Bab 2 Bagian 1 (dari 4)
Hari yang baik untuk bermain tenis
Keesokan harinya, siang hari.
Setelah meninggalkan mansion bersama Hinako dan Shizune-san, kami berkendara selama sekitar satu jam menggunakan mobil dan tiba di sebuah fasilitas akomodasi besar di pegunungan.
“Luasnya!”
Setelah turun dari mobil dan berjalan sekitar lima menit, aku melihat ada banyak sekali lapangan tenis. Kalau ditotal, jumlahnya ada dua belas lapangan, dimana dua di antaranya adalah lapangan tanah, dua lainnya lapangan beton, dan delapan sisanya adalah lapangan yang dibuat dari rumput sintesis.
“Ini adalah salah satu fasilitas akomodasi yang dimiliki oleh Grup Konohana. Saat ini fasilitas ini sementara ditutup karena renovasi gedung, tapi lapangan masih dapat digunakan tanpa masalah.”
Nah, karena fasilitas ini sementara direnovasi, jadi secara alami tidak ada pelanggan yang datang. Dengan demikian, kami bisa menggunakan lapangan yang luas ini dengan leluasa.
“Miyakojima-sama sudah tiba.”
Sebuah mobil hitam berhenti di tempat parkir, dan dari dalam mobil itu keluar Narika dan pelayannya.
Segera setelah Narika memperhatikan kami, dia langsung mendekati kami.
“Mohon kerja samanya, Narika.”
“Ya! Mohon kerjasamanya juga!”
Hari ini, Narika tampak dipenuhi dengan kepercayaan diri.
Dia membawa tas tenis di punggungnya, dan di kedua tangannya dia juga membawa tas lain.
“Cukup banyak juga barang bawaanmu.”
“Karena Konohana-san yang menyediakan lapangan, jadi aku yang menyediakan peralatan. Raket, bola, dan untuk berjaga-jaga aku juga bawa grip serta senar. Semua ini adalah prodok terbaru yang kami jual, jadi aku sangat yakin dengan kualitas mereka... Aku juga membawa pakaian dan sepatu loh!”
Saat dia mengatakan itu, Narika mengeluarkan pakaian tenis yang jumlahnya pas untuk kami.
Nah, keluarganya Narika adalah produsen peralatan olahraga terbesar di Jepang, jadi kualitas dari produk-produk buatan mereka bisa dijamin bagus. Karenanya, kami memutuskan untuk menggunakan peralatan yang telah Narika siapakan untuk kami.
“Ruang gantinya ada di sana,” ucap Shizune-san, memandu kami ke ruang ganti.
Di ruang ganti, aku segera memakai pakaian tenis yang Narika berikan kepadaku.
“Oh..., pakaian ini sangat ringan.”
Seragam olahraga di Akademi Kekaisaran memiliki kualitas yang bagus, tapi pakaian yang kuterima dari Narika ini juga tidak kalah bagus. Di musim panas, aku orangnya cenderung sensitif dengan daya serap pakaian, tapi kenyamanan dari pakaian ini sangat luar biasa. Selain itu, sepatunya juga ringan dan mudah untuk dipakai melangkah.
“Itsuki-san, apa kau sudah selesai mengganti pakaianmu?”
Tepat ketika aku selesai berganti pakaian, aku mendengar suaranya Shizune-san dari arah pintu masuk ke ruang ganti. Itu membuatku sedikit terkejut, tapi aku segera menjawabnya “Ya”. Saat aku keluar dari ruang ganti, kulihat Shizune-san sedang menungguku.
“Kerahmu enggak rapi.”
“Ah, maaf...”
Saking merasa terkesan dengan kenyamanan dari pakaian ini, aku jadi tidak menyadari kerapian pakaianku.
Sementara aku merenungkan hal tersebut, Shizune-san memperbaiki kerah bajuku.
“Ngomong-ngomong, Itsuki-san, apa kau tahu tingkat kesulitan dari kegiatan porseni Akademi Kekaisaran?”
Tiba-tiba, Shizune-san menanyakan itu padaku.
“Kudengar ini adalah kegiatan berkompetisi yang santai...”
“Itu benar, tapi itu subjektif bagi siswa.”
Hm, apa maksudnya?
“Siswa-siswi di Akademi Kekaisaran tidak hanya fokus pada bidang akademis saja, tapi juga pada bidang olahraga. Bagaimanapun juga, tidak jarang siswa-siswi di Akademi Kekaisaran memiliki keluarga yang bergerak dalam bisnis olahraga. Sejak usia dini, mereka tidak hanya sudah mahir dalam pekerjaan, tapi juga dalam olahraga. Bahkan beberapa orang juga ada yang berlatih dengan para pebisnis olahraga.”
Jika perusahaan seseorang bergerak dalam bisnis olahraga, itu artinya ada lebih banyak kesempatan bagi mereka untuk melakukan studi yang berkaitan dengan olahraga. Kurasa, itu adalah apa yang Shizune-san coba katakan kepadaku.
Selain itu, akhir-akhir ini, aku memahami sesuatu.
