Bab 2
Selamat Datang di Rumah Keluarga Tennoji
Setelah mendapatkan izin dari Hinako untuk mengunjungi rumahnya Tennoji-san, tidak lama kemudian aku juga mendapatkan izin dari Shizune-san.
Saat akhirnya waktu pulang sekolah tiba, bersama Tennoji-san, aku masuk ke mobil jemputannya dan menuju ke kediaman tempat dia tinggal.
“Jadi ini rumahmu, Tennoji-san...”
Sama seperti Hinako, Tennoji-san tidak tinggal di kediaman utama Keluarga Tennoji, itu sebabnya aku dibawa ke kediaman terpisah. Namun, sama seperti kasusku saat pertama kali melihat rumah Hinako, rumahnya Tennoji-san adalah mansion yang benar-benar besar sampai-sampai aku tidak percaya bahwa ini adalah kediaman terpisah.
Meski begitu, penampilan dari mansion ini sangat berbeda dari mansion Keluarga Konohana.
Kalau mau dikatakan dengan singkat apa perbedaannya, maka mansion ini sangatlah mencolok. Di sisi lain gerbang besar terdapat taman yang megah, dan bahkan dari kejauhan pun, bunga warna-warni yang ditanam di taman itu tampan sangat indah. Aku yakin, orang-orang yang berjalan melewati tempat ini pasti akan berhenti berjalan saat mereka melihat pemandangan ini. Gerbang dan dinding yang mengelilingi mansion ini juga didekorasi dengan rumit, membuatku merasa seolah-olah aku sedang melihat suatu karya seni.
“Dibandingkan dengan tempat tinggal Keluarga Konohana, tempat tampak jauh lebih mencolok dan indah...”
Secara tidak sadar, gumaman itu terlontar dari mulutku.
“Kau tahu rumahnya Konohana-san?”
“Erm, yah, tentang itu..., karena keadaan keluargaku, aku pernah ke sana beberapa kali untuk menyapa mereka.”
“Oh, jadi begitu ya.”
Hampir aja aku keceplosan.
Kenyataannya sih, alih-alih menyapa, aku justru tinggal di mansion Keluarga Konohana. Tapi, aku tidak boleh membiarkan Tennoji-san tahu tentang itu.
Gerbang kemudian terbuak, dan dengan dikelilingi oleh beberapa pelayan, kami menuju ke dalam mansion. Dalam perjalanan melalui jalan yang lebar, kulihat tidak adanya setitik pun kotoran di sekitaran jalanan itu.
“Indah dan bermartabat, itulah kebijakan Keluarga Tennoji. Sekalipun ini adalah kediaman terpisah, kebijakan itu tetaplah tidak berubah... Bahkan taman ini pun juga diperhitungkan agar terlihat indah saat dilihat dari luar gerbang loh.
“...Ya, aku sendiri juga berpikir ini indah.”
Saat aku mengatakan itu, Tennoji-san menanggapiku dengan senyum bahagia.
Saat kami masuk ke dalam mansion, kulihat interiorya juga sangat indah meskipun aku pribadi sudah menduga perihal ini. Karpet merah dengan kesan mewah dibentangkan, dan ada dekorasi emas serta perak yang bisa dilihat di sana-sini. Namun, tidak ada satupun dari dekorasi itu yang terlalu asertif, bahkan penempatan serta pantulan cahayanya pun diperhitungkan, yang membuat keberadaan dekorasi-dekorasi ini tampak seperti latar belakang.
Aku bahkan sampai merasa kalau saat ini aku sedang melihat sebuah film.
“Oh, Mirei, kau sudah pulang, ya.”
Pada saat itu, terdengar suara seorang pria datang dari lantai dua.
“Oh, ayah, aku pulang.”
Saat aku mendengar Tennoji-san mengatakan itu, aku sontak memperbaiki postur tubuhku.
Kemudian, seorang pria datang menuruni tangga spiral berwarna putih. Dia memiliki gaya rambut all-black dan janggut dandy. Fisiknya besar dan dia memiliki kesan seorang pria yang kuat. Saat aku melihat orang itu mendekatiku, tiba-tiba aku jadi merasa gugup.
“A-Anda ayahnya Tennoji-san...?”
“Ya. Sebelumnya Mirei bilang padaku bahwa dia akan mengundangmu datang ke rumah ini, jadi dia ingin agar aku bisa ada menyambutmu.”
Meskipun aku masih belum siap terhadap situasi yang begitu tiba-tiba ini, tapi sebisa mungkin aku mencoba untuk bersikap tenang.
Aku kemudian membungkuk dalam-dalam pada ayahnya Tennoji-san yang berada di depanku.
“S-Senang bertemu dengan anda, saya Itsuki Tomonari. Tennoji-san telah banyak sekali membantu saya di akademi.”
“Mm, aku Masatsugu Tennoji. Buatlah dirimu nyaman di rumah ini.”
Saat aku merasakan adanya keramahan dalam nada suaranya, aku menjadi sedikit lebih rileks.
“Ayah, hari ini dia datang ke sini bukan untuk memperdalam hubungan persahabatan, tapi untuk belajar bareng.”
“Oh, iya juga ya! Kalau begitu, belajarlah dengan baik!”
Masatsugu-san mengatakan itu sambil tersenyum cerah, tapi saat berikutnya, matanya langsung tampak menyipit tegas.
“Ngomong-ngomong, Tomonari-kun, hubungan apa yang kau miliki dengan putriku?”
“Eh? Erm, kami hanya teman sekolah yang satu angkatan...”
“Apa benar-benar hanya itu hubungan kalian? Apa tidak ada sesuatu yang mencurigakan diantara hubungan kalian? Seperti misalnya hubungan antara pria dan wanita——”
“——Ayah!” Tennoji-san meninggikan nada suaranya. “Ya ampun..., tidak ada hubungan yang tidak murni seperti itu diantara kami.”
“Baiklah, kalau kau bilang begitu, maka aku akan percaya padamu.”
Melihat Tennoji-san menyangkalnya dengan pipi yang memerah, Masatsugu-san langsung menganggukkan kepalanya.
Sepertinya, Masatsugu-san adalah orang yang lebih ramah daripada yang kupikirkan. ——Tidak, aku tidak boleh lengah. Dalam kasusnya Kagen-san, bahkan diawal-awal aku merasa kalau dia itu baik dan peduli pada putrinya. Oleh karena itu, mungkin saja Masatsugu-san juga memiliki sisi yang berhati dingin.
“Mirei, kalau tidak salah kalian akan belajar etiket meja makan, bukan?”
“Ya, dan jika bisa, aku ingin agar makan malam hari ini adalah hidangan Inggris.”
Saat Masatsugu-san mendengar permintaan Tennoji-san, dia mulai meletakkan jarinya di dagunya.
Setelah beberapa saat, sambil melirik ke arah kami, dia mulai membuka mulutnya,
“Baiklah... Dan karena jarang-jarang ada kesempatan seperti ini, jadi aku juga akan ikut bergabung dengan kalian.”
“...Eh?”
Jujur saja, mengetahui bahwa aku akan mengadakan sesi belajar di rumahnya Tennoji-san saja sudah merupakan sesuatu yang berintangan tinggi bagiku. Tapi, sekarang aku akan makan malam dengan pimpinan salah satu perusahaan yang paling terkemuka di negara ini...?
Atas saran dari Masatsugu-san, aku diundang langsung ke ruang makan Keluarga Tennoji.
Seharusnya di sini kami hanya akan megadakan sesi belajar, tapi situasinya tiba-tiba berubah menjadi praktik langsung. Namun berbanding terbalik dengan aku yang merasa gugup, Tennoji-san tampak sangat antusias dan mengatakan, “Mempraktikkannya jauh lebih baik daripada terus belajar...”, yang membuatku jadi tidak punya pilihan selian meng-iyakan.
Pukul 19:00.
Setelah meratakan hidangan Inggris yang terhampar di depanku, aku menyeka mulutku dengan bagian dalam serbetku dan metelakkan peralatan makanku diatas piring.
Segera setelah aku mengucapkan kata-kata itu, perasaan gugupku kini menjadi sedikit lebih rileks. Jujur saja, aku bahkan tidak punya waktu untuk bisa menikmati rasa dari makanan yang kumakan. Aku yakin semua hidangan yang disajikan itu berkelas, tapi pikiranku disibukkan dengan mempraktikkan etiket yang telah kupelajari dan tidak membiarkan kegugupanku tampak di wajahku.
“...Hmm.”
Duduk di seberangku, Masatsugu-san menatap lurus kearahku.”
“Kupikir bakalan seperti apa, tapi ternyata etiketmu sudah baik kok. Setidaknya, saat ini aku tidak merasa tidak nyaman saat makan bersamamu.”
“T-Terima kasih.”
Menerima pujian itu, aku sontak menundukkan kepalaku.
“Ayah, bukankah penilainmu itu sedikit naif? Gerakannya saat minum sup ‘kan tampak gugup.”
Mengatakan itu, Tennoji-san menyesap tehnya.
Gerakan yang dia lakukan itu sangatlah anggun, dimana itu bukanlah suatu gerakan yang bisa ditiru dengan mudah.
