Bab 1 Bagian 1 (dari 3)
Porseni dan Kemurungan Narika
“Tiga minggu lagi, akademi kita akan mengadakan porseni.”
[Catatan Penerjemah: Di tempat gua sekolah biasanya menyebut Porseni (pesta olahraga dan seni). Tapi beberapa orang mungkin ada juga yang menyebutnya Pesta Olahraga atau Class Meeting.]
Fukushima-sensei, wali kelas 2A, memberitahukan itu pada kami siswa-siswi.
“Silakan kalian lihat buklet yang diberikan pada kalian untuk informasi lebih lanjut tentang setiap kompetisi yang ada. Kalian semua diwajibkan untuk berpartisipasi, jadi minggu ini silakan putuskan kompetii mana yang ingin kalian ikuti dan ajukan pendaftaran untuk kompetisi tersebut.”
Sambil melihat buklet yang diberikan, aku mendengarkan ucapan Fukushima-sensei.
...Lagi-lagi, ini kegiatan yang sangat rumit.
Bahkan sampai periode pelajaran pertama selesai, untuk sementara waktu pikiranku masih dipenuhi oleh kegiatan porseni.
Hingga akhirnya, tiba waktunya istirahat makan siang.
Seperti biasanya, aku makan siang dengan Hinako di atas gedung siswa lama.
“Porseni, ya...,” gumamku, sambil makan potongan telur dadar yang tebal.
“Apa SMA yang kau hadiri sebelumnya tidak memiliki kegiatan seperti itu...?”
“Ada sih, cuman kegiatan di SMA-ku dulu tidak dalam skala yang sama seperti yang ada di akademi ini.”
Mengapit bebek asap menggunakan sumpit, aku kemudian menyuapkannya ke mulut Hinako.
“Nnh..., enak,” ucap Hinako, sambil menampilkan senyuman manis.
Aku yakin, para koki pasti senang mendengar kesan yang barusan Hinako katakan.
Nah, karena aku ingin membicarakan banyak hal dengan Hinako, jadi aku membawa buklet tentang porseni. Buklet itu pun kuletakkan dilantai, lalu membolak-balik halamannya.
“Kupikir hanya lapangan akademi ini saja yang besar, tapi rupanya ada banyak tempat lagi yang besar untuk mengadakan porseni... Aku tidak menyangka kalau golf, berkuda, dan bahkan skating juga termasuk dalam olahraga yang dimasukkan dalam kegiatan porseni.”
Ini artinya, di akademi ini ada lapangan golf, peternakan, dan arena skating. Apalagi, yang mengejutkan, tempat-tempat itu tidaklah disewa, melainkan tanah yang memang dimiliki oleh pihak akademi.
Gila, ada berapa banyak sih tanah yang dimiliki oleh akademi ini...
“Itsuki, selanjutnya aku mau makan yang manis-manis...”
“Ya, ya.”
Sebelum menyuapi Hinako, aku makan lebih dulu untuk memeriksa rasanya.
Baik potongan telur dadar dan labu rasanya manis dan enak, tapi rasa manis dari kacang hitam rebusnya pun sangat enak. Aku pun mengangkat kacang itu dengan sumpit dan menyuapkannya ke mulut Hinako.
“Nnh..., enak.”
“Tidak bisakah kau makan sendiri saja jika cuman makan kacang?”
“Gak mau...”
Tidak, tapi masalahnya akan butuh waktu kalau aku harus menyuapimu setiap butir satu per satu, pikirku, tapi kemudian aku melihat ada sendok yang ditempatkan di tepi kotak makan siang.
Baiklah, kurasa aku akan menggunakan sendok saja.
“Itsuki..., kupikir kau tidak perlu terlalu khawatir soal kegiatan porseni ini,” ucap Hinako, sambil mengunyah kacang.
“Apa maksudmu?”
