Bab 1
Usulan Mirei Tennoji
“Baiklah, aku pergi dulu.”
Setelah turun dari mobil, aku membungkuk pada Shizune-san dan sopir.
Saat ini, Hinako berjalan sekitar 10 meter di depanku. Saat kami akan pergi ke akademi, biasanya kami akan menjaga jarak seperti ini.
“Selamat pagi, Konohana-san.”
“Oh, Tomonari-san, selamat pagi.”
Aku bertemu dengan Hinako di loker sepatu, dan kemudian kami saling menyapa.
Kenyataannya sih, tadi pagi aku sudah menyapa Hinako di kamarnya..., tapi di tempat publik seperti ini, aku mesti menyapanya kembali.
Saat Hinako berakting sebagai Ojou-sama yang sempurna, dia akan ramah pada orang-orang, tapi di saat yang sama, dia akan memancarkan aura layaknya bunga yang tak terjangkau yang sangat menarik hingga membuat lawa jenisnya terpana kepadanya.
Akan tetapi, mungkin karena aku tahu bahwa itu bukanlah kepribadian Hinako yang sesungguhnnya..., jadi aku lebih menyukai kepribadian asli yang Hinako miliki.
“...Lama-kelamaan ini jadi menjengkelkan.”
“...Apa maksudmu?”
Saat Hinako mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya dengan suara pelan, aku bertanya balik padanya sambil terus memperhatikan sekitar kami.
“Padahal tiap pagi kita berangkat bareng dari rumah..., tapi kita justru repot-repot berpisah di tengah jalan dan kemudian bertemu lagi saat sampai di akademi.”
“...Yah, kita tidak punya pilihan lain selain melakukan itu. Bagaimanapun juga, tidak baik jika orang-orang tahu kalau kita tinggal di tempat yang sama.”
Ini mungkin memang merepotkan, tapi ini masih lebih baik daripada nantinya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Setelah melalui pesta teh dan sesi belajar bareng, tampaknya sudah menjadi pengetahuan umum di akadami ini kalau aku dan Hinako adalalah teman. Karenanya, dibandingkan saat pertama kali aku memasuki akademi ini, aku tidak perlu menjaga jarak terlalu jauh dari Hinako. Aku juga bisa berbicara dengannya secara normal di kelas, dan bahkan jika ada yang melihat kami menghabiskan waktu bersama saat sepulang sekolah, kurang lebih aku akan bisa memberikan alasan yang masuk akal untuk itu.
“Tapi tetap saja... sesekali, aku ingin pergi bareng ke akademi denganmu.”
“Bukankah sampai di pertengahan jalan ke akademi kita berada di mobil yang sama? Kan kita cuman akan berpisah pas sudah mau sampai di akademi saja.”
“Bukan seperti itu...,” sambil menurunkan pandangannya, Hinako kembali berbicara, “Aku maunya..., di luar kita bisa berjalan bersama-sama.”
Jadi begitu ya.
Sebenarnya aku juga berpikir seperti itu, tapi sayangnya sulit bagi kami untuk bisa melakukan itu... Yah, kurasa lain kali aku akan membicarakan perihal ini pada Shizune-san.
“Halo!”
Saat aku selesai mengganti sepatuku dan menuju ke kelas bersama Hinako, sesampainya di sana, kami bertemu dengan teman sekelas kami, Asahi-san.
“Selamat pagi.”
“Ya, pagi! Apa kalian tahu, barusan, kudengar kalau hasil ujian tengah semester sudah dipajang di depan ruang guru. Hei, bagaimana kalau kita pergi ke sana bersama-sama untuk melihatnya?” kata Asahi-san, sambil bolak-balik melihat wajahku dan Hinako.
Di Akademi Kekaisaran ini, setiap kali ada ujian yang diadakan, peringkat dari hasil ujian akan diumumkan. Namun demikian, hanya peringkat 50 besar saja yang akan diumumkan secara publik, dan mungkin namaku tidak akan berada di daftar peringkat tersebut.
Aku dan Hinako saling bertukar pandang, dan kemudian kami mengangguk hampir bersamaan.
“Oke.”
“Aku juga akan ikut.”
Masih ada cukup waktu sebelum sesi pelajaran dimulai.
Selain karena akan membosankan untuk hanya plonga’-plongo’ di ruang kelas, sejujurnya, aku cukup tertarik dengan pengumuman peringkat itu. Bagaimanapun juga, di SMA-ku yang sebelumnya tidak ada yang seperti ini.
Dengan begitu, kami bertiga pun pergi ke ruang guru.
Sesampainya di sana, kami melihat ada seorang siswa yang kami kenal.
“Taisho-kun.”
“Yo, jadi kalian bertiga juga datang ke sini ya.”
Menyadari keberadaan kami, Taisho sontak tersenyum ringan pada kami,
“Paling-paling namamu tidak ada di daftar peringkat itu ‘kan, Taisho-kun.”
“Bacot, entah namaku ada atau tidak, aku masih tetap ingin melihat daftar peringkatnya.”
Setelah mengatakan itu, Taisho kemudian melihat daftar peringkat yang dipajang di mading.
Sama sepertinya, kami juga mengarahkan mata kami ke arah mading. Dan di mading itu, nama yang berada di peringkat pertama adalah nama yang kami kenal dengan baik.
“Jadi kali ini Konohana-san lagi ya yang mendapatkan peringkat pertama, kau memang hebat!”
“Fufufu, terima kasih,” kata Hinako, sambil menunjukkan senyum elegan khas dari seorang Ojou-sama, hingga membuat mata para siswa jadi terfokus kepadanya.
Karena aku mengetahui kepribadian asli Hinako, jadi terkadang aku melupakan fakta bahwa dia ini sebenarnya adalah wanita yang berbakat baik itu dalam bidang akademik maupun olahraga.
Sungguh..., kemampuannya itu memang sangat luar biasa.
Ya, HANYA kemampuannya saja.
“Aaww.”
Tiba-tiba, Hinako menginjak Hinako.
“...Apa barusan kau memikirkan sesuatu yang kasar?”
Lah, kok dia bisa tahu?
Sontak saja, aku langsung mengalihkan pandanganku dari Hinako yang membusungkan pipinya padaku.
Dibandingkan dengan dia yang sebelumnya, aku merasa kalau Hinako menjadi lebih ekspresif dalam menyampaikan emosinya. Dan tentunya, itu bukanlah akting, melainkan ekspresi natural. Menurutku ini adalah perubahan yang bagus untuknya, hanya saha aku tidak tahu apa yang menjadi pemicu dari perubahannya itu.
Dan yah, kurasa tidak semua dari perubahan perilaku Hinako akhir-akhir ini yang bisa dikatakan aneh.
Saat aku memikirkan sesuatu seperti itu, tiba-tiba pandanganku teralih ke samping dan melihat seorang gadis denagn rambut bor yang mencolok bahkan diantara keramaian.
Gadis itu meletakkan jarinya di dagunya dan menampilkan semacam ekspresi wajah yang rumit.
Karena aku khawatir terhadap kondisinya, jadi aku memutuskan untuk memanggilnya.
“Tennoji-san?”
“Oh, jadi kau juga ada di sini, Tomonari-san.”
Mirei Tennoji. Di adalah putri dari Grup Tennoji, konglomerat yang menyaingi Grup Konohana.
Aku melirik ke arah mading yang dia lihat, dan kemudian mulai berbicara.
“Selamat ya karena mendapatkan peringkat kedua.”
“...Aku tidak bisa bahagia selama nama itu yang berada di peringkat satu.”
Aku bermaksud untuk memujinya dengan tulus, tapi Tennoji-san tampak kesal.
Kalau dipikir-pikir lagi, Tennoji-san selalu bersaing dengan Hinako sejak pertama kali mereka bertemu. Jadi yah, kurasa wajar saja kalau dia merasa tidak puas ketika nama Hinako tertulis di atas namanya.
“Tapi yah, aku tidak bisa menyangkal bahwa hasil ujian kali ini merupakan hasil yang penuh arti.”
Hasil yang penuh arti?
Saat aku bingung dan memiringkan kepalaku, Tennoji-san mulai menjelaskan maksud dari perkataannya.
“Dibandingkan dengan yang terakhir kali, kini kesenjangan antara aku dan Konohana-san telah menipis. Tentunya, ini bukan berarti nilainya Konohana-san yang menurun. Dengan kata lain, tidak diragukan lagi bahwa nilaiku telah meningkat...! Fufufu, sekarang aku sudah bisa melihat kemenangan di depanku....!”
Saat Tennoji-san menggumamkan itu, di matanya, aku merasa seperti aku bisa melihat ada api yang menyala-nyala.
“Ngomong-ngomong, kau berada diperingkat keberapa?”
Karena dia menanyakan itu seolah-olah adalah wajar kalau aku akan memperoleh peringkat, jadinya aku sedikit terlambat dalam menanggapinya.
“Aku tidak mendapatkan peringkat, kupikir nilai yang kudapatkan dalam ujian kali ini berada di sekitar rata-rata atau sedikit di bawah rata-rata.”
“Hah?” tanya Tennoji-san, yang entah kenapa jadi marah. “Barusan kau bilang apa?”
“Erm, kurasa nilaku berada di sekitar rata-rata atau sedikit di bawah rata-rata...”
“Meskipun seorang diriku telah mengajarimu seacara langsung..., tapi nilaimu berada di bawah rata-rata?”
Saat itu, urat biru muncul di pelipis Tennoji-san.
“A-Apa yang kau ajarkan padaku memang bisa kupahami dengan baik, tapi...”
