[LN] Saijo no Osewa Volume 3 - Bab 1 Bagian 2

Bab 1 Bagian 2 (dari 3)
Porseni dan Kemurungan Narika


“Kau takut mengikuti porseni?”

Mendengar apa yang baru saja Narika katakan padaku, aku sontak bertanya balik padanya karena dibuat merasa bingung.

Habisnya, itu aneh. Jika kita berbicara tentang kemampuan atletik, maka dia sehebat Hinako..., tidak, malah bisa dibilang dia adalah yang terbaik di akademi ini, tapi dia justru mengatakan kalau dirinya takut mengikuti porseni.

“Kupikir kau mahir dalam bidang olahraga, Miyakojima-san?”

Sama bingungnya sepertiku, Hinako menanyakan itu pada Narika.

“M-Mungkin kau benar soal itu, tapi...,” jawab Narika, nada suaranya terdengar gugup.

“Kau sudah pernah berada di pesta teh dan kelompok belajar dengan Konohana-san, jadi kurasa kau tidak perlu segugup itu.”

“K-Kupikir dalam hal ini kegugupanku tidaklah aneh! Lagian, itu normal jika seseorang menjadi gugup jika pihak lainnya adalah Konohana-san.”

Yah, mungkin apa yang dia katakan itu memang benar, tapi bagiku yang mengetahui kepribadian asli Hinako, rasanya mustahil untuk merasa gugup saat berhadapan dengannya.

“...Ahem, kembali ke topik. Jadi di porseni tahun lalu, aku berpartisipsi dalam olahraga kendo.”

Oh, kendo, ya? Jika memang begitu, maka aku yakin——

“Kau pasti menang, kan? Toh kau itu jago dalam bela diri.”

“Ya, aku menang.”

Seharusnya kemenangannya itu adalah pencapaian yang bisa dibanggakan, tapi entah mengapa, Narika menjawabku dengan nada yang datar.

Karena keluarganya Narika merupakan salah satu produsen barang olahraga terbesar di Jepang, jadi dia sudah akrab dengan dunia olahraga sejak dia masih kecil. Terutama dalam bidang bela diri, dia sangat berbakat.

Di rumahnya, Narika juga memiliki dojo, dan dia telah dilatih dalam semua jenis bela diri sejak usia yang sangat muda. Karenanya, paling tidak, dia tidak akan kalah dari seseorang seusianya.

“Aku menang..., cuman itu menimbulkan masalah,” dengan pandangan yang menunduk, Narika lanjut berbicara. “Gara-gara aku menang dengan sangat telak, kemenangan itu justru membuat orang-orang jadi takut padaku... Kalau kupikir-pikir lagi, kurasa itu adalah awal mengapa aku jadi penyendiri.”

Jadi begitu, ya...

Jika itu yang terjadi, maka tidak heran dia terlihat muram meskipun dia mencapai prestasi yang spektakuler.

“Yah, tapi menurutku titik awal kau jadi penyendiri bukan dari situ! Toh sejak masih kecil kau memang penyendiri.”

“E-E-Enggak lah! B-Bahkan aku juga memiliki satu atau dua teman saat aku masih kecil..., mungkin...”

Bagiku itu justru terdengar seperti dia tidak memiliki teman.

“I-Intinya, kejadian itu traumatis bagiku! Makanya aku jadi takut mengikuti porseni... Padahal ‘kan aku cuman ingin bersenang-senang dengan semua orang, tapi kenapa kok malah jadi seperti itu...”

Seolah-olah berada dalam masalah besar, Narika memegangi kepalanya.

Tapi, sekalipun dia meminta tolong padaku..., memangnya apa yang bisa kulakukan?

“Untuk saat ini, mengapa tahun ini kau berpartisipasi dalam kompetisi selain kendo saja?”

“...Tidak, tahun ini juga aku akan berpartisipasi di olahraga kendo. Itu adalah keputusan dengan suara bulat di kelasku di sesi pelajaran tadi pagi... Secara teknis sih itu suara bulat kecuali aku.”

