenji Miyazawa telah menggunakan dirinya sebagai model puisi.
“Baiklah, dengan begini diputuskan kalau Tsubaki akan menjadi ketua kelas..., tapi kita juga membutuhkan wakil ketua kelas. Nah, untuk posisi ini aku ingin agar anak laki-laki yang mengisinya, tapi...”
“Aku, aku, aku siap menjadi wakil ketua kelas!”, “Aku juga siap!”, “Tidak, tidak, tidak, aku yang akan menjadi wakil ketua kelas!”
Kali ini, sebelum Makoto bisa menyelesaikan kalimatnya, paduan suara pengajuan diri menjadi wakil ketua kelass dimulai.
Alasan mengapa ada banyak sekali yang mengajukan diri mereka adalah keuntungan dari menjabati posisi tersebut. Dengan kata lain, dengan mengatas namakan posisi wakil ketua kelas, orang itu akan boleh mendekati Reira yang biasanya hanya diperbolehkan untuk disembah dari kejauhan dengan perasaan kagum.
“Kau itu bukan orang yang pantas untuk menjadi tangan kanannya Tsubaki-san!”, “Kau yang gak pantas bego, jangan sok mengajukan diri!”, “Akulah yang akan menjadi wakil ketua kelas...”, “Apa?! Jangan seenakanya lu!”
“Kalian semua menjijikkan banget sih!”
Semua gadis memalingkan tatapan jijik pada anak laki-laki karena perubahan sikap mereka yang begitu cepat, tapi anak laki-laki sama sekali tidak memedulikan mereka dan terus adu bacot, hingga kemudian...,
“Ooh, bagus, bagus! Ayo lebih gede lagi bacotnya!”
Entah mengapa, suasana menjadi semakin memanas, apalagi setelah dipanasi-panasi oleh orang yang merupakan wali kelas dari kelas tersebut.
“Di tempat pertama, apa ada pria di sekolah ini yang layak untuk Tsubaki-san?”, “Tidak, tidak ada.”, “Selain itu, jika kita berselisih pada sesuatu yang dangkal seperti ini...”, “Kita, tidak memiliki kualifikasi untuk menjadi wakilnya Tsubaki-san.”
Secara bertahap, panas yang membara di dalam kelas mendingin, hingga pada akhirnya semua anak laki-laki menghela napas dan menyesali perselisihan yang baru saja mereka lakukan. Ya ampun, apa mereka ini semacam pompa korek api?, Tenma, yang dari tadi cuman menjadi pengamat, hanya bisa mengangkat bahu.
“Erm..., kalau boleh, aku ingin Yashiro-kun yang bekerja bersamaku sebagai wakil ketua kelas.”
Pada saat itu, pantat Tenma yang kram langsung tersentak sekitar dua sentimeter.
“Begitu ya. Nah, kau diusulkan oleh Tsubaki, tapi apa kau mau, Yashiro?”
Mengatakan itu, Makoto menoleh ke arah Tenma. Di sisi lain, Reira juga menolehkan pandangannya ke arah Tenma, dan saat mata mereka saling bertatapan, Reira tersenyum layaknya seorang malaikat.
Tapi, tidak hanya itu saja. *Melotot*~~~~~~~~, suasana kelas sangat kacau sampai seolah-olah ada sfx melotot yang bisa terdengar dari teman-teman sekelas Tenma, terutama anak laki-laki, yang menatapinya dengan mata penuh kebencian.
“Tidak..., sekalipun aku ditanyai mau atau tidak...”
“Kalau gitu, aku juga akan merekomendasikan Yashiro-kun menjadi wakil ketua kelas~”
“Haghg!”
Tenma hampir dibuat muntah darah saat sekali lagi diserang oleh kekuatan kegelapan. Souta Hayami, tampaknya pemuda good-looking itu sangat menyukai Tenma.
“Nah, karena ada dua suara, maka dengan begini wakil ketua kelas sudah diputuskan.”
“Tunggu, Sensei? Bagaimana dengan hakku untuk menolak——”
“Baiklah, kuserahkan pemilihan posisi pengurus kelas lainnya pada kalian berdua~”
“Sensei!”
Mengabaikan tangisan Tenma dengan kesan yang tampak bersenang-senang, Makoto pergi meninggalkan kelas dengan cepat. Mungkin, dia ingin sebat.