“Kau memang benar, aku juga memperhatikan kalau dia tampak gugup..., tapi yah, tidak bisa dihindari kalau dia merasa gugup, lagipula pihak lain yang dia hadapi saat ini adalah aku! Hahahahaha!” Masatsugu-san tertawa dengan keras.
Berkat dirinya, kegugupan yang menumpuk di diriku jadi semakin berkurang.
Kalau dipikirkan dengan tenang..., mungkin ini adalah kesempatan yang bagus.
Sungguh merupakan pengalaman yang berharga untuk bisa mendengar berbagai cerita dari seorang yang berada di posisi yang sangat tinggi diantara kaum-kaum kelas atas seperti dirinya. Kagen-san juga sama sepertinya, tapi karena dia selalu bekejar di kediaman utama, jadi aku jarang memiliki kesempatan untuk bertemu dengan dirinya.
Dan mumpung ini adalah kesempatan yang bagus, jadi aku juga ingin mendapatkan beberapa tips darinya.
Dengan pemikiran seperti itu, aku pun bertanya pada Masatsugu-san.
“Erm..., apa anda punya tips untuk tidak merasa gugup dalam situasi seperit ini?”
“Hmm..., biar kutanya balik, apa menurutmu ada orang yang tidak akan merasa gugup dalam situasi seperit ini?” tanya Masatsugu-san.
Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaan itu. Setidaknya selama kami makan tadi, kulihat Masatsugu-san tampak tidak gugup...
“Alasanmu menanyakan pertanyaan itu kepadaku adalah karena bagimu aku tampak seperti orang yang tidak merasa gugup, kan?”
“Eh?! T-Tidak, bukan itu maksudku...”
“Jujur saja tidak apa-apa...”
“...Erm, yah, kau benar.”
“Hahahaha! Baguslah kalau kau jujur!”
Tapi sekalipun aku bilang begitu, ini tidak seperti aku merendahkan Masatsugu-san. Justru sebaliknya, aku menanyakan pertanyaan itu karena aku mengagumi perilakunya yang bermartabat.
“Memang benar, aku adalah orang yang hampir tidak pernah merasa gugup. Entah siapa pun pihak lain yang kuhadapi, aku tetap bisa berpegang pada sikapku yang seperti ini.”
“Siapa pun pihak lain yang anda hadapi...?”
“Ya, aku tidak akan kehilangan sikap ini bahkan ketika aku berada di hadapan Perdana Menteri.”
Saat kata ‘Perdana Menteri’ dilontarkan, dalam hatiku aku langsung merasa terkejut. Namun, tidak heran jika pemimpin dari Grup Tennoji akan mengucapkan kata-kata seperti itu. Lagipula, dia berada dalam posisi dimana dia akan dapat dengan mudah mengadakan acara makan bersama Perdana Menteri jika dia mau.
Namun, yang paling membuatku terjekut adalah saat mengetahui bahwa dia akan mempertahankan sikap yang seperti ini sekalipun dia berhadapan dengan Perdana Menteri.
Aku yakin dia juga tidak bercanda, soalnya nada suaranya terdengar seperti itu adalah hal yang biasa saja baginya.
“Tapi, itu hanya berlaku pada diriku saat ini,” katanya, dan kemudian dia lanjut berbicara. “Awalnya aku tidak akan mempertahankan sikap seperti ini pada semua orang. Bahkan aku pun juga mengalami masa-masa yang sulit ketika aku masih muda. Seiring berjalannya waktu, aku terus menerus membangun banyak pengalaman, dan itulah mengapa aku bisa menjadi seperti aku yang di hari ini.”
Kemudian, Masatsugu-san menatapku dengan mata yang menunjukkan tekad yang kuat.
“Bangunlah pengalaman. Pokoknya teruslah ambil tindakan..., sekalipun kau gagal, maka jangan jadikan kegagalan itu sebagai penghalangmu. Karena ketika saatnya tiba, apa yang telah kau lakukan di masa lalu lah yang akan menjadi penopangmu.”
Dia menyatakan kata-kata itu dengan penuh keagungan.
“Kau sendiri pun pasti juga memiliki satu atau dua pengalaman yang berhasil kau capai dengan tekad yang kuat, kan?”
Pertanyaan itu membuatku teringat akan apa yang terjadi padaku sekitar setengah bulan yang lalu.
Saat itu, aku diberhentikan dari posisiku sebagai pengurus Hinako dan hampir berpisah dengan Hinako. Tapi sekali lagi, aku kembali memasuki mansion Keluarga Konohana karena aku merasa bahwa aku ingin berada di sisi Hinako. Dan tentunya, perasaan yang kurasakan saat itu merupakan suatu tekad.
“——Ya.”
Aku menegaskan itu dengan penuh percaya diri, sampai-sampai aku jadi terkejut pada diriku sendiri.
Melihatku yang seperti itu, Masatsugu-san mengangguk puas.
“Mm, sorot mata yang bagus. Aku yakin pengalaman itu akan menjadi intimu, karenanya, teruslah membuat pangalaman-pengalaman seperti itu.”
Begitu Masatsugu-san mengakhiri pembicaraan, para pelayan yang berdiri di sekitar meja makan mulai beres-beres.
Kurang lebih, kupikir aku bisa memahami pondasi dari kehebatannya Masatsugu-san.
Tidak seperti Kagen-san, orang ini tidak memancarkan aura yang tegas. Tapi itu bukan karena dia tidak bisa bersikap tegas, itu hanya karena dia merasa tidak perlu untuk bersikap tegas.
Bagi dirinya, dia percaya bahwa dia tidak perlu repot-repot untuk mengambil sikap yang tegas untuk membuat pihak lain tidak akan mengkhianatinya.
Ini juga tidak seperti dirinya asal percaya pada ketulusan dari pihak lain. Akan tetapi, Masatsugu-san yang telah berjuang sampai sejauh ini lah yang membuat pihak lain hanya bisa memberikan ketulusan mereka. Dia yang memiliki kepercayan diri seperti itu karena pengalaman-pengalaman yang dia lalui di masa lalu.
Tepat saat aku berpikir seperti itu——
“Hmm?”
Terdengar suara petir yang bergemuruh.
Masatsugu-san bergumam pelan dan melihat ke jendela, dan aku juga mengikuti arah tatapannya.
“Hujan? Sejak kapan hujannya turun...”
“Hujannya turun tepat saat kita mulai makan. Tapi karena kau sangat gugup, jadi kau tidak menyadarinya,” ucap Tennoji-san.
Seperti yang dia katakan, aku sama sekali tidak menyadari kalau dari tadi turun hujan.
“Ada peringatan hujan lebat. Hm, tadi pagi kulihat di berita bahwa seharusnya hari ini hanya hujan ringan, tapi...,” kata Masatsugu-san, saat dia melihat berita di tabletnya.
“Ayah...”
“Mm, baiklah.”
Tennoji-san dan Masatsugu-san melakukan kontak mata, lalu, Masatsugu-san meletakkan tabletnya di atas meja dan menatapku.
“Tomonari-kun, hari ini kau menginap saja di rumah ini.”
“...Eh?”
Secara naluriah, aku langsung menanyai balik usulan yang begitu tiba-tiba itu.
“A-Apa tidak apa-apa jika aku menginap di rumah ini?”
“Ya, bagaimanapun juga tidaklah sopan untuk membuat tamu kami pulang dalam cuaca seperti ini,” kata Tennoji-san, seolah-olah ini adalah suatu hal yang biasa.
Aku bahkan sama sekali tidak mengerti akan pemikirannya yang seperti itu, tapi...
“...Maaf, biar kutanyakan dulu pada keluargaku.”
Mengatakan itu, aku berdiri dari kursi dan menelepon Shizune-san.
[Halo, ada apa?]
Segera, Shizune-san mengangkat teleponku.
“Jadi gini——”
Aku pun menjelaskan kepadanya bahwa Tennoji-san menyarankan agar aku menginap di rumahnya.
[Begitu ya. Yah, karena hujan ini, aku juga sudah menduga kalau situasinya akan jadi seperti ini.]
Rencana awalnya, Shizune-san akan mengirimkan jemputan untukku ketika sesi belajar kami sudah selesai. Tapi sudah pasti kalau Tennoji-san akan merasa tidak enak jika membiarkan seseorang mengemudi di tengah-tengah hujan lebat sepert ini.
[Untungnya besok adalah hari libur dan tidak ada sesuatu yang penting dengan jadwalmu. Tapi kalau begitu, Ojou-sama akan...] kata-kata Shizune-san terpotong.
“Memangya ada apa dengan Hinako?”
[......Aku tidak bisa membayangkan akan seberapa merajuknya dia nantinya.]
Kalau kupikir-pikir lagi, saat jam istirahat makan siang tadi, Hinako tampak sedikit gelisah saat dia bertanya “Apa kau akan menginap di rumahnya Tennoji-san?”. Karenanya, sekalipun ini adalah pilihan yang tidak dapat dihindari karena sekarang lagi hujan, tapi aku akan merasa tidak enak karena melanggar janjiku padanya untuk pulang.