Sepertinya dia dipojokkan oleh tekanan dari sekitarnya.

Pada akhirnya, itulah masalah yang dimiliki Narika...

Menengar bahwa dirinya dipojokkan oleh tekanan dari sekitarnya, aku jadi simpati.

Di sekitar Narika, tidak banyak orang yang bisa memahaminya, dimana hal tersebut menyebabkan timbulnya masalah. Kalau saja kami berada di kelas yang sama dengan Narika, kami mungkin bisa menindaklanjutinya, tapi..., hanya itu saja masih belum memberikan arti apa-apa. Megingkat apa yang akan terjadi setelah dia lulus atau ketika lanjut kuliah, akan lebih untuk bagi dirinya untuk menjalin hubungan dengan orang lain selain kami.

“...Baiklah.”

Sedari dulu, aku sudah tahu kalau Nariak memiliki masalah seperti ini.

Sekarang, sudah tiga bulan sejak aku mulai bekerja sebagai pengurus.

Aku punya beberapa waktu luang, dan aku juga ingin membantu Narika.

“Narika, jalinlah pertemanan sampai porseni dimulai. Nanti aku juga akan membantumu.”

“S-Sungguh?!”

Narika menatapku dengan mata yang membelalak, dan aku menganggukkan kepalaku kepadanya.

“Sebagai gantinya, mau tidak kau melatihku dan Konohana-san dalam bermain tenis?”

Mendengar usulan dariku, Narika sontak tampak terkejut.

---

Sepulang sekolah, aku langsung memberitahukan Shizune-san tentang ideku untuk menjadikan Narika sebagai pelatih tenis.

“Begitu ya. Itu ide yang bagus,” dengan mudah, Shizune-san memberikan izin.

Sepertinya, Shizune-san juga mengakui kemampuan atletik Narika. Catatan performa Narika dalam olahraga sangat terkenal di Akademi Kekaisaran, jadi pasti reputasinya juga terkenal di luar lingkup akademi.

“Tapi, apa kira-kira Kagen-san akan mengizinkan itu?”

“Kupikir tidak akan ada masalah. Hanya saja, mungkin akan agak sedikit rumit...”

Rumit...?

“Narika Miyakojima-sama melampui Ojou-sama dalam bidang olahraga. Dia bisa menjadi musuh yang sulit dihadapi dalam menciptakan kesan Ojou-sama sebagai Ojou-sama yang sempurna.”

“...Jadi begitu, ya.”

Dengan kata lain, Narika ini semacam saingannya Hinako.

Dalam hal status dan kemampuan akademis maka Tennoji-san adalah orang yang bisa menjadi saingannya Hinako, tapi dalam hal olahraga, Narika memiliki catatan performa yang lebih baik.

Aku ingin tahu, apakah Kagen-san menganggap Narika sebagai ancaman? ...Aku yakin,jika Narika tahu tentang ini, dia pasti akan langsung pingsan.

Kenyataannya sih itu merupakan sesuatu yang dapat dibanggakan, tapi dalam kasunya Narika, itu hanya akan membuatnya panik.

Yang jelas, untuk saat ini, sekarang secara resmi kami bisa menjadikan Narika sebagai pelatih kami. Namun demikian, karena tahun lalu Hinako memenangkan pertandingan tenis, jadi dia tidak harus menghabiskan banyak waktunya untuk berlatih tenis. Bimbingan pelatih hanya dimaksudkan untuk membantunya mendapatkan kembali instingnya yang tumpul.

Dan begitulah, pertama-pertama, kami memutuskan untuk menyelesaikan masalah yang Narika miliki terlebih dahulu.

 

...Keesokan harinya.

Sepulang sekolah di dalam kelas, aku dan Hinako memberitahu guru tentang kompetisi mana yang akan kami ikuti.

