Bab 3
Iblis bayangan merayap kian dekat
Sore menjelang malam.
Setelah selesai mengikuti pelajaran, Leonis yang hendak kembali ke kamarnya di asrama mendapati bahwa di sana...
“...Tempat ini..., jadi terlihat lebih menarik.”
Di lantai, ada berserakan kain berwarna-warni.
“Oh, selamat datang kembali, Leo,” sapa Riselia, yang saat ini sedang duduk di depan mesin jahit.
“Aku juga ada di sini loh, nak,” tambah Regina, menoleh ke arah Leonis.
“Apa kalian sudah memutuskan desain kostum seperti apa yang akan digunakan?” tanya Leonis.
“Yah, setelah dibuat kebingungan dengan berbagai macam referensi, kami putuskan kalau akan menggunakan desain yang imut-imut saja,” jawab Regina.
“Ugh, padahal kita sudah repot-repot mencari berbagai sumber referensi...,” ucap Riselia, sambil menghela napas.
“Tapi yah, kalau kita terlihat menakutkan nanti malah tidak ada yang mau datang ke kafe kita, bukan?” timpal Regina.
“Kurasa kau benar...,” gumam Riselia.
“Intinya, senang mengetahui kalau kalian sudah memutuskan desain yang akan digunakan,” ucap Leonis, sambil menganggukkan kepalanya.
Suara derakan mesin jahat memenuhi ruangan. Nah, melihat Regina melakukan pekerjaan seperti ini tidaklah terasa aneh karena dia adalah pelayan, tapi Leonis terkejut saat melihat Riselia menjahit.
Mereka berdua lebih cekatan dari yang kupikirkan, pikir Leonis, merasa terkesan pada kedua gadis itu saat dia merebus air.
“Aku akan membuat teh. Aku punya beberapa daun teh, apa kalian ingin mencobanya juga?” tawar anak lelaki itu.
“Oh, makasih, Leo,” jawab Riselia.
Segera setelah air mendidih, Leonis menyiapkan minuman dengan menggunakan daun teh yang mahal, bukan dengan daun teh yang murahan. Daun-daun teh itu adalah hadiah yang dulu Leonis terima dari para bangsawan, dan dia telah menyimpannya di brankas harta karunnya di Alam Bayangan. Apalagi, Shary adalah orang yang menyiapkan daun-daun teh itu di sini, jadi kualitasnya sudah tidak diragukan lagi.
Waktu itu aku memiliki tubuh undead, jadi aku tidak membutuhkan daun-daun teh ini...
Suara hujan rintik-rintik mencapai telinga Leonis. Saat dia melihat ke arah luar jendela, dia melihat bahwa di luar sedang gerimis.
“Mereka bilang kalau cuaca akan cerah pada hari Festival Cahaya Suci,” seru Regina.
“Baguslah kalau begitu. Soalnya, sulit untuk menata rambut di hari yang sedang hujan...,” timpal Riselia.
“Tenang, aku akan menatakannya untukmu,” ucap Regina, menenangkan Riselia.
“Erm, maaf, tapi gimana caranya kalian bisa tahu cuaca dua hari dari sekarang?” tanya Leonis, sambil memasukkan daun teh ke dalam saringan teh.
“Biro administrasi akademi mengumpulkan pengguna Pedang Suci yang bisa melihat masa depan. Biasanya, mereka ditugaskan untuk mencari sarang Void. Tapi karena kemampuan mereka perlu dilatih supaya bisa berkembang, mereka biasanya ditugaskan untuk meramal cuaca.”
“Melihat masa depan, ya...” gumam Leonis, sambil merenung. “Pedang Suci sungguh ada banyak jenisnya, ya?”
Segera, sesuatu terbesit di benak sang Raja Undead.
“Tidak bisakah kemampuan melihat masa depan itu digunakan untuk memprediksi kejadian seperti Void Stampede atau insiden di Hyperion?”
“Dengar-dengar, melihat masa depan adalah kemampuan yang sangat abstrak,” jawab Riselia. “Hanya dengan mencocokkan prediksi tersebut dengan data yang diperoleh oleh Pedang Suci tipe analisis seperti Mata Penyihir-nya Fine, barulah Assault Garden dapat membaca apa yang akan benar-benar mungkin akan terjadi.”
“Selain itu, ada juga beberapa orang di militer yang merasa ragu tentang peristiwa yang di ramalkan,” tambah Regina.
Begitu ya, jadi kurang lebih sama seperti membaca bintang. Dengan cepat, Leonis kehilangan minatnya terhadap kemampuan itu. Toh menurutnya itu tidak sebanding dengan kemampuan melihat masa depan yang dewi Roselia miliki berdasarkan otoritasnya.
“Meski begitu, kuharap cuacanya akan bagus saat hari H nanti,” ucap Riselia.
“Kuharap juga begitu,” respon Leonis. Kenyataanya, dia sama sekali tidak peduli soal masalah cuaca. Saat dia masih menjadi Raja Undead, dia selalu tinggal di dalam relung terdalam Necrozoa, Death Hold. Selain itu, apa yang diperlukan untuk memanipulasi kondisi atmosfer di medan perang hanyalah mantra tingkat delapan.
Kalau kuingat-ingat lagi, orang itu selalu muncul bersama dengan datangnya badai besar.
Leonis teringat tentang masa lalu dengan perasaan nostalgia yang manis. Di zamannya, ada Penguasa Kegelapan lain yang berdiri sejajar dengan dirinya; makhluk yang disebut sebagai penguasa badai—Ratu Naga, Veira.
Pokoknya selalu langsung bisa dikethui setiap kali Veira turun ke medan perang...
Merasa sudut bibirnya sedikit membentuk senyuman, Leonis menyesap tehnya. Aroma yang menenangkan sontak menggelitik lubang hidungnya. Saat uap mengepul di kaca jendela, Loenis memperhatikan sosok yang tidak asing sedang berjalan menuju asrama mereka. Dia adalah seorang gadis berambut pirang planinum, ditemani oleh dua ekor serigala es.
---
“Dengarkan baik-baik! Aku ke sini membawa pemberitahuan dari komite eksekutif!”
Berdiri di depan pintu masuk asrama Hraesvelgr, Fenris Edelritz mengibaskan rambut pirang platinumnnya.
“Tenanglah, Lady Selia,” ucap Regina, mencoba menenangkan Riselia terlebih dahulu sebelum dia menyapa tamu mereka. “Mengapa kau tidak masuk untuk minum teh lebih dulu, Lady Fenris?”
“...Tidak, terima kasih. Tapi aku sangat menghargai tawaranmu,” dengan sopan Fenris menolak tawaran Regina sebelum dia memberikan secarik kertas kepada Riselia.