“Yashiro-kun?”
Suara yang manis memanggil nama Tenma. Reira, yang segera berdiri di podium menggantikan wali kelas yang mengabaikan tugasnya, memberi isyarat pada Tenma dengan lembut. Ya, tugas Tenma sebagai wakil ketua kelas sudah dimulai. Tenma tahu itu, tapi meskipun dia tahu, tubuhnya tidak bergerak. Dia justru merasa ingin melarikan diri dari sini sekarang juga jika bisa, dan kebetulan, ada satu orang yang bisa mewujudkan keinginannya tersebut.
“Maaf, Reira.”
Untuk yang ketiga kalinya menerima serangan mendadak, Tenma bahkan tidak bereaksi apa-apa atau melontarkan suara. Malahan, semua orang kecuali Tenma berdengung. Rinka, yang entah sejak kapan tangannya sudah berada di bawah ketiak Tenma, memaksa tubuh Tenma untuk berdiri saat lengannya dengan kuat menopang Tenma. Penampilan mereka yang sudah seperti sepasang kekasih tersebut tidaklah lebih dari sekadar pengekangan.
“Kelihatannya dia sedang tidak enak badan, jadi sepertinya dia tidak bisa membantumu.”
Pernyataan itu terdengar terlalu dibuat-buat, tapi Reira sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda meragukan Rinka.
“Eh?! Gawat dong kalau begitu. Seseorang harus membawanya ke UKS...”
“Tidak apa-apa, aku akan membawanya ke UKS. Oh iya, setelah itu aku mungkin tidak akan kembali untuk sementara waktu, tapi jangan khawatirkan aku.”
Di tengah-tengah dialog mereka, Rinka sudah mulai berjalan pergi. Satu hingga dua orang mengatakan, “Kau tidak perlu memaksakan dirimu untuk mengantarnya ke UKS, Sumeragi-san”, tapi Rinka sama sekali tidak memperlambat langkah kakinya.
Di sisi lain, Tenma tidak memberikan perlawanan. Alasan pertama, itu karena dia tahu bahwa memberi perlawanan tidaklah ada gunanya. Kedua, sejak pelajaran dimulai dia sudah siap bahwa ini akan terjadi.
△
Seperti yang Rinka bilang, dia membawa paksa Tenma ke UKS yang berada di lantai satu. Sebenarnya Tenma ada membayangkan terjadinya pola situasi dimana dia didorong dari atap tanpa diberikan kesempatan untuk berbicara, jadi saat dia di bawa ke UKS ini, dia merasa lega dan mengelus dadanya, tapi... di pintu masuk UKS, ada catatan bertuliskan “Kalau ada perlu, pergilah ke ruang guru”, dan di dalam tidak ada perawat sekolah. Ini artinya, sekalipun terjadi kasus pembunuhan di tempat ini, tidak akan ada saksi mata.
Di bawa dengan paksa, hanya berduaan di ruang yang remang-remang, dan pihak lainnya adalah anjig gila. Ini adalah deja vu yang sempurna. Jika ada satu hal yang berbeda dari kemarin, maka itu adalah posisi dimana punggung tenma sekarang sedang berbaring di tempat tidur putih.
“APA MAKSUDNYA SEMUA INI?”
“O-O-Oi..., Sum..., Sumeragi?!”
Tenma, yang secara kasar di dorong ke bawah segera setelah mereka memasuki UKS, terjebak dalam posisi mount. Tepat di sebelah pipinya, jari-jari layaknya cakar menggali ke dalam sprai. Lutut Rinka disangga di selangkangannya, dan semakin Rinka menindihnya, semakin Rinka menggilas bagian yang berbahaya dari tubuh Tenma.
“Sakit! Di bawah sana sakit sekali!”
“Aku akan melakukannya sampai kau tidak akan bisa menghasilkan setetes pun air mani.”
“Jangaaan! Selain itu, jangan mengucapkan kata air mani dengan lugas seperti itu!”
“Hm, apa ada orang yang barusan bilang air mani?”
“Oi, nanti kau tidak akan bisa menikah loh?”