“Tomonari-kun dan Konohana-san akan berpartisipasi dalam pertandingan tenis, ya. Baiklah, aku mengerti,” ucap Fukushima-sensei yang sedang memeriksa dokumen yang kami serahkan.

Olahraga tenis memiliki pertandingan tunggal dan ganda, tapi nantinya akan dibedakan antara putra dan putri. Ini artinya, aku dan Hinako tidak bisa membentuk tim ganda campuran. Dengan demikian, kami berdua memilih untuk berpartisipasi dalam pertandingan tunggal. Bagaimanapun juga, aku tidak memiliki pasangan untuk membentuk tim ganda putra, dan dalam kasunya Hinako, akan lebih sedikit melelahkan untuk memainkan pertandingan tunggal daripada ganda.

“Oh, jadi kau memilih pertandingan tenis ya, Tomonari?”

Tiba-tiba, aku dipanggil dari belakang, yang rupanya itu adalah Taisho dan Asahi-san.

“Tahun lalu kau juga ikut dalam pertandingan tenis ‘kan, Konohana-san.”

Terhadap kata-kata Asahi-san, Hinako menanggapinya dengan anggukan kepala yang elegan.

“Bagaimana dengan kalian berdua?”

“Aku memilih ski.”

“Kalau aku menari.”

Taisho dan Asahi-san menunjukkan kepada kami dokumen yang akan mereka serahkan, dan seperti yang mereka bilang barusan, tertulis disana bahwa mereka memilih ‘ski’ dan ‘menari’.

“Kurasa hanya aku saja yang akan berada di tempat yang berbeda saat porseni nanti,” ucap Taisho, tampak seperti merasa cukup sedih.

Tenis dan menari adalah kompetisi yang akan dilakukan di lingkungan akademi ini. Namun, ski tampaknya akan dilakukan di gunung yang cukup jauh.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kalian akan bermain ski pada musim seperti ini?”

“Di tempat yang disebut lereng ski musim panas. Di atas lereng akan ditaruh matras luncur, dengan begitu kau akan bisa bermain ski diatasnya. Cuman karena akan sakit jika terjatuh, jadi kau tidak boleh berseluncur terlalu cepat.”

Lah? Jadi ada ya sesuatu seperti itu...?

“Aku akan menampilkan tarian di lapangan akademi ketika porseni akademi dimulai, jadi jika kalian mau, datanglah untuk menonton, ya!”

“Aku menantikannya.”
                            
Bidang tari akan menampilkan tarian di lapangan bersamaan dengan dimulainya porseni. Menurut buklet yang aku terima kemarin, sepertinya porseni di akademi ini akan disemarakkan dengan tarian spektakuler setiap tahunnya.

Selain itu, tampaknya mereka akan dibagi mejadi beberapa tim dan menyaingkan kualitas tarian mereka. Kedengarannya, ini adalah bidang kompetisi yang cukup sulit.

Taisho dan Asahi-san pun pergi menyerahkan dokumen mereka, jadi kami berpisah dengan mereka berdua dan berjalan keluar kelas.

“Baiklah, sekarang aku akan pergi ke kelasnya Narika.”

Biasanya, setelah pulang sekolah aku akan langsung pulang ke mansion, tapi mulai hari ini aku akan menghabiskan waktu bersama Narika. Saat ini, Narika pasti berada di kelasnya, kelas 2B yang berada di samping kelasku.

Aku hendak langsung pergi ke kelas 2B, tapi sebelum itu, aku menatap Hinako di sampingku.

“Bagaimana denganmu, Hinako? Apa kau akan pulang ke mansion duluan?”

“...Aku juga akan ikut... Aku gak mau kalau sampai kejadian seperti yang terjadi pada Tennoji-san terulang lagi...”

Apa yang dia maksud dengan kejadian seperti yang terjadi pada Tennoji-san? Aku bingung dan memiringkan kepaku, tapi Hinako tidak menambahkan apa pun.

“Apalagi..., Miyakojima-san itu harus diwaspadai.”