“Formulir pengajuan untuk Festival Cahaya Suci?” saat Riselia memabca isi kertas itu, dia jadi bingung.
“Ya. Kudengar peleton ke-18 berniat menjalankan kafe seperti tahun lalu?” tanya Fenris.
“Y-Ya, niat kami memang begitu... Apa ada masalah—?”
“Justru masalah besar! Anak kecil itu masalahnya...”
Fenris menunjuk ke arah Leonis yang sedang duduk di belakang Riselia.
“Memangnya ada apa dengan Leo?”
“Dia nanti juga akan melayani pelanggan di kafe kalian, kan?”
“Y-Ya...”
“Kau sadar kalau asrama ini adalah asrama perempuan, kan? Ini cuman karena dia masih kecil saja, makanya dia diberikan izin khusus untuk tinggal di sini oleh wali yang ditunjuk untuk dirinya.”
“I-Itu benar, tapi—” Riselia hendak melontarkan alasan, tapi Fenris menyelanya.
“Selama Festival Cahaya Suci, banyak orang dari luar yang akan mengunjungi akademi. Dalam hal ini, komite eksekutif mesti menjaga citra akademi kita. Kita tidak bisa membiarkan siapa pun berpikir kalau kita tidak menjunjung tinggi moral publik di Assault Garden Ketujuh.”
“S-Soal itu...” Dihadapkan dengan alasan tersebut, Riselia kehilangan kata-kata. Memang sih, Leonis yang tinggal di asrama yang sama dengannya merupakan situasi yang unik.
“Dengan alasan itu, komite eksekutif tidak dapat dan tidak akan menyetujui anak ini bekerja melayani pelanggan,” tegas Fenris, sambil meletakkan tangannya di pinggulnya.
“...Yah, kalau kau bilang begitu, maka kurasa kami harus mengikuti keputusan tersebut,” ucap Leonis, sambil mengangkat bahunya.
“Leo?!” Riselia sontak menatap Leonis, tampak terkejut.
“Aku akan menghabiskan festival dengan bekerja dari balik layar saja di dapur,” ucap anak lelaki itu.
“Nah, kalau itu tidak apa-apa,” ucap Fenris, tampak merasa puas. “Ngomong-ngomong, percayalah bahwa semua yang kukatakan barusan bukan karena niat buruk.”
“Aku mengerti. Toh aku juga tidak ingin menyebabkan masalah bagi akademi,” jawab Leonis.
“...Ini disayangkan, tapi kurasa kami tidak punya pilihan lain,” merasa kecewa, Riselia menundukkan kepalanya.
Leonis tidak ingin membuat dirinya menarik perhatian, dan sesuai dengan pemikirannya itu, ini adalah aturan yang menguntungkan bagi dirinya. Namun, tepat ketika Leonis mencoba menyembunyikan rasa leganya, Regina tersenyum nakal.
“...Ada apa, Regina?” tanya Leonis, alisnya mengernyit merasa curiga.
“Oh, tidak ada apa-apa. Jangan pedulikan aku, nak,” menghindari pertanyaan Leonis, Regina hanya menampilkan senyum berseri-seri.
---
Bagaimana bisa situasinya jadi seperti ini?
Di tengah-tengah hutan, terdapat bangunan yang lusuh dan bobrok. Di tempat tidur di salah satu kamar bangunan itu, Arle Kirlesio, menghela napas karena bingung. Sebelumnya, seorang gadis elf bernama Lena telah menyelematkannya dari masalah dengan para Pengguna Pedang Suci di kota.
Dengan baik hati Lena memberikan makanan kepada Arle yang hampir pingsan karena kelaparan, dan bahkan dia juga memberikannya tempat untuk berteduh. Dulunya dark elf adalah bawahan dari Pasukan Penguasa Kegelapan dan musuh bebuyutan para elf, namun tampaknya setelah seribu tahun, perpecahan itu telah hilang. Bahkan saat ini pun Arle pribadi tidak merasa perlu untuk membenci dark elf, hanya saja...
Aku tidak menyangka dia adalah pemimpin organisasi krminal.
Saat ini Arle berada di tempat persembunyian Pasukan Serigala Iblis, organisasi kriminal demi-human. Mereka menyebut diri mereka sebagai gerakan perlawanan, tapi itu tidaklah lebih dari sekadar alasan setengah matang dari kelompok teroris bersenjata.
Sebelum situasinya menjadi semakin memburuk, aku harus segera memisahkan diri dari mereka...
Sayangnya, terlepas dari pemikiran yang Arle miliki itu, ada alasan mengapa dia harus tetap tinggal bersama mereka untuk sementara waktu. Dia tela mengetahui nama dari sosok yang berada di balik kelompok ini: Zol Vadis.
Zol Vadis adalah nama dari Penguasa Kegepalan kuno yang telah memerintah dunia sebelum Delapan Penguasa Kegelapan naik ke tampuk kekuasaan. Arle sama sekali tidak menyangka bahwa dirinya akan mendengar nama itu di zama ketika perang antara Enam Pahlawan dan Delapan Penguasa Kegelapan telah dilupakan.
Rasanya sulit bagiku untuk mempercayai bahwa Zol Vadis yang sesungguhnya telah dibangkitkan, tapi...,
Jika nama dari makhluk jahat seperti itu beredar, maka Arle harus memeriksanya. Pahlawan adalah orang-orang yang ditugaskan untuk menjatuhkan Penguasa Kegelapan. Itulah sebabnya dia diberikan salah satu dari Arc Seven, Pedang Pembunuh Iblis, Crozax.
Arle berpikir bahwa jika dirinya bisa mendapatkan kepercayaan di organisasi ini, dia mungkin bisa memiliki kesempatan untuk bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Zol Vadis ini. Namun, untuk bisa melakukan itu, dia perlu membuktikan apa yang bisa dia lakukan.
“Arle, aku masuk,” gorden yang tergantung di atas pintu bergeser, memperlihatkan sosok seorang gadis mungil yang mata gelapnya bersorot tajam dan cerdas. Gadis ini adalah Lena.
“Ada apa?” tanya Arle kepadanya.
“Sebelumnya kamu bilang kalau kau percaya diri dengan kemampuan berpedangmu, kan?”
“...Ya.”
“Kalau gitu, ayo kita uji ucapanmu itu,” ucap Lena, ekspresinya tampak merasa percaya diri.
---
Setelah kunjungan Fenris, Leonis kembali ke kamarnya dan memasang penghalang isolasi di sekitar kamarnya. Dengan adanya penghalang tersebut, tidak akan ada yang bisa memasuki kamarnya, dan tidak ada suara yang akan bocor keluar. Leonis kemudian menyalakan lampu, menciptakan bayangan di dalam ruangan.