“Erm, aku tidak yakin apakah ini akan bisa memperbaiki suasana hati Hinako atau tidak, tapi...” Dengan pengantar seperti itu, aku memberikan saran kepada Shizune-san. “Sebenarnya, hari ini, ayahnya Tennoji-san, Masatsugu-san, dia memuji etiket meja makanku. Karenanya, jika kau bisa mempersiapkan pengaturan untuk besok sesuai dengan rencana awal.......”
[......Baiklah. Aku akan mempersiapkannya.]
Seperti itu, kami terus melakukan pembicaraan kecil.
Aku sangat bersyukur karena Shizune-san adalah orang enak untuk diajak bicara
[Intinya, tidak apa-apa jika kau akan menginap. Tapi ingat, bersikaplah dengan baik saat kau berada di sana.]
“Ya.”
Setelah mengatakan itu, aku menutup telepon dan kemudian menuju meja makan tempat Tennoji-san dan ayahnya sedang menunggu.
“Maaf membuat kalian menunggu. Tadi saya diperbolehkan untuk menginap di sini, jadi hari ini saya akan berada dalam perawatan kalian.”
“Baiklah! Kalau begitu, cepat siapkan kamar tamu untuknya!”
Saat Masatsugu-san mengatakan itu dengan senang hati, pelayan di sampingnya dengan cepat pergi ke suata tempat, mungkin dia pergi untuk menyiapkan kamar tamu untukku.
“Aku punya pekerjaan yang harus kulakukan sekarang, jadi Tomonari-kun, buatlah dirimu nyaman di rumah ini.”
“Ya, terima kasih banyak.”
Aku berterima kasih setulus mungkin kepada Masatsugu-san saat dia meninggalkan kursinya. Berkat dirinya, hari ini aku benar-benar mendapatkan pengalaman yang berharga. Kedepannya. aku pasti akan memanfaatkan tips yang sebelumnya dia berikan kepadaku.
“Baiklah, kalau begitu biar kuantar kau ke kamar tamu, Tomonari-san.”
Mengatakan itu, Tennoji-san memanduku ke kamar tamu.
Saat aku berjalan menyurusuri rumah ini, kulihat bahwa tidak hanya di aula depan saja, tapi bahkan lorong yang menuju kamar tamu pun memiliki suasana yang mewah. Sungguh, Keluarga Tennoji memang benar-benar luar biasa.
“Ini kamarmu, Tomonari-san,” kata Tennoji-san, saat dia membuka pintu kamar tamu.
Di balik pintu itu, ada ruangan berukuran sekitar 12 tikar tatami lengkap dengan TV dan sofa. Ukuran ini saja sudah cukup untuk dibilang luas dan mewah untuk sekadar kamar tamu, tapi rupanya ada ruangan lain lagi di belakang yang digunakan sebagai kamar tidur.
“Kamar ini benar-benar luas...”
“Begitukah? Kupikir ukuran seperti ini itu normal-normal saja,” ucap Tennoji-san, merasa kebingungan terhadap kata-kataku.
Kalau dipikir-pikir lagi, meskipun aku tinggal di rumah Keluarga Konohana, tapi aku menggunakan kamar yang diperuntukkan bagi pelayan. Namun demikian, aku yakin kamar tamu di rumah Keluarga Konohana juga akan seluas kamar tamu di rumah ini.
“Baju ganti untukmu ada di lemari yang di sana, jadi jangan lupa untuk membawanya saat kau akan mandi di kamar mandi utama.”
“Eh, kamar mandi utama...? Apa tidak apa-apa jika aku mandi di kamar mandi utama?”
“Tentu saja tidak apa-apa. Malahan, kau mesti mandi di sana. Bisa dibilang itu adalah kamar mandi kebanggaan keluarga kami,” seru Tennoji-san, sambil membusungkan dadanya dengan bangga.
Yah, kalau dia bilang begitu, maka aku tidak akan merasa segan.
“Baiklah, sekarang aku mau mandi. Kalau kau ada butuh sesuatu, kau bisa menghubungi salah satu pelayan di sekitar.”
“Oke.”
Dengan begitu, Tennoji-san meninggalkan kamar.
Sesaat setelah pintu ditutup, aku langsung mendengus dan menghela napas.
“......Banyak sekali hal yang tak terduga terjadi hari ini.”
Kalau dipikir-pikir lagi, saat ini aku sedang menginap di rumahnya temanku yang berlawan jenis..., tapi karena rumah ini besar sekali, jadinya aku tidak terlalu menyadari fakta itu. Karenanya, kalau ditanya apakah aku merasakan perasaan gugup dalam artian yang lain, maka jawabanku adalah ‘ya’.
“Tapi intinya, aku benar-benar mempelajari banyak hal yang bermanfaat.”
Aku sangat bersyukur bahwa aku bisa menerima wejangan dari Masatsugu-san.
Selain itu, mengingat bahwa kedepannya aku masih akan bekerja sebagai pengurusnya Hinako, aku yakin cepat atau lambat aku akan diundang ke rumah orang lain seperti saat ini. Jadi, apa yang telah kulalui hari ini bisa disebut sebagai latihan untuk datangnya saat-saat seperti itu.
“...Kurasa aku juga harus segera mandi.”
Bagaimanapun juga, aku perlu untuk sedikit merilekskan tubuhku. Karenanya, ayo luangkan waktu untuk bersantai di kamar mandi yang sangat dibanggakan oleh Tennoji-san.
Mengambil jubah mandi yang disediakan, aku kemudian memanggil seorang pelayan yang lewat di depan kamarku dan memintanya menunjukkanku jalan ke kamar mandi utama.
Sesampainya di sana, aku melepaskan pakaianku dan membuka pintu kamar mandi pria dengan perasaan sedikit bersemangat.
“Ohh..., pantas saja Tennoji-san sangat membanggakan kamar mandi ini.”
Kamar mandi utama di rumah Keluarga Tennoji begitu indah sampai-sampai sulit untuk dipercaya bahwa ini adalah kediaman terpisah.
Di dalamnya ada dua pemandian yang sebesar kolam renang yang ada di akademi, dan bahkan ada pemandian luar ruangannya juga. Keran yang ada di sini adalah keran singa emas, tapi meskipun aku sudah sedikit membayangkan kalau kerannya akan seperti itu, tapi rupanya keran itu adalah patung yang sangat besar dan mencolok.
“Langit-langitnya tinggi sekali.”
Layaknya awan, uap-uap mengumpul di sekitar langit-langit.
Sambil menikmati pemandangan yang biasa tidak kulihat ini, aku membasuh tubuhku dengan ringan dan berendam di bak pemandian.
“Haa... ini rasanya seperti aku hidup kembali.”
Bukannya aku mati atau semacamnya, cuman ketika aku sendirian seperti ini, biasanya aku cenderung mengucapkan gumaman klasik seperti itu.
Tapi kalau kupikir-pikir lagi, sudah cukup lama sejak aku mandi sendirian seperti ini. Semenjak aku menjadi pengurusnya Hinako, aku biasanya akan mandi bersamanya, jadi hari ini aku merasa lebih tenang daripada biasanya.
Yah, bersantai saat mandi sendirian seperti ini memang benar-benar perasaan yang nyaman. Nyaman sih, tapi..., aku masih merasa sedikit kesepian. Sepertinya, aku akan merasa lebih nyaman kalau aku mandi bareng dengan Hinako.
“...Ara~?”
Saat itu, dari belakangku, ada terdengar suara seorang wanita.
Karena ini benar-benar tidak terduga, sontak saja tubuhku segera menjadi kaku. Saat aku melihat ke arah asal dari suara itu, kulihat ada sosok seseorang sedang berdiri di tengah-tengah uap.
“M-Mungkinkah..., kau Tennoji-san?”
“Iya, aku Tennoji,” sosok itu menjawabku dengan nada suara yang terdengar sangat tenang.
Tapi, yang tadi itu bukanlah suaranya Tennoji-san yang kukenal. Enggak, suaranya memang terdengar mirip sih, tapi yang pasti kedengarannya sedikit berbeda. Nada suaranya juga kedengaran berbeda dari biasanya.
Lalu, dari balik uap, orang itu mulai mendekatiku.
Rupanya, orang itu adalah seorang wanita muda dengan rambut berwarna kastanye yang disanggul ke belakang. Pipinya tampak dironai oleh semburat kemerahan dan ada air-air yang mengalir serta menetes di kulit segarnya. Pemandangan itu sontak membuatku secara refleks langsung mengalihkan pandanganku darinya.
Namun, wanita itu tidak berteriak ataupun pergi dari tempat ini, malah, dia justru semakin mendekatiku.
“Ooh, aku tidak menduga kalau aku akan bertemu denganmu di sini. Ufufufu, ini benar-benar pertemuan pertama yang menarik.”
Memancarkan aura yang tenang, wanita itu tersenyum sambil menutup mulutnya dengan tangannya.
“Kau pasti Tomonari-san, kan? ...Senang bertemu denganmu, aku ibunya Mirei, Hanami Tennoji. Makasih ya karena sudah banyak membantu putriku.”
“Eh, erm..., ya, aku Itsuki Tomonari. Aku juga berterima kasih karena Tennoji-san..., Mirei-san sudah banyak membantuku.”
“Ara~, kau sopan dan baik sekali~”
Terlepas dari aku yang merasa gugup, Hanami-san tersenyum kagum terhadapku.
