[LN] Saijo no Osewa Volume 3 - Bab 1 Bagian 3

Bab 1 Bagian 3 (dari 3)
Porseni dan Kemurungan Narika


Sepulang sekolah keesokan harinya, aku, Hinako, dan Narika sedang berbicara di dekat kelas 2B.

“Untuk jaga-jaga, ayo kita tinjau strategi yang akan kita lakukan."

Mendengar ucapanku, Hinako dan Narika mengangguk.

Waktu saat ini sekitar waktu ketika cahaya oranye matahari terbenam sedang menyinari kota. 30 menit sudah berlalu sejak sekolah usai, jadi hanya ada sedikit orang yang masih berada di sekitar gedung akademi. Nah, dengan berkurangnya jumlah orang yang ada seperti saat ini, maka seharusnya beban Narika akan menjadi lebih ringan.

“Stragei #1. Mengadakan atau ikut bergabung dalam sesi belajar kelompok,” ucapku, mencoba menjelaskan salah satu strategi yang kami putuskan kemarin. “Karena ada banyak orang yang berkumpul di sesi belajar kelompok, jadi itu adalah tempat yang baik untuk berkenalan dengan banyak orang. Selain itu, kita juga sudah pernah mengadakannya baru-baru ini, jadi seharusnya akan relatif lebih mudah bagi Narika untuk menyesuaikan.”

Terhadap kata-kataku, Narika menganggukkan kepalanya.

Sebelumnya, kami pernah mengadakan sesi belajar kelompok. Jika Narika ingat bagaimana susana yang ada saat itu, maka dia harusnya bisa melakukan strategi ini dengan baik.

Bahkan aku sendiri pun bisa memperdalam persahabatanku dengan Tennoji-san, Asahi-san, dan Taisho pada sesi belajar kelompok itu. Karenanya, sesi belajar kelompok terbukti efektif untuk menjalin pertemanan.

“Tapi, karena akan sulit untuk membentuk sesi belajar kelompok sendiri, jadi kali ini akan lebih baik jika kau bergabung dengan sesi belajar kelompok orang lain. Untungnya, ada orang-orang dari kelasmu yang sudah melakukannya, kan?”

“Ya, setauku ada tiga orang yang masih tinggal di akademi saat sepulang sekolah untuk belajar bareng.”

Oh, kedengaranya murid dari Kelas 2B juga sangat teladan.

“Sepertinya kau memperhatikan sekelilingmu dengan cermat, Narika.”

“.........Soalnya aku iri dengan kebersamaan mereka saat sepulang sekolah.”

“...Begitu ya.”

Semakin aku membicarakan soal situasi yang dia miliki, semakin banyak aku jadi mendengar cerita menyedihkan tentang dirinya. Lain kali, kurasa aku harus mengundangnya ke pesta teh.

“Kalau begitu, yang harus kau lakukan sekarang adalah berbaur dengan orang-orang itu.”

“A-Aku mulai gugup...”

“Oi, jangan gugup. Soalnya wajahmu jadi tampak menakutkan saat kau gugup.”

“T-Tunggu sebentar..., aku mau menenangkan diriku dulu...!!”

Narika menarik napas dalam-dalam, dan gemetar di tubuhnya mereda sedikit demi sedikit.

“A-Aku pergi...!”

Membulatkan tekadnya, Narika memasuki kelasnya.

Di sisi lain, aku dan Hinako melihat situasi secara diam-diam dari luar kelas.

Nah, Narika adalah orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mengobrol. Tapi, semua siswa-siswi di Akademi Kekaisaran adalah murid yang teladan. Itu sebabnya, bahkan jika Narika tidak bisa menghidupkan obrolan, selama dia menunjukkan keseriusannya dalam belajar, kuharap mereka akan bisa saling memahami.

Di sudut kelas 2B, ada tiga orang yang terdiri dari pria dan wanita sedang belajar di meja berdampingan.

Narika pun mendekati mereka, dan——

“H-Heiiyiiyi!!”

Dia secara tidak sengaja menggigit lidahnya.

Volume suaranya juga terlalu keras, yang mana itu membuat ketiga siswa-siswi itu jadi terkejut.

Dari tempat aku dan Hinako mengawasi, kami tidak bisa melihat wajah Narika, tapi dari melihat dari gerak-geriknya..., kurasa dia gugup.

Dia pasti gugup gara-gara lidahnya gak sengaja kegigit...

Saat ini, meskipun telinganya tempak merona merah, tapi wajahnya pasti tampak menakutkan. Ya ampun, baru langkah pertama saja dia sudah tersandung begini.

“M-Miyakojima-san..., a-ada apa?”

“E-Erm...”

Narika mencoba menanggapi siswi yang bertanya, tapi tampaknya dia sulit mengatakan niatnya menghampiri mereka.

“Ah?! J-Jangan-jangan ini adalah kursimu, Miyakojima-san...?!”

“Eh—?! Ma-Ma-Ma-Maaf! Kami akan segera pergi!”