Jika posisi mereka saat ini terbalik, ini jelas akan menjadi tindakan kriminal (atau sekalipun tidak terbalik, tetap saja itu tindak kriminal). Menatap Rinka melalui lampu bundar di langit-langit, secara mengejutkan dia menampilkan wajah datar, tapi itu justru memicu rasa takut. Kedua matanya tampak menghitam seperti batu gosong, mengingatkan Tenma pada hiu pemakan manusia dalam film bencana yang dia tonton di suatu hari.
“Kalau begitu jawab aku, apa yang kau lakukan pada Reira?”
“Tidak, tidak, tidak, tidak! Aku tidak melakukan sesuatu yang aneh..., hanya saja, ini dan itu terjadi begitu saja...”
“Aku ingin tahu apakah pengucapan Bahasa Jepangku buruk? Aku menyuruhmu untuk memberitahuku apa ini dan itu yang kau maksud?!”
“A-Aku mengerti, aku akan menjelaskannya.”
“Aku akan sangat menghargainya jika kau dapat meringkasnya dalam empat puluh kata. Kau tahu, aku ini bukan tipe orang yang penyabar.”
Mengatakan itu, Rinka semakin menindihkan tubuhnya lebih dalam. Tempat tidur yang menopang berat dari kedua orang itu sontak mengeluarkan bunyi dari pegas. Itu menakutkan, tapi jika mereka terus seperti ini, itu akan berbahaya dalam artian lain. Soalnya, bagian tubuh mereka yang hampir bersentuhan, atau bagian tubuh yang sudah saling bersentuhan, semuanya menjadi semakin panas.
“Kemarin Tsubaki-san berada dalam masalah karena beberapa orang genit menggodanya di depan stasiun, jadi...”
“Jangan-jangan, kau menyingkirkan orang-orang itu?”
“Apa kau punya masalah kalau aku menyingkirkan mereka?”
“Hmm~, jadi itu ya yang terjadi.”
“Y-Ya.”
“......”
“Erm..., itu saja, tidak ada lagi yang bisa kukatakan padamu.”
“......(*terus saling menatap selama 10 detik*)”
“Setidaknya katakanlah sesuatu!”
Entah apakah pikiran Rinka teryakinkan oleh kata-kata pria yang berada dalam posisi seperti akan dia perkosa di depannya (di bawahnya?), Rinka mulai turun ke lantai saat rambut halusnya meyapu hidung Tenma. Dia kemudian duduk di kursi bundar yang terletak di samping tempat tidur, lalu menyilangkan kakinya dengan angkuh. Tak perlu dikatakan lagi, kakinya itu benar-benar indah.
Hampir aja aku mati, merasa lega, Tenma mengangkat bagian atas tubuhnya.
“Makasih ya.”
“Hah?”
Fakta bahwa kata-kata itu terlalu jelas untuk bisa disalah dengari justru membuat Tenma merasa bingung. Dia sontak menatap Rinka dengan tatapan yang mempertanyakan niat Rinka yang sebenarnya, tapi Rinka hanya mencibirnya dengan, “Mengapa kau seterkejut itu? Aku cuman mau bilang terima kasih karena sudah melindungi dan menyelamatkan Reira.”
“Eh...? Erm, ah, ya”
“Padahal kau terlihat seperti orang yang payah, tapi rupanya kau punya nyali untuk melakukan itu.”
“Aku bahkan merasa terkejut pada diriku sendiri.”
Tenma pikir Rinka akan mengejeknya, tapi sepertinya Rinka benar-benar berterima kasih. Yah, lagipula ini tidak seperti Tenma melakukan sesuatu yang salah, jadi ini membuat dirinya merasa dihargai. Hanya saja, ketika berpikir bahwa rasa terima kasih itu datang dari Rinka, fakta itu membuat dia merasakan perasaan canggung yang aneh.
Dengan kata lain, ini adalah kekuatan magis yang disebut gap moe. Mengucapkan terima kasih ketika merasa beryukur, meminta maaf ketika merasa bersalah. Bahkan hal-hal normal yang biasa dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari berubah menjadi sesuatu yang penuh warna hanya karena orang yang melakukannya adalah wanita yang dingin.
“...Tapi ngomong-nomong, apa Tsubaki-san memang selalu seperti itu?”
“Apa maksudmu?”
“Tidakkah dia terlalu mudah tertarik padaku? Maksudku, aku ‘kan cuman menolongnya satu kali?”