“Diam!” Serunya, dengan nada suara yang tajam. “Seperti biasanya, kau itu selalu tidak memiliki kesadaran diri! Entah seberapa seriusnya kamu dalam belajar, kau tetap tidak akan bisa berkembang jika kau tidak bertujuan untuk mencapai tempat yang tinggi, tau?”
“Ugggh.”
Perkataannya itu dengan kuat menusuk ke arah dadaku.
Bagiku, aku bermaksud untuk berkembang sedikit demi sedikit, tapi mungkin itu adalah cara berpikir yang salah.
“Punggungmu!”
“Eh, ya!”
Saat dia mengatakan itu, tulang pungggungku yang entah sejak kapan membungkuk sontak langsung menjadi tegak.
“Ya ampun..., aku sudah lama memikirkan tentang ini, tapi kau itu adalah tipe orang yang emosimu cenderung akan muncul dalam sikapmu.”
“B-Begitukah...?”
Aku sama sekali tidak sadar soal itu.
“Tapi sebaliknya, jika kau memiliki kepercayaan diri yang kuat, kau harusnya bisa untuk tampil lebih mengesankan.”
Mengatakan itu, Tennoji-san kemudian menampilkan pose sedang berpikir.
Saat aku yang dalam ketakutan menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya——
“Aku punya saran untukmu. Untuk sementara ini, saat sepulang sekolah, maukah kau menghabiskan waktumu bersamaku?”
——Tennoji-san mengatakan kalimat yang sangat tidak terduga.
Waktu jeda setelah sesi pelajaran pertama selesai.
Sekali lagi, aku berbicara dengan Tennoji-san.
“Apa yang kau maksud dengan menghabiskan waktu bersamamu saat sepulang sekolah?”
“Aku akan mengajarimu belajar.” Dengan kata-kata itu sebagai pembuka, Tennoji-san terus menjelaskan niatnya. “Saat aku menghadiri sesi belajar kelompok yang kau adakan sebelumnya..., sejujurnya, itu adalah pertama kalinya aku mengajari seseorang.”
“Begitukah?”
“Ya, karenanya, saat itu baru menyadari bahwa rupanya, ketika aku mengajari orang lain, itu juga bisa menjadi keuntungan untuk diriku sendiri...”
Hmm...? Apa yang dia maksud?
Saat aku memiringkan kepalaku, Tennoji-san kembali berbicara.
“Singkatnya, dengan mengajari seseorang belajar, aku juga bisa meningkatkan kemampuan akademisku sendiri. Buktinya adalah hasil ujian yang baru saja diumumkan. Dimana dalam hasil ujian kali ini, aku bisa menutupi kesenjangan antara aku dan Konohana-san.”
Oh, jadi gitu toh, sekarang kurang lebih aku mengerti apa yang sedang dia bicarakan.
“Jadi intinya, untuk kedepannya, kau ingin terus melakukan sesi belajar kelompok seperti sebelumnya, kan?”
“Ya.”
Memahami niatnya, aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
“Tapi, mengapa kau mengajakku untuk menjadi teman belajarmu?”
“Itu karena diantara orang yang dekat denganku, kamulah yang memiliki nilai yang paling rendah.”
“Ugh...”
Kata-katanya cukup menusuk, tapi aku tidak bisa menyangkalnya.
“Namun demikian, tentunya aku juga berpikir kalau permintaanku ini hanya akan merepotkanmu. Karenanya, kuharap aku juga bisa melakukan sesuatu untuk membantumu...”
“...Tidak, dengan kau yang mengajariku belajar saja aku sudah sangat berterima kasih.”
“Tidak, ini adalah kenyamananku sendiri untuk mengajarimu belajar, jadi tidak akan adil jika aku tidak melakukan sesuatu untukmu juga.”
Ya ampun, dia ini benar-benar orang yang disiplin.
Kendati mempertimbangkan perasaanku yang dia pikir aku merasa direpotkan, Tennoji-san pribadilah yang tidak bisa menerima kalau dia tidak melakukan sesuatu untukku.
“Apa kau punya sesuatu yang tidak kau kuasai selain belajar?”
“Sesuatu yang tidak kukuasai, ya...”
Ini membuatku teringat akan kesalahan-kesalahan yang telah aku buat sejak aku bekerja menjadi pengurus. Tentunya, aku memang masih jauh dari sempurna dalam hal belajar, olahraga, bekerja di mansion, dan bela diri, tapi apa yang paling tidak aku kuasai adalah...
“...Kurasa aku tidak mahir dalam etiket.”
Saat aku menjawab demikian, Tennoji-san sontak tersenyum puas.
“Kalau gitu, secara langsung aku akan mengajarimu tentang etiket! Keluarga Tennoji adalah keluarga yang sangat menghargai etika, karenanya, etiket adalah keahlianku!”
Tennoji-san menjadi sangat bersemangat dan meletakkan tangannya di dadanya seolah-olah mengatakan, “Kau bisa mengandalkanku!”.
Sejujurnya, ini akan sangat membantuku. Sangat membantu, tapi..., jika itu menyangkut waktu yang bisa kuhabiskan saat sepulang sekolah, itu bukanlah keputusan yang bisa kubuat sendiri.
“Aku sangat berterima kasih tentang usula yang kau berikan ini, tapi..., biarkan aku memikirkannya lebih dulu.”
Saat aku mengatakan itu, Tennoji-san sontak menatapku dengan bingung.
“Loh, kenapa? Bukankah dalam hal ini kau sendiri juga antusias?”
“Erm, di keluargaku, aku tidak diizinkan untuk seenaknya membuat jadwalku sendiri.”
“Jadi gitu ya, tampaknya aturan keluargamu cukup sulit juga.”
Disebut sulit mungkin memang benar sulit. Karena bagaimanapun juga, yang dibicarakan di sini adalah Grup Konohana yang mendunia.
Meskipun akhir-akhri ini aku sudah mulai terbiasa, tapi aku masiht tetap merasa sedikit kewalahan.
Saat aku mengingat kesulitanku sehari-hari dan menghela napas pelas..., aku menyadari bahwa Tennoji-san terus melotot kepadaku dalam diam.
“Tomonari-san, apa saat kau berada di dirumahmu, kau akan berperilaku dengan cara yang sama seperti barusan?”
“Apa yang kau maksud dengan ‘barusan’...?”
“Maksudku perilaku yang membuatmu jadi terkesan bimbang serta tidak memiliki sedikit pun kepercayaan diri.”
Seperti biasanya, dia selalu mengatakan poin-poin yang sulit.
Namun, jika aku yang saat ini tampak bimbang, maka aku yakin kalau aku juga seperti itu saat berada di mansion.
“Mungkin.., saat di rumah aku juga seperti ini.”
Saat aku menjawab seperti itu, Tennoji-san langsung menghela napas.
“Sebenarnya, selain nilai yang kau miliki, ada alasan lain mengapa aku mengajakmu untuk menjadi teman belajarku. Dan alasan itu adalah perilaku yang kau tunjukkan saat di akademi.”
Tennoji-san menatap lurus ke mataku, dan kemudian melanjutkan kata-katanya.
“Biarkan aku menanyakan ini secara terus terang—Kau merasa rendah diri terhadap orang-orang di sekitarmu, kan?”
Untuk sesaat, aku terkejut dan merasa seperti jantungku sedang dicengkram.
Akan tetapi, aku tidak terkejut karena kebenaran yang kusembunyikan itu dia sadari..., tapi karena fakta bahwa dia bisa melihat melalui psikologi yang bahkan aku tidak sadari.
Di akademi ini, akulah satu-satunya orang biasa. Dibandingkan dengan siswa-sisi lain di sekitarku, aku lebih rendah dalam hal kecerdasan, latar belakang keluarga, serta hal-hal yang lainnya.
Biasanya, aku tidak akan memikirkan soal itu dengan terlalu serius, tapi ketika aku tiba-tiba memikirkannya, hal itu terus terbesit di benakku. Di tempat pertama, normalnya aku tidak akan diterima untuk memasuki Akademi Kekaisaran ini, tapi alasan mengapa aku bisa memasuki akademi ini adalah berkat kekuatan Keluarga Konohana. Karenanya, sulit bagiku untuk tidak merasa rendah diri.
Kupikir, aku ini adalah seorang yang memiliki sifat kompleks inferioritas.
[Catatan Penerjemah: Komplek inferioritas merupakan suatu keadaan dimana seseorang menganggap bahwa dirinya lebih rendah dari manusia di sekitarnya.]
Meskipun sudah terlambat bagiku untuk berpikir seperti itu, tapi memang itulah yang kupikirkan.
Kemudian, mungkin melihat menembus keheninganku, Tennoji-san kembali berbicara.
“Tidaklah jarang bagi murid di Akademi Kekaisaran ini yang jatuh ke dalam kompleks semacam itu. Tapi untungnya bagimu, kau memiliki ambisi. Aku berjanji bahwa di bawah bimbinganku, kau akan dapat membebaskan dirimu dari sifat kompleks yang kau miliki itu.”
Terima kasih.
Itu adalah yang sangat kusyukuri sampai-sampai aku hampir menyetujuinya sekarang juga.
Aku ingin berkontribusi pada Hinako sebagai pengurusnya. Semakin kuat perasaan yang kumiliki itu, maka semakin sering aku akan dihadapkan pada tantangan. Ini mungkin pemikiran yang terlalu meremahkan, tapi jika aku bisa mempelajari cara belajar yang baik serta etiket dari Tennoji-san, aku punya firasat bahwa semua tantangan itu akan bisa aku atasi.
“Baiklah, kurasa kita sudah harus kembali ke kelas kita masing-masing. Aku menantikan untuk mendengar jawaban darimu secepat mungkin.”