“Diwasdapai? Mengapa? Kurasa Narika tidak akan melakukan apapun yang akan membuatmu mendapat masalah...”

“...Kau, saat berada di depan Miyakojima-san, kau jadi sedikit berubah.”

“Berubah?”

Saat aku bertanya balik, Hinako mengangguk dengan ekspresi rumit.

“Gimana ya aku harus bilangnya..., rasanya seperti kau lebih kasual.”

“Aku tidak terlalu menyadari soal itu..., tapi yah, bagaimanapun juga saat masih kecil kami memang sudah dekat.”

Secara objektif sih aku tidak begitu kasual, tapi intinya aku hanya sekadar melepaskan perasaan yang kumiliki. Pada saat itu, aku tidak tahu kalau keluarga Narika adalah keluarga yang ternama, dan aku juga tidak tahu banyak tentang situasi keluarga kami.

Kalau dipikir-pikir kembali, itu masa-masa yang cukup menakutkan. Dan dalam artian tertentu, saat masih kecil, aku punya mental yang kuat.

“......Curang,” gumam Hinako, dengan suara yang sangat pelan.

Melihat bibir Hinako yang tampak berkedut, aku jadi dibuat semakin bingung.

“Oh, Tomonari-san, Konohana-san.”

Dari ujung koridor, seorang gadis berambut bor pirang memanggil kami.

“Halo, Tennoji-san.”

“Ya, halo.”

Saat aku menyapanya, Tennoji-san tersenyum lembut. Selain itu, entah apa hanya perasaanku saja, tapi sepertinya ekspresinya menjadi lebih lembut daripada sebelumnya. Kesan rasa percaya dirinya yang kuat masih terpancar seperti sebelumnya, dan bahkan megandung niat yang lebih bersahabat.

“Apa kalian berdua sudah memutuskan kompetisi mana yang akan kalian ikuti?” tanya Tennoji-san.

Sungguh, saat ini dimana-mana selalu penuh dengan topik porseni.

“Kami akan bermain tenis. Bagaiman denganmu, Tennoji-san?”

“Aku akan bermain polo!” Dengan penuh kebanggaan, Tennoji-san menyatakan itu.

“Kalau tidak salah, polo itu jenis kompetisi menunggang kuda, kan?”

“Ya! Sederhananya, itu semacam permainan hoki dimana kau akan bermain hoki dengan menunggang kuda.”

Penjelasannya sangat mudah dipahami, jadi berkat itu kurang lebih aku bisa memvisualisasikannya.

Buklet porseni juga memuat deskripsi singkat tentang masing-masing cabang olahraga yang dikompetisikan. Polo, olahraga yang menjadi cikal bakal kaos polo sangat populer, merupakan jenis olahraga dimana para pemain bersaing untuk mendapatkan poin dengan menggerakkan bola menggunakan tongkat sambil menunggang kuda dan memasukkannya di gawang lawan.

“Polo adalah olahraga yang sangat seru. Baik pemain maupun kuda akan dibuat kelelehan karena berlarian di lapangan yang luas, hingga ada aturan bahwa pemain harus mengganti kuda setiap jam atau lebih, soalnya jika terus menunggangi kuda yang sama akan membuat kuda tersebut bekerja terlalu berlebihan.”

“Kedengarannya cukup ekstrim.”

“Ya, makanya itu akan seru untuk dimainkan.”

Saat mengatakan itu, tampak seperti ada api semangat yang membara di matanya Tennoji-san. Sungguh, dia orang yang sangat menyukai persaingan seperti biasanya.

“Bagaimana? Mengapa kalian tidak bergabung dan bermain polo bersamaku? Jika sekarang, kalian masih bisa mengubah kompetisi mana yang akan kalian ikuti.”

“...Aku pass, toh aku bahkan tidak pernah menunggang kuda.”

Itu adalah jenis kompetisi yang Shizune-san sarankan agar tidak aku ikuti, karena sudah bisa dipastikan kalau aku hanya akan memberikan penampilan yang memalukan.