“Oh, soalnya dia tidak terbiasa tertarik pada pria, jadi ini tidak bisa dihindari.”
“Tidak terbiasa tertarik dengan pria...?”
Terhadap kata-kata Tenma, Rinka menganggukkan kepalanya, tapi bagi Tenma itu terasa aneh. Mengingat penampilan serta kepribadian yang Reira miliki, pasti ada banyak pria yang mencoba mendekatinya di masa lalu. Karenanya, Reira harusnya sudah terbiasa jika dia tertarik pada satu atau dua pria.
“Apa dari SD sampai SMP dia bersekolah di sekolah khusus wanita?”
“Tidak. Hanya saja aku menyingkirkan semua pria sampah yang mencoba mendekatinya, jadi dia tidak memiliki kesempatan untuk tertarik dengan pria.”
“Oh...”
Secara tidak sadar, Tenma melontarkan kekaguman ala Amerika. Dia dibuat sangat terkejut dengan pernyataan datar Rinka, sampai-sampai dia bertanya-tanya apakah negara ini benar-benar negara hukum dan ketertiban saat slang crazy psycho melintas di kepalanya.
Tapi kemudian, seolah-olah membaca apa yang Tenma pikirkan, Rinka mengernyitkan alisnya.
“Sepertinya kau salah paham tentang sesuatu, tapi hanya karena mereka adalah laki-laki, aku tidak menyingkirkan mereka tanpa pandang bulu.”
Meskipun Rinka bilang begitu, pada akhirnya, teori itu hanya tampak seperti perbedaan antara pembunuh dan pembunuh berantai. Jika ditanya mana yang lebih baik antara membunuh dengan pilihan atau membunuh tanpa pilihan? Kesimpulan yang Tenma miliki adalah tidak ada yang baik karena semua itu adalah tindak kejahatan.
“Entah mengapa..., Reira mudah sekali menarik perhatian pria-pria jahat. Pokoknya semua pria yang memuakkan, semua pria yang disebut musuh wanita sering sekali mencoba mendekatinya.”
Tidaklah sulit untuk mengetahui alasan dibalik itu. Insiden yang terjadi kemarin adalah contoh tipikalnya. Alasannya adalah karena Reira terlalu baik seperti malaikat, jadi banyak orang yang ingin memanfaatkan sifatnya yang baik itu. Lagipula, inilah yang sering dikatakan bahwa ada banyak serangga yang berkerumun di bawah sinar matahari.
“Dan juga, aku menyingkirkan mereka tidak dengan menggunakan cara yang radikal..., semuanya kulakukan secara damai, kuselesaikan dengan dialog.”
“Secara damai, ya...”
Ini membuat Tenma teringat saat Rinka melabrak seseorang di hari pengumuman penempatan kelas. Tampaknya, tindakan yang Rinka lakukan saat itu juga merupakan sejenis penghalang untuk melindungi Reira.
Hasilnya, dia tumbuh di rumah kaca cinta. Rinka adalah orang yang menghilangkan percikan api yang jatuh di belakang layar. Hal tersebut mungkin terdengar seperti Rinka adalah sekutu keadilan, tapi Tenma tidak bisa untuk tidak melihat sekilas hasrat Rinka yang menyimpang.
“Tidakkah kau terlalu overprotektif?”
“......”
Meskipun dia tidak bisa menyampaikan perasaannya pada Reira, itu bukan berarti hal tersebut bisa menjadi alasan bagi dirinya untuk menghalangi orang lain menyampaikan perasaan mereka pada Reira.
Rinka membungkus niatnya yang sebenarnya dengan oblat semaksimal mungkin. Tapi, ini tidak seperti Rinka tidak bisa sampai pada jawaban yang bahkan seorang pemula dalam cinta seperti Tenma bisa langsung mencapainya. Bagaimanapun juga, Rinka sendiri juga menyadari hal tersebut.
“Aku sendiri juga tahu kok. Bahwa yang kulakukan ini aneh.”
Benar saja, Rinka yang menjadi lemah tanpa daya memeluk bahunya sendiri, seolah-olah dia merasa benci pada dirinya sendiri. Meski demikian, sosoknya itu masih tampak seperti menyiratkan bahwa dia masih tetap tidak dapat mengubah cara hidupnya itu.