“...Baiklah, besok, aku pasti akan memberitahumu.”
Saat sepulang sekolah nanti, aku akan membicarakan soal ini pada Shizune-san.
“Terima kasih karena telah membicarakan perihal ini denganku... Tennoji-san, kau benar-benar hebat dalam melihat menembus seseorang, ya. Jujur saja, aku tidak menyangkan kalau kau akan bisa melihat menembus diriku sebaik ini.”
“Kau tidak perlu memujiku, lagian ini bukanlah hal yang luar biasa."
“Tidak, kupikir itu benar-benar luar biasa.”
Saat aku mengatakan itu dengan perasaan kagum, Tennoji-san mengalihkan pandangannya dariku.
“Sungguh, ini bukanlah hal yang luar biasa.... Aku hanya, seseorang yang pernah mengalami hal seperti ini.”
Karena kalimat kedua yang dia ucapkan itu bersuara pelan, aku hampir tidak bisa mendengar ucapannya. Namun, satu-satunya hal tertanam kuat dalam ingatanku adalah ekspresi suram yang Tennoji-san tunjukkan disaat dia biasanya bertindak begitu tegas.
Sepulang sekolah.
Ketika aku kembali ke mansion Keluarga Konohana, seperti biasanya, aku menerima pembelajaran dari Shizune-san.
“Baiklah, hari ini pembelajaranmu cukup sampai di sini saja. Kau telah melakukan yang terbaik.”
“Terima kasih.”
Belajar, review materi, etiket, dan bela diri.
Dengan berakhirnya setiap pelajaran itu, akhirnya aku bisa merasakan akhir dari hari ini.
Sebelumnya, biasanya aku akan kehabisan tenaga saat sudah malam hari seperti ini dan bahkan tidak bisa berbicara dengan baik, tapi sekarang aku masih memiliki cukup banyak tenaga. Kurasa ini artinya aku telah tumbuh baik secara fisik ataupun mental.
Setelah ini, aku harus pergi ke kamar Hinako dan mandi.
Saat aku menyeka keringat di wajahku dengan ringan dan menatap Shizune-san, kulihat dia sedang menatap semacam dokumen di tangannya dengan raut wajah yang tampak rumit.
“Itu dokumen apa?”
“Ini adalah tabel jadwal untuk pembelajaranmu, Itsuki-san. Karena kau tumbuh lebih cepat daripada yang kupikirkan, jadi kupikir aku akan menyesuaikan kembali tabel jadwalmu.”
Setelah mengatakan itu, Shizune-san kembali membaca dokumen itu dengan ekspresi serius.
.....Oh iya, mungkin ini kesempatan yang bagus.
“Shizune-san, ada yang ingin kubicarakan denganmu...”
Dengan mengatakan itu, aku mulai menjelaskan kepada Shizune-san tentang apa yang telah kubicarakan dengan Tennoji-san hari ini, yaitu tentang bagaimana Tennoji-san akan mengajariku belajar dan etiket saat sepulang sekolah.
“...Jadi kau membicarakan sesuatu seperti itu dengan Tennoji-sama, ya...”
Setelah mendengarkan ceritaku, Shizune-san meletakkan dokumen yang dia pegang dan merenung.
“Kau pribadi, apa yang akan kau lakukan, Itsuki-san?”
“Aku pribadi ingin menerima usulannya itu. Bagaimanapun juga, metode pengajaran dari Tennoji-san bagus..., dan aku juga bisa mengandalkannya dalam banyak hal.”
Tentunya, Shizune-san juga hebat dalam mengajar, tapi Tennoji-san yang merupakan teman seangkatanku bisa memberiku saran dari sudut pandang yang sama sepertiku.
Selain itu—Tennoji-san juga memberitahuku ini:
[Kau merasa rendah diri terhadap orang-orang di sekitarmu, kan?]
[Aku berjanji bahwa di bawah bimbinganku, kau akan dapat membebaskan diri dari sifat kompleks yang kau miliki itu.]
Perkataannya itu bergema dengan kuat di hatiku.
Tennoji-san selalu menampilkan karakter yang mengesankan, dan aku bisa mengatakan bahwa dia adalah murid yang layak untuk berada di Akademi Kekaisaran. Sampai sekarang aku tidak menyadari soal ini, tapi aku yakin kalau aku memiliki rasa kagum terhadapnya.
“Dengan menerima bimbingan dari Tennoji-san..., aku punya firasat kalau aku akan bisa menjadi lebih layak untuk Hinako.”
Aku ingin bisa selalu ada bagi Hinako saat dia butuh beristirahat. Dan ketika saatnya tiba, aku ingin agar aku dapat mendukungnya dengan sempurna. Untuk menjadi pengurus yang seperti itu, masih banyak kekurangan yang kumiliki. Itu sebabnya, aku ingin agar aku bisa menyerap poin-poin yang masih kurang pada diriku dari Tennoji-san.
“Kupikir itu tidak masalah.” Mengatakan itu, Shizune-san kemudian lanjut berbicara. “Aku yakin Tennoji-sama akan bisa mengajarimu etiket lebih daripada yang aku bisa. Selain itu..., aku juga menerima pesan dari Kagen-sama yang mengatakan bahwa dia ingin agar kau secara aktif membuat koneksi untuk Keluarga Konohana di atas nama Ojou-sama.”
“...Kagen-san berpesan seperti itu?”
“Ya. Sama seperti saat kita mengundang Miyakojima-sama, Tennoji-sama dan yang lainnya ke acara pertemuan sosial, Kagen-sama berharap agar kau dapat membuat koneksi dengan kesadaran untuk meningkatkan nama baik Ojou-sama.”
Sejujurnya, aku terkejut.
Karena bagaimanapun juga, aku merasa kalau orang itu tidak terlalu mempercayaiku.
Tapi, jika pendapat Kagen-san tentangku telah berubah, maka itu mungkin karena apa yang terjadi pada acara pertemuan sosial tempo hari. Malam itu, untuk yang pertama kalinya, aku merasa seperti aku mendengar perasaan Kagen-san yang sebenarnya.
“Aku mengerti. Kalau itu yang dia pesankan, maka aku akan melakukan yang terbaik.”
“Terima kasih. Tapi satu hal... harap lakukan itu dengan alami dan tetap sebagai seorang siswa normal.”
Sebagai sesama siswa, sebagai seorang teman. Selama aku membentuk koneksi dengan lingkup seperti itu, maka ini artinya aku bebas untuk membangun suatu koneksi. Dan pada akhirnya, aku akan dapat menghubungkan koneksi yang kubangun itu dengan Hinako.
“...Itsuki?”
Saat itu, pintu dojo terbuka dan suara Hinako bisa terdengar.
“Kau masih belum mau pergi mandi?”
“Maaf, tadi aku berbicara sedikit dengan Shizune-san.”
“......Bicara?”
Terhadap Hinako yang memiringkan kepalanya, aku muali memberinya penjelasan.
“Aku juga mau membicarakan soal ini padamu nanti, tapi apa kau keberataan jika untuk sementara waktu ini aku tidak bisa pulang bersamamu saat sepulang sekolah.”
“...Eh?”
Hinako sedikit terkejut.
“Sekarang setelah aku dipercayakan sesuatu lagi oleh Kagen-san, aku ingin memperketat pikiranku dan mempelajari berbagai hal. Aku ingin meningkatkan nilaiku di akademi dan mempelajari etiket sehingga aku tidak akan malu-maluin di lingkaran sosial. Karenanya, untuk sementara waktu, aku ingin kau membiarkanku menggunakan waktuku saat sepulang sekolah.”
“Maksudmu kau akan diajari oleh orang luar? ...Apa diajari oleh Shizune saja tidak cukup?”
Saat Hinako memberikan pertanyaan itu, orang yang menjawabnya adalah Shizune-san.
“Saya juga memiliki pekerjaan lain, jadi terkadang saya tidak bisa berkonsentrasi pada pembelajaran untuk Itsuki-san. Apalagi, karena acara pertemuan sosial yang diadakan tempo hari, akhir-akhir ini pekerjaan saya jadi bertambah..., itu sebabnya, untuk sementara waktu saya mungkin tidak bisa meluangkan banyak waktu untuk memberikan pembelajaran pada Itsuki-san.”
“...Muu~. Kalau begitu, bagaimana kalau aku saja yang mengajari Itsuki...?”
“Anda adalah putri dari Keluarga Konohana, dan anda memiliki banyak hal yang haru anda lakukan, jadi jawdal anda pasti padat. Selain itu, akan baik bagi Itsuki-san sendiri untuk mengubah lingkungannya dan belajar dari berbaga orang.”
“Muu~...”
Saat mendengar itu, Hinako tampak merasa tidak puas.
Tapi kemudian, setelah tampak seperti sedang memikirkan seuatu selama sekitar tiga puluh detik, dengan perlahan Hinako mulai membuka bibir kecilnya.
“Itsuki..., apa kau melakukan itu untukku?”
“Mungkin agak tidak tepat untuk mengatakan kalau aku melakukannya untukmu... Lebih tepatnya, aku melakukannya agar aku bisa menjadi pengurus yang layak untukmu.”
Bukannya aku mau sok berguna, tapi jujur saja, aku yang bersedia menerima usulan ini karena aku memang ingin lebih bisa membantu Hinako.
Setelah terus menggerutukan, “Muu~~”, Hinako kemudian menghela napas pelan.
“Okelah kalau begitu... Kuizinkan.”
“Makasih.”
Baiklah, sekarang aku juga sudah diberikan izin oleh Hinako.
Besok, aku akan memberitahu Tennoji-san bahwa aku akan menerima usulan darinya.