“Datanglah, Blackas, Shary.”
Dia memanggil nama sahabat dan bawahannya.
“Saya datang memenuhi panggilan anda, paduka,” ucap Shary, muncul dengan posisi berlutut. Segera setelah kedatangan gadis itu, serigala hitam pekat datang dari kegelapan.
“Kau memanggilku, temanku?”
“Ya, Blackas, aku ada urus—Hm?!”
Kata-kata Leonis terhenti sejenak. Saat ini, bulu dari Pangeran Alam Bayangan..., tersisir rapi. Bulunya tampak sangat halus dan berkilau.
“M-Mengapa bulumu terlihat seperti itu.”
“Aku menyerahkan diriku pada perawatan profesional yang disebut trimmer,” jelas Blackas.
“...Trimmer?”
Serigala hitam itu menganggukkan kepalanya, dan segera aroma bunga langsung melayang dari bulunya yang hitam legam.
“Pendekar pedang itu yang membawaku ke sana.”
“Maksudmu Sakuya?”
Rupanya, komite eksekutif sedang mencoba mengumpulkan hewan liar yang berkeliaran di sekitar akademi untuk persiapan festival akademi. Dalam hal ini, Leonis bisa mengerti bahwa tidaklah mungkin mereka membiarkan serigala berkeliaran bebas di sekitar kampus.
“Gadis itu melihatku bermain-main dengan orang-orang itu, makanya dia membawaku ke ahli perawatan yang terkenal.”
“...Yah, kurasa aku mengerti inti dari apa yang terjadi,” jawab Leonis, kepada sahabatnya yang matanya setengah tertutup. “Apa kau menyukai sensasi dari bulumu saat ini?”
“Setidaknya ini membuat manusia tidak akan mengejarku,” Blackas menganggukkan kepalanya, di mana hal tersebut sekali lagi membuat dirinya mengeluarkan embusan aroma bunga ke udara.
Tentunya, di antara bulunya yang dipotong serta disisir dan pita yang diikatkan Sakuya kepadanya sebelumnya, yang pertama akan membuat orang-orang tidak akan salah mengira Blackas sebagai binatang buas.
“...Selama kau merasa puas dengan itu, maka aku tidak akan komplain apa-apa.”
Blackas Shadow Prince dulunya dikenal sebagai kaisar yang ganas di Alam Bayangan. Dia adalah royalti dan menuntut banyak rasa hormat, tapi selama Blackas pribadi merasa puas dengan hal ini, Leonis tidak akan mengeluh.
“Shary, kau bilang kau punya laporan?” tanya Leonis, mengubah topik pembicaraan.
“Ya.” Pelayan pembunuh itu menganggukkan kepalanya dengan penuh rasa hormat. “Saya menemukan adanya jejak aktivitas yang mencurigakan di koridor bayangan.”
“Apa?”
Laporan itu menarik perhatian Leonis. Koridor bayangan, itu adalah jenis sihir yang dibentuk oleh pengetahuan rahasia Alam Bayangan.
“Koridor yang dibangun di sepanjang wilayah pesisir kota mulai rusak,” rinci Shary.
“Hmm, apa ada kemungkinkan campur tangan aparat kota?” duga Leonis.
Assault Garden ini menggunakan berbagai macam teknologi sihir yang maju. Meskipun dari jenis sihir yang berbeda, tapi karena koridor bayangan juga merupakan kontsruksi sihir, bisa saja koridor itu dipengaruhi.
“Itu bisa saja,” ucap Shary. “Saya sudah memperbaiki kerusakannya, tapi saya pikir saya harus melaporkannya pada anda.”
Shary tidak mampu untuk mengawasi setiap orang yang menggunakan koridor bayangan. Dalam hal ini, bisa jadi kalau ini adalah ulah dari pria yang muncul di Assault Garden Ketiga.
“Aku mengerti. Tetaplah waspada,” perintah Leonis.
“Ya, paduka,” Shary menundukkan kepalanya, lalu kemudian dia kembali berbicara dengan sedikit takut-takut. “...Erm...”
“Ada apa? Apa kau ada urusan lain?”
“Y-Ya... Saya, erm, saya membuat beberapa kue panggang. Maukah anda mencobanya?”
Dari dalam bayangan, Shary mengeluarkan piring dengan setumpuk kue di atasnya.
“Oh, itu dedikasi yang mengagumkan,” angguk Leonis, merasa puas. “Aku akan mencobanya.”
“Y-Ya. I-Ini mungkin tidak cocok dengan selara anda, tapi...”
Leonis mengambil kue itu dan menggigitnya.
“Ngh?! Uhuk, uhuk, uhuk! A-Air...!”
“A-Apa anda baik-baik saja, paduka?!”
Semua kelembapan di tenggorakan Leonis langsung menghilang, dan kue itu menyumbat tenggorokannya. Kue itu rasanya terlalu asin. Seseorang pasti telah mencampurkan garam ke dalam adonannya.
“S-Saya minta maaf!”
“Uhuk! Uhuk! T-Tidak apa-apa, aku cuman terkejut saja,” dengan murah hati Leonis menenangkan Shary, bahkan saat dia masih batuk-batuk.
“L-Lain kali saya akan membuatnya lebih baik lagi, jadi anda bisa membuang kue itu...,” gumam pelayan ebon itu dengan sedih, sambil perlahan-lahan kembali ke dalam bayangan.
“...Shary?” Setelah berpikir sejenak, Leonis kembali mengambil kue dari piring yang tadi Shary berikan. Tentunya, rasanya juga sama tidak enaknya seperti tadi.
“Apa kau akan memakan semua kue itu, Magnus-dono?” tanya Blackas.
“Dia sudah repot-repot membuatkannya untukku,” jawab Leonis, sambil meraih kue yang ada di piring itu lagi. “Jadi aku harus memakannya.”
---
Menjelang tengah malam, Leonis merevisi catatannya untuk pelajaran di esok hari.
“Leo, apa kau masih bangun?”
“Oh, tidakkah kau sangat rajin, nak?”
Dengan berbalutkan piyama, Riselia memasuki kamarnya, dan entah mengapa dia membawa bantal di pelukannya. Dia pasti baru saja selesai mandi, soalnya ada uap samar yang keluar dari rambutnya yang basah. Di belakangnya ada Regina yang juga berbalutkan piyama, dan dia juga membawa bantal.
“Halo, Selia,” ucap Leonis, menutup bukunya dengan perasaan bingung. “Apa kostumnya akan siap tepat waktu?”