“Porseni ini adalah kegiatan yang dilakukan dengan santai..., jadi tidak sedikit orang juga yang tidak terlalu serius dengan kegiatan ini.”
Begitukah?
Memang sih, aku juga merasakan suasana santai dalam porseni ini dari melihat buklet yang dibagikan. Sepertinya, bersenang-bersenang dalam porseni ini jauh lebih diprioritaskan daripada mendapatkan hasil yang memuaskan.
Fiuh, mengetahui bahwa suasana di akademi ini tidak akan berubah hanya karena akan mengadakan porseni membuatku merasa sedikit lega.
“Jadi, nanti kau hanya akan sekadar berpartisipasi saja dalam porseni ini, Hinako?”
“Niatku sih begitu..., cuman aku diharuskan untuk menang.”
Mendengar ucapannya itu, kelopak mataku langsung melebar.
“Apa itu instruksi dari Kagen-san.”
“Ya..., ini akan melelahkan,” ucap Hinako, tampak tidak antusias.
Yah, memang sih, sekalipun dikatakan bahwa porseni ini adalah kegiatan yang santai, tapi tetap saja akan sulit untuk membidik kemenangan.
“Ngomong-ngomong, bagaimana hasil partisipasimu di porseni sebelumnya?”
“Aku menang..., aku dibuat sangat lelah saat itu.”
Mendengar Hinako memberitahukan itu padaku saat dia sedang memakan potongan telur dadar, aku dibuat tercengang.
Kadang-kadang, aku lupa kalau Hinako ini adalah wanita yang berbakat. Bahkan di akademi tempat dimana orang-orang elit berkumpul ini, kemampuan yang Hinako miliki sangat luar biasa.
Kurasa, aku juga tidak dapat mengatakan bahwa instruksi yang diberikan oleh Kagen-san kepadanya adalah hal yang salah...
Bagaimanapun juga, jika Hinako memiliki bakat yang mumpuni, akan sayang sekali jika bakatnya itu dibiarkan membusuk. Dalam hal ini, aku bisa memahami pemikiran Kagen-san sebagai orang tuanya Hinako.
Namun demikian, aku tetaplah berada di pihak Hinako. Jadi, sebisa mungkin, aku akan mengurangi beban yang harus Hinako pikul.
“Jadi, kompetisi apa yang akan kau ikuti?”
“Sama seperti tahun lalu, aku akan mengikuti pertandingan tenis... Soalnya di kompetisi itu ada lebih banyak orang dan akan lebih mudah untuk mendapatkan perhatian ketika aku menang.”
Tentunya, tenis tampaknya akan memiliki lebih banyak peserta daripada golf atau skating.
“Kalau begitu, kurasa aku juga akan berpartisipasi dalam pertandingan tenis.”
“...Kau bisa bermain tenis?”
“Ya, dulu aku kadang-kadang memainkannya dengan kenalanku.”
Beberapa kali, aku diajak oleh seorang gadis yang merupakan teman masa kecilku untuk bermain tenis bersamanya. Gadis itu adalah anggota klub tenis, jadi saat sepulang sekolah, kadang-kadang aku akan menemaninya berlatih. Aku jadi rindu akan hari-hari ketika kami saling bertukar bola di taman saat senja.
Nah, taman tempat kami bermain dulu itu kecil, jadi kami tidak bisa berlari dengan leluasa, dan kami akan kesulitan kalau-kalau bola masuk ke semak-semak. Jika aku yang saat ini bermain tenis dengan Hinako atau teman-teman yang lain, maka tempat bermainnya pasti di fasititas yang luas dan indah. Itu pasti akan nyaman, dan aku yang dulu pasti akan merasa iri. Sungguh, aku jadi merasa nostalgia mengingat bahwa kehidupan sehari-hariku telah banyak berubah dari sebelumya.
Brrt, brrt, pada saat itu, aku mendengar sesuatu yang bergetar.
“Hinako, kau menerima telepon.”