“Tapi ngomong-ngomong..., siapa yang akan mengajarimu belajar serta etiket?”
Menerima pertanyaan seperti itu, aku langsung menjawabnya.
“Tennoji-san.” Mata Hinako membelalak saat mendengar perkataanku, dan aku terus lanjut berbicara. “Untuk sementara waktu ini, saat sepulang sekolah, aku akan menghabiskan waktuku bersama Tennoji-san.”
“.........Hah?”
Di kamar mandi di kamarnya Hinako.
Saat ini, aku menatap Hinako yang sedang makan es krim sambil berendam di bak mandi.
“Enak...”
Melihat Hinako yang menunjukkan penampilan yang tidak seperti saat dia berada di akademi, aku hanya bisa tersenyum masam.
“Apa dengan itu kau bisa mengizinkanku?”
“Enggak..., aku masih sedikit tidak terima.”
“Izinkan lah, itu cukup tahu untuk membawa es krim ke sini tanpa diketahui oleh Shizune-san.”
Saat aku menghela napas dan mengatakan itu, Hinako mulai berbicara meskipun dia memalingan wajahnya dariku.
“Baiklah, sebenarnya aku masih tidak terima soal ini..., tapi karena kau melakukannya untukku, maka kuizinkan.”
Sekali lagi, aku mendapatkan izin darinya untuk menghabiskan waktuku bersama Tennoji-san.
Dari sejak kami membicarakan perihal ini di dojo sampai saat ini, Hinako selalu memberikan penentangan, tapi seperti yang kupikirkan, faktor penentu dalam membujuknya adalah dengan menyuapnya menggunakan es krim. Akhir-akhir ini dia dipusingkan dengan masalah pemecatanku sebagai pengurusnya dan acara pertemuan sosial, jadi kupikir mungkin dia akan berada dalam suasana hati yang baik karena setelah sekian lama dia akhirnya bisa bersantai seperti ini.
Namun, meskipun dia telah memberikanku izin, Hinako masih tetap tampak tidak puas. Melihat Hinako yang menatap permukaan air seolah-olah dia sedang merajuk itu, aku memutuskan untuk kembali berbicara kepadanya.
“Kalau kau memang tidak terima dengan ini, maka aku bisa kok menolaknya...”
“....Aku gak mau jadi penghalang untukmu.”
“...Begitu ya.”
Apa dia peduli terhadapku? Di tempat pertama, aku yang melakukan ini adalah untuk peranku sebagai pengurusnya..., tapi, aku merasa sedikit senang kalau dia peduli terhadapku.
“Kau tahu, jujur saja, aku merasa lega.”
“Lega...?”
“Ya, karena kupikir akhir-akhir ini kau menghindariku.”
“...Kenapa kau berpikir begitu?”
“Habisnya, kau sepertinya tidak mau aku membangunkanmu di pagi hari, dan selain itu, ada saat dimana kau menjaga jarak dariku, kan?”
Saat aku mengatakan itu, Hinako mengembungkan pipinya.
“Bukannya aku mau menjaga jarak darimu atau semacamnya...”
“Jadi ada alasan untuk itu?”
“...Mu~u.” Dengan raut wajah yang rumit, Hinako bergumam dengan pelan. “Aku gak mau mengatakan alasannya...”
Sebenarnya aku penasaran dengan alasannya, tapi jika dia tidak mau memberitahukannya, maka aku tidak akan mengungkitnya lebih jauh lagi.
“Ngomong-ngomong, Hinako...”
“...Apa?”
“Tidakkah kau merasa kepanasan dengan mengenakan pakaian renang seperti itu?”
Saat ini, Hinako mengenakan pakaian renang sekolah. Pakaian renang itu memiliki desain elegan yang khas dari Akademi Kekaisaran, tapi kurasa dia akan kepanasan jika mengenakan pakaian renang itu di kamar mandi.
“...Enggak juga.”
“Biasanya kau selalu mengenakan pakaian renang tipe bikini, jadi kenapa tiba-tiba kau mengenakan pakaian renang sekolah?”
“...Lagi pengen pakai ini aja,” kata Hinako, kelihatan kesulitan untuk menjawab pertanyaanku.
Melihatnya yang mengalihkan pandangannya dariku dan membelakangiku seperti ini...,
Sepertinya dia memang menghindariku, ya?
Tapi terlepas dari itu, dia masih mengatakan bahwa dia ingin mandi bareng denganku dan menghabiskan lebih banyak waktu bersamaku saat sepulang sekolah... Sungguh, saat ini aku benar-benar tidak bisa mengerti apa yang sebenarnya sedang dipikirkan Hinako.
Sebagai pengurusnya Hinako, aku telah menghabiskan waktuku bersamanya selama lebih dari satu bulan. Kupikir sedikit demi sedikit aku bisa mengerti apa yang sedang dia pikirkan, tapi akhir-akhir ini, aku tidak bisa mengerti apa yang dia pikirkan. Sungguh, aku benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya?
“Cepat gih cucikan rambutku.”
“...Ya, ya.”
Untuk menghindari dia menjadi tambah merajuk lagi, aku mulai meraih kepalanya. Saat itu, kulihat telinganya tampak berona merah, tapi mungkin itu karena dia sedikit kepanasan.
“Mmm...,” Hinako mendesah pelan.
Yah, satu hal yang pasti, dia tidak akan membiarkan orang yang tidak dia sukai menyentuh rambutnya seperti ini.
“...Itsuki,”
“Apa?”
Saat aku sedang mencuci rambut Hinako dengan sampo, Hinako bergumam kepadaku dengan suara yang pelan...
“Sesuatu seperti ini..., jangan kau lakukan dengan Tennoji-san, oke.”
Astaga, kupikir dia mau bilang apa, tapi ternyata itu toh? Merasa sedikit lega, aku pun menanggapinya.
“Tentu saja tidak akan kulakukan.”
Lagian, dia pikir seberapa keras aku harus berupaya untuk bisa terbiasa dengan situasi seperti ini? Jadi kalau dipikir-pikir, itu benar-benar masa yang sulit saat aku masih baru dalam menjadi pengurusnya.
“Hmm?”
Saat itu, kuperhatikan kalau rambutnya Hinako terselip di tali bahu pakaian renangnya.
“Aku akan menggeser tali bahu pakaian renangmu sedikit.”
“...Eh?”
Saat aku menggeser dan menurunkan tali bahu kirinya, aku merasa seperti aku mendengar dia melontarkan suara yang aneh.
“Sulit juga ya kalau punya rambut yang panjang, soalnya bisa kerepotan seperti ini.”
“I-Itsuki...?”
“Bentar, sebentar lagi akan selesai kok.”
“...Nnh!”
Tiba-tiba, Hinako menyelamkan tubuhnya di bak mandi.
Gelembung-gelembung mengapung di permukaan air, dan di tengahnya, Hinako menatapku dengan wajah yang merah cerah.
“Da—...!”
“Da?”
“D-Dasar gak tahu malu...!!”
Dengan malu-malu, Hinako meletakkan tangannya di kedua bahunya dan memeluk dirinya sendiri.
“Hah, gak tahu malu...?”
Aku tidak mau mendengar kalimat seperti itu dari seorang yang pernah dengan sengaja melepaskan pakaian renangnya.
Keesokan harinya.
Saat jam istirahat, aku memberi tahu Tennoji-san bahwa aku diberikan izin tentang apa yang kami bicarakan kemarin, jadi sepulang sekolah hari ini kami memutuskan untuk langsung memulai sesi belajar bareng.
“Baiklah, sekarang aku akan mengajarimu dengan keras!”
“M-Mohon bimbingannya...”
Saat siswa-siswi lain meninggalkan akademi, aku dan Tennoji-san ketemuan di kafe yang berada di dekat kantin akademi.
Nah, meskipun sudah terlambat untuk bertanya-tanya seperti ini, tapi aku masih ingin tahu, apakah aku akan bisa melalui ini dengan baik? Tapi terlepas dari aku yang merasakan kecemasan seperti itu, Tennoji-san tampak sangat termotivasi.
“Fufufu... Mengalahkan Hinako Konohana...! Kali ini, aku pasti akan melenyapkan senyuman buat-buatannya itu...,” kata Tennoji-san, dengan senyum yang tampak seperti iblis di wajahnya.
Ngomong-ngomong, tampaknya Tennoji-san yang datang lebih awal telah memesan minuman termasuk untukku juga. Karenanya, segera setelah aku duduk di kursiku, tehku pun langsung diantarkan.
“Pertama, ayo kita tentukan target kita. Untukku, targetku adalah mengalahkan Hinako Konohana di ujian berikutnya,” umum Tennoji-san, sambil memiringkan cangkirnya dengan elegan.
“Ngomong-ngomong kapan ujian berikutnya diadakan?”
“Bulan depan.”
Sejak awal, nilainya Tennoji-san dan Hinako tidak terpaut terlalu jauh. Jadi jika dia belajar dengan giat selama satu bulan kedepan, ada kemungkin kalau Tennoji-san akan bisa mengalahkan Hinako.
“Sedangkan kamu, Tomonari-san, targetmu adalah mendapatkan peringkat lima puluh besar dalam ujian berikutnya.”
“Eh?” Pernyataannya yang tiba-tiba itu sontak membuatku terkejut. “Lima puluh besar...? Bahkan di ujian baru-baru ini saja nilaiku sedikit di bawah rata-rata, jadi kurasa target seperti itu sedikit......”
“Jangan khawatir. Lagipula, diriku ada di sini untuk mengajarimu semua yang aku tahu.”
Terhadap Tennoji-san yang tampak percaya diri dan menunjukkan ekspresi berseri-seri, aku hanya bisa menunjukkan ekspresi rumit.