Dia kelihatan muda sekali untuk seorang ibu dari temanku yang seumuran denganku. Dari tampangnya sih, dia tampak seperti masih berusia awal dua puluhan. Dan karena saat ini dia lagi mandi, jadi mungkin dia tidak memakai riasan. Karenanya, jujur saja, melihat penampilannya yang seperti ini, sulit bagiku untuk percaya bahwa dia adalah ibunya Tennoji-san.
“Aku dengar dari Mirei kalau kau adalah orang yang sangat rajin belajar. Jadi, tidak hanya kamar tamu, kau bisa menggunakan apa saja yang ada di mansion ini sesukamu.”
“T-Terima kasih...”
Karena dia memujiku, jadi secara refleks aku menundukkan kepalaku terhadapnya. Dan saat itulah, aku akhirnya mendapatkan kembali ketenanganku.
“—Eh! Lebih penting daripada itu, bukannya ini adalah kamar mandi pria?!”
“Oh? Benarkah?” tanya Hanami-san, sambil memiringkan kepalanya.
Lah? Bagaimana bisa orang ini tetap bersikap tenang di depan pria yang sedang telanjang?
“Ya, aku yakin ini adalah kamar mandi pria.”
“Ara-ara~, gawat dong kalau begitu.”
Tidak, reaksimu itu malah membuatku jadi merasa kebingungan. Kalau aku yang merupakan tamu di rumah ini sih mungkin wajar saja jika salah mengira kamar mandi pria dengan kamar mandi wanita, tapi dia ‘kan mengenal rumah ini dengan baik. Aku bahkan sampai ingin berpikir bahwa di sini sebenarnya akulah yang salah masuk kamar mandi.
“Yah, jarang-jarang ada kesempatan seperti ini, jadi ayo kita mandi bareng~”
“Hah?!”
Kepalaku mulai stres.
Aku tidak begitu tahu soal jarak antara hubungan pria dan wanita, tapi apakah dia ini menganggapku sebagai anak SD?
“Tomonari-san?”
Saat aku merasa kewalahan, aku mendengar suara seorang gadis datang dari balik dinding.
“Suara itu..., apa itu kau Tennoji-san?”
“Ya, ini aku.”
Oh, itu Tennoji-san yang kukenal!
Sepertinya, di sisi lain dinding yang terbentang di kamar mandi pria ini adalah kamar mandi wanita. Baguslah, dia mungkin bisa membantuku keluar dari situasi ini.
“Ngomong-ngomong, apa yang terjadi? Kudengar di sana cukup berisik...”
Mendengar suara berkesan khawatir dari Tennoji-san, aku mencoba untuk menjelaskan situasinya sambil sebisa mungkin memalingkan wajahku dari Hanami-san.
“Jadi gini——”
“—Oh, Mirei, kau ada di sana toh?” ucap Hanami-san, tepat sebelum aku bisa menjelaskan.
Dalam sekejap, kurasakan seolah-olah waktu di tempat ini jadi membeku. Di sisi lain dinding, Tennoji-san tidak berbicara apa-apa, dan hanya suara dari tetesan air yang terdengar begitu keras.
“I-Ibu!? Mengapa kau malah masuk ke kamar mandi pria—?!”
“Maaf Mirei~, sepertinya aku melakukan kesalahan lagi.”
“K-K-Kali ini kau tidak boleh beralasan seperti itu, tau! Tolong cepat keluar dari sana sekarang juga! I-Ini bisa menjadi sejarah hitam bagiku kalau sampai teman sekolahku melihat tubuh telanjangnya ibuku!”
Tentunya, itu pasti akan menjadi suatu sejarah hitam...
“Eeeeh~, tapi ‘kan jarang-jarang ada kesempatan seperti ini, jadi aku ingin berbicara banyak hal dengan Tomonari-san~”
“Ibu!!”
“Kalau perlu, bagaimana kalau kau ikut gabung ke sini juga?”
“Ibu?!”
“Kau tahu, Tomonari-san punya tubuh yang cukup bagus loh?”
Saat itu, tidak ada respon yang kembali dari Tennoji-san. Tapi setelah beberapa saat, aku mendengar ada suara langkah kaki yang tergesa-gesa datang dari ruang ganti.
“——Ibu!!”
Dengan suara bantingan yang keras, Tennoji-san membuka pintu kamar mandi pria.
Saat aku baru saja menoleh ke arahnya—aku langsung dengan cepat mengalihkan pandanganku.
Di sana, Tennoji-san berdiri dengan hanya memakai handuk mandi saja untuk menutupi tubuh telanjangnya. Tidak seperti Hinako, tubuh Tennoji-san tumbuh dengan subur, jadi sekalipun saat ini ada handuk mandi yang membalut tubuhnya, penampilannya saat ini masih tetap sulit untuk dilihat secara langsung.
Selain itu, mungkin karena dia sementara mandi, jadi kini rambutnya bornya tergerai, membuat dia jadi tampak memberikan pesona dewasa hinga aku secara natural dibuat terpana oleh penampilannya.
“C-cepat keluar dari sini! I-Ibu juga masihlah seorang wanita, jadi tolong lebih tahu malu lah sedikit!”
“Ya, ya, astaga, kau ini galak banget sih.”
Mengatakan itu, Hanami-san berdiri dengan perlahan.
Aku segera mencoba untuk memejamkan mataku, tapi tepat sebelum aku memejamkannya, sekilas aku melihat bahwa sosok Hanami-san yang terpantul di tepi penglihatanku tidaklah telanjang.
“P-Pakaian renang...?”
“Beberapa waktu yang lalu aku berenang di kolam renang, setelah itu aku langsung pergi ke kamar mandi~. Jadi tidak mungkin ‘kan kalau aku akan telanjang saat akan pergi kamar mandi?”
Terhadap Tennoji-san yang tertegun, Hanami-san memberikan penjelasan yang harusnya dari tadi dia lakukan.
Tidak, sekalipun kau mengenakan pakaian renang, tapi di sini aku telanjang....
“Tapi Mirei..., bukankah kau yang harusnya bersikap lebih tahu malu?” kata Hanami-san, saat dia menatap Tennoji-san.
Karena tergesa-gesa, mungkin Tennoj-san tidak menyadari seperti apa penampilannya saat ini. Dia sontak melihat ke tubuhnya, dan ketika dia menyadari bahwa dia cuman pakai handuk mandi, wajahnya menjadi merah cerah dan——
“Kyaaaaaaaa——?!?!?!?!?!”
Teriakan Tennoji-san bergema di kamar mandi yang luas ini.
Dan kemudian, dengan langkah kaki yang lebih tergesa-gesa daripada saat dia datang ke sini, Tennoji-san pergi dari kamar mandi.
“Astaga, dia berisik sekali ya.”
“...Kupikir setengah dari semua kejadian ini adalah salahmu.”
Aku menghela napas terhadap Hanami-san yang entah mengapa tampak tersenyum bahagia.
“Ngomong-ngomong, Tomonari-kun.”
Tiba-tiba, Hanami-san menatapku dengan ekspresi wajah serius.
Meskipun saat ini dia mengenakan pakaian renang, tapi tetap saja penampilannya itu bisa merangsang anak laki-laki yang sehat sepertiku. Karenanya, saat aku memutuskan untuk mendengarkan apa yang akan dia katakan, aku sedikit memalingkan tatapanku darinya saat aku membalikkan tubuh atasku menghadap ke arahnya.
“Apa Mirei bersenang-senang saat dia berada di akademi?”
Rupanya, topik yang dia angkat dengan ekspresi serius itu adalah perihal Tennoji-san.
Apa sebagai ibunya dia ingin tahu tentang putrinya? Oh, atau mungkinkah sejak awal Hanami-san memang bermaksud untuk menanyakan pertanyaan itu kepadaku.
Aku pun mulai mengingat tentang Tennoji-san ketika dia berada di akademi, dan kemudian..., aku langsung menganggukkan kepalaku dengan tegas.
“Ya. Tennoji-san selalu tampil bermartabat dan lugas dalam segala hal yang dia lakukan..., karenanya, aku yakin, tiap harinya dia selalu merasa bersenang-senang.”
“...Begitukah? Aku jadi senang kalau begitu,” kata Hanami-san, dan kemudian dia tersenyum lembut.
Saat itu, ekspresi wajah yang dia tunjukkan tampak seperti dia benar-benar merasa lega dari lubuk hatinya yang terdalam.
Setelah melalui keributan di kamar mandi, aku kembali ke kamar yang disediakan padaku untuk belajar.
“...Kurasa materi belajarku hari ini cukup sampai di bagian ini saja.”
Aku mengakhiri kuota materi dan ulasan yang diberikan Shizune-san kepadaku. Karena akhir-akhir ini Tennoji-san yang mengajariku belajar, jadinya aku sedikit mengabaikan kuota belajar yang Shizune-san berikan kepadaku. Namun demikian, saat aku punya waktu luang, aku harus bisa menghabiskan waktuku sebaik mungkin agar waktu itu tidak terbuang dengan percuma, makanya aku tidak boleh sampai terlalu santai.