Dengan ekspresi yang tampak ketakutan, siswa-siswi itu berdiri dari kursi mereka, tapi kemudian Narika bergegas menghentikan mereka.

“Ti-Tidak! Kalian salah paham!”

Ya, seperti itu, kau melakukannya dengan baik.

“Erm, kalian lagi belajar, kan?”

“Eh? ...Y-Ya, kami lagi belajar...”

“B-Boleh tidak kalau aku ikut belajar bareng dengan kalian?”

Yosh, secara tidak sadar, aku mengapalkan tinjuku, merasa seperti sedang meyemangati seorang anak yang berpartisipasi dalam porseni.

Di sisi lain, mendengar perkataan Narika, ketiga murid tersebut mulai berdiskusi.

“G-Gimana nih...? A-Apa tidak apa-apa jika Miyakojima-san ikut belajar bersama kita?”

“Jika Miyakojima-san ikut belajar sama kita, mungkin dia akan bisa mengajari kita banyak hal...”

“Kau ada benarnya...”

Menilai dari suasananya, ketiga murid itu tampak ingin menerima Narika, tapi...,

“Erm, kalian tahu..., aku bukanlah siswi yang cukup pintar untuk mengajari orang lain...”

“Eh?”

Ketiga murid itu sontak menatap Narika dengan ekspresi bingung.

“E-Erm, sekadar kasih tahu, saat ini kami sedang belajar supaya bisa mendapatkan peringkat yang lebih tinggi dalam ujian yang berikutnya...”

Aku yakin, kalimat itu sama sekali tidak bermaksud untuk menolak Narika. Jika Narika antusias untuk belajar, maka mereka tidak keberatan jika Narika ingin ikut belajar bareng dengan mereka. Tapi, jika dilihat dari sudut pandang lain, mereka mengatakan bahwa mereka tidak bermaksud menggunakan sesi belajar kelompok mereka sebagai alasan untuk ngobrol-ngobrol. Karenanya, di sini Narika harus menunjukkan keseriusannya bahwa dia antusias untuk belajar bareng dengan mereka.

“Ma..., Ma-Maaf.”

Bercucuran keringat dingin, Narika meninggalkan kelas.

Begitu dia melangkah ke koridor, mataku langsung bersilangan dengan matanya Narika.

“Itsukiiiiii...!!!” Teriak Narika. “Mengapa..., mengapa mereka salah paham kalau aku ini orang yang pintar...”

“Kupikir itu jauh lebih baik daripada disalahpahami sebagai orang tolol..., tapi yah, itu agak tidak terduga.”

Jika tadi Narika berpura-pura pintar dan ikut bergabung dengan sesi belajar kelompok mereka, dia pasti akan segera tampil memalukan. Bagi Narika, hanya untuk bisa ikut bergabung dengan sesi belajar kelompok mereka saja dia sudah harus mengerahkan seluruh kekuatannya, jadi tidak akan ada kekuatan yang tersisa lagi baginya untuk menjernihkan kesalahpahaman ketiga murid tersebut.

......Kalau kuingat-ingat lagi, awalnya kami juga tidak tahu tentang nilai akademisnya Narika.

Di sesi belajar kelompok kami waktu itu, saat mengetahui bahwa nilai akademi yang Narika miliki tergolong rendah, selain aku, yang lainnya juga tampak terkejut.

Narika hanya dikenali melalui imejnya yang tersebar, itu sebabnya, hanya sedikit orang yang tahu seperi apa dirinya yang sebenarnya.

“Yah, jangan terlalu dipikirkan. Besok, ayo kita terapkan strategi yang lain,” ucapku, menghibur Narika yang matanya berkaca-kaca.

Strategi #1——Gagal.

---

Keesokan harinya, kami ketemuan lagi di akademi saat pagi hari sebelum jam pelajaran dimulai.

“Strategi #2. Merubah imej.”

Mendengar strategi yang sederhana itu, Narika menganggukkan kepalanya.

Nah, Hinako adalah alasan mengapa aku bisa memikirkan strategi ini...

Aku melirik Hinako yang berdiri di sampingku, dan mata kami pun saling bersilangan.

“Ada apa?”

“......Tidak ada apa-apa.”

Dalam mode Ojou-sama-nya, Hinako memiringkan kepalanya dengan postur yang imut.

Bahkan Hinako, gadis yang sangat pemalas dalam kehidupan pribadinya, merupakan orang yang paling populer di Akademi Kekasiran saat dia mengubah imejnya secara menyeluruh. Dengan mengingat hal tersebut, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa setiap hari Hinako selalu mengubah imejnya. Karenanya, bisa dibilang, Hinako adalah ahlinya merubah imej.

“Tujuan dari perubahan imej ini adalah untuk mengurangi kesan Narika yang sulit untuk didekati. Untuk itu, ayo kita ubah imejmu menjadi kebalikan dari kesan yang tegas dan serius.”