Ya ampun, semakin banyak aku menunjukkan kelemahanku padanya, semakin aku merasa seperti aku membawa lebih banyak masalah kepada diriku sendiri. Tapi yah, ayo percaya saja padanya dan berusaha di sini.
“Dan juga, Tomonari-san, kau bilang kau ingin diajari etiket, kan? Apa ada alasan khusus yang membuatmu jadi ingin mempelajari etiket?”
Menerima pertanyaan itu darinya, aku berpikir sejenak, dan kemudian menjawabnya.
“Saat aku menghadiri acara pertemuan sosial yang diadakan Keluarga Konohana tempo hari..., aku merasa bahwa aku masih tidak terbiasa menghabiskan waktuku secara alami di tempat seperti itu. Makanya, paling tidak, aku ingin belajar bagaimana beperilaku dengan baik sehingga aku tidak akan mempermalukan diriku sendiri.”
“Pemikiran yang bagus.” Mengatakan itu, Tennoji-san mengangguk puas. “Kalau gitu, aku akan mengajarimu etiket untuk pertemuan sosial. Seperti misalnya, etiket meja makan, cara berbicara, dan sekalian pula dengan tarian dansa.”
“D-Dansa?”
“Dansa apa yang bisa kau lakukan, Tomonari-san?”
Sekalipun dia bertanya seperti itu, jika aku harus menjawabnya, maka yang bisa kulakukan adalah tarian yang pernah kulatih di saat festival olahraga—
“...Kurasa.... tari Sōran Bushi...”
“Apa? Tadi aku gak dengar?”
“Maaf, aku tidak bisa menarikan dansa apa pun.”
Lagian gak mungkin ‘kan aku menarikan tarian Sōran Bushi di acara pertemuan sosial. Tidak, mungkin itu memang menarik, tapi sebagai ganti aku bisa memberikan hiburan untuk orang yang melihatnya, mungkin setelah itu aku malah akan kehilangan statusku.
[Catatan Penerjemah: Sōran Bushi adalah salah satu tarian tradisional asal Jepang yang terkenal.]
“Kalau gitu, aku juga akan mengajarimu dasar-dasar dansa.” Kata Tennoji-san, dan kemudian dia lanjut berbicara. “Baiklah, kita sudah punya gambaran umum tentang apa yang kita targetkan. Jadi, ayo kita mulai pembelajaranya. Sampai pukul enam sore nanti kita akan terus belajar akademis, lalu setelah itu aku akan mengajarimu etiket.”
“Ya, mohon bimbingannya.”
Pukul 6 sore.
Pembelajaran hari ini berjalan dengan lancar. Setelah aku selesai mengerjakan soal yang diberikan Tennoji-san, sekarang aku memintanya untuk memeriksa jawabanku.
“...Hm, kurang lebih aku mengerti.” Setelah memeriksa jawabanku, Tennoji-san bergumam. “Sepertinya tiap harinya kau selalu belajar dengan baik. Pada tingkat ini, kau pasti akan bisa mendapatkan nilai yang lebih baik daripada sebelumnya.”
“Terima kasih.”
Tentunya, pelajaran yang Shizune-san berikan untukku sangatlah bermanfaat, tapi sekali lagi, Tennoji-san yang berada di posisi yang sama yaitu pelajar sepertiku bisa mengajariku cara mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Kedepannya, aku mungkin perlu untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan lain, tapi apa yang paling kubutuhkan saat ini adalah nilai yang memungkinkan bagiku untuk berada di sekitar Hinako tanpa adanya rasa ketidaknyamanan.
“Kau sendiri bagaimana, Tennoji-san? Apa belajar bareng ini bermanfaat untukmu?”
“Ya, ini lebih bermanfaat daripada yang kupikirkan. Malah kurasa aku mungkin suka saat aku sedang mengajari orang lain seperti ini,” kata Tennoji-san, tampak merasa terkejut terhadap dirinya sendiri.
Karena kami cuman berduaan, baik aku dan Tennoji-san bisa berkonsentrasi pada sesi belajar hari ini. Namun, alasan aku bisa berkonsentrasi pada pelajaranku mungkin karena Tennoji-san mengajariku dengan serius.
“Tennoji-san, mengapa kau memiliki hubungan persaingan dengan Konohana-san?”
Secara tak sadar, aku menanyakan sesuatu yang membuatku penasaran.
“Tidak ada alasan yang khusus untuk itu.” Tennoji-san sedikit menurunkan pandangannya, lalu kemudian dia menatap ke arahku lagi dan menjawabku. “Sekadar memberitahumu, tidak ada hubungan seperti itu antara aku dan Konohana-san... Bisa dibilang, selama aku adalah putri dari Keluarga Tennoji, aku tidak boleh tertinggal dari siswa ataupun siswi lain.”
“...Apa itu seperti aturan dari keluargamu?”
“Tidak, ini adalah aturan yang kubuat dan kutetapkan untuk diriku sendiri.”
Mengapa dia memaksakan aturan yang ketat seperti itu pada dirinya sendiri? Saat aku bertanya-tanya seperti itu, Tennoji-san lanjut berbicara.
“Bisa dikatakan, akademi ini adalah mikrokosmos masyarakat. Jika kau kalah dari seseorang di akademi ini, maka kau pasti akan kalah di masa depan... Aku meyakini bahwa Grup Tennoji adalah grup perusahaan yang terbaik di Jepang. Karenanya, jika aku kalah, maka itu akan bertentangan dengan apa yang kuyakini.”
Menurutku itu adalah pemikiran yang luar biasa.
Jika ada seseorang yang mengatakan ini di SMA-ku yang sebelumnya, aku yakin orang itu pasti akan ditertawakan. Namun akademi ini adalah lingkungan khusus. Pernyataan yang Tennoji-san ucapkan sangatlah realistis..., apalagi, itu terdengar seperti niat yang serius karena diucapkan oleh Tennoji-san yang selalu bertindak dengan tulus.
Tapi di sisi lain, aku yang lahir dan dibesarkan sebagai orang biasa, mau tak mau akan bertanya-tanya seperti ini:
“...Pernahkan kau berpikir bahwa cara hidup seperti itu menyakitkan?”
“Tidak sama sekali.” Tennoji-san langsung menjawabku. “Sebagai putri dari Keluarga Tennoji, aku akan berkontribusi pada Keluarga Tennoji. Itu adalah misiku..., dan itu adalah kebahagiaan yang kuinginkan.”
Penampilannya yang mengatakan itu dengan sangat bermartabat benar-benar khas dari dirinya yang biasanya. Aku jadi menyesal telah menanyakan pertanyaan yang tidak perlu dipertanyakan seperti itu kepadanya.
“Baiklah, selanjutnya kita akan belajar etiket.”
Setelah menyimpan buku-buku pelajaran, Tennoji-san langsung bersiap untuk memulai pelajaran etiket.
“Tennoji-san, aku punya permintaan untukmu, bisakah aku memintamu untuk fokus pada etiket meja makan terlebih dahulu?”
“Boleh saja, tapi apa ada alasan untuk itu?”
“Erm, yah..., aku punya alasan pribadi tentang itu.”
Karena aku tidak yakin aku bisa menjelaskan alasannya dengan baik, jadi kuputuskan untuk hanya mengatakan itu kepadanya. Terhadapku yang seperti itu, entah apakah Tennoji-san bisa mengerti situasiku, jadi dia tidak menungkitnya lebih jauh lagi.
“Kalau gitu, bagaimana jika untuk beberapa hari ini kau juga sekalian makan malam bersamaku, Tomonari-san?”
“Makan malam?”
“Ya, aku akan mengajarimu etiket meja makan dengan mempraktekkannya secara langsung. Untungnya, di akademi ini kita bisa makan hidangan dari berbagai negara, jadi aku yakin kau akan bisa mendapatkan pelajaran yang memuaskan.”
Ooh, begitu ya. Jadi dia ingin aku belajar etiket meja makan sambil makan malam di akademi. Itu adalah usulan efisien yang jelas ingin kuterima, tapi untuk berjaga-jaga aku akan mengkonsultasikannya lebih dulu pada Shizune-san.
“Sebentar, aku akan bertanya soal itu dulu pada kelaurgaku.”
Mengatakan itu, aku meninggalkan kursiku dan mengeluarkan ponselku saat aku tiba di belakang gedung akademi.
[Ada apa, Itsuki-sama?]
Shizune-san memanggilku dengan honorifik ‘sama’. Kurasa dia sedang berpura-pura menjadi pelayanku kalau-kalau ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan kami.
“Tennoji-san mengusulkan agar aku makan malam bersamanya, jadi bisakah mulai hari ini dan beberapa hari kedepan aku akan makan malam di akademi? Dia bilang dia akan mengajariku etiket meja makan dengan mempratekkannya secara langsung.”
[Baiklah, tidak adalah masalah dengan itu, tapi...,] di tengah-tengah kalimatnya, Shizune-san berhenti berbicara, dan kemudian, [Maaf, Ojou-sama sepertinya ingin berbicara, jadi tolong tunggu sebentar.]
Hinako? Ada apa, ya?
[Itsuki...?]
“Ya, ada apa?”
[...Hari ini kau bakal pulang terlambat?] tanya Hinako, dengan nada suara yang terdengar sedikit kecewa.
“Mungkin bukan hari ini saja, tapi untuk beberapa hari kedepan aku akan pulang terlambat.”
Saat aku menjawabnya seperti itu, Hinako terdiam selama beberapa detik.
[Usahakan... pulang secepat mungkin, ya.]
Setelah mengatakan itu, Hinako mengembalikan teleponnya ke Shizune-san.