“...Hmm, kurasa aku akan belajar sedikit lebih lama lagi.”
Mungkin karena aku belajar di lingkungan yang berbeda dari biasanya, jadi aku bisa berkonsentrasi dengan baik. Selain itu, perasaan gugup yang kumiliki juga tampaknya mencegahku untuk bersantai dan pergi tidur.
Mendapatkan kembali semangatku untuk belajar, aku mulai membalik-balik lagi buku pelajaranku.
Tapi saat itu, terdengar ada suara ketukan di pintu kamar, dan kemudian—
“Permisi.”
Orang yang muncul dari balik pintu yang terbuka adalah Tennoji-san dengan mengenakan pakaian kasualnya.
“Tennoji-san?”
“Aku membuat teh herbal, jadi kupikir sekalian membuatkannya untukmu juga,” ucap Tennoji-san, dimana di satu tangannya dia memegang nampan berisi dua cangkir teh.
Kemudian, aku mengambil salah satu dari dua cangkir yang dia bawa itu.
“Terima kasih.”
Uap yang naik dari permukaan cangkir memasuki hidungku, dimana uap itu memiliki aroma menenangkan.
“Kau benar-benar rajin sekali ya,” gumam Tennoji-san, saat dia melihat peralatan belajar yang tersebar di atas meja.
“Bukannya aku rajin..., rutinitasku memang biasanya seperti ini, jadi aku hanya merasa tidak nyaman jika aku tidak belajar.”
“...Sepertinya kau ini betul-betul membutuhkan banyak pengalaman.” Menyesap tehnya, Tennoji-san lanjut berbicara. “Alasan mengapa kau masih merasa tidak percaya diri meskipun kau sudah bekerja keras seperti ini adalah karena kamu belum bisa meraih hasil yang memuaskan, bukan? ...Di ujian bulan depan, akan kupastikan kau bisa berada di daftar peringkat yang teratas.”
“A-Aku akan melakukan yang terbaik.”
Tadi, Masatsugu-san juga memberitahuku bahwa aku harus membangun pengalaman. Memang sih, jika aku bisa berada di daftar peringkat teratas Akademi Kekaisaran, itu akan bisa menjadi suatu prestasi dan pengalaman yang bisa membuatku merasa bangga dan percaya diri.
Saat aku mulai dipenuhi dengan motivasi, di saat yang bersamaan aku merasa sangat menghormati Tennoji-san. Aku yakin, Tennoji-san pasti secara teratur bertindak dengan kesadaran diri seperti itu. Sikapnya yang selalu bisa tampil bermartabat itu tentunya tidak terbentuk begitu saja, pasti kerja keras yang dia lakukan selama ini lah yang telah membentuk sikapnya seperti hari ini.
Saat aku berpikir seperti itu, ketika aku menatap lagi ke arah Tennoji-san..., aku mendapatkan kesan yang berbeda dari biasanya dari dirinya.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, hanya saja..., ini pertama kalinya aku melihat rambutmu tergerai seperti ini.”
“Kalau dipikir-pikir lagi, kau benar juga. Lagipula aku jarang menggeraikan rambutku ketika aku berada di akademi..., dan sekarang rambutku tergerai cuman karena aku habis mandi.”
Sebenarnya, saat dia memasuki kamar mandi pria dengan tergesa-gesa tadi, sekilas aku melihat rambutnya yang tergerai. Namun, karena penampilannya saat itu sangat berbahaya, jadi aku segera memalingkan wajahku darinya.
Itu sebabnya, ketika aku kembali melihat penampilannya ini, dirinya yang menggeraikan rambutnya memiliki kesan yang lebih dewasa daripada biasanya. Tidak seperti penampilannya yang biasanya dimana aura tekadnya yang kuat sangat kentara, penampilannya ini membuatnya tampak lebih intelek. Kesenjangan antara kedua hal tersebut sangatlah menarik, membuat tatapan mataku secara tidak sadar terpaku pada dirinya.
“Hahahaha, munginkah..., kau terpana olehku yang seperti ini?” tanya Tennoji-san, sambil tersenyum menyeringai.
Karena apa yang dia katakan itu tepat sasaran, aku jadi langsung kehilangan kata-kata selama beberapa saat. Karenanya, sekalipun aku ingin menyangkalnya, itu sudah terlambat.
“...Tidak sepertimu, aku enggak terbiasa dengan situasi seperti ini,” ucapku, dengan nada merendah sambil mengalihkan pandanganku darinya.
“...Aku juga sama sepertimu.” Ucap Tennoji-san dengan suara pelan, lalu dia lanjut berbicara dengan pipi yang merona merah. “Sebenarnya, sedari tadi aku hanya mencoba untuk bersikap biasa saja... Erm..., yah, jujur saja aku merasa gugup, bagaimanapun juga ini adalah pertama kalinya aku mengundang teman laki-lakiku menginap di rumahku..., a-apalagi karena kejadian di kamar mandi tadi.”
Melihat dia yang biasanya tampil bermartabat kini tampak seperti gadis yang malu-malu membuatku secara tidak sadar menela ludahu.
Sial, ini buruk.
Tau-tau saja, suasana di antara kami jadi terasa sangat canggung. Rasa gugup yang tidak biasa mengalir deras di dalam diriku, dan kegugupan ini bahkan jauh lebih menggelisahkan daripada saat aku makan malam dengan Masatsugu-san.
Saat pikiranku terasa nge-blank, mataku teralih ke arah teh herbal di atas meja.
Baiklah, ayo minum ini dan tenangkan pikiranku.
Berpikir begitu, dengan panik aku mengambil cangkir tehku dan meminumnya, tapi——
“Panas—?!”
Karena aku meminum teh itu dengan panik, rasa sakit akibat panas yang membakar ujung lidahku langsung terasa.
“K-Kau baik-baik saja?”
Tennoji-san sontak jadi panik dan khawatir.
Panasnya sih tidak terlalu tinggi sampai bisa membuat lidahku terluka, tapi ini membuatku sedikit sulit untuk menggerakkan lidahku dengan baik. Karenanya, aku mencoba menyampaikan kepadanya bahwa aku baik-baik saja dengan melihatnya, tapi kemudian itu membuat mataku jadi saling bertatapan dengan matanya.
Saat kami saling menatap mata satu sama lain seperti itu, tiba-tiba, kami tertawa.
Suasana canggung diantara kami pun tau-tau saja sudah menghilang.
“Astaga... sudah lama sekali sejak aku merasa seperti ini,” kata Tennoji-san, dengan senyum ringan di wajahnya. “Kalau dipikir-pikir lagi, sejak pertama kali kita bertemu, kau terus-terusan berada di pikiranku. Habisnya, meskipun kau mengetahui Keluarga Konohana, tapi kau malah tidak tahu Keluarga Tennoji... K-Kau bahkan sampai menyinggung soal rambutku ini diwarnai atau tidak.”
“Soal itu, bahkan sampai sekarang pun aku masih bertanya-tanya apakah rambutmu itu diwarnai atau tidak.”
“Diam.”
Dikatai seperti itu, aku sontak menutup mulutku.
Nah, baik Masatsugu-san maupun Hanami-san, rambut mereka tidaklah pirang. Dan dengan mempertimbangkan karakteristik umum orang Jepang, besar kemungkinan kalau Tennoji-san mewarnai rambutnya.
“Oh iya, jarang-jarang aku mendapatkan kesempatan untuk mengatakan ini, jadi aku akan mengatakannya sekarang.... Aku sangat berterima kasih kepadamu. Sejak aku bertemu denganmu, kehidupan sekolahku jadi lebih dipenuhi dengan keasikan seperti ikut dalam pesta teh atau sesi belajar kelompok.”
Dari nada suaranya pun, aku bisa merasakan betapa dia berterima kasih.
Lalu, dengan senyum yang menawan, Tennoji-san lanjut berbicara.
“Selain itu, karena kau memiliki tekad yang kuat terlepas dari penampilanmu, jadi aku merasa termotivasi saat aku bersamamu... Karenanya, jika kau bisa meraih peringkat satu digit teratas dalam ujian berikutnya, maka aku akan merekrutmu untuk menjadi tangan kananku setelah kita lulus nanti.”
“...S-Sepertinya akan terlalu sulit bagiku untuk bisa meraih peringkat satu digit teratas.”
“Tentu saja itu akan sulit kalau sekarang saja kau sudah patah semangat,” ucap Tennoji-san, sambil tertawa terhadapku yang tersenyum masam.
“Tapi yah, kupikir bekerja bersamamu akan terasa menyenangkan, Tennoji-san.”
Saat aku melontarkan pemikiran seperti itu, mata Tennoji-san sontak membelalak.
“B-Begitukah?”
“Ya. Akhir-akhir ini, berkat dirimu aku jadi bisa menikmati pembelajaranku. Itu sebabnya, saat aku bekerja di masa depan nanti, kuharap aku bisa menikmati pekerjaanku seperti aku yang menikmati pembelajaranku saat ini.”
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan nanti, tapi jika aku bekerja sebagai bawahannya Tennoji-san, kupikir aku akan bisa menikmati hidupku. Berkat pengalaman yang kumiliki dari saat aku bekerja sambilan sebelumnya, aku merasa yakin dengan apa yang kupikirkan ini. Selain itu, aku juga yakin kalau Tennoji-san akan menjadi bos yang baik.