“Ah, iya, dengan kecepatan seperti ini, besok harusnya kostumnya sudah selesai,” angguk Regina.
“Hehehe, kau harus menunggu sampai upacara pembukaan festival untuk melihat kostumnya seperti apa,” tambah Regina, menggoda Leonis.
“A-Aku tidak penasaran kok,” jawab Leonis, sambil mengalihkan pandangannya. “Ngomong-ngomong, mengapa kalian membawa bantal?”
Semenjak kedua gadis itu masuk, hal tersebut sudah berada di pikiran Leonis.
“Oh, ini? Ini bantal bulu,” jawab Riselia. “Ini sangat empuk dan sangat nyaman saat dipakai tidur.”
Seolah-olah untuk mengilustrasikan keempukan bantal itu, Riselia menepuk bantal itu beberapa kali.
“Kalau bantalku bantal sekam gandum,” tambah Regina.
“Tidak, maksudku, mengapa kalian datang ke sini membawa bantal?” tanya Leonis, mengoreksi pertanyaannya sebelumnya.
Kedua gadis sontak saling bertatapan, tampak merasa bingung.
“Yah, kami pikir malam ini kami akan tidur di kamarmu, Leo,” ucap Riselia, langsung pada intinya.
“...?!” Leonis terbelalak. “A-Apa maksudmu?”
“Kamar-kamar di lantai bawah penuh dengan peralatan panggung Festival Cahaya Suci,” jawab Regina, sambil mengangkat bahunya.
Selama pergelaran festival, lantai satu asrama Hraesvelgr dikontrak setiap tahun untuk digunakan sebagai gudang peralatan berbagai klub. Ini adalah syarat bagi peleton ke-18 supaya bisa tinggal di asrama ini, jadi mereka tidak berada dalam posisi untuk memprotes.
“Jadi selama Festival Cahaya Suci, Sakuya akan tidur di kamarnya Fine, dan aku akan tidur di kamarnya Lady Selia,” jelas Regina.
“Tapi saat ini kamarku penuh dengan peralatan untuk mendekorasi kafe. Itu sangat sempit sampai-sampai kami tidak memiliki ruang untuk tidur, jadi kami putuskan untuk tidur di kamarmu, Leo,” ucap Riselia, sambil menyatukan kedua tangannya karena merasa tidak enak.
“Begitu ya...”
Kalau mereka berdua bilang begitu, maka Leonis tidak bisa menolak. Toh dia tinggal di kamar yang awalnya merupakan ruang kerja Riselia.
“Malam ini kita akan mengadakan pesta piyama, Lady Selia,” seru Regina, tampak sangat riang.
“Ya, dulu kita juga sering tidur di ranjang yang sama di Kediaman Crystalia,” angguk Riselia.
“Hehehe, pada saat itu kau selalu menjadi kucing penakut.”
“A-Aku tidak penakut...”
Sambil memeluk bantal mereka, nona dan pelayannya itu saling mengobrol dengan riang.
“T-Tunggu! Aku tidak keberatan kalian berdua tidur di kamarku, tapi...,” Leonis berdehem. “Kurasa malam ini aku akan tidur di sofa di ruang tamu.”
Dulu saat dia masih memiliki tubuh undead, Leonis biasanya beristirahat di peti mati batu. Dibandingan dengan itu, bahkan sebuah sofa dapat disebut peningkatan. Malah, Leonis merasa yakin kalau dirinya bahkan bisa tidur dengan nyaman di dalam kotak alat musik.
Namun demikian...
“Gak boleh.” Riselia menggelengkan kepalanya. “Kau gak boleh tidur di sofa, Leo. Nanti kamu masuk angin.”
“Masuk angin? Aku tidak akan...,” Leonis mulai meyangkal, tapi dia langsung berhenti.
Di sini, dia tidak bisa dengan percaya diri mengklaim kalau dirinya tidak akan sakit. Belum lama ini, dia pergi tidur tanpa mengeringkan rambutnya, dan saat bangun dia terserang flu. Itu membuat Riselia jadi harus merawatnya hingga dia sembuh, dan peristiwa itu membuktikan betapa lemahnya tubuh manusianya saat ini.
“Kalau ada orang yang harus tidur di sofa, maka itu aku,” ucap Riselia dengan tegas.
“...Oke, oke. Aku akan tidur di ranjang,” respon Leonis, menyerah pada Riselia.
Riselia adalah orang yang sangat keras kepala kalau dia sudah sangat protektif. Karenanya, tidak ada alasan yang akan bisa menang melawannya.
“Rambutmu cukup keriting bukan, nak?” ucap Regina, memangku Leonis seolah-olah dia memeluk bantalnya.
“R-Regina?!”
Rambut kuncir gadis itu menyapu pipipnya, dan ada aroma sabun yang harum memenuhi lubang hidungnya. Melalui kain piyamanya, Leonis bisa merasakan payudara Regina yang tanpa mengenakan bra sedang menekannya.
“Kau tidak boleh memonopi Leo seperti itu, Regina,” protes Riselia, tampak cemberut saat ia duduk di tepi ranjang.
“Ya, ya,” jawab Regina sambil tersenyum sarkastik, melepaskan tubuh Leonis dan pindah ke tepi lain ranjang.
Dengan begini, Leonis berakhir di jepit di antara kedua gadis itu.
“S-Selia, jangan menempel padaku seperti itu...,” pipi Leonis memerah, tapi Riselia sepertinya tidak mempedulikannya.
“Ngomong-ngomong, Leo, apa di festival nanti ada tempat yang ingin kau kunjungi?” tanya Riselia.
“Tempat yang ingin aku kunjungi...?” gumam Leonis, tidak benar-benar mengerti maksud Riselia.
“Kita tidak menyelanggarakan Festival Cahaya Suci setiap hari, jadi kau juga harus menikmati festival itu,” jelas Riselia, sambil dengan lembut mengetukkan satu jarinya di kepala Leonis.
“Oh, kau benar...’
Berkeliling dan menikmati festival kedengarannya memang bukan ide yang buruk, tapi minat Leonis berada pada saat Assault Garden Keenam yang akan dipasakan dengan Assault Garden Ketujuh di puncak perayaan festival. Karena pada akhirnya kota-kota apung lainnya akan jatuh di bawah kendali Pasukan Penguasa Kegelapan, jadi menyelidikinya lebih awal adalah hal yang idel. Selain itu, ada juga masalah tentang Roh Muasal yang dilaporkan oleh Pasukan Serigala Iblis.
“Sebenarnya aku lebih suka untuk tur ke Assault Garden Keenam daripada berkeliling di festival,” ucap Leonis.