“Secara teori sih aku mengerti, tapi...,” Narika menampilkan ekspresi wajah yang rumit. “...Hei, mungkin agak terlambat bagiku untuk menanyakan ini, tapi apa aku ini memang tampak sangat menakutkan?”

“Hmm..., di depan kami sih kamu tampak biasa-biasa saja...”

Kenyataannya, aku sendiri juga tidak takut pada Narika. Tentunya, aku tahu bahwa secara objektif dia terlihat menakutkan, tapi karena aku tahu masa kecilnya Narika, jadi dari lubuk hatiku aku tidak pernah merasa takut kepadanya.

“Ayo kita lakukan ekspresimen terlebih dahulu.”

“Eksperimen?”

Terhadap Narika yang bertanya balik, aku menganggukkan kepalaku.

“Kita masih punya waktu sebelum jam pelajaran dimulai, jadi ayo kita keluar sebentar.”

Mengatakan itu, aku pergi keluar dari lingkungan akademi bersama Narika dan Hinako.

Nah, para pelayan dari Keluarga Konohana selalu menunggu di sekitar rute akademi untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan pada Hinako dalam perjalanan ke dan dari akademi. Karenanya, saat ini mungkin mereka masih ada di sekitar ini, dan karena aku juga tidak ingin terlalu merepotkan pekerjaan mereka, jadi aku tidak meninggalkan akademi terlalu jauh.

Di luar akademi, di seberang penyebarangan, ada anak-anak kecil yang sepertinya anak SD sedang berjalan kaki.

...Baiklah, ayo hampiri anak-anak itu.

Aku mendekati anak-anak itu, kemudian memanggil mereka.

“Hei, kakak boleh minta waktu kalian sebentar gak?”

Anak-anak itu berbalik menghadapku.

“Ada apa~?”

“Hei, jangan menanggapi panggilan orang asing...!”

“Oh, aku tahu seragam itu, itu seragam dari sekolah mahal.”

“Iya, itu seragam Akademi Kekaisaran!”

Tampaknya, Akademi Kekaisaran juga terkenal bahkan di kalangan anak-anak.

“Aku punya pertanyaan untuk kalian semua,” ucapku, membungkuk sejajar dengan pandangan anak-anak tersebut.

“Lihat kakak perempuan yang di sana itu...,” menunjuk ke arah Narika, aku kemudian mengambil foto dari saku seragamku. “Menurut kalian, antara dia dan foto bos yakuza ini..., siapa yang lebih tampak menakutkan?”

“O-Oi Itsuki, kenapa kau bisa punya foto yakuza?”

“Yakuza ini sepertinya pernah cari masalah sama Grup Konohana, jadi aku diberikan beberapa informasi tentangnya.”

Foto itu menampilkan wajah seorang om-om yang tampak garang dan memiliki bekas luka di dahinya. Karenanya, normalnya pasti yakuza ini lah yang akan tampak lebih menakutkan.

Anak-anak kecil itu pun menatap foto yang kupegang dan wajah Narika secara bergantian.

“...Narika, coba tersenyum sebentar.”

Perbandingan ini tidak akan artinya kecuali membandingannya dengan Narika ketika berada di akademi yang sedang mencoba berinteraksi dengan orang lain. Karenanya, mengikuti kata-kataku, Narika tersenyum canggung.

“He, hehehe...”

Melihat senyuman kaku itu, wajah anak-anak kecil itu sontak memucat.

““Kakak yang disana tampak lebih menakutkan!!””

“Uuuaa~...! Kurasa lebih baik aku mati saja...!”

Anak-anak kecil itu pergi melarikan diri, sedangkan Narika berjongkok di tempat.

“Apa sekarang kau sudah merasa kalau itu perlu bagimu untuk melakukan perubahan imej?”

“......Ya. Aku akan melakukannya dengan serius,” jawab Narika, tampak masih belum pulih dari keterkejutannya.

“Kalau gitu, mulai dari sini biar Konohana-san yang membantumu.”

“Ya,” angguk Hinako.

Karena tidak hanya gaya rambut, tapi aku ingin agar gaya berpakaiannya juga dirubah, jadi aku meminta Hinako sebagai sesama wanita untuk membantu Narika. Sungguh, aku senang Hinako mau ikut membantu kami.

“Narika, kau ingin berpakaian seperti Asahi-san, kan?”

“Y-Ya, bahkan sebenarnya aku cukup mengaguminya. Keluargaku cukup ketat, jadi rasanya menyegarkan saat melihat penampilannya... Asahi-san juga punya banyak teman, jadi aku juga ingin banyak belajar dari dirinya,” ucap Narika, terdengar malu-malu.

Baru-baru ini, aku mengetahui bahwa tidak ada aturan khusus tentang penampilan pribadi di Akademi Kekaisaran. Soalnya, itu dikarenakan siswa-siswi di akademi ini dinilai dapat sadar diri untuk tidak berpenampilan tidak rapi, makanya pihak akademi merasa tidak perlu repot-repot untuk menyebutkannya dalam peraturan sekolah.