“Aku juga mengerti, bahwa suatu hari, hari seperti ini pasti akan datang.”
“Apa maksudmu?
“Hari ketika Reira akan tertarik pada orang selain aku, hari dimana aku akan dikalahkan.”
“......”
“Habisnya, aku bahkan tidak berada di garis start. Aku bahkan tidak bisa memperlakukan Reira secara normal, apalagi mengutarakan bagaimana perasaan yang kumiliki terhadapnya.”
“Lah? Kalau kau sadar dengan hal tersebut, maka kau harus mencoba memperbaiki sikapmu itu.”
Rinka selalu judes dan dingin pada Reira, Tenma tidak berpikir bahwa itu adalah sikap yang bagus untuk ditujukan pada seseorang yang kau sukai.
“Bahkan aku merasa kasihan loh pada Tsubaki-san. Mengapa kau tidak memperlakukannya dengan sedikit lebih ramah?”
“Aku? Bersikap ramah?”
“Fufufufu”, Rinka tertawa seolah-olah sedang mengejak dirinya sendiri. “Leluconmu itu terlalu berlebihan. Bersikap ramah tidaklah cocok dengan image-ku. Di saat-saat seperti ini aku mana bisa mengubah karakterku... Dan di tempat pertama, itu aneh, bukan? Maksudku, jika aku tiba-tiba menjadi seseorang yang mudah bergaul...”
“Soal itu...,” Tenma ingin mengatakan ‘entahlah?’, tapi kemudian dia menyadari sesuatu. “...Kau, apa kau berikap seperti itu karena kau peduli dengan karakter atau image-mu?”
Harga diri. Tenma pikir sikap menusuk Rinka dan kata-katanya yang dingin merupakan tindakan bawaan alami, tapi dia tidak menyangka bahwa ada perhitungan untung/rugi yang terlibat di dalamnya.
“Hah? Tentu saja aku peduli. Lagian, memangnya ada orang yang tidak memperdulikan sesuatu seperti itu?”
“Yah, secara umum kurasa begitu, tapi..., itu sedikit mengecewakan. Rasanya seperti poin dari dirimu jadi berkurang...”
Tenma mengungkapkan kekecewaannya layaknya dia mengetahui bahwa suara alami dari idol favoritnya tidaklah bagus, tapi Rinka tampak sama sekali tidak peduli dengan itu.
“Ya, suka-suka kamu aja. Mau kau bilang mengecewakan, poin baik dari diriku berkurang, aku tidak peduli.”
“Oi, ada apa dengan image-mu saat sedang berhadapan denganku? Kalau kau memang ingin membuat karakter, kau harus melakukannya sampai akhir.”
“Kalau gitu biar kutanya balik, hasrat seksual dan sifat yuriku kau ketahui, kau sudah melihatku menangis sampai berantakan, aku bahkan membuat diriku sendiri jadi setengah telanjang dihadapanmu, dan lagi kau juga sudah pernah melihat sempakku. Apa aku masih punya harga diri yang tersisa untuk kujaga?”
Mendengar itu, Tenma hanya bisa diam, tidak bisa menanggapi apa-apa.
Bagaimanapun juga, kalau dipikir baik-baik, jika Rinka adalah orang yang tidak peduli dengan rasa malu ataupun image-nya, sejak awal dia pasti akan terbuka tentang hobinya. Dan tentunya, dia tidak akan menjadi tsundere yang memperlakukan orang yang dia sukai dengan cara yang tidak ramah. Dalam hal itu, Rinka mungkin adalah tipe orang yang lebih peduli tentang apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya.
“Kau ini orang yang benar-benar merepotkan, ya? Tidakkah kau merasa frustasi?”
Secara tidak sadar, Tenma mengutarakan pendapat jujurnya, namun itu adalah tindakan yang fatal.
“Kau...”
“Ooi?!”
Merasa takut, Tenma menekuk tubuh bagian atasnya ke belakang. Rinka, yang dalam sekejap menutup jarak diantara mereka, menusukkan jari telunjuknya ke dada Tenma seolah-olah itu adalah pisau. Berbeda dengan mata layaknya hiu yang Rinka tunjukkan sebelumnya, matanya yang menyipit itu menunjukkan rasa jengkel, ketidakpuasan, dan kemarahan.