“Itu masuk akal, toh jarang-jarang kita bisa terhubung dengan kota-kota lain,” jawab Regina, setuju dengan Leonis.
“Assault Garden Keenam juga memiliki museum yang terkenal,” tambah Riselia.
“Museum?”
“Ya, di sana dipamerkan relik-relik yang diambil dari reruntuhan di seluruh dunia. Salah satu institusi penelitian terkemuka kekaisaran dibangun di dekatnya, dan mereka menampilkan hasil penelitian mereka kepada publik di sana.”
Ohh...
Itu informasi yang sangat berguna. Tempat itu bisa memberi Leonis informasi yang berguna tentang keadaan dunia ini.
“Meski begitu, aku agak cemas membiarkanmu pergi sendirian ke sana...” ucap Riselia, sambil meletakkan jarinya di dagunya. “Aku lebih ingin mengajakmu berkeliling di festival...”
Sifat penyayang Riselia kembali muncul.
“Ah, mungkin kita memang akan sangat sibuk di pagi hari,” ucap Regina. “Tapi begitu pertandingan publik dimulai, orang-orang yang akan datang ke kafe mestinya akan berkurang.”
“Benarkah? Kalau begitu aku akan menemanimu dalam tur museummu, Leo,” pungkas Riselia.
“Aku bisa pergi sendirian kok...,” tegas Raja Undead, dengan nada suara yang lemah.
“Gak boleeeeeh. Gimana kalau nanti ada orang asing yang menculikmu?” tegur Riselia, menyentil dahi Leonis dengan lembut menggunakan jari telunjuknya.
---
Di tengah malam, seorang gadis tengah menyusuri hutan luas di belakang asrama Hraesvelgr sambil ditemani kicauan serangga di sekelilingnya. Hutan ini adalah hutan yang tempo hari digunakan sebagai arena latih tanding, tapi ketika medan itu selesai digunakan untuk berlatih, sebagian besar tempat itu menjadi tempat di mana siswa-siswi dapat bersantai.
Setidaknya, itulah gunanya tempat itu ketika siang hari. Sekalipun pepohonan dan semak-semak di sana di pelihara dengan baik, sebagian besar orang tidak akan pergi ke hutan saat gelap di malam hari.
Tanpa adanya cahaya yang menerangi jalannya, gadis itu berlari menginjak tanah yang basah karena embun malam. Sedikit sinar bulan menyinari pakaian Anggrek Sakura-nya dalam cahaya yang samar-samar.
Setelah sampai di tempat terbuka di hutan, gadis itu, Sakuya, berhenti.
<Anda... Telah mengurangi jumlah Void... Yang Mulia.>
“Ya. Berapa banyak yang aku bunuh...? Aku tidak begitu ingat, soalnya aku cukup fokus dalam membunuh mereka...”
Sakuya telah membunuh Void dalam jumlah yang tak terhitung jumlahnya di Assault Garden Ketiga. Faktanya, dia mungkin sudah memecahkan rekornya yang sebelumya, meskipun sesuatu seperti itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi dirinya.
<Keterampilan pedang anda sangat mengagumkan. Seiring berjalannya waktu, anda mungkin bisa mengalahkan Setsura.>
<...Tapi ini tidaklah cukup untuk membunuh musuh bebuyutan kita...>
<...Anda harus terus membunuh... Void-Void yang ada...>
Layaknya rapalan kutukan, suara-suara itu berteriak menakutkan di sekelilingnya.
“Ya, aku tahu,” jawab Sakuya, dengan suara yang pelan.
Di malam yang diterangi oleh cahaya bulan, jiwa-jiwa pendendam yang terukir di daging Sakuya menjadi gelisah. Hantu-hantu jahat dari bangsanya telah memanggil Sakuya dalam pikirannya semenjak hari ketika tanah airnya dihancurkan.
Keringat dingin muncul di dahi gadis muda itu. Dia memusatkan perhatiannya pada satu titik di antara matanya, membangkitkan kesadarannya sampai suara-suara itu mereda.
Ya..., aku akan balas dendam pada Void itu.
Void Lord Shardark, Void berwujud pendekar pedang bermata satu, telah merenggut nyawa saudari Sakuya.
Bahkan saat ini pun, rekan-rekannya yang tak terhitung jumlahnya dari Anggrek Sakura tengah bertarung seperti yang dia lakukan. Mereka semua memimpikan hari dimana Pedang Suci yang menyimpan wasiat tanah air mereka akan memenggal kepala Void Lord itu.
Tiba-tiba, terdengar cibiran datang dari kegelapan.
“Gehehehe... Kau mengeluarkan aroma iblis, nak...”
“Siapa itu?” ucap Sakuya, mengamati sekelilingnya.
“Kau bukanlah vampir yang kami cari, tapi meski begitu kau adalah orang yang cukup menarik...,” ucap suara itu.
“Apa itu semacam roh jahat?” gumam Sakuya pada dirinya sendiri, saat sorot matanya menajam. Dia kemudian mendongak terkejut, soalnya dia melihat sepasang mata majemuk merah bercahaya sedang mengintip ke arahnya. Mata itu adalah mata monster laba-laba raksasa yang menggeliat dan terkekeh.
---
“Mmm... Haa... Mha... ♪”
“...!”
Merasakan sensasi gigitan di daun telinganya, Leonis meringis saat rasa sakit yang manis menjalar ke tubuhnya.
Aku tidak bisa tidur kalau seperti ini!
Membuka matanya dan berbalik di ranjangnya, dia mendapatinya dirinya berhadapan dengan Riselia yang tertidur lelap dan terlihat merasa sangat puas. Saat terjaga, Riselia bersikap sederhana serta pendiam, dan dia hanya akan meminum darah Leonis ketika dia diberikan izin. Namun, ketika dia tidak sadarkan diri, dorongan vampir yang ia tahan di pikirannya muncul ke permukaan.
Yah, tapi ini bukannya aku keberatan juga sih membiarkannya menghisap darahku, pikir Leonis, sambil menghela napas. Bagaimanapun juga, dia adalah orang yang bertanggung jawab dalam menjadikan Riselia sebagai vampir. Menyediakan apa yang dibutuhkan oleh pengikutnya untuk bisa bertahan hidup adalah tugasnya sebagai majikannya. Hanya saja, satu-satunya masalahnya di sini adalah: Itu rasanya sakit.
Saat Riselia meminum darah Leonis dalam kondisi terjaga, dia akan menggigitnya dengan lembut. Hal yang sama tidak bisa dikatakan ketika Riselia sedang tertidur. Leonis bangun dan duduk dengan lembut, memastikan kalau dia tidak membangunkan kedua gadis itu. Saat Riselia jadi tidak menggigit apa-apa, Leonis menjulurkan jari telunjuknya ke depan bibir Riselia.