Nah, untuk Asahi-san, kasusnya jarang terjadi di akademi ini, tapi cara dia berpakaian tidaklah sampai menganggu moral publik. Toh dia hanya mengubah warna seragamnya dan menambahkan aksesori-aksesori kecil.

“Tapi yah, jika kau tiba-tiba merubah imejmu dengan sangat mencolok, mungkin orang-orang justru akan menjadi lebih takut, jadi kali ini hanya sedikit saja yang akan dirubah.”

“K-Kau benar. Aku juga akan lebih menghargainya jika seperti itu.”

Segera setelah kami kembali ke akademi, Narika dan Hinako memasuki ruang ganti yang dapat digunakan secara bebas kapan saja.

Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, mereka pun muncul.

“B-Bagaimana menurutmu......?”

Tampak gelisah dan tidak percaya diri, Narika menunjukkan sosoknya kepadaku.

Almameternya tidak dia kancing dan dia biarkan terbuka, dan roknya juga sedikit lebih pendek. Bagian kancing atas dan bawah dari kemejanya yang dia keluarkan juga tidak dia kancing, membuat penampilannya itu terlihat informal.

Di pergelangan tangannya yang ramping, terdapat gelang berwarna merah muda. Kupikir warna tersebut tampak tidak cocok dengan imej yang Narika miliki, tapi memang itulah hal yang dibutuhkan saat ini untuk merubah imejnya Narika. Penampilannya itu juga tidak terlihat sangat mencolok karena konstruksinya yang elegan.

“......Padahal cuman mengotak-atik sebagian saja dengan kreatif, tapi sekarang kesan yang kau miliki banyak yang berubah.”

Sekarang, Narika memberikan kesan dari gadis yang sederhana. Untuk gaya rambutnya sih tidak banyak yang berubah, soalnya hanya dibuat sedikit lembut dan sedikit menonjol saja. Dengan penampilannya yang seperti ini, dia pasti tidak akan memberikan kesan yang buruk.

“Bagaimana perasaanmu, Narika?”

“A-Aku sedikit gugup, tapi..., kupikir aku bisa menanganinya jika hanya sebanyak ini.”

Jika Narika bisa menahan rasa gugup yang dia miliki, maka sepertinya ini adalah perubahan imej yang bagus.

“Tapi, apa tidak apa-apa jika bagian dadanya selonggar ini? Aku agak ragu-ragu...”

Seolah-olah merasa tidak nyaman, Narika menarik-narik kerah kemejanya.

“Tungg——”

Sekilas, aku bisa melihat pakaian dalam di balik kemejanya, jadi aku segera memalingkan pandanganku darinya.

Astaga, dia benar-benar teledor...

“...Kurasa akan lebih baik jika kau mengaitkan kancing yang di atas.”

“Eh? ...Aah?”

Narika menyadari bahwa pakaian dalamnya kelihatan, jadi dengan panik dia langsung menyembunyikan dadanya.

Sial, ini canggung...

Kemudian, ketika Narika buru-buru mengancing kemejanya...,

“Aduh?!”

Tiba-tiba, Hinako menendang tulang keringku.

“E-Erm, Konohana-san...?”

“Maaf, kakiku terpeleset.”

“B-Begitu ya...”
                            
Sepertinya, Ojou-sama lagi marah.

Senyuman yang dia tunjukkan saat ini justru tampak menakutkan.

“B-Baiklah, yang harus kulakukan sekarang adalah pergi ke kelas dengan penampilan seperti ini...,” ucap Narika, menunjukkan motivasinya.

“Mulai dari sini kami tidak bisa menemanimu, jadi lakukanlah yang terbaik.”

“Y-Ya! Kali ini aku pasti akan menciptakan hasil yang baik.”

Membulatkan tekadnya, Narika pun pergi ke kelasnya.

Jarak antara ruang ganti dan ruang kelas tidaklah terlalu jauh, jadi dalam beberapa menit kedepan, perubah imej yang Narika lakukan pasti akan dilihat semua orang.

“......Itsuki.” Setelah melihat Narika pergi, Hinako memanggilku. “Apa kau..., menyukai penampilan yang seperti itu?”

“Hah?”

Tidak mengerti apa maksud pertanyaannya, aku dibuat bingung selama beberapa saat sebelum aku menjawabnya.

“Bukannya aku menyukai penampilan seperti itu... Hanya saja, dari sudut pandangku yang dulunya bersekolah di sekolah biasanya, aku jauh lebih akrab dengan penampilan yang informal seperti itu.”

“...Hmm~”

Para murid Akademi Kekaisaran selalu mengancingkan kancing atas kemeja mereka. Di SMA tempat aku bersekolah dulu, itu adalah pemandangan yang jarang aku lihat. Saat aku memikirkan kembali tentang kehidupan sekolahku sebelumnya itu——

“...Lain kali, aku juga akan mencoba berpenampilan seperti itu.”

“Eh?”