“Kau itu belagu’ banget ya. Sejak awal, gara-gara kau melakukan sesuatu yang tidak perlu, hal-hal sekarang menjadi rumit. Dasar wabah!”
“Mana rasa terima kasihmu barusan...?”
“Berisik! Ini dan itu berbeda, tau!”
Saat Rinka hendak kembali ke dirinya yang biasanya....
“Hm~? Apa ada orang di dalam~?”
Krrrrkkkk~, pintu geser dibuka dengan kuat saat seorang wanita yang mengenakan jas putih memasuki ruang UKS. Dia adalah perawat sekolah yang baru saja kembali dari cuti kehamilan, dan mungkin karena itu alasannya, dia jadi sedikit lebih montok.
“Maaf ya tadi ibu pergi~...”
Menyadari adanya kehadiran siswa di ruang uks, dia segara memakai kacamata modis tanpa bingkainya, tapi...,
“......Eh?”
Perawat itu meragukan penglihatannya. Terhadap Tenma yang berada di tempat tidur, seorang wanita cantik mendekatinya sambil menjulurkan pantatnya. Mungkin postur mereka saat ini tampak seperti semacam penyerangan, tapi mungkin itu juga tampak seperti mereka berada di ambang berciuman.
UKS bukanlah tempat untuk melakukan perilaku tidak senonoh seperti ini, itulah kata-kata yang dapat diucapkan, dan ada kemungkinan besar mereka akan diberikan bimbingan konseling, tapi...,
“M-Maaf menggangu kalian~”
Sambil mempertahanan posutr berlari ke belakang, perawat sekolah itu mundur dengan ekspresi seolah-olah habis melihat sesuatu yang harusnya tidak boleh dia lihat dan menghilang ke koridor. Meskipun dia sudah menikah, tapi itu adalah pertama kalinya dia melihat sesuatu seperti itu, tapi kemudian dia terpikirkan sesuatu yang lain, Oh iya, UKS ‘kan juga bukan tempat untuk bersantai.
“Ini buruk..., kita harus segera kembali ke kelas.”
Nah, di tempat pertama, Tenma dan Rinka keluar dari kelas dengan proses yang agak aneh. Jika mereka tidak kembali, itu akan bisa memicu kesalahpahaman. Tenma pikir Rinka juga memiliki pemikiran yang sama dengannya, jadi dia mendesaknya, “Ayo pergi”, lalu pergi ke koridor, tapi...,
“...Hei? Ada apa?”
Membalikkan pandangannya, Tenma melihat kalau Rinka masih berdiri tak bergerak di samping tempat tidur.
“Tapi..., ya, benar. Itu benar, di tempat pertama...”
Tampaknya, Rikna tenggalam ke dalam rawa pemikiran di waktu yang salah.
“Aku memang salah karena terus memendamnya seperti ini...”
“Hah? Kau lagi ngomongin apaan sih?”
“Karena aku terlalu memendamnya, emosi burukku jadi menumpuk...”
Pada saat itu, bel berdering, menandakan bahwa periode pelajaran pertama baru saja berakhir.
“Oi, ayo cepat kembali!”
“Jika demikian, aku harus mencernanya dengan baik, supaya aku tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi...”
“Astaga...”
Pada akhirnya, tidak ada tanda-tanda kalau Rinka akan bergerak, jadi Tenma memutuskan bahwa tidak ada gunanya menunggunya dan mulai berlari sendirian.
Sayangnya, tindakan yang dia ambil itu membuat dirinya tidak tahu, “Aku perlu orang yang bisa diajak bekerja sama,” bahwa Rinka yang menyeringai dan tersenyum sedang menatap punggungnya seolah memiliki niat yang licik.
Akhirnya udah nunggu lama banget, makasih minnnn
ReplyDeleteTetap tim Reira🔥🔥🔥😤👍😁❤😍😆🤝, gak Terima sih kalau ama Rinka💔😒🙁😨😪👎🤬🔥🔥🔥🥲😑😤
ReplyDeleteTim Harem ( nice akhirnya update min )
ReplyDeleteMasih menunggu, dan selalu memantau
ReplyDeleteKapan lanjut min
ReplyDelete