“Mm... Schlrp... Nha...”
Riselia menggerakkan-gerakkan lidahnya ke jari Leonis sejenak dan kemudian menggigitnya. Itu rasanya juga sakit ketika Riselia menggerogoti jarinya seperti itu, tapi setidaknya itulebih baik daripada rasa sakit di daun telinganya.
“Mm... Leo... Schlrp... Mhaaa...”
Melihat pengikutnya dengan sepenuh hati mengisap jarinya itu memberikan sedikit perasaan hangat di dada Leonis.
Puaskanlah dirimu dengan mana dari sang Penguasa Kegelapan ini..., pikir Leonis.
“...Mm! ♪”
Tiba-tiba, sensasi rasa sakit baru menjalari lengan Leonis yang lain yang dia gunakan untuk menopang dirinya.
“...Regina?!” Leonis tersentak, hampir meninggikan suaranya.
“Mm, enak, mm, mha...”
“...”
Gadis berambut pirang itu mengigit lengannya. Tentunya, gadis itu hanya memiliki kecenderungan acak untuk menggigit sesuatu saat dia tidur.
“Aku ini bukan sepotong ham, tau,” guman Leonis dengan sedikit kesal, kemudian memasukkan bantal ke mulut Regina.
“Mm, nnm...” Regina mulai menggigiti bantal itu.
Besok aku akan tidur di sofa saja, putus Leonis.
Ting!
Samar-samar, terdengar suara pedang yang beradu dari luar jendela.
Apa itu?
Leonis berdiri dengan perlahan dan mendekati jendela. Melalui jendela, dia melihat apa yang tampak seperti kilatan petir di antara pepohonan.
---
Sakuya meneriakan teriakan perang saat dia mengayunkan pedangnya.
“Tebasan Petir Api!”
Bilah yang dialiri petir menebas kegelapan. Itu adaalah serangan yang dia lakukan dengan sungguh-sungguh dan mematikan, tidak seperti cara dia menggunakan pedangnya selama latih tanding. Meski begitu, secara mengejutkan serangan itu gagal mengenai targetnya.
Makhluk itu bisa menghindari tebasan pertama Raikirimaru?!
Dengan cepat memperbaiki posturnya, Sakuya bersandar di salah satu pohon saat dia buru-buru mencari lawannya.
Apa makhluk ini Void? dia bingung, tapi gadis muda itu dengan cepat menepis anggapan teresebut. Bagaimanapun juga, tidak mungkin biro administrasi akan membiarkan Void menyelinap sedalam ini ke dalam lingkungan akademi. Lantas, jika memang demikian, lalu makhluk apakah ini?
“...Kau cukup terampil, bukan? Gehehehe...,” tawa makhluk itu bergema di dalam hutan.
“Jadi kau bisa berbicara dengan bahasa manusia ya, monster...,” guman Sakuya pada dirinya sendiri.
Saat berikutnya, pohon-pohon yang berjajar di sebelahnya semuanya dia tebang. Menendang tanah, Sakuya menyerbu ke depan. Bagian tubuh makhluk itu yang layaknya cambuk menebas semak-semak saat mengejarnya.
Gerakan Petir!
Dengan tubuh yang diselimuti petir, Sakuya melompat ke pepohonan. Pedang Sucinya, Raikirimaru, adalah tipe Pedang Suci yang sangat cocok dengan medan yang berantakan dan tidak rata seperti ini.
Jangan remehkan pendekar pedang Anggrek Sakura!
Menggunakan batang pohon, Sakuya dengan cepat mengubah arah dan menebas salah satu anggota badan makhluk itu. Bagian tubuh itu sontak jatuh lemas ke tanah dan tanpa suara melebur ke dalam bayang-bayang yang tercipta di tanah oleh cahaya bulan.
Itu rasanya seperti aku tidak benar-benar menyentuh apa-apa. Apa monster ini tidak memiliki bentuk fisik?
Setelah mendarat, Sakuya menebas bagian tubuh lain dari monster itu yang melesat ke arahnya dari kegelapan.
“Gehehe... Jadi ini ya Pedang Suci? Sungguh kekuatan yang misterius. Senjata itu sungguh mengesankan bisa menebas bayangan kami.”
“Sepertinya kalian cukup percaya diri untuk berani berceloteh di tengah panasnya pertempuran.”
Menyelimuti dirinya dengan petir, Sakuya melompat maju. Dengan menggunakan arah serangan lawannya barusan sebagai petunjuk, dia melihat lokasi keberadaan lawannya.
“Teknik Pedang Pamungkas—Tebasan Gemuruh Petir!”
Itu adalah teknik pedang single-target mematikan yang diaktifkan oleh akselerasi Gerakan Petir. Beberapa tebasan silang-menyilang, menyatu pada satu titik dalam kegelapan.
Kena kau!
Namun pada saat Sakuya yakin serangannya mengenai lawannya, dari atasnya dia mendengar suara.
“Untuk seorang manusia, kekuatanmu cukup mengesankan.”
“...?!”
Sepasang mata merah mengawasi Sakuya dari puncak pohon. Jika targetnya ada di atas, lantas apa yang baru saja dia serang? Gumpalan kegelapan yang barusan dia potong tumpah dan melingkari Raikirimaru layaknya ter elastik.
“...Kuh... Lepaskan...!” gerutu Sakuya.
“Gehehehe... Tertelanlah..., oleh bayanganmu sendiri...!”
Massa hitam berbentuk manusia muncul, seolah-olah itu ingin menelan Sakuya. Namun, sebelum bayangan itu bisa menelannya....,
“Zol Meides!”
Duuuuuaaarrrr!
Api hitam tiba-tiba meledak dari udara tipis, memusnahkan bayangan itu.
“Apa?!” teriak monster itu dalam keterkejutan.
Sakuya terduduk di tanah dengan ekspresi yang tercengang saat serangkaian langkah kaki terdengar semakin keras di belakangnya.
“Apa kau baik-baik saja, Sakuya?”
“Leo...”
Masih mengenakan piyamanya, Leonis melangkah ke bawah sinar bulan.
---
Seperti dugaanku, kilatan petir yang tadi itu berasal dari pedang petirnya Sakuya.
Leonis mendekati Sakuya dengan perlahan, kemudian mengulurkan tangannya padanya. Dia datang ke sini karena melihat kilatan petir di tengah kesunyian malam.
“Apa kau bisa berdiri?” tanya Leonis.
“Y-Ya...,” angguk gadis berambut biru itu, sambil mulai berdiri dengan perlahan.