Entah apa yang memicunya, tapi Hinako menggumamkan sesuatu seperti itu padaku. Aku yakin, itu pasti akan membuat Kagen-san marah, tapi..., sebenarnya aku juga cukup tertarik untuk melihat Hinako yang berpenampilan seperti itu.

Setelah itu, kami juga pergi ke kelas kami dan melalui jam pelajaran pertama.

Beberapa jam berlalu, dan saat aku mencatat huruf-huruf di papan tulis yang ditulis oleh guru, bel berbunyi.

Sudah istirahat, ya..., baiklah, ayo cek situasinya Narika.

Aku menoleh ke arah Hinako, dan mata kami pun saling bertatapan.

Kami kemudian pergi ke koridor dan dengan santai melihat ke dalam kelas 2B bersama-sama.

Di dalam kelas tersebut...

“...Eh? Dia tidak ada?”

Aku melihat ke sekeliling kelasnya, tapi aku tidak bisa melihat sosok Narika. Karenanya, aku tidak punya pilihan selain bertanya kepada siswa terdekat.

“Permisi, apa Miyakojima-san ada?”

“Miyakojima-san, dia, erm..., dia dipanggil ke ruang BK.”

“...Ruang BK?”

Dipenuhi dengan firasat buruk, kami pun segera pergi ke ruang BK.

Sesampainya di depan ruang BK, aku ragu sejenak apakah aku harus mengetuk pintu ruangan tersebut atau tidak, tapi kemudian tiba-tiba pintu itu terbuka.

Dari sisi lain pintu, orang yang muncul adalah Narika.

“N-Narika, penampilanmu itu...?”

Saat ini, penampilan Narika tampak sedikit berbeda dari penampilannya ketika dia meninggalkan ruang ganti tadi pagi.

Rambutnya acak-acakan, dan kemejanya juga kusut. Selain itu..., di lengan dan lututnya ada luka lecet. Kapan dia mendapatkan luka tersebut? Setidaknya, aku yakin saat berpisah dengan kami dia tidak kenapa-kenapa, tapi...

“...Setelah aku berpisah dengan kalian tadi pagi, dalam perjalanan ke kelas aku menjadi sangat gugup dan berakhir terjatuh. Saat itu aku masih belum menyadarinya, tapi..., tau-tau saja, penampilanku jadi berantakan seperti ini.”

Hmm, sepertinya lecet di tangannya itu dia dapatkan ketika dia jatuh.

Rasanya dia tampak seperti preman yang habis berkelahi...

Hadeeh, harusnya tadi aku mengawasinya dengan baik hingga dia benar-benar sampai ke kelasnya. Dengan penampilannya yang seperti ini, tidak heran kalau dia panggil ke ruang BK.

“Tadi..., guru menanyaiku dengan siapa aku berkelahi...,” ucap Narika, dengan air mata yang berlinang. “Aku bahkan sampai diberitahui kalau di negara ini pembulian dan pemerasan merupakan kejahatan.”

“......”

“Aku juga ditanyai cedera seperti apa yang kusebabkan karena mereka ingin memperkirakan biaya perawatan pihak lain.”

“......”

“Bahkan jika aku memang berkelahi..., mengapa mereka sama sekali tidak ada menyebutkan kemungkinan kalau aku kalah...”

Mungkin, itu karena sulit untuk membayangan bahwa seorang seperti Narika akan kalah dalam pertengkaran...

“...Baiklah, ayo kita lakukan strategi selanjutnya.”

Strategi #2——Gagal.

---

Keesokan harinya, pagi hari, kami bertiga berkumpul lagi sebelum pelajaran dimulai.

“Strategi #3.  Memberikan kesan orang yang sederhana dan ramah.”

Saat ini, kami ketemuan di sudut halaman sekolah yang teduh dan tidak mencolok.

“Singkatnya, ayo kita tunjukkan bahwa Narika juga merupakan gadis yang normal. Soalnya, saat ini imej petarung atau imej orang yang dingin lebih mencolok tentang Narika.”

“Tapi, kita belum memutuskan secara pasti apa yang akan kita lakukan dalam strategi ini...?”

“Kau benar. Intinya, aku ingin supaya kita bisa melembutkan kesan kasar yang kau miliki...”

Berbeda dengan Strategi #1 dan #2, strategi #3 belum sepenuhnya direncanakan.

Apa ya yang kira-kira bagus untuk dilakukan...?

Berbeda dengan perubahan imej sebelumnya, kali ini aku ingin mengubah kesan Narika bukan dengan penampilannya tapi dengan tindakannya.

“Apa ya, sesuatu yang pada pandangan pertama akan langsung dirasakan kesan yang kau miliki. Misalnya, membaca komik di depan orang-orang, atau ngobrolin tentang acara tv yang ditonton kemarin...”

“...Tapi, aku jarang menonton tv atau membaca komik.”

Jika demikian, maka akan lebih untuk pergi dengan ide yang lain. Soalnya, kalau Narika berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya dan memperluas hubungan sosialnya dengan cara tersebut, itu hanya akan membuat dirinya lebih sulit dalam mempertahankan hubungan sosialnya.