Terhadap penolakanku yang lembut, dengan malu-malu, Tennoji-san kembali berbicara,

“Kalau begitu, erm.., a-aku bisa loh mengajarimu lagi,” pipinya tampak memereah, dan dia lanjut berbicara. “Dengan kepribadian lurusmu itu, kau bisa mempelajari apa saja. Jadi, jika hanya sekadar menunggang kuda..., a-aku bisa mengajarimu melakukannya!”

Sama seperti ketika dia mengajariku berdansa, atau seperti ketika dia mengajariku etiket, dia pasti akan mengajari dengan antusias. Yah..., aku yakin, itu akan menjadi masa-masa yang memuaskan.

Untuk sesaat, aku melupakan semua tujuanku, membayangkan hari-hariku bersama Tennoji-san.

Kemudian——

“Makasih, tapi itu tidak perlu.”

Alih-alih aku, Hinako lah yang menolak usulan Tennoji-san dengan sopan.

Mendengar itu mata Tennoji-san membelalak sejenak, tapi dengan cepat dia menganggukkan kepalanya.

“Begitukah? Lalu, bagaimana denganmu, Tomonari-san——”

“Makasih, tapi itu tidak perlu,” ucap Hinako, menyela kata-kata Tennoji-san.
                                                                          
Hinako tidak menyampaikan penolakan hanya untuk dirinya, tapi dia juga melibatkanku bersamanya.

Mendengar penolakan itu, garis biru sontak muncul di dahi Tennoji-san.

“Konohana-san, aku sedang bertanya pada Tomonari-san...”

“Tomonari-san akan berpatisipasi dalam pertandingan tenis bersamaku,”

Hinako mengatakan itu dengan elegan dan tersenyum lembut, sedang di sisi lain, wajah Tennoji-san tampak berkedut.

“Bersama?”

“Ya, bersama. Kami berdua, bersama-sama, memutuskan untuk berpartisipasi dalam pertandingan tenis.”

Dari awal hingga akhir, Hinako terus menampilan senyum elegan di wajahnya. Sungguh, dia benar-benar jago dalam berakting. Ekspresi wajahnya itu tidak pernah goyah sedikit pun. Hanya saja, entah mengapa, bagiku saat ini, ekspresinya itu rasanya seperti dia sedang mencoba memojokkan Tennoji-san.

“Fufu, fufufu..., tampaknya ada satu hal lagi yang harus kita selesaikan diantara kita berdua...,” ucap Tennoji-san, dengan adanya banyak garis biru di harinya.

Namun, pada akhirnya, dia mencoba untuk menekan emosinya itu dengan rasionalitas.

“...Untuk kali ini aku akan melepaskanmu. Bagaimanapun juga saat ini aku punya misi untuk memimpin rekan timku di kompetisi polo menuju kemenangan,” ucap Tennoji-san, terdengar merasa kesal.

Sungguh, disekitarku aku benar-benar dikelilingi oleh orang-orang yang berjuang meraih kemenangan...

“Ngomong-ngmong, kalian berdua mau kemana?”

“Hm, oh, kami ada sedikit urusan dengan Narika...”

Nah, karena ini adalah masalah pribadinya Narika, jadi aku tidak akan seenaknya membahasnya secara detail.

“Kalau ada masalah, kalian bisa mengandalkanku loh,” ucap Tennoji-san, sambil meletakkan tangannya di dadanya dan menampilkan pose elegan.

“Maunya sih begitu..., cuman kali ini, kurasa kau bukan orang yang tepat untuk dimintai bantuan, Tennoji-san.”

“Aku bukan orang yang tepat?” Terkejut, alis Tennoji-san berkedut. “Tidak ada masalah yang dimana diriku bukanlah orang yang tepat untuk dimintai bantuan!”

“...Kalau begitu, misalnya, jika ada orang yang sedang berjuang untuk mendapatkan teman, saran seperti apa yang akan kau berikan kepada mereka, Tennoji-san?”