Leonis lega melihat Sakuya tidak mengalami luka meskipun mendapati beberapa goresan.
Yah, sekalipun terluka toh aku juga tidak bisa menggunakan sihir penyembuhan.
“Leo, apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku tidak bisa tidur. Tapi itu tidak penting saat ini.” Leonis melihat ke arah puncak pohon, tempat makhluk yang Sakuya lawan sedang bertengger. “Apa itu?”
Makhluk itu memiliki mata merah yang berkilauan dan perut bengkak yang memanjangkan beberapa anggota tubuh yang menggeliat.
Berani juga kau memandang rendah ke arah sang Penguasa Kegelapan yang terkuat... Leonis mengetuk bagian bawah Tongkat Penyegel Dosa-nya ke tanah.
“Aku tidak tahu. Makhluk itu tiba-tiba saja menyerangku...” Sakuya menggelengkan kepalanya, memperbaiki cengkeramannya pada Raikirimaru.
“Apa itu Void?” tanya Leonis.
“Tidak, kurasa bukan.”
“Itu..., apa itu ilmu sihir...?!” monster itu tampak sangat terkejut, merasa tak percaya dengan apa yang barusan dia lihat. “Apa manusia di zaman ini..., tidak kehilangan kemampuan mereka untuk menggunakannya...?”
Makhluk ini tahu tentang ilmu sihir...? Leonis mengerutkan alisnya.
“Tidak... Itu bisa-bisa jika dia adalah pengikut si vampir...,” dengan suara yang keras, makhluk itu memberikan logika yang masuk akal pada dirinya sendiri.
“Siapa yang kau panggil pengikut—? Tidak, tunggu...” Leonis terdiam ketika dia menyadari bahwa monster itu berbicara tentang Vampir. Apa dia tahu tentang Riselia?
“Gehehehe... Sepertinya kau mengenalnya...,” ucap makhluk bayangan itu,
Saat berikutnya, lengan makhluk itu terulur ke arah Loenis.
“Berlindung di belakangku, nak!” Sakuya melangkah ke depan Leonis, menebas serangan yang datang. Kilatan listrik yang dilepaskan oleh Pedang Sucinya itu menerangi hutan yang gelap.
“Ini adalah lawan yang tangguh,” ucap Sakuya. “Bisakah kau membantuku?”
“Tentu saja,” ucap Leonis, berdiri dengan punggung yang berhadapan dengan gadis itu sambil memegang tongkatnya.
Sakuya sering mengambil formasi seperti ini dengan Riselia saat mereka sedang berlatih.
“Manusia kurang ajar...!”
Monster itu melesat ke udara. Saat jatuh ke bawah, makhluk itu melepaskan serangkaian serangan ke arah Sakuya.
“Mantra tingkat kedua—Lanhce Vero!”
Sambil berlari di antara pepohonan, Leonis melakukan rapalan.
Semburan tombak hitam keluar dari ujung Tongkat Penyegel Dosa, mencegat monster itu. Menggunakan celah yang Leonis buat untuknya, Sakuya melompat ke arah pepohonan dan menghilang.
Terlepas dari ukurannya yang besar, makhluk itu dengan cepat melompat ke puncak pohon. Saat Leonis mengejarnya, lumpur memercik ke piyamanya. Riselia pasti akan memarahinya nanti.
Terkutuklah kamu...
Dipenuhi dengan amarah, Leonis mengarahkan mantra Peluru Gravitasi ke arah monster itu. Mantra itu melesat itu menuju sasarannya, sambil mencabik-cabik pepohonan di jalannya. Namun, ruang di sekitar monster itu diselimuti cahaya putih terang yang menghancurkan mantra Leonis.
Itu ilmu sihir. Apa makhluk ini adalah iblis?
Iblis adalah makhluk yang sedikit berbeda dari kebanyakan monster yang ada. Mereka memiliki banyak wujud yang bervariasi, dan kekuatan mereka juga sama tidak konsistennya. Meski begitu, mereka semua berbagi beberapa kesamaan, Masing-masing dari mereka sangat cerdas dan lebih kuat dari monster biasa.
Dan yang ini terihat cukup kuat bahkan di antara para iblis.
Tentunya, bagi Penguasa Kegelapan seperti Leonis, iblis bahkan tidak memiliki kelayakan untuk dia waspadai. Toh mantra tingat kelima (atau lebih tinggi) bisa menghancurkan makhluk itu dalam satu serangan. Tapi, melakukan itu akan memperlihatkan sejauh mana kekuatan yang ia miliki kepada Sakuya. Selain itu, makhluk itu bisa datang ke sini dengan melalui koridor bayangan, yang mana hal tersebut sesuai dengan laporan Shary sebelumnya. Leonis perlu untuk menangkap makhluk tersebut, memengaruhinya dengan mantra dominasi, kemudian menginterogasinya.
Mata merah laba-laba itu berkilauan.
“Gehehehe... Penghalang Pengikat Bayangan!”
Lingkaran sihir yang bersinar dan jahat muncul di atas medan pertempuran.
Mantra penghalang!?
Leonis melompat ke udara. Tanah tepat di bawahnya ditelah kegelapan, dan pepohonan di sekitarnya tenggelam ke dalam bayangan tersebut.
“Shray Zast!” Leonis kembali menembakkan mantra.
Tapi sayangnya, iblis laba-laba itu sangat gesit, melompat-lompat untuk menghindari tembakannya.
“Sakuya!”
“Haaaaaaaaaaaaaaah!”
Sakuya melontarkan teriakkan perang saat pedangnya menyambar-nyambarkan petir. Bergerak di dalam hutan dengan kecepatan yang tinggi, dia mendekati lawannya dari samping lawannya. Makhluk itu buru-buru mengeluarkan anggota tubuh lain untuk menghentikan Sakuya, tapi...
“Terlalu lambat!”
Sakuya mengayunkan Pedang Sucinya.
“Gerakannya..., jadi lebih cepat...?!” seru iblis laba-laba itu.
“Raikirimaru-ku adalah pedang akselerasi,” ucap Sakuya dengan nada yang dingin. “Semakin aku mengayunkannya, aku akan menjadi semakin cepat. Teknik Pedang Pamungkas—Kilatan Petir!”
Whooosh!
Pedang Sakuya menebas perut iblis laba-laba itu. Makhluk mengerikan itu sontak mengeluarkan jeritan penuh rasa sakit yang menghilangkan kesunyian malam.