“...Camilan,” gumam Hinako. “Bagaimana kalau makan camilan? Kupikir itu akan menciptakan kesan yang ramah.”

“...Begitu ya,”

Itu ide yang bagus, pikirku.

Memakan camilan tidak akan membuat seseorang tampak menakutkan, dan itu mungkin akan bisa menghilangkan kesan Narika yang sulit untuk didekati.

“Itsuki, aku punya ide bagus,” tiba-tiba, Narika mengatakan itu padaku.

“Ide bagus?”

“Toko jajanan!” Seru Narika, ekspresinya tampak percaya diri saat dia menunjukkan motivasinya. “Seperti yang pernah kubilang padamu sebelumnya, bahkan setelah aku berpisah denganmu waktu kita masih kecil, aku masih terus pergi toko jajanan! Berkat itu, aku percaya diri bahwa aku tahu banyak tentang jajanan daripada orang lain!”

Meskipun sebelumnya dia sudah gagal dua kali-kali berturut-turut, jujur aku merasa kagum dengan sikapnya yang masih berusaha untuk bangkit kembali.

“.....Oh iya, setauku, ada toko jajanan di dekat akademi.”

Dalam perjalanan ke akademi tempo hari, aku ingat bahwa aku sempat melihat toko jajanan. Tentunya, aku yakin yang ditargetkan oleh toko itu bukanlah siswa-siswi dari Akademi Kekaisaran, melainkan anak-anak SD, tapi yang jelas toko itu bisa kami gunakan.
                                                     
“Bagaimana kalau sepulang sekolah nanti aku makan jajanan di sekitar jalanan akademi? Dengan begitu, mungkin saja nanti ada seseorang yang akan mengajakku bicara.”
                                          
“Kau akan diajak bicara karena kau makan jajanan, ya...”

Aku tidak berpikir itu akan terjadi, tapi setelah memikirkannya sebentar, aku merubah pendapatku.

“Ya, benar..., jika ada orang lain yang seperti dirimu, maka bisa saja kalau mereka akan mengajakmu berbicara.”

Mau dipikirkan dari sudut pandang manapun, murid Akademi Kekaisaran yang memakan jajanan adalah fenomena yang langka, tapi mungkin ada setidaknya satu orang yang memiliki selera yang sama dengan Narika. Itu sebabnya, karena ini akan tergolong sebagai selera yang tidak biasa, maka hubungan antara orang-orang yang berbagi selera yang sama itu harusnya akan kuat.

Sekalipun nantinya tidak akan ada yang mengajak Narika berbicara, paling tidak memakan jajanan akan mengurangi imej buruk yang dia miliki.

Jika strategi ini berjalan dengan sangat baik, itu akan bisa membuat Narika memperoleh teman baik. Bahkan meskipun tidak berjalan dengan baik pun, strategi ini akan sedikit mengubah imejnya Narika. Yang jelas, strategi ini layak untuk dicoba.

“Baiklah, ayo kita lakukan strategi ini.”

“Ya, ayo kita ketemuan lagi saat sepulang sekolah!”
                                       
Kali ini, Narika pergi ke gedung sekolah dengan semangat yang tinggi.

“Makasih sudah memberikan ide yang bagus, Hinako.”

“...Mm,” angguk Hinako.

Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin ini adalah kali pertamanya aku melakukan sesuatu seperti ini dengan Hinako dalam mode Ojou-sama-nya. Soalnya, jika dia memiliki kesempatan, biasanya dia akan mencoba kembali ke mansion untuk bermalas-malasan.

“Maaf ya sudah membuatmu bekerja dalam banyak hal. Tapi, seperti yang pernah aku bilang sebelumnya, kau tidak harus memaksakan dirimu loh?”

“.....Aku tidak keberatan. Aku ingin membantu juga,” ucap Hinako, dimana kali ini dia menggelengkan kepalanya. “Melakukan apapun bersamamu itu rasanya mudah, dan selain itu...,”

“...Selain itu?”

“...Secara mengejutkan, kau itu ternyata tidak bermoral... Aku harus mengawasimu.”

“Hah?”

Entah mengapa sepertinya aku disalahpahami, tapi Hinako tidak memberi penjelesan lanjut tentang ucapannya itu.

 

Setelah itu, kami mengikuti jam pelajaran secara normal..., hingga akhirnya sekolah pun usai.

“S-Sudah waktunya strategi dijalankan,” ucap Narika, tampak gugup.

“Kami akan mengawasimu dari sini.”

“A-Aku mengerti... Aku pergi!”

Dengan gerak-gerik yang khas dari seseorang yang merasa gugup dimana tangan dan kakinya bergerak bersamaan, Narika menuju ke toko jajanan. Baik Narika maupun kami sudah memberitahu keluarga bahwa kami akan pulang terlambat, jadi kami punya waktu luang sekitar satu jam. Kuharap Narika bisa mencapai hasil bagus apapun dalam satu jam ini.