“Itu mudah, mereka hanya perlu mengatakan bahwa mereka ingin punya teman!”                                 

“Erm..., kami permisi dulu.”

“Tomonari-san?!”

Saat aku berjalan pergi, Tennoji-san mengalihkan pandangannya ke arahku sambi bertanya-tanya, “Mengapa?!”

Nah, Tennoji-san adalah seorang yang memiliki kemampuan komunikasi yang luar biasa. Itu adalah sesuatu yang bagus, tapi dengan dirinya yang seperti itu, akan sulit baginya untuk mengerti permasalahan yang dimiliki Narika.

Jadi, sekali lagi, bersama Hinako, kami pergi ke kelas 2B.

“I-Itu Konohana-san...”

“Ada urusan apa dia datang ke kelas kita...?”

Ruang kelas 2B langsung heboh.

Bagaimanapun juga, Hinako tidak biasanya mengunjungi kelas 2B, itu sebabnya mereka jadi terkejut.

Sepertinya, kalau kami terlalu lama berada di sini, kami mungkin akan terjebak di kerumuni oleh mereka.

Di sudut kelas, aku melihat Narika yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya, dan dalam diam aku memberi isyarat memanggilnya.

“Itsuki!”

Dengan mata yang tampak berbinar, Narika mendekati kami.

“M-Miyakojima-san berbicara dengan seseorang...?!”

“Siapa Itsuki yang dia panggilan barusan...?”

Siswa-siswi di dalam ruang kelas itu menjadi lebih terkejut lagi.

Ya ampun, jadi teman-teman sekelasnya akan sampai seterkejut ini ya hanya karena dia berbicara dengan seseorang...? Yang jelas, karena kami sudah bertemu dengan Narika, kami harus segera pergi dari sini. Selain itu, mungkin karena namaku dipanggil oleh Narika, aku jadi merasa tidak nyaman dengan tatapan mata yang terhitung jumlahnya yang sedang menatap ke arahku.

Sebelum pergi, Hinako membungkuk ringan, dimana sikap elegannya itu membuat siswa-siswi menjadi kaku layaknya patung batu karena mengaguminya.

“Baiklah, ayo kita mulai.”

Kami berkumpul di meja di taman yang tidak terlalu ramai.

Sekarang sudah bulan Juli, akhir dari awal musim panas yang kini menjadi semakin panas sedikit demi sedikit.

Karena kami tidak berniat untuk berbicara dalam waktu yang lama, kami tidak menyiapkan minuman seperti teh atau semacamnya. Tapi, karena suhu saat ini lebih tinggi daripada yang kupikirkan, aku ingin sedikit membasahi tenggorokanku.

Saat aku berpikir begitu, tiba-tiba, minuman diletakkan di atas meja kami.

Secara refleks aku langsung menoleh dan melihat seorang pegawai dari kafe di akademi.

“Erm, kurasa kami tidak memesan ini...”

“Ini service...”

Widih, udah kayak resor mewah aja.

Selain itu, sebelum aku menyadarinya, tau-tau saja sudah ada peralatan makan yang diletakkan di depanku. Beberapa kue kemudian diletakkan atasnya dengan gerakan tangan yang sangat sudah terbiasa melayani, dan setelah kami berterima kasih, pegawai itu pun berjalan pergi.

Sungguh, masih ada banyak hal yang membuatku merasa takjub dengan Akademi Kekaisaran.

Membasahi tenggororanku dengan teh dingin, aku menenangkan diri, kemudian menghembuskan napas.

“Kalau begitu, sekali lagi——” Sambil menatap wajah kedua gadis di depanku, aku berseru, “Kita akan memulai rencana untuk membebaskan Narika dari kesendirian.”

“O-Ooooh!”

Narika mengepalkan tinjunya, tampak termotivasi.

Di sisi lain, Hinako, yang duduk di samping narika, tersenyum lembut dan—,

“Oooh, fufufu,” sedikit malu-malu, Hinako juga mengepalkan tangan kecilnya.