Siswa-siswi di Akademi Kekaisaran tidak belajar dan berolahraga hanya karena mereka adalah orang-orang yang giat. Aku bilang begitu karena mereka memiliki banyak kesempatan untuk bersikap positif tentang belajar dan berolahraga. Mereka sering berinteraksi dengan orang-orang yang dihormati oleh publik, misalnya pimpinan, sekretaris, pengrajin, atau pebisnis olahraga, jadi mereka tidak memiliki kekurangan orang untuk diteladani. Bisa dibilang, siswa-siswi di Akademi Kekaisaran tumbuh dengan harta karun berupa motivasi.
Kemudian, diantara siswa-siswi tersebut, Hinako dan Narika tergolong sebagai yang terbaik. Sekali lagi, aku diingatkan akan kemampuan mereka yang luar biasa.
“Jadi, sekalipun dikatakan bahwa ini adalah kegiatan yang santai, tapi itu mungkin akan lebih sulit daripada yang kau pikirkan, Itsuki-san. ...Aku tahu mungkin akan sulit bagimu untuk menyeimbangi Ojou-sama dan Miyakojima-sama, tapi meski begitu tetaplah lakukan yang terbaik.”
“...Ya,” jawabku, setelah aku menenangkan diri.
Ya, ini akan baik-baik saja. Aku sudah tiga bulan menghadiri Akademi Kekaisaran, jadi aku sudah terbiasa dalam berusaha untuk menyeimbangi kemampuan dari siswa-siswi di akademi tersebut.
...Mereka berdua belum selesai ganti pakaian, ya.
Tiba lebih awal di lapangan, aku menunggu Hinako dan Narika sebentar sambil mencoba mengayun-ngayunkan raketku.
“Maaf membuatmu menunggu.”
Setelah beberapa saat, Hinako dan Narika datang ke lapangan dengan mengenakan pakaian tenis. Pakaian yang Hinako kenakan adalah baju putih dan rok merah muda, sedangkan Narika mengenakan baju biru dan rok abu-abu. Penampilan mereka berdua tampak sangat menyegarkan sampai-sampai aku kehilangan kata-kata.
Haruskah di sini aku mengatakan, “Pakaian itu terlihat cocok dengan kalian”? ...Tapi, itu ‘kan pakaian tenis, bukan pakaian kasual. Kalau misalnya aku memuji mereka meskipun mereka tidak berniat mendengar pendapatku, takutnya nanti itu akan terdengar seperti pelecehan seksual.
Saat merasa bingung seperti itu——
“Bagaimana menurutmu, Tomonari-san?” Tanya Hinako.
“Erm..., pakaian itu cocok untukmu.”
Saat aku menjawab begitu, Hinako tersenyum manis.
“Itsuki! Aku?! Bagaimana denganku?!”
Kini, Narika yang menanyakan itu.
“Pakaian itu cocok untukmu.”
“...Entah mengapa kau terdengar merasa biasa saja?”
“Itu cuman perasaanmu saja.”
Ya habisnya mau gimana lagi, aku malu kalau aku harus mengatakan pendapatku dengan jujur.
“Ngomong-ngomong, entah pakaian apapun yang kau kenakan, kau selalu terlihat modis, Konohana-san...”
“Makasih,” jawab Hinako pada Narika, dengan nada suara yang seperti sudah terbiasa menerima pujian.
Selain saat ini dia mengenakan pakaian tenis, Hinako juga mengikat rambutnya menjadi ponytail. Meskipun itu hanya perubahan yang sederahana, dia jadi terlihat sangat berbeda dari penampilannya biasanya. Tapi yah, di tempat pertama penampilannya yang biasa saja juga menarik.
Setelah itu, kami mulai melakukan pemanasan.
Baik Hinako dan Narika adalah Ojou-sama dari perusahaan besar, jadi tidak hanya orang-orang sekitar mereka saja yang khawatir jika mereka cedera, tapi diri mereka sendiri juga demikian. Itu sebabnya, pemanasan dilakukan dengan hati-hati.
“Tahun lalu Konohana-san memenangkan pertandingan tenis, tapi kalau kamu Itsuki, seberapa baik kau bisa bermain tenis?”
Setelah selesai melakukan pemanasan, Narika menanyakan itu kepadaku.
“Kurasa aku bisa melakukan reli ringan.”
Di SMA yang kuhadiri sebelumnya, kami baru akan mempelajari tenis dalam pelajaran PJOK saat kelas 2. Tapi, karena aku sudah memasuki Akademi Kekaisran sebelum aku bisa menerima pembelajaran tenis, jadi aku belum mempelajari tenis dengan benar.
“Kalau begitu, pertam-tama kita bertiga akan melakukan reli terlebih dahulu. Untuk serve dan receive kita lakukan setelahnya.”
Mengatakan itu, Narika pergi ke sisi belakang lapangan.
Aku dan Hinako bergantian di masing-masing tiga poin dalam melakukan reli dengan Narika. Meskipun Narika bermain melawan kami berdua, tapi dia sama sekali tidak terlihat kehabisan napas.
“Itsuki, kau bisa memukul bolanya sedikit lebih kuat lagi!”
“Aku mengerti!”
Dari sisi lain net, aku mengikuti instruksi Narika, tapi ketika aku mencoba memukul bola dengan keras, bolanya justru keluar lapangan atau terkena net.
“Hinako, giliranmu.”
“...Mm.”
Karena Narika berada di sisi lain lapangan, jadi dia tidak akan bisa mendengar percakapan kami, itu sebabnya aku dan Hinako bisa berinteraksi secara normal.
“Hari ini..., akan aku tunjukkan sisi kerenku padamu.”