[Jadi begitulah, saya juga akan sangat menghargainya jika anda bisa pulang secepat mungkin.]
“...Aku mengerti.”
Setelah itu, kami kemudian mendiskusikan jam berapa Shizune-san akan datang menjemputku.
Nah, dalam hal ini, aku tetap tidak boleh lupa dengan tujuanku yang sebenarnya. Aku adalah pengurusnya Hinako. Saat ini, aku memang sedang berada dalam posisi dimana aku diajari oleh Tennoji-san. Namun demikian, aku mesti berusaha untuk sebisa mungkin tetap berada dekat dengan Hinako supaya aku tidak berakhir terjatuh di tempat yang salah.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.”
Saat aku kembali ke kafe, kulihat Tennoji-san sedang mempersiapkan pelajaran berikutnya. Karena di sini sudah ada berbagai peratalan makan yang ditata, maka kurasa dia meminta bantuan dari pelayan kafe ini.
“Kau juga sangat-sangat serius soal ini ya…”
“Aku hanya menanggapi motivasimu saja kok,” ucap Tennoji-san, seolah-olah itu adalah kewajaran.
“Meskipun agak terlambat untuk menanyakan ini, tapi apa tidak apa-apa jika dalam hal ini aku saja yang diuntungkan?”
“Kupikir kita sudah pernah membicarakan perihal itu, kan? Jangan khawatir, saat ini aku juga bersenang-senang dalam menghabiskan waktuku dengan caraku sendiri kok.” Setelah mengatakan itu, Tennoji-san lanjut berbicara dengan suara yang pelan. “Selain itu... Aku hanya merasa ingin sedikit ikut campur karena kau sangat mirip dengan diriku yang dulu.”
Mendengar apa yang dia katakan, aku memiringkan kepalaku.
“Apa yang kau maksud dengan itu...?”
“Baiklah, ayo kita mulai pembelajaran etiketnya.”
Seolah-olah ingin menyingkirkan topik itu, Tennoji-san memulai pembelajaran etiket.
Pukul 8 malam.
Setelah sesi belajar dengan Tennoji-san selesai, aku pulang ke mansion Keluarga Konohana dengan dijemput menggunakan mobil.
“Aku pulang.”
“Kerja bagus untuk hari ini, Itsuki-san.”
Segera setelah aku memasuki mansion, aku langsung bertemu dengan Shizune-san.
“Kupikir untuk beberapa hari kedepan aku akan pulang di sekitar waktu seperti ini.”
“Aku mengerti. Lalu, untuk sekedar memastikan, bisakah aku tahu apa yang telah kau pelajari hari ini?”
“Ya.”
Sambil berjalan menuju kamarku, aku memberitahukan apa yang hari ini telah Tennoji-san ajarkan kepadaku pada Shizune-san.
“——Kurang lebih itu yang kupelajari hari ini.”
“Begitu ya... Kurasa di lain waktu aku harus mengucapkan terima kasih kepada Tennoji-sama. Dari apa yang kudengar barusan, tampaknya dia mengajarimu dengan sangat sungguh-sungguh.”
“...Ya, dia memang sangat sungguh-sungguh”
Itu adalah apa yang aku sendiri pun juga sadari.
Tennoji-san pribadi mengatakan itu merupakan caranya untuk menghabiskan waktunya dengan melakukan sesuatu yang berarti, tapi dari sudut pandang lain, mau dilihat dari manapun dalam hal ini aku lah yang diuntungkan secara sepihak. Karenanya, sekali lagi, aku juga mesti mengucapkan terima kasih kepadanya.
“Tapi kenapa kau ingin fokus pada etiket meja terlebih dahulu?”
“Mengenai itu...”
Meskipun cukup memalukan bagiku untuk mengatakan alasannya, tapi kurasa tidak apa-apa kalau mengatakannya kepada Shizune-san.
Dan dengan begitu, aku pun mulai menjelaskan alasanku pada Shizune-san.
“Oh, jadi begitu ya.” Setelah mendengakan penjelasanku, Shizune-san menganggukkan kepalanya. “Aku senang mengetahui kalau kau tidak melupakan peranmu sebagai seorang pengurus.”
“Yah..., lagipula sejak awal, untuk hal itulah aku ingin agar bisa belajar banyak hal dari Tennoji-san.”
Saat aku mengatakan itu, Shizune-san menanggapiku dengan senyum puas.
“Baiklah, sekarang, Ojou-sama ingin bertemu denganmu, jadi segeralah menemuinya.”
“Eh? Aku tidak belajar diri dulu?”
“Begitu pembelajaran dansamu dimulai, kekuatan fisikmu pasti akan terkuras habis. Jadi dengan memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya, untuk sementara waktu ini kita akan menurunkan prioritas pelajaran bela diri.”
Sebagai hasil dari diskusiku dengan Tennoji-san, sesi belajar dansa akan dimulai besok atau lusa. Karena kami tidak bisa mengadakan sesi belajar dansa di kafe, jadinya kami mesti mengatur tempat terlebih dahulu. Dan karena hari ini kami belum membuat pengaturan untuk itu, makanya hari ini kami tidak mengadakan sesi belajar dansa.
“Selain itu, akhir-akhir ini juga dojo sering ramai.”
“Ramai?”
Saat aku berbicara dengan kesan tanya, Shizune-san memberikanku pandangan yang rumit.
“Tampaknya karena kau memukuli para pengawal Keluarga Konohana sebelumnya, harga diri mereka jadi rusak parah... Itu sebabnya, sejak kejadian itu, semakin banyak dari mereka yang berlatih di dojo.”
“...Erm, aku jadi merasa tidak enak soal itu.”
“Kau tidak salah kok, Itsuki-san, Malahan, itu justru adalah pencerahan yang bagus untuk mereka.” Menghela napas, Shizune-san lanjut berbicara. “Tapi, jika di masa depan kau berniat untuk menjadi pengawal Keluarga Konohana, maka aku bisa memulai pelajaran bela diri untukmu sekarang juga..., bagaimana?”
“...Untuk saat ini aku tidak punya niatan seperti itu, jadi aku menolak.”
“Begitu ya? Itu cukup disayangkan.”
Disayangkan ,ya...?
Shizune-san adalah seseorang yang sulit mengetahui batas antara lelucon dan keseriusan, tapi kupikir apa yang baru saja dia katakan itu terdengar condong ke keseriusan.
Eh..., tapi apa yang dia bilang tadi itu benaran enggak apa-apa? Apa memang mungkin bagiku untuk memiliki rencana hidup seperti itu?
Setelah selesai memandikan Hinako, aku kembali ke kamarku dan belajar sebagai persiapan materi untuk besok.
“Kurasa kalau begini kepalaku akan kelelahan.”
Menggumamkan itu, aku meletakkan pulpen di atas buku pelajaran dan sedikit meregangkan tubuhku. Lagipula, sekarang sudah jam 11 malam, dan sebagain besar hariku hari ini juga telah kuhabiskan untuk belajar.
“...Tidak, justru di saat-saat seperti ini aku harus lebih melakukan yang terbaik lagi.”
Aku mengambil pulpenku lagi dan membalik-balik buku pelajaranku.
Baru saja tadi Tennoji-san memujiku karena aku sering belajar, jadi aku mesti semangat supaya tidak menjadi malas.
Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini kupikir aku sudah menjadi seorang yang pekerja keras.
Karena orang-orang yang kutemui di Akademi Kekaisaran semuanya adalah orang-orang berlevel tinggi, jadi dalam bentuk terpengaruh oleh mereka, aku menjadi terbiasa untuk belajar setiap hari. Awalnya, aku belajar karena aku diinstruksikan oleh Shizune-san, tapi sekarang, aku belajar atas inisiatifku sendiri.
Mungkin Shizune-san juga sudah menyadari soal ini, makanya akhir-akhir ini dia juga tidak menginstruksikanku untuk belajar atau review materi.
Kalau dipikir-pikir lagi, sampai saat ini aku belum pernah melakukan upaya yang serius seperti ini. Dulu, aku merasa seperti aku yang menghadiri SMA itu tidaklah memiliki arti apapun untuk diriku sendiri, ataupun untuk orang lain.
“Teman-temanku..., apa ya yang mereka lakukan sekarang?”
Aku teringat akan hubungan yang telah kujalin sebelum aku menjadi seorang pengurus. Dan kalau sudah bernostalgia seperti ini, aku jadi merasa ingin untuk bertemu dan ngobrol-ngobrol lagi dengan mereka.
Tapi saat aku merenung seperti itu, tiba-tiba kudengar ada ketukan di pintu kamarku.
“Masuk.”
Pintu terbuka, dan orang yang kemudian masuk ke dalam kamarku adalah Hinako.
“Eh..., Hinako?”
“Mm.”
Di saat aku terkejut, Hinako hanya menggumamkan suara yang pelan.
“Kau datang ke sini sendirian? Hebat juga kau tidak tersesat?”
“Issh..., gitu amat sih ngomongnya, ini tuh rumahku, tau.”
Ooh, hebat juga dia bisa mengatakan sesuatu seperti itu?
Jangan lupa, gadis ini, dia bahkan akan tersesat saat berada di akademi jika dia ditinggalkan seorang diri.
“Ngomong-ngomong kamarmu cukup jauh juga, ya... Jaraknya sekitaran 30 menit dari kamarku.”
“Hah? Enggak sampai sejauh itu juga kali’!.”
Apa dia ini semacam sedang berada di dalam dungeon?
“...Kamu lagi ngapain?”