“...Oh, kau benar.”
Mengeluarkan ponselnya dari saku roknya, Hinako menekan tombol terima panggilan dan segera menyalakan mode speaker.
[Ojou-sama, boleh kita bicara sebentar?]
“Mm,” angguk Hinako.
Rupanya, orang yang menelepon Hinako adalah Shizune-san.
[Saya ingin berbicara soal porseni yang akan segera diselenggarakan. Seperti biasanya, kita berencana untuk menyewa pelatih tenis, tapi tempo hari pelatih yang sebelumya kita sewa tangannya terkilir, jadi akan sulit bagi orang itu untuk melatih. Saat ini, kami sedang mencoba mencari pelatih pengganti, tapi dalam beberapa kasus mungkin akan lebih baik bagi anda untuk berpartisipasi dalam kompetisi lain.]
Timingnya sangat tepat untuk membicarakan soal porseni, tapi rupanya yang disampaikan bukan kabar baik.
“Gimana dengan pilihan untuk tidak berpartisipasi, apakah ada...?”
[Tidak ada.]
“Haah...”
[Porseni adalah kesempatan yang sempurna bagi anda untuk menunjukkan bahwa anda baik dalam hal akademis maupaun olaharga. Dalam hal ini saya yakin Kagen-sama tidak akan memberikan kompromi sama sekali.]
Sekalipun porseni ini tidak mempengaruhi nilai, tepat saja ini masih merupakan kegiatan yang besar. Karenanya, memenangkan kompetisi akan dapat memperkuat kesan Hinako sebagai Ojou-sama yang sempurna.
[Selain itu, ada baiknya juga bagi anda untuk berolahraga. Akhir-akhir ini, mungkin karena anda bisa menikmati makanan anda bersama Itsuki-san, saya rasa anda jadi sedikit lebih gemuk——]
“Apa—...?!”
Tiba-tiba, Hinako melontarkan suara yang aneh. Jadinya, aku tidak bisa mendengar apa yang Shizune-san bilang di tengah-tengah ucapannya..., tapi aku penasaran, apa yang barusan dia bilang.
Di sisi lain, Hinako, yang wajahnya menjadi merah cerah, menjauhkan ponselnya dariku.
[Ojou-sama?]
“S-Saat ini Itsuki lagi ada di sampingku..., jadi jangan bicarain soal itu...”
[Saya mengerti. Jika demikian, mungin anda memang harus lebih banyak berolahraga.]
“Muu~...,” menggerutu, Hinako menampilkan eskrepsi wajah yang kesusahan.
[Itsuki-san, apa kau ada di sana?]
Shizune-san memanggilku, jadi Hinako memberikan ponselnya padaku.
“Ya, ada apa?”
[Itsuki-san, kau berencana akan berpartisipasi dalam kompetisi apa di porseni yang akan datang?]
“Rencananya aku mau berpartisipasi dalam kompetisi yang sama seperti Hinako...”
[Baiklah, aku mengerti. Tapi dalam kasusmu, harap berhati-hati untuk tidak terlalu memaksakan diri dan berakhir terlihat memalukan.]
“...Ya, aku akan berhati-hati.”
Aku jadi teringat akan kejadian di bulan lalu saat Tennoji-san mengungkap identitas asliku.
Di porseni ini, akan ada banyak siswa-siswi yang berpartisipasi. Kalau aku sampai bermain dengan buruk di depan publik, mungkin itu akan membuat Keluarga Konohana..., Hinako jadi kerepotan.
[Tapi yah, karena kau memiliki keterampilan atletik yang baik, kau seharusnya tidak memiliki masalah dalam kompetisi normal. Hanya saja, kupikir akan lebih jika kau tidak berpartipisi dalam kompetisi berkuda.]
Tanpa Shizune-san mengatakan itu padaku pun, aku memang tidak berencana untuk berpartisipasi dalam kompetisi berkuda. Kalau ditanya apakah aku tertarik untuk berkuda sih aku tertarik, tapi aku tidak harus melakukannya di kegiatan yang kompetitif.