Buset dah, gap-nya barusan benar-benar luar biasa. Bahkan, kekuatan penghancur yang berbeda dari biasanya yang baru saja Hinako lepaskan itu membuatku dan Narika jadi kaku untuk sementara waktu. Sungguh, apa-apaan dengan gerakannya yang sangat imut barusan itu?

“Kuuh...?! Jadi ini ya kemampuan dari murid terpopuler di akademi...?”

Melihat gerakan Hinako, seorang yang paling populer di akademi, Narika jadi tampak seperti merasa frustasi.

Sejujurnya sih, aku sendiri juga dibuat terkejut.

Hinako, yang memainkan peran sebagai Ojou-sama yang sempurna, memiliki perilaku yang elegan yang akan disukai semua orang, tapi terkadang dia juga memiliki perilaku yang informal untuk menyesuaikan suasana yang ada. Dia sama sekali bukanlah gadis yang angkuh, yang mana itu menjadi sebab dirinya sangat disukai oleh semua siswa-siswi di akademi.

“Pertama-tama, ayo kita bicarakan situasimu saat ini... Narika, bisakah kau memberitahukan kami?”

“Y-Ya. Tapi, karena kurang lebih aku sudah banyak membicarakannya padamu, jadi kurasa tidak banyak yang bisa kukatakan...”

Sejenak, Narika berhenti bicara sebelum dia melanjutkan ucapannya.

“Pertama, selain Itsuki dan..., aku tidak punya teman lain.”

Sepertinya, alasan dia ragu sejenak mungkin karena dia bertanya-tanya apakah boleh baginya menganggap Hinako yang berada di sini sebagai temannya, tapi sepertinya dia memutuskan bahwa akan tidak sopan jika dia seenaknya berpikiran seperti itu.

“Selanjutnya, saat aku mencoba untuk berbicara dengan orang lain, mereka segera mencoba menjaga jarak dariku.”

Sekali lagi, cerita yang menyedihkan dia ungkapkan.

“Parahnya lagi, meskipun aku tidak melakukan apa-apa, tapi aku justru ditakuti. Tempo hari pun, padahal aku cuman berjalan normal, tapi saat semua orang memperhatikanku, jalan untukku langsung dibuka layaknya Musa membelah laut...”

“Cukup, cukup, cukup..., Narika, sudah cukup...”

“Uuu~..., uuaaa~”

“Mengapa sih kok bisa sampai jadi seperti itu..., ini tidak seperti kau dibully oleh mereka, kan?”

“Tidak, aku tidak berpikir kalau mereka membullyku..., aku merasa seperti mereka hanya salah paham kepadaku...”

Untuk saat ini, jika Narika menyangkal bahwa dirinya dibully, maka aku akan mempercayainya.

Sekarang, setelah mendegar cerita subjektifnya, aku menoleh ke arah Hinako.

“Dari sudut pandangmu, apa kesanmu tentang Narika, Konohana-san?”

Nah, karena sekarang aku berada di depan Narika, jadi aku harus berhati-hati dengan caraku memanggil Hinako.

Dalam mode Ojou-sama-nya, Hinako menjawab pertanyaanku.

“Yah, karena kelas kita bersebelahan, meski aku tidak tahu banyak..., tapi aku memang pernah mendengar cerita kalau Miyakojima-san itu menakutkan.”

“Uughh~”

Mendengar kata-kata Hinako, Narika langsung terlihat syok.

Memang sih, saat aku pertama kali melihat Narika di akademi pun, kala itu ekspresinya tampak keras.

Sepertinya, permasalahannya memang ada pada ekspresinya wajahnya.

“Narika, bisakah kau mencoba tersenyum sebentar?”

Kalau dipikir-pikir kembali, Narika tidak banyak tersenyum di depan umum. Di hadapanku sih dia sering tersenyum..., jadi jika orang lain melihat senyumannya itu, mungkin itu akan membuat Narika jadi terlihat lebih ramah.