“Fufufu... Ya ‘kan! Ya ‘kan, kau pasti merasa menikmatinya, kan? Selama kau mengikutiku, aku bisa menjamin kalau kau pasti akan menikmati hidupmu,” ucap Tennoji-san, terdengar merasa sangat senang.
Selain itu, mungkin saking senangnya dengan apa yang kuucapkan, pipinya jadi sedikit memerah dan matanya tampak berbinar.
“Y-Yah, kenyataanya sih, agar kau bisa bekerja bersamaku, maka kau harus lulus ujian rekrutmen Grup Tennoji terlebih dahulu... Tidak, tapi jika kau bisa mendapatkan rekomendasi dari Akademi Kekaisaran..., atau jika kau menjadi tunanganku, maka posisi sekretaris pasti bisa kau amankan...”
“Tunangan?”
“B-B-B-Bukan apa-apa?! A-Aku hanya terlalu berlebihan dalam memikirkan masa depan!”
Melihat Tennoji-san tampak panik, aku hanya bisa memiringkan kepalaku dalam perasaan bingung.
“...S-Sepertinya aku sudah terlalu lama berada di sini,” gumam Tennoji-san, saat dia melihat jam. “Kalau begitu, sebelum aku pergi, ayo kita putuskan slogan kita!”
“Slogan?”
“Ya. Sejak zaman dahulu, dalam pertempuran, ada kata-kata yang biasa digunakan untuk meningkatkan moral pasukan, biasanya disebut sebagai teriakan perang. Seperti misalnya. ‘Ei! Ei! Oooh!’ dan ‘Musuh ada di Honnoji’ adalah contoh yang paling terkenal.”
“Oh begitu toh, jadi kita akan membuat slogan yang seperti itu.”
Tennoji-san yang menyerukan “Ei! Ei! Ooh!” tadi itu kelihatan imut.
“Ya, kalau begitu, tolong ikuti kata-kataku.”
Menganggukkan kepalanya, Tennoji-san melebarkan kelopak matanya dan mengumumkan slogan kami.
“Kalahkan, Hinako Konohana!”
“Kalahkan, Hinako——Eh?!”
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, tapi..., apa kau yakin kalau itu akan menjadi slogan kita?”
“Ya! Bukankah itu adalah slogan yang sempurna untuk kita?!”
Aku mungkin akan dipecat dari pekerjaanku saat ini jika aku mengatakan slogan itu, tapi..., kurasa aku tidak punya pilihan lain. Lagipula, aku tidak bisa menjelaskan situasiku kepada Tennoji-san, jadi di sini aku harus menyesuaikan diri.
“Kalau begitu, ayo lakukan sekali lagi!”
Menarik napas, Tennoji-san kemudian berseru—
“Kalahkan, Hinako Konohana!!”
“K-Kalahkan, Hinako Konohana!!”
Maaf ya, Hinako.
Keesokan paginya.
Setelah sarapan di mansion Keluarga Tennoji, aku menghampiri mobil hitam di luar mansion yang datang menjemputku.
"Terima kasih untuk semuanya."
Aku membungkuk dalam-dalam pada Masatsugu-san dan Tennoji-san yang repot-repot mengantarku pergi. Hanami-san tidak bisa mengantarku karena dia memiliki sesuatu yang mesti dia kerjakan, tapi kami sempat bertukar salam dengan ringan sebelum aku keluar dari mansion.
“Kau bisa datang ke sini lagi kapan saja.”
“Ya, datang lagi ya, aku tunggu!”
Setelah mendengar mereka mengatakan itu, aku masuk ke dalam mobil.
Oh iya, mobil ini adalah mobil yang disiapkan oleh Keluarga Konohana. Aku yakin Tennoji-san dan ayahnya mengira kalau aku akan pulang ke rumahku sendiri, tapi kenyataannya aku akan kembali ke kediaman terpisah Keluarga Konohana tempat Hinako dan Shizune-san tinggal.
Lalu, saat si sopir mengatakan, “Kita berangkat!”, mobil pun mulai melaju pergi.
Ngomong-ngomong, Shizune-san tidak ikut datang menjemputku karena ada kemungkinan kalau wajahnya akan diingat sebagai pelayan dari Keluarga Konohana.
Tapi mengesampingkan soal itu... kemarin aku benar-benar telah melalui hari yang sangat berarti.
Saat aku bertemu lagi dengan Tennoji-san, aku harus mengucapkan terima kasih lagi kepadanya, pikirku, sambil melihat-lihat pemandangan yang terbentang di luar jendela.
---
Setelah melihat tamunya masuk ke dalam mobil dan meninggalkan mansion, Masatsugu menatap Mirei.
“Mirei, apa kau berhubungan baik dengan dia?”
“Ya. Meskipun kami enggak satu kelas, tapi kami sering berinteraksi satu sama lain.”
Menanggapi pertanyaan dari ayahnya, Mirei memberikan peng-iya’an.
“Selain itu..., Tomonari-san juga telah sangat membantuku.”
Mirei jadi teringat akan apa yang terjadi satu bulan yang lalu.
Prestise yang dimiliki oleh Keluarga Tennoji sangat kuat. Makanya, bahkan di Akademi Kekaisaran, ada banyak orang yang menghormatinya. Namun demikian, dia tidak memiliki banyak kesempatan untuk ngobrol dengan akrab bersama orang lain karena mereka merasa bahwa mereka tidak berada di posisi yang sama seperti dirinya.
Di saat Mirei berada di situasi seperti itu, Itsuki lah yang merubah hari-harinya. Itsuki mengundang Mirei untuk bergabung ke pesta teh dan sesi belajar kelompok, dan anak laki-laki itu juga memberinya kesempatan untuk mengenal Hinako Konohana yang dia pandang sebagai saingannya dan ingin berinteraksi dengannya jika memungkinkan.
Bahkan sesi belajar bareng yang mereka lakukan akhir-akhir ini pun pada dasarnya bisa terjadi karena Itsuki. Melalui sesi belajar bareng yang mereka lakukan itu, nilai Mirei jadi meningkat dan dia bisa mendapatkan beberapa teman baik.
Saat ini, Itsuki merasa bahwa dirinya tidak memberikan sesuatu yang sepadan terhadap apa yang Mirei berikan kepadanya, tapi kenyataannya, Mirei merasa sangat berterima kasih kepada Itsuki atas semua hal yang terjadi berkat dirinya.
Selain itu——
[Kupikir bekerja bersamamu akan terasa menyenangkan, Tennoji-san.]
Mirei tidak menyangka bahwa Itsuki akan mengatakan sesuatu yang sampai membuatnya merasa sangat bahagia.
Meskipun Mirei selalu terlihat percaya diri, tapi bukan berarti dia sama sekali tidak merasa cemas akan masa depannya. Persaingannya dengan Hinako juga merupakan ekspresi dari kecemasannya bahwa jika dia kalah dari Hinako di akademi, maka dia mungkin akan terus kalah di masa depan.
Itu sebabnya, dia sangat bahagia saat mendengar perkataan Itsuki tadi malam.
Sambil mempertahankan sikap yang tegas, Itsuki menemukan dan menghapus kecemasan yang Mirei sembunyikan jauh di dalam hatinya.
Aku juga... aku merasa bahwa diriku akan bisa menyelesaikan pekerjaan apapun jika aku mengerjakannya bersamamu, Tomonari-san.
Saat Mirei tenggelam dalam pikirannya seperti itu, Masatsugu mengelus-ngelus jenggot tipisnya sambil bergumam “Hmm...” dengan suara yang kecil, lalu dia mulai berbicara...
“Apa hubunganmu dengannya adalah hubungan antara pria dan wanita?”
“Eh!? ‘K-Kan aku sudah bilang kalau kami tidak memiliki hubungan yang tidak murni seperti itu!!” Dengan wajah yang memerah, Mirei menyangkal pertanyaan Masatsugu.
Berpikir bahwa ayahnya sedang bercanda dengannya, Mirei menggerutu, “Astaga...”, dengan suara kecil, tapi kemudian——
“Begitu ya, baguslah kalau begitu.” Dengan wajah yang serius, Masatsugu menganggukkan kepalanya. “Sebenarnya, aku punya sesuatu yang mau kubicarakan denganmu... Kupikir, mungkin sudah waktunya bagimu untuk memiliki tunangan.”
Itu benar-benar pernyataan yang mengejutkan, membuat mata Mirei membelalak dan langsung bertanya balik.
“T-Tunangan?”
“Ya. Sebenarnya aku memang sudah mempertimbangkan perihal ini, tapi aku tidak pernah mengungkitnya kepadamu karena kupikir ini masih terlalu dini untukmu. Namun di acara pertemuan sosial tempo hari, aku memiliki kesempatan untuk ngobrol-ngobrol dengan perwakilan dari Keluarga Konohana. Saat itu, topik tentang pertunangan muncul, dan tampaknya dia sangat aktif dalam mempertimbangkan masalah pertunangan untuk putrinya. Dia juga bilang bahwa pertunangan bisa menjadi langkah untuk menjauhkan serangga nakal dari putrinya.”