Setelah memutus panggilan dengan Shizune-san, aku mengembalikan ponsel Hinako.
“Jadi, apa yang akan kau lakukan, Hinako?”
Pertanyaanku kumaksudkan untuk mengkonfirmasi soal kompetisi yang akan dia ikuti atau soal pelatih tenis, tapi entang mengapa, Hinako yang saat ini sedang menyentuh perutnya tampak frustasi. Dia kemudian mencoba mencubit dagingnya di pinggangnya, dan segera, dia tampak berkeringat dingin.
“...Itsuki.”
“Hm?”
“Bagaimana pendapatmu tentang aku akhir-akhir ini...?”
Aku tidak tahu apa maksud pertanyaan itu, jadi aku hanya memiringkan kepalaku.
“Meski hanya sedikit..., tapi apa kau merasa kalau aku menjadi sedikit lebih bulat...?”
Bulat......?
Ah, maksudnya bentuk tubuhnya, ya?
“Sekarang setelah kau menanyakan itu padaku, kurasa mungkin kau memang sedikit lebih gemuk.”
“——!”
Nah, karena Hinako awalnya adalah orang yang langsing, jadi kupikir kalau cuman sedikit lebih gemuk saja bukanlah merupakan masalah, tapi..., ekspresi Hinako tampak seperti berada dalam keputusasaan.
“...Menang,” mengepalkan tinjunya, Hinako berseru dengan tegas. “Aku akan menang...!!!”
“Y-Ya.”
Aku bingung bagaiman harus menanggapi Hinako yang tiba-tiba termovitasi, tapi yang jelas, itu bagus kalau dia termotivasi.
Setelah selesai makan siang, kami menyimpan kotak makan siang kami dan hendak kembali ke gedung sekolah.
“Tunggu, Hinako, ada sebutir nasi nempel di bibirmu.”
“Mm...”
Menggunakan sapu tangan, aku menyeka mulut Hinako. Fiuh, hampir saja citra Hinako sebagai Ojou-sama yang sempurna jadi tercoreng.
Setelah itu, sekali lagi kami kembali ke gedung sekolah.
Tapi, yang masih jadi pertanyaan adalah kompetisi mana yang akan Hinako ikuti. Kalau Hinako ingin menang, maka dia harus berpatisipasi dalam pertandingan tenis dimana dia sudah terbiasa...
Dalam hal ini, jika Hinako memilih tenis, maka aku juga akan berpartisipasi dalam pertandingan tenis.
Absennya pelatih yang Shizune-san bicarakan memang mengkhawatirkan, tapi sebisa mungkin aku ingin berpartisipasi dalam cabang olahraga yang aku tahu. Mudah-mudahan saja pelatih pengganti akan bisa ditemukan oleh Shizune-san nanti.
“I-Itsuki...!!!”
Saat aku sedang berjalan menyusuri koridor, aku mendengar seseorang memanggilku dari belakang. Saat aku berbalik, orang yang berada di sana adalah——
“Narika?”
Narika, seorang gadis berambut hitam panjang yang diikat, mendekatiku.
“Ada apa? Kok kamu kelihatan panik gitu?”
“...Itsuki, apa kau sudah mendengar soal kegiatan porseni?”
“Ya, aku mendengarnya dari wali kelasku tadi pagi...”
Saat aku mengatakan itu, dengan mata yang tampak berkaca-kaca, Narika meraih kedua bahuku.
“Kumohon, Itsuki! ——Tolong aku!”
Mwehehehehe, harem baru yekan 🗿☕
ReplyDeleteVol 1=hinako
ReplyDeleteVol 2=tennoji
Vol 3=narika
fufufu~( ꈍᴗꈍ)
Vol 4 = shuzune🗿🗿🗿
Delete