Saat aku berpikir seperti itu, Narika mencoba menuruti perkataanku, tapi——

“A-Apa seperti ini?”

Narika menyunggingkan senyuman yang amat canggung, membuatku merasa seperti saat ini aku sedang ditatap oleh seorang bos kejahatan.

“Buset, menakutkan.”

“Hentikaaaaan!!! Kalau kau juga sampai bilang begitu, rasanya sama saja seperti tidak ada harapan lagi bagiku!”                              

Secara tidak sadar, kesan jujurku terlontar keluar dari mulutku, membuat Narika sontak memegangi kepalanya sendiri.

“Tidak diragukan lagi kalau permasalahan kita saat ini adalah kamu memiliki ekspresi yang tampak menakutkan, tapi dirimu pribadi juga termasuk masalah itu sendiri... Untuk saat ini, kita perlu melakukan sesuatu tentang kebiasaanmu yang mudah merasa gugup, serta kebiasaan dimana kau akan membuat ekspresi yang keras ketika kau merasa gugup.”

“Uuuh, tapi bagaimana cara melakukannya...?”

Narika tidak tahu jawaban atas pertanyaan tersebut, itulah sebabnya dia berada dalam pergumulan. Pada akhirnya, dia tidak punya pilihan selain mencari teman seperti kami yang bisa langsung berbicara padanya tanpa ragu-argu.

Nah, Narika itu sangat mudah gugup ketika dia berhadapan dengan orang asing. Kalau begitu, jika kita mengurangi persentase orang-orang yang bagi dirinya merupakan orang asing, itu seharusnya akan bisa membuatnya menjadi lebih nyaman.

“Ayo kita pikirkan cara-cara untuk bergaul dengan orang lain. Misalnya——”

[Kapan timing yang tepat untuk menjalin pertemanan?]

Kami pun memberikan ide kami masing-masing tentang pertanyaan tersebut.

Nah, aku punya ideku pribadi, dan tentunya Hinako juga pasti punya idenya sendiri.

Dari antara ide-ide itu, nantinya Narika akan memilih mana yang akan bisa dia lakukan dengan mudah.

“...Baiklah, sekarang kita sudah punya beberapa staregi.”

Untuk saat ini, sudah ada tiga staregi.

Strategi..., itu tidak serumit seperti sebutannya, tapi yang jelas semua strategi itu adalah sesuatu dimana Narika harus mengeluarkan keberaniannya.

Dan tentunya, setiap strategi tersebut patut untuk dicoba.

“Baiklah, mulai besok, ayo kita mencobanya.”

“M-Mulai besok?! T-Tunggu dulu! Aku masih belum siap——”

“Kita tidak punya banyak waktu sampai porseni dimulai, jadi ini bukan saat dimana kau boleh ragu-ragu.”

Saat aku mengatakan itu, Narika hanya bisa diam tanpa bisa membalasku. Sepertinya, dia memang tidak bisa mengendalikan rasa cemas yang berkerumun di dalam dirinya.

Perasaan cemasnya itu, aku sangat memahaminya. Bagaimanapun juga, bahkan aku pun juga bukanlah orang yang serba bisa. Saat aku pertama kali dipekerjakan sebagai pengurusnya Hinako, aku dipenuhi dengan kecemasan tiap harinya.

Di saat-saat seperti itu..., kata-kata apa yang akan membuatku merasa senang saat mendengarnya?

“......Narika,” terhadap Narika yang dipenuhi kecemasan, aku berkata dengan maksud memberinya dukungan. “Ayo lakukan yang terbaik bersama-sama.”

“...Bersama-sama...”

Dengan suara yang pelan, Narika mengulangi kata-kataku.

“...Ya, benar. Aku..., aku punya Itsuki,” ucap Narika pada dirinya sendiri, dan kemudian—— “Aku akan melakukan yang terbaik...!!”

Baiklah, sekarang Narika sudah membulatkan tekadnya.



close

6 Comments

Previous Post Next Post