Dengan ekspresi yang serius, Masatsugu lanjut berbicara.
“Di masa depan, pasti akan ada banyak orang yang mencoba mendekatimu karena gengsi dari Keluarga Tennoji. Tentunya, beberapa dari mereka pasti ada yang mendekatimu dengan niat jahat. Jadi dengan pemikiran seperti itu, kupikir apa yang dilakukan Keluarga Konohana ada benarnya. Meskipun begitu, aku pribadi tetap berpikir bahwa ini masih terlalu dini untukmu, tapi..., kalau kau pribadi merasa siap, maka aku tidak keberatan.”
Rupanya, topik yang Masatsugu bicarakan bukanlah berita bahwa tunangannya telah diputuskan. Karena Mirei dibesarkan sebagai putri dari Grup Tennoji, dia memang sudah menduga bahwa suatu hari dirinya akan bertunangan dengan seseorang. Namun, Mirei pikir perihal itu masih belum akan terjadi saat ini.
Akan tetapi, bukan masalah waktu yang dipikirkan oleh Mirei, melainkan——
“Tentang pertunangan itu... Apa itu demi kebaikan Keluarga Tennoji?”
Saat Mirei mengatakan itu, suaranya terdengar bergetar pelan.
Namun, seolah ingin meredam suara lemahnya barusan, Mirei bertanya lagi pada ayahnya.
“Apa aku akan bisa berkontribusi pada Keluarga Tennoji jika aku bertunangan?”
“...Hmm, yah, kurasa itu akan membuat keluarga kita menjadi lebih mudah dalam membuat rencana.”
Pertunangan untuk kaum kelas atas dapat digunakan untuk memperkuat suatu koneksi yang ada. Jika Mirei bertunangan dengan putra dari perusahaan yang berhubungan baik dengan Grup Tennoji, transaksi di masa depan pasti akan berjalan lebih lancar daripada sebelumnya. Lalu jika di masa depan pihak lain itu menjadi keluarga, maka risiko perselisihan antar perusahaan relatif mudah dihindari, dan sebaliknya akan membuat pembicaraan skala besar seperti akuisisi dan merger menjadi lebih mudah.
“Jika demikian——” Seperti biasanya, Mirei menjawab dengan senyuman bermartabat. “Aku siap untuk bertunangan.”
---
"Selamat datang kembali."
Saat aku tiba di mansion Keluarga Konohana, aku disambut oleh Shizune-san.
“Aku pulang... Maaf karena kemarin aku tiba-tiba harus menginap di rumahnya Tennoji-san.”
“Soal itu tidak apa-apa, yang lebih penting lagi, kita punya masalah saat ini.”
Ada masalah?
Saat aku merasa bingung terhadap kata-kata itu, Shizune-san kemudian kembali berbicara dengan kesan yang seolah-olah dihadapkan dengan masalah besar.
“Tolong segera perbaiki suasana hatinya Ojou-sama..., saat ini, dia benar-benar marah.”
“...Eh? Marah?”
Sontak saja aku dibuat kebingungan ketika Shizune-san memberitahuku itu dengan ekspresi yang sangat bermasalah.
Pada dasarnya aku sudah menduga kalau aku yang menginap di rumahnya Tennoji-san akan membuat suasana hati Hinako jadi memburuk, cuman aku tidak menyangka kalau dia akan sampai marah. Tapi meski begitu, sulit bagiku untuk membayangkan Hinako yang lagi marah. Dan juga, karena itu adalah dirinya, aku tidak berpikir dia yang marah itu akan sampai mengamuk atau semacamnya, tapi...
Untuk saat ini, aku menuju kamar Hinako dan mengambil napas dalam sesampainya aku di depan pintu kamarnya.
Lalu, saat aku mengetuk pintu...
“Hinako, boleh aku masuk?”
“...Mm.”
Suara yang terdengar murung datang dari balik pintu.
Dari kedengarannya, tampaknya dia memang benar-benar marah.
Dengan takut-takut, aku pun membuka pintu kamarnya.
Saat ini, Hinako sedang berbaring di ranjangnya dan terbungkus dengan selimut.
Saat aku melangkah masuk ke dalam kamarnya, dengan perlahan, Hinako mengeluarkan tubuhnya dari dalam selimut.
“...Selamat datang kembali, Itsuki.”
“Y-Ya, aku pula—”
“Dasar pembohong,” serunya, menyela kata-kataku.
Melihat penampilan Hinako yang lagi marah untuk pertama kalinya ini membuatku menegang dengan mulut yang ternganga.
“Padahal kau bilang kalau kau tidak akan menginap....”
“Niatku memang begitu... tapi situasinya tidak memungkinkan.”
“...Pergi pulang pagi.”
Hineko memelototiku.
“...Pergi pulang pagi!”
“Erm, yah, memang benar aku perginya pulang pagi, tapi....”
Cara dia mengatakannya itu mungkin bisa memberikan kesalahpahaman yang aneh, jadi jika bisa aku ingin agar dia tidak mengatakan itu.
[Catatan Penerjemah: 朝帰り (Asagaeri / Pergi pulang pagi) bisa dimaksudkan untuk menyinggung seseorang yang pergi ke tempat prostitusi dan baru pulang saat pagi hari.]
Sepertinya aku harus menjelaskan situasinya lagi kepadanya untuk menunjukkan kalau aku benar-benar tulus meminta maaf soal masalah ini.
“Erm, dengarkan aku. Awalnya kemarin itu aku benar-benar berencana untuk pulang setelah sesi belajarnya selesai. Tapi tadi malam cuacanya tiba-tiba jadi tidak bersahabat... dan kau sendiri pasti dengar petir-petir yang bergemuruh, kan? Makanya aku tidak punya pilihan selain harus menginap di rumahnya Tennoji-san...”
Saat aku memberinya penjelasan dengan merasakan cucuran keringat dingin di tubuhku, Hinako hanya menatapku dalam diam.
Astaga, ekspresi wajahnya saat ini benar-benar sulit untuk dibaca daripada sebelum-sebelumnya.
“A-Apa kau bisa memakluminya...?”
“...Enggak.” Hinako menggelengkan kepalanya. “Kau terlalu bertele-tele...”
Buset dah, dia seriusan marah kepadaku.
“...Ke sini.”
“Hah?”
“...Cepat ke sini.”
Dengan raut wajah tidak senang, Hinako menunjukkan jarinya ke tempat tidurnya. Sepertinya dia menyuruhku untuk duduk di sebelahnya.
Saat aku kemudian duduk di tempat tidur, tiba-tiba Hinako membenamkan wajahnya di dadaku.
“E-Eh? Hinako?”
“Baumu...,” gumamnya “Aku tidak bisa tenang..., baumu tidak seperti baumu yang biasanya.”
Hah? Apa sih yang dia maksud dengan bauku...?
Oh, kalau kuingat-ingat lagi, saat aku pertama kali bertemu Hinako, dia bilang padaku bahwa aku berbau harum. ...Mungkinkah Hinako sebenarnya memiliki indera penciuman yang tajam?
“Kau makan malam bersama Tennoji-san, ya...?”
“...Ya, aku makan malam bersamanya.”
“Kau mandi di rumahnya Tennoji-san, ya...?’
“...Ya, aku mandi di rumahnya.”
Karena aku menginap di sana, jadi tentu saja kalau aku akan mandi dan makan di sana.
“Kau mandi bareng dengan Tennoji-san, ya...?”
“Hah? Tidak mungkin ‘kan aku akan mandi bersamanya——”
Perkataanku terpotong di tengah-tengah ketika bayangan dari Tennoji-san yang hanya mengenakan handuk mandi terlintas di pikiranku.
“——Aah!”
Sontak saja, aku secara tidak sadar melontarkan suara itu,
“......Aah?”
“Tidak, erm...”
“Apa-apaan dengan ‘Aah!’ yang barusan itu?”
Sial, kalau sudah begini sepertinya aku tidak bisa memberikan alasan, jadi dengan jujur aku mengakui tentang apa yang terjadi di kamar mandi di rumahnya Tennoji-san.
“Muuu~...! Muuu~.......!”
Pada akhirnya, seperti yang kuduga, wajah Hinako menjadi merah penuh amarah.
“Padahal ‘kan kau sudah bilang padaku kalau kau tidak akan mandi bersamanya!!!”
“Itu kecelakaan! Dan lagi itu tidak seperti kami benar-benar mandi bareng seperti yang kau pikirkan, kami hanya secara tidak sengaja berada di tempat yang sama!”
Aku yakin aku telah memberinya penjelasan dengan benar, tapi Hinako tampak masih tidak terima dengan penjelasanku.
“Kau makan malam dengan Tennoji-san, bahkan sampai mandi bareng sama dia... Semua itu sama dengan apa yang kau lakukan bersamaku...! Itsuki... memangnya kau ini pengurusnya Tennoji-san apa?”
“Ya enggak lah! Kan sudah jelas kalau aku pengurusmu!”
Lagian pada dasarnya, aku tidak melakukan hal yang sama pada Tennoji-san seperti apa yang kulakukan pada Hinako.