“Belajar untuk persiapan materi besok. Aku memang sudah belajar cukup banyak dari Tennoji-san, tapi itu berfokus pada persiapan untuk ujian. Makanya, aku juga harus melakukan yang terbaik supaya aku bisa mengikuti pembelajaran di kelas.”
Setelah belajar hingga sampai di titik dimana aku bisa jeda, aku berbalik dan menatap Hinako.
“Apa kau ada urusan?”
“...Enggak ada,”
“Terus ngapain kamu datang ke kamarku?”
Saat aku menanyakan itu, wajah Hinako jadi tampak merajuk.
“...Memangnya gak boleh kalau aku datang ke sini tanpa ada urusan?”
“Bukannya gak boleh...”
Masalahnya aku yang dibuat jadi bingung.
Tapi yah, sepertinya dia tidak juga tidak ingin meminta sesuatu dariku, jadi aku lanjut belajar sambil pikiranku masih terpusat pada Hinako.
“Mu~...”
Saat aku menari-narikan pulpenku dalam diam, Hinako mulau mendengus.
Kemudian, dia berguling di tempat tidurku.
“Hari ini... aku mau tidur di sini.”
“Apa?”
“Aku mau tidur di sini,” ucapnya, dengan nada yang sedikit lebih keras.
“Ruang makan jauh dari kamarku, jadi besok pagi kau pasti akan kerepotan jika tidur di sini. Kalau kau mau tidur, sebaiknya kau kembali ke kamarmu dan tidur di sana...”
“Gak mau...”
Astaga, dia bahkan sudah hampir tidur.
Melihatnya yang menyipitkan matanya itu, secara tidak sadar aku jadi tersenyum masam.
“Itsuki...”
“Hm?”
“...Sini.”
“...Ya, ya.”
Aku berhenti belajar, dan menghampiri Hinako.
“...Elus kepalaku,” pinta Hinako, saat matanya menyipit mengantuk.
“Saat di acara pertemuan sosial kemarin, kau tidak mau aku menegelus kepalamu, tapi apa sekarang tidak apa-apa?”
“Bukannya saat itu aku tidak mau...” Hinako berguling, dan memunggungiku. “Akhir-akhir ini..., ada yang aneh dengan diriku.”
“Aneh...? Apa kau sakit?”
“Mu~...”
Saat aku mengkhawatirkannya, Hinako justru mengembungkan pipinya.
Kalau dia bereaksi seperti itu, maka sepertinya dia tidak sakit.
Lalu, saat aku dengan perlahan mengelus kepala Hinako, tubuhnya tersentak sejenak, tapi segera dia mulai diam dan menerima elusanku. Baru kali ini aku melihat dia bereaksi seperti itu. Dia bilang bukannya dia tidak mau aku mengelus kepalanya, tapi..., kenapa ya? Aku jadi penasaran.
“...Aah, aku juga jadi mulai mengantuk,” gumamku, saat aku duduk di lantai sembari masih terus mengelus kepala Hinako.
“...Bagaimana jika kau tidur juga?”
“Tidak, aku harus membawamu kembali kamarmu lebih dulu...”
Saat aku dengan samar-samar mengatakan sesuatu, rasa kantukku menjadi semakin kuat. Yah, lagipula seharian ini aku terus-terusan memperkerjakan kepalaku, jadi otakku pasti lelah.
Dan kemudian, tau-tau saja. aku tertidur——
---
“...Itsuki?”
Saat Hinako merasakan tangan yang mengelus kepalanya berhenti, dia dengan perlahan mengangkat tubuhnya.
Dan kemudian, dia melihat Itsuki telah terlelap di samping tempat tidur.
Sebisa mungkin meredam suaranya saat bangkit dari tempat tidur, Hinako kemudian menatap Itsuki yang tertidur.
“...Mungkin ini pertama kalinya aku melihat wajah tidurnya.”
Karena rasa lelah yang ia dapatkan dari aktingnya sehari-hari, Hinako akan pergi tidur kapanpun dia bisa tidur. Karenanya, meskipun orang lain bisa melihat wajah tidurnya, dia pribadi jarang memiliki kesempatan untuk melihat wajah tidur orang lain.
“Apa dia kelelahan...?”
Kalau dipikir-pikir kembali, hari ini Itsuki tampak lebih mengantuk daripada biasanya saat tadi dia duduk di meja belajarnya. Dan karena Hinako sangat memahami perasaan ingin tidur saat merasa kelelahan, jadi dia memutuskan untuk tetap membiarkan Itsuki tidur.
Kemudian, Hinako mulai melihat-lihat barang yang tersebar di meja belajar.
Setelah dia melirik rumus yang tertulis di buku catatan Itsuki, dia tiba-tiba melihat sebuah buku.
“Ini..., apa ini buku panduan seorang pengurus?”
Hinako mengambil buku tebal itu dan kemudian mulai membalik-balik halamannya.
Awalnya, tidak ada yang namanya buku panduan untuk seorang pengurus seperti buku itu. Namun, karena adanya pergantian personel yang cepat dan dibutuhkan terlalu banyak waktu serta usaha untuk menjelaskan rincian dari pekerjaan ini secara lisan, jadi dibuatlah buku panduan itu.
Di dalam buku panduan tersebut, terdapat memo yang di tempel di beberapa halaman serta stabilo yang menekankan poin-poin yang mesti diperhatikan.
Saat Hinako terfokus melihat pada satu memo, dia melihat di memo tersebut ada tertulis beberapa merk es krim kesukaannya. Di sebelah nama-nama merk es krim itu juga ada catatan yang menuliskan: “Belilah ketika aku bisa membelinya dan simpan di kulkas di kamarku!”.
Membaca memo tersebut, Hinako merasakan dadanya terasa sesak. Tapi, sebelum rasa sesak di dadanya itu sempat menghilang, ada seseorang yang masuk ke dalam kamar.
“Ojou-sama?”
Orang itu adalah Shizune, dan dia berjalan menghampiri Hinako dengan raut wajah yang tampak penasaran.
“Aku melihat pintu kamar ini terbuka, jadi aku penasaran untuk masuk dan melihat apakah ada sesuatu yang terjadi, tapi...”
“...Ssssttttt.”
Hinako mengangkat jari telunjuknya ke depan bibirnya dan mengalihkan pandangannya ke arah Itsuki yang sedang tertidur.
Mengikuti arah pandangan Hinako, Shizune kemudian langsung mengerti situasi saat ini.
“Ya ampun, bagaimana bisa dia menjadi pengurus yang baik jika dia tertidur lebih dulu daripada anda.”
Meskipun Shizune berkata demikian, namun ekspresi di wajahnya tidak tampak kalau dia sedang marah.
Shizune mungkin juga bisa mengerti kerja keras yang Itsuki lakukan akhir-kahir ini. Namun demikian, karena pada dasarnya Itsuki adalah seorang yang selalu serius, jadi bahkan jika Shizune tidak mengatakan apa-apa, ketika dia bangun nanti, secara alami Itsuki pasti akan merenungkan soal ini.
“Ojou-sama, kalau anda mau, saya bisa menuntun anda kembali ke kamar anda.”
“...Mm.”
Hinako menganggukkan kepalanya, dan meninggalkan kamar Itsuki bersama Shizune.
“Shizune.”
“Ya?”
“...Ada yang aneh dengan diriku.” Bergumam pelan seperti itu, Hinako lanjut berbicara. “Meskipun aku merasa senang bahwa Itsuki adalah pengurusku..., tapi, entah mengapa pemikiran bahwa aku diurus oleh Itsuki memberiku perasaan yang tidak nyaman.”
“...Perasaan tidak nyaman?”
Kalau itu dulu, maka Shizune pasti akan mencurigai ada sesuatu yang salah dengan Itsuki, tapi sekarang dia tidak akan seperti itu. Mereka telah bekerja di bawah atap yang sama selama lebih dari satu bulan, jadi Shizune tahu betul kalau Itsuki-san adalah seorang yang tulus.
“Apa anda tidak puas dengan fakta bahwa Itsuki-san adalah pengurus anda?”
“...Bukan begitu.”
Hinako menggelengkan kepalanya, namun ekspresinya tampak gelisah.
Saat mereka terus berbicara seperti itu, mereka sampai di depan kamar Hinako, dan saat Shizune membuka pintu, dengan perlahan Hinako berjalan masuk ke kamarnya.
“Bukan begitu, tapi..., kupikir, menjadi pengurusku saja tidaklah cukup.”
Hinako merobohkan tubuhnya ke tempat tidur, dan kemudian menempatkan lengannya di atas kelopak matanya saat dia mencurahkan kecemasannya.
“Apa alasan Itsuki yang mau mendengarkan kata-kataku adalah karena itu merupakan pekerjaannya?”
Setelah mendengar kata-kata itu, Shizune jadi menyadari apa yang sebenarnya di cemaskan oleh Hinako. Hal itu secara tidak sadar ingin membuatnya jadi tersenyum, tapi dia tetap bisa menahan perubahan ekspresi di wajahnya.
“Anda tidak perlu khawatir.” Dengan nada suara yang lembut, Shizune lanjut berbicara. “Karena alasan mengapa Itsuki-san mau berada di sisi anda bukanlah hanya karena itu adalah pekerjaannya.”
“...Sungguh?”
“Ya, namun, kurasa itu akan memakan waktu yang cukup lama sebelum anda bisa mengerti itu.”
Awalnya, Itsuki yang menerima pekerjaan untuk menjadi seorang pengurus ini adalah karena dia tidak punya uang. Tapi jika yang dia pikirkan hanyalah uang, maka dia harusnya tidak akan mau memprotes Kagen dan kembali bekerja menjadi pengurus lagi. Itsuki saat ini tidaklah seperti dia di masa lalu. Saat ini, Itsuki menjadi pengurus Hinako dengan perasaan bahwa itu adalah sesuatu yang lebih daripada pekerjaannya.