Sungguh prestasi yang mengesankan baginya untuk bisa menyerang iblis. Menurut perkiraan Leonis, lawan mereka saat ini cukup terampil. Hal ini sontak membuat Leonis berpikri bahwa Sakuya menahan kekuatannya selama latih tanding. Tapi, terlepas dari upaya terbaiknya itu, luka yang Sakuya ciptakan tidak berakibat fatal.
“Gaaaaaaah! Beraninya kau melukaiku, dasar manusia rendahan!”
Iblis laba-laba itu mencoba merapalkan suatu mantra, tapi mantranya langsung hancur.
“...Tidak mungkin?!” gerutu makhluk itu. “Gangguan mantra?!”
Itu adalah perbuatan Leonis. Gangguan mantra adalah teknik yang sangat rumit, tapi itu tidaklah lebih dari sekadar permainan anak-anak bagi sang Penguasa Kegelapan yang telah menguasai semua ilmu sihir.
“Hyaaaaaaah! Tebasan Gemuruh Petir!”
Riiiiiiip!
Pedang Sakuya menancap di perut iblis laba-laba itu. Makhluk itu kemudian jatuh ke tanah dan mulai tenggelam ke dalam bayangan.
Tidak, kami tidak boleh membiarkannya melarikan diri...!
Leonis perlu mendapatkan informasi darinya. Sambil mengangkat tongkatnya, dia mulai merapalkan mantra..., tapi tiba-tiba iblis laba-laba itu terdiam. Pisau keperakan merajut bayangan iblis itu di tempat.
“...Apa?!”
Saat makhluk laba-laba itu membeku di tempatnya...
“Haaaaaaah!” Sakuya mengarahkan pedang Sucinya ke mata merah berkilauan iblis itu.
“Terkutuklah kamu..., terkutuk, terkutuk, terkutuuuuuk!”
Sambil melolong kesakitan, anggota tubuhnya yang seperti sulur iblis melingkari lengan Sakuya. Perutnya membesar, berubah menjadi merah membara layaknya tungku api.
Ini buruk!
Memahami niat iblis laba-laba itu, Leonis merapalkan mantra tingkat delapan.
“Vorzaid!”
Kegelapan menyelimuti wujud besar iblis itu tepat saat iblis itu akan meledak, benar-benar menghancurkannya. Keheningan langsung menyelimuti hutan, dan Sakuya menurunkan pedang Raikirimaru.
“Sakuya... Apa kau baik-baik saja?” tanya Leonis.
“Y-Ya...,” gumam Sakuya, saat Pedang Sucinya memudar menjadi partikel cahaya. “Apa-apaan dengan monster yang barusan itu...?”
Leonis memandang gadis itu dengan ekspresi serius. “Apa kau pernah melihat monster yang seperti itu sebelumnya?”
Sakuya menggelengkan kepalanya. “Untuk saat ini, ayo kita laporkan soal ini ke biro administrasi. Ngomong-ngomong, nak...” Matanya menyipit curiga.
“Ya?”
“Mengapa kau menyembunyikan kekuatanmu yang sesungguhnya?”
“A-Apa maksudmu?” Leonis tergagap, berpura-bura bodoh.
Untungnya, Sakuya tidak bertanya lebih jauh soal itu. “Tidak, maafkan aku. Aku yakin kau pasti punya alasanmu tersendiri,” ucapnya, sambil mengangkat bahunya.
Kemudian, mereka mulai berjalan kembali ke arah asrama.
---
“Sulit untuk melihat jalan yang kita lewati, nak, jadi berhati-hatilah.”
“Ya...”
Leonis dan Sakuya berjalan menyusuri hutan lebat, dimana Leonis berjalan tidak jauh di belakangnya Sakuya. Saat dia melihat ke arah pepohonan, dia memanggil Shary melalui terlepati.
“Saya di sini, paduka...,” jawab Shary dengan segera.
Dialah yang tadi mengunci bayangan monster itu di tempat. Dalam pertempuran tadi, dia terus mengawal Leonis sambil menjaga agar dirinya tidak terlihat oleh seorang pun.
“Saya minta maaf. Saya tidak menduga kemungkinan kalau makhluk itu akan menghancurkan dirinya sendiri...,” ucap Shary, dengan nada penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa, itu bukan salahmu. Apa yang kau ketahui tentang makhluk itu?” tanya Leonis pada pelayannya.
“Saya yakin itu adalah iblis. Terlebih lagi itu adalah iblis tingkat tinggi.”
“Apa kau tahu apa tujuannya?”
“Apa yang saya pikirkan hanyalah dugaaan, tapi...”
“Tidak apa-apa, jangan ragu memberitahuku,” desak Leonis.
“Saya menduga makhluk itu memiliki profesi yang sama seperti saya.”
“Iblis pembunuh, ya...”
Di zamannya, musuh yang Leonis hadapi tidak hanya pahlawan dan prajurit. Ada banyak faksi yang telah mengirim pembunuh rahasia untuk mengambil nyawa sang Raja Undead itu. Hanya saja, anehnya iblis laba-laba itu sepertinya tidak datang ke sini untuk mengincarnya. Makhluk itu tampak terkejut ketika melihat Leonis menggunakan ilmu sihir, jadi sepertinya identitas Leonis belum terungkap.
Iblis itu menyebutkan sesuatu tentang vampir. Apa dia mengincar Riselia?
Jika itu benar, maka Leonis tidak bisa menebak apa yang diinginkan iblis itu dari Riselia. Semua ini terlalu tidak bisa dijelaskan...
“Paduka, saya punya laporan lain...”
“Apa itu?”
“Saya yakin kalau iblis itulah pelaku yang mengganggu koridor bayangan, tapi ada bukti jejak bahwa beberapa tempat lain juga diserang...”
“...Jadi ada lebih dari satu iblis yang telah menyusup ke kota ini, ya.”
“Sepertiya begitu, paduka...”
“Jadi hukuman seperti apa yang menurutmu cocok untuk diberikan pada mereka yang telah memasuki kerajaan Penguasa Kegelapan tanpa izin?” tanya Leonis.
“Menurut pendapat saya yang sederhana, kematian instan akan bagus,” jawab Shary.
“Hmm, kau benar...”
Selain itu, karena mereka sudah mencoba unntuk membunuh pengikut kesayangannya, maka mereka harus dihukum dengan lebih keras lagi.
“Shary, selidiki identitas musuh!”
“Siap laksanakan, paduka,” jawab Shary, dan setelah itu dia menghilang ke dalam kegelapan.
Sebuah seringai muncul di wajah Leonis. Kalian akan menyesali hari dimana kalian berpikir kalian bisa mengklaim apa yang menjadi milik Penguasa Kegelapan, wahai makhluk-makhluk bodoh.
Berharap Harem Ending
ReplyDelete