Kami memang makan bersama, tapi aku tidak menyuapinya seperti yang kulakukan pada Hinako. Kami mandi bareng, tapi aku tidak mencucikan rambutnya seperti yang kulakukan pada Hinako.
“Kalau memang begitu...”
Meraih lengan bajuku, Hinako menarikku agar lebih dekat dengan dirinya.
“Kalau memang begitu... Kau harusnya lebih sering berada di dekatku daripada di dekat orang lain!”
Aku dibuat kewalahan dengan Hinako yang tiba-tiba menunjukkan sikap memonopoli. Sepertinya, aku telah membuat dia jadi merasa gelisah. Apa dia berpikir bahwa aku akan meninggalkannya dan bekerja untuk Tennoji-san? Padahal harusnya dia tahu kalau aku tidak akan melakukan itu.
“Jangan khawatir. Kalau itu aku sendiri juga tahu kok.”
“Issh..., kau tidak tahu soal itu, makanya aku kasih tahu kamu.”
“Tidak, aku benar-benar tahu kok.”
Tepat saat aku mengatakan itu, pintu kamar terbuka.
“Permisi. Ojou-sama, makan siangnya sudah siap.”
Orang yang datang itu adalah Shizune-san.
“...Mm.”
Nah, sekalipun Hinako sedang berada dalam suasana hati yang buruk, tapi tetap saja dia tidak bisa mengalahkan rasa laparnya. Jadi, dengan gerakan yang malas, dia turun dari tempat tidur dan menuju ke ruang makan.
Sesampainya di ruang makan, seorang pelayan langsung menarikkan kursi untuknya.
Hinako kemudian duduk di kursi itu dengan perilaku yang sudah terbiasa, lalu meletakkan serbet di pangkuannya.
Melihat adegan itu—aku kemudian menarik kursi yang ada di depan Hinako.
“Boleh aku duduk di depanmu?”
“...Itsuki?”
Mata Hinako membelalak saat dia melihatku ikut datang ke ruang makan. Sampai saat ini, Hinako akan makan sendirian saat dia berada di mansion. Itu sebabnya, dia mungkin terkejut melihatku ada di ruangan ini meskipun harusnya dia pikir aku juga akan makan siang di tempat lain.
“Mulai hari ini, Itsuki-san juga akan makan bersama anda.”
Mendengar kata-kata Shizune-san, mata Hinako menjadi semakin membelalak.
Shizune-san lalu menatapku, menyiratkan bahwa aku sendiri yang harus memberikan penjelasan untuk hal ini.
“Aku tidak dibolehin makan sama kamu sampai aku paling tidak sedikit menguasai etiket meja makan. Itulah sebabnya aku meminta agar Tennoji-san berfokus mengajariku etiket meja makan terlebih dahulu. Dan kemudian, aku akhirnya berhasil mencapai hasil yang bisa dibilang bagus, jadi mulai hari ini kita bisa makan sama-sama.”
Saat aku memberika penjelasan, Shizune-san mengangguk dan menambahkan.
“Sementara itu, saya akan memeriksa etiketnya Itsuki-san dengan mata kepala saya sendiri untuk memastikannya... Menu makan siang hari ini adalah menu makan malam. Jika tidak ada masalah dengan etiket meja makannya Itsuki-san, maka untuk kedepannya, baik itu makan siang ataupun makan malam, Itsuki-san boleh untuk makan bersama anda, Ojou-sama.”
Bisa dibilang, ini adalah ujian terakhir.
Dan tampaknya, menu makan siang hari ini adalah hidangan Italia. Beberapa hidangan di menu sangat mirip dengan menu hidangan makan malam, namun, itu tidak sampai bisa disebut full course dinner.
Lagipula, sekalipun Hinako adalah putri dari Grup Konohana, tetap saja dia tidak akan disajikan full course meal setiap hari. Namun demikian, tetap saja ada etiket yang harus diikuti.
Di sisi lain, kuperhatikan Shizune-san menatapku dalam diam.
Ya, aku tahu. Aku tidak akan lengah.
Aku duduk di kursi dari sisi kiri, dan di atas meja, ada serbet yang diletakkan. Aku melipat serbet itu, lalu meletakkanya di pangkuanku dengan sisi serbet yang terlipat menghadap ke arahku. Ini adalah etiket untuk menggunakan bagian dalam serbet saat menyeka mulut. Penting untuk diingat bahwa menggunakan sapu tangan atau tisu adalah perilaku yang tidak beretiket. Soalnya, jika kau menggunakan sapu tangan milik sendiri ketika ada serbet yang disediakan, itu sama saja seperti kau mengatakan, “Aku tidak ingin menggunakan serbet ini”.
Peralatan makan ada di sisi kanan dan kiri piring. Di sisi kanan ada dua pisau dan dua sendok, sedangkan di sebelah kiri ada tiga garpu. Urutan menunya adalah makanan pembuka, sup, ikan, dan daging. Karena tidak ada garpu di sebelah kanan, itu artinya pasta tidak termasuk dalam menu hari ini.
Pegang pisau dan garpu dengan lembut serta berhati-hati agar tidak menimbulkan suara.
Setelah makan hidangan pembuka carpaccio, aku meminum sup dengan tenang. Sup harus diminum melalui sendok. Kau tidak boleh meletakkan mulutmu di atas cangkir, tapi ketika supnya sisa sedikit, itu tidak masalah untuk memiringkan cangkir dengan lembut dan kemudian menyendoknya.
Kemudian, setelah aku mengigigt bawal merah panggang yang sekarang lagi musimnya, Shizune-san mengangguk kecil dan mengalihkan pandangannya dairku.
Ini artinya..., aku lulus.
Aku sontak menghela napas lega, dan kuperhatikan Hinako yang duduk didepanku tampak membelalak.
“Itsuki..., pertumbuhanmu sangat luar biasa...”
“Yah, bagaimanapun juga aku sudah banyak berlatih dan belajar.”
Masatsugu-san bilang dia tidak merasa tidak nyaman saat makan malam denganku. Dengan kata lain, pada saat itu aku telah memiliki pengetahuan minimum tentang etiket yang diperlukan. Tapi yah, terlepas dari itu, aku masih merasa cemas dan takut karena merasa tidak yakin apakah aku bisa mengaplikasikan etiket dengan baik. Ini artinya, hal terakhir yang perlu kulakukan dalam mempelajari etiket adalah memperkuat kepercayaan diriku.
“Hinako, kalau kau tidak keberatan, mulai hari ini aku akan mencoba untuk sesering mungkin makan bersamamu...?”
Meskipun aneh rasanya untuk mengatakan ini, tapi entah mengapa aku merasa malu saat aku mengatakan itu. Kalau misalnya Hinako menolak untuk makan bersamaku, ini pasti akan menjadi sejarah hitam yang terbesar dalam hidupku.
Namun rupanya..., ketakutanku itu tidaklah berdasar.
“...Ya!”
Senyuman cerah muncul di wajah Hinako.
Sepertinya, sekarang suasana hatinya sudah membaik.
“Kalau begitu..., sekarang sepertinya sudah tidak masalah untuk bersikap molor, kau juga, Itsuki...”
“Hmm?”
Sesaat setelah Hinako mengatakan itu, dia memiringkan kepalanya dan merusak postur duduknya.
“Fuiihhh...”
Mengistirahatkan dagunya di atas meja, Hinako menghela napas dengan tidak sopan.
“Erm, Shizune-san? Kukira etiket harus dijaga saat sedang makan...?”
“Sebenarnya aturan seperti itu tidak ada. Namun, karena ada kalanya Kagen-sama juga berada di ruang makan ini, jadi jika di kesempatan seperti itu kau tidak memiliki etiket yang bagus, beliau akan memiliki kesan buruk terhadapmu.”
Oh, jadi begitu toh...
Rupanya, alasan Shizune-san ingin aku belajar etiket meja makan adalah agar aku tidak membuat kesan yang buruk pada Kagen-san.
“Itsuki..., sini...”
Mengatakan itu, Hinako menunjuk ke kursi di sampingnya, menyiratkan kalau dia ingin aku duduk di sana.
Seperti yang dia inginkan, saat aku pindah untuk duduk di sampingnya, sekali lagi, Hinako tersenyum lembut.
“Ayo makan sama-sama...?”
Ekspresi wajahnya tampak lebih santai dan ceria daripada biasanya, yang mana hal tersebut merupakan bukti bahwa Hinako tampil dengan kepribadian aslinya.
“Ya.”
Aku menjawabnya dengan singkat dan kemudian melanjutkan makan siangku dengan Hinako.
Nah, aku yang bisa melihat senyuman seperti ini dari Hinako adalah berkat Tennoji-san. Karenanya, di hari Senin nanti, aku mesti mengucapkan terima kasih kepadanya.
gas lanjut
ReplyDeleteLanjut min!!
ReplyDeleteBaru juga ngeSimp sama tennoji, eh dah mau di jodohin aja, berasa jatuh dari tangga dia anak tangga pertama, sakitnya bukan maenn, dan yah sepertinya tennoji di ciptakan untuk jadi yg tertolak, atau cuma tolak ukur dan bumbu untuk heroine utama kita Konohana Hinako
ReplyDeleteentah kenapa liat tennouji keinget elf sensei dari eromanga
ReplyDelete