Namun masalahnya, Hinako tidaklah peka pada bagian yang penting seperti itu. Padahal harusnya, hal itu merupakan sesuatu yang mudah dia mengerti jika dia memikirkannya dengan baik.
“Tapi ngomong-ngomong, ini yang pertama kalinya ya anda berkonsultasi secara pribadi seperti ini pada saya.”
“...Begitukah?”
“Ya.”
Hmm? , memiringkan kepalanya, Hinako mulai mengingat-ngingat masa lalu.
Shizune sontak tersenyum saat ia melihat adegan ini. Di dalam hatinya, dia merasa senang saat menyaksikan putrinya yang kian tumbuh semakin dewasa.
“...Duh, apasih yang kupikirkan.”
Kenyataannya sih, Shizune masih belum punya keinginan untuk menjadi seorang ibu.
Kemudian, melihat Hinako yang tau-tau saja sudah tertidur, Shizune memasangkan selimut kepadanya dan meninggalkan kamar Hinako.
Seminggu semenjak aku mulai menghabiskan waktuku bersama Tennoji-san saat sepulang sekolah.
“Selamat pagi.”
Membuka pintu ruang kelas, aku langsung menyapa teman-teman sekelasku. Siswa-siswi di dekatku kemudian tersenyum ramah serta membalas sapaanku, dan dengan perasaan hangat di dadaku atas tanggapan mereka, aku duduk di kursiku.
Akhir-akhir ini..., kupikir meskipun sedikit aku sudah bisa beradaptasi dengan suasana di Akademi Kekaisaran. Dan mungkin, itu karena aku telah belajar tentang etiket dari Tennoji-san. Semakin aku banyak belajar tentang etiket, semakin aku bisa memahami betapa siswa-siswi di akademi ini sangat peduli dengan etiket mereka. Dan semakin aku ingin menanggapi apa yang mereka pedulikan itu, tampkanya itu juga semakin meningkatkan ambisiku untuk lebih banyak belajar lagi.
“Yo, Tomonari.”
“Selamat pagi, Tomonari-kun.”
Taisho dan Asahi-san menghampiriku.
“Ngomong-ngomong, Tomonari, apa akhir-akhir ini kau melakukan sesuatu dengan Tennoji-san?” Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba Taisho menanyaiku seperti itu.
“Fufufu... Ada banyak orang juga loh yang mengatakan kalau mereka melihat kalian berduaan~? Mereka bilang, akhir-akhir ini setiap hari kalian akan ketemuan saat sepulang sekolah,” ucap Asahi-san, tampak sangat tertarik dengan topik ini.
Dalama hal ini aku merasa seperti mereka memiliki asumsi yang salah, jadi aku memutuskan untuk memberikan penjelasan pada mereka.
“Sebenarnya, akhir-akhir ini aku mempelajari etiket dari Tennoji-san.”
“Etiket?”
Terhadap Asahi-san yang bertanya balik seperti itu, aku menganggukkan kepalaku.
“Ya, ini semacam perpanjangan dari sesi belajar kelompok yang pernah kita lakukan sebelumnya.”
“Oh, begitu toh, kupikir kau sedang mengincar reverse gem.”
[Catatan Penerjemah: Idiom ‘Gyaku Tamanokoshi atau Gyakutama (逆玉の輿)’, yang artinya, ketika seorang pria menikahi wanita kaya, pria itu akan menjadi orang kaya. Simpelnya sih, matre.]
“Sayangnya aku bukan orang yang seperti itu.”
Terhadap Asahi-san yang membuat anggapan konyol, aku menjawabnya dengan datar.
“Oh, baru saja dibicarakan, orangnya sudah muncul,” kata Taisho, saat dia melihat ke arah pintu ruang kelas.
Saat aku mengikuti arah pandangannya, aku melihat di sana ada Tennoji-san.
Di depan pintu, Tennoji-san menatap ke arah kami—atau lebih tepatnya, ke arahku—dan kemudian memanggilku.
Sambil bertanya-tanya apa urusannya memanggilku, aku pun menghampirinya.
“Selamat pagi, Tennoji-san, ada apa?”
“Selamat pagi. Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”
Mau dia bicarakan?
“Sampai tadi aku melupakannya, tapi kafe yang sering kita datangi biasanya akan tutup karena hari libur mereka, dan hari libur itu adalah hari ini.”
“Oh..., jadi begitu ya.”
Biasanya, saat sepulang sekolah, kami akan mengadakan sesi belajar di kafe yang berada di sebelah kantin akademi. Dan karena kafe itu memiliki menu makanan dari berbagai negara, jadi kafe itu juga sangat berguna untuk dijadikan tempat berlatih etiket meja makan.
“Kalau begitu, kita akan mengadakan sesi belajar di tempat lain..., dan kurasa pembelajaran etiket meja makan kita tunda dulu.”
“Nah, mengenai itu, aku punya satu saran.” Ucap Tennoji-san, dan kemudian dia lanjut berbicara. “Maukah kau datang ke rumahku?”
“...Eh?”
Mendengar saran yang tidak terduga itu, aku sontak memiringkan kepalaku.
“Dalam mempelajari etiket, bagian tersulitnya adalah pembiasaan. Entah segugup apapun dirimu di awal-awal melakukan etiket, setelah terbiasa dengan situasi dan lingkungan, kau akan bisa tenang secara alami. ...Namun, ketenangan itu hanya bisa diperoleh dari membiasakan diri dengan situasi, dan itu tidak bisa diperoleh hanya dari mempelajari etiket saja.”
“Kurasa kau benar.”
“Ya. Itu sebabnya, kupikir akan lebih baik untuk mengubah lokasi secara tertatur agar bisa membuatmu lebih membiasakan diri. Dan karena ini adalah kesempatan yang bagus untuk itu, bagaimana kalau hari ini kita mengadakan sesi belajar di rumahku?”
Tennoji-san memberikanku penjelasan secara logis, dan terhadap saran darinya itu, aku——
“...Itulah yang kami bicarakan tadi. Jadi, bagaimana?”
Istirahat makan siang.
Seperti biasanya, aku bertemu dengan Hinako di gedung sekolah lama, dan aku menceritakan padanya tentang usulan yang Tennoji-san ajukan kepadaku.
Aku memang sudah diberitahukan kalau aku bebas dalam menjalin hubungan di akademi ini, tapi tetap saja, aku masihlah pengurusnya Hinako. Kupikir itu logis untuk menanyakan pendapatnya Hinako terlebih dahulu.
“...Mu~”
“Hinako?”
“Muu~~~~~…”
Tidak seperti biasanya, Hinako tampak sedang berpikir dengan serius.
Sejujurnya, menurutku dia tidak perlu sampai berpikir terlalu serius tentang ini, tapi..., dia masih menunjukkan eksrpesi wajah yang rumit sambil menyilangkan tangannya.
“...Itsuki.”
“Apa?”
“...Apa kau akan menginap di sana?”
Entah kenapa, Hinako menanyakan itu dengan takut-takut dan tanpa melakukan kontak mata denganku.
“Tidak, aku akan pulang setelah sesi belajarnya selesai.”
“...Baiklah, kau boleh pergi.”
Sekalipun dia bilang begitu, dia masih menunjukkan ekspresi rumit di wajahnya.
“Itsuki..., apa kau menikmati sesi belajarmu dengan Tennoji-san?”
“Ya. Tennoji-san adalah tipe orang yang bahkan tidak memberikan kompromi sekalipun dia berinteraksi dengan kenalannya, makanya secara alami pun aku jadi bisa mengikuti pembelajaran darinya...”
“...Fu~un.”
Sangat jarang menemukan seseorang yang bisa bersikap tegas pada kenalannya. Biasanya, saat berhadapan dengan seorang kenalan, perasaan “aku tidak ingin dibenci” akan sangat mendominasi diri, tapi Tennoji-san tidaklah seperti itu. Mungkin karena dia memiliki keyakinan yang mutlak pada dirinya sendiri, makanya dia dapat lebih menekankan bagaimana dia akan berperilaku daripada apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya.
Mengesampingkan posisiku saat ini, perilakunya yang bermartabat itu adalah suatu hal yang sangat kukagumi.
Tapi saat aku berpikir seperti itu, kusadari kalau Hinako sedang menarik ujung baju seragamku.
“...Kau adalah pengurusku.”
“Eh?
“Itsuki..., kau adalah pengurusku.”
Dia menatap mataku dengan lugas dari jarak yang dekat.
Aku dibuat kewalahan saat melihat wajahnya yang menawan tampak di depan mataku. Dan meskipun kami tinggal di mansion yang sama, entah mengapa, saat ini aku mencium ada aroma harum yang berbeda dari biasanya datang dari Hinako.
“...Iya, aku tahu kok.”
Untuk meredam kewalahanku, aku mulai mengambil napas dengan pelan dan menghembuskannya. Kemudian, aku melihat ke arah kotak bekal makan siang di tanganku.
“Tenang saja, aku tahu kok... Jadi untuk saat ini, berhentilah menaruh sayuran ke dalam kotak bekal makan siangku.”
“...Eh, jadi aku ketahuan, ya.”
Asataga,dia ini benar-benar nyonya yang cerdik dalam membuat pengalihan.
Lanjuts
ReplyDeletelanjut min
ReplyDeleteUwoogghhhh, Hinako mulai cemburu
ReplyDeleteasbddnydfvhjxvhgcvgcccgkcf
Niceee
ReplyDeleteHehehehehehehehehehe nice nice nice
ReplyDelete