Narika pun membeli jajanan yang dia inginkan dengan perilaku yang sudah terbiasa, kemudian langsung memakannya di pinggir jalan.

Rasanya ini agak tidak biasa...

Seorang gadis SMA makan jajanan sendirian saat sepulang sekolah. Aku khawatir kalau mungkin penampilannya itu akan terlihat seperti berandalan, tapi Narika yang memegang jajanan tongkat—unmai boo—dengan kedua tangannya memakan jajanan tersebut dengan cara yang mengingatkanku pada seekor hamster. Yap, penampilannya ini pasti tidak akan membuatnya terlihat seperti berandalan.

Untuk saat ini, strateginya berjalan dengan baik dimana para siswa-siswi Akademi Kekaisaran mulai memperhatikan Narika yang sedang makan jajanan.

Sebagian besar murid di Akademi Kekaisran diantar dan dijemput dengan mobil saat pergi dan pulang sekolah, tapi ada keterbatasan ruang untuk memarkir mobil. Hinako, Tennoji-san, dan Narika berasal dari keluarga yang sangat bergengsi di akademi, jadi mobil mereka bisa diparkir di samping gerbang sekolah. Untuk siswa-siswi lain, sepertinya ada beberapa orang yang merasa sadar diri dengan kelas keluarga mereka, sehingga mobil mereka diparkir agak jauh dari gerbang dan membuat mereka harus sedikit berjalan kaki terlebih dahulu... Dalam hal ini, aku juga bisa dimasukkan sebagai salah satu dari mereka.
                                                            
Siswa-siswi seperti itu kini tengah berjalan kaki di jalanan akademi, dan mereka bisa melihat Narika yang sedang memakan jajanan, tapi...,

“Tidak ada yang mengajaknya bicara, ya...”

“Kau benar.”

Seperti Hinako bilang, tidak ada orang yang mengajaknya bicara. Tapi yah, hanya sekadar memakan jajanan dalam diam saja tidak akan membuat seseorang bisa tiba-tiba menjadi lebih dekat dengan orang lain. Karenanya, aku tidak merasa terlalu kecewa dengan hasil ini.

Kalau cuman ingin merubah imej saja, itu tidak harus ada yang mengajak Narika bicara... Hanya dengan dilihat orang lain seperti ini saja sudah dapat dikatakan sebagai hasil yang bagus.

Pemandangan dari Narika yang sedang makan jajanan dalam perjalanan sepulang seolah pastinya tampak tidak biasa bagi siswa-siswi yang mengenal Narika. Kalau hal ini terus terjadi, sedikit demi sedikit imej yang Narika miliki akan berubah. Dengan demikian, saat ini kami mugkin tidak perlu untuk terlalu terburu-buru.

Hm, apa itu permen susu milkita? ...Akhir-akhir ini aku belum memakannya.

Mungkin karena Narika sudah bosan makan jajanan, jadi kali ini dia menjilati permen tongkat. Sementara dia mengambil tongkat putih yang keluar dari mulutnya, dia dengan gelisah menunggu seseorang untuk mengajaknya berbicara.

Baiklah, ayo awasi dia sedikit lebih lama lagi, saat aku berpikir begitu——

“Mi-Miyakojima-san...?!”

Seorang siswi yang sedang dalam perjalanan keluar dari akdemi melihat Narika dan menjatuhkan tasnya ke tanah. Narika langsung menoleh ke arah siswi yang memanggil namanya tersebut, tapi segera ekspresi Narika jadi bingung.

Soalnya, entah mengapa, siswi itu tampak sangat terkejut.

“I-Itu... I-Itu rokok, kan...?!”

“Eh?”

Siswi tersebut menunjuk ke arah tongkat putih yang terjulur dari mulutnya Narika.

“Tu-Tunggu! Kau salah paham! Ini bukan rokok!”

Mengatakan itu, Narika memperlihatkan siswi tersebut permen yang dia keluarkan dari mulutnya.

“Ini milkita!”

“A-Aku tidak tahu itu meskipun kau memberitahuku mereknya...”

“Yang jelas, ini tuh bukan rokok!”

‘Itu bukan rokok...? Mu-Mungkinah, narkoba...?!”

Buset dah, imajinasinya liar banget.

Sepertinya, di Akademi Kekaisaran ini ada berbagai jenis Ojou-sama..., pikirku, merasa seperti ingin melarikan diri saja dari kenyataan.

“Ini permen!”

“Permen..., apa itu nama dari jenis nakoba itu?! A-Aku, a-aku tidak mendengarkan apa-apa!”

“Aah?! Hei, tungguuuu!!”

Dengan panik, siswi tersebut melarikan diri dari Narika.

Oh iya, kalau dipikir-pikir lagi, ada rumor yang mengatakan kalau Narika berasal dari keluarga yakuza...

Mungkin, gara-gara adanya rumor seperti itu, siswi tersebut jadi salah paham.

Yang jelas, ini buruk.

Kalau dibiarkan seperti ini, bisa-bisa Narika akan disangka sebagai bandar yang menjual narkoba bernama permen.

“...Aku akan meluruskan kesalahpahamannya.”

Segera, aku mengejar siswi yang melarikan diri itu.

Karena siswi tersebut berlari, aku juga tidak punya pilihan selain berlari, tapi tampaknya dia berpikir bahwa dirinya akan diserang, jadi dia melarikan diri dengan kecepatan penuh.

Setelah entah bagaimana berhasil mengejarnya dan membuatnya mendengarkanku, aku berhasil menjernihkan kesalahpahamannya.

Ketika aku kembali ke dekat toko jajanan, di sana kulihat Narika sedang duduk di tanah dengan ekspresi yang tampak depresi.

“......Apa dalam hal ini aku memang melakukan hal yang salah?”

Mendengar ucapannya itu, aku merasa seperti tidak bisa berkata-kata.

“.....Jujur saja, awalnya aku menganggap ini akan mudah,” ucapku, sambil mengatur napasku. “Aku tidak menyangka kalau imej yang kau miliki sampai seburuk ini......”

“Uugh, tolong jangan mengatakan itu...,” keluh Narika, memegangi kepalanya.

Ini..., tampaknya ini akan lebih sulit daripada yang kupikirkan.

---

Karena telah membuat keributan, kami memutuskan untuk pergi dari tempat itu terlebih dahulu.

Kami kembali ke akademi lagi, dan berbicara dalam suasana yang berat.

“Jadi, ketiga strategi kita semuanya gagal, ya...” ucapku, sambil menghela napas. “Sekarang, apa yang harus kita lakukan?”

Sungguh, apa yang harus kami lakukan?
                                                                                                  
Bukannya sekarang kami tidak bisa melakukan apa-apa lagi, tapi hasil yang kami peroleh sejauh ini lebih buruk daripada yang aku duga. Karenanya, aku tidak tahu harus mengatakan apa yang harus kami lakukan selanjutnya.

“Akulah yang meminta kalian untuk membantuku, jadi kalian tidak perlu terlalu memikirkannya. Toh aku sendiri juga tidak terlalu memikirkannya.”

Mataku membelalak saat Narika mengatakan itu.

“...Secara mengejutkan, sikapmu positif.”

“Haha, lagipula aku sudah terbiasa gagal. Haha..., hahaha.”

Jelas bahwa di sini dia hanya berpura-pura tabah.

“Sungguh, jika ini adalah masalah yang bisa diselesaikan hanya dalam beberapa hari, maka aku tidak akan bergumul seperti ini. Itu sebabnya, aku depresi, tapi tingkat depresi seperti ini sudah aku duga akan aku rasakan.”

Begitu ya, jadi itu sebabnya dia bisa mempertahankan sikap positif itu.

“...Kalau kau tidak menyerah, lantas mengapa aku harus menyerah?”

Selama dia masih termotivasi, aku juga tidak akan menurunkan semangatku.

“Hari ini hari Jumat, jadi ayo kita buat strategi lain di Senin yang akan datang. Kita akan memanfaatkan kegagalan yang kita buat kali ini dengan baik.”

Mendengar kata-kataku, Narika dan Hinako mengangguk.

“Ngomong-ngomong, Itsuki. Kapan aku harus mengajari kalian berdua bermain tenis?”

“Selama kau ada waktu, kapan saja bisa...”

Sambil mengatakan itu, aku menoleh ke arah Hinako, dan dalam diam Hinako menganggukkan kepalanya. Bagaimanapun juga, ini adalah kesimpulan yang telah kami ambil setelah mendiskusikannya di pihak kami.
                                                                                                                  
Namun demikian, Narika tidak menganggukkan kepalanya.

“Sudah waktunya aku membalas budi kepada kalian berdua.”

“Balas budi...? Tapi ‘kan kami masih belum membuatmu mencapai hasil apapun.”

“Tidak, di tempat pertama aku tidak akan bisa melakukan tindakan apa-apa seorang diri saja. Kalian berdua sudah cukup banyak membantuku.”

Saat Narika mengatakan itu, dia menampilkan senyum bahagia.

...Senyuman itu, tidak bisakah dia menunjukkan senyuman itu pada orang lain selain kami?

Habisnya, itu sangat disayangkan jika dia tidak menunjukkannya,

Padahal, dirinya itu adalah seorang dengan hati yang tulus.

“Apa kalian luang di hari libur besok? Kalau kalian luang, aku bisa mengajari kalian besok.”

Ketika ditanyai seperti itu oleh Narika, aku menoleh ke arah Hinako.

Aku yakin, harusnya Hinako akan luang di hari libur besok.

“Kalau begitu, bolehkan kami mengandalkanmu?”

“Ya!” Narika membusungkan dadanya dengan penuh percaya diri. “Ini adalah bidang keahlianku! Kalian bisa mengandalkanku!”



close

7 Comments

Previous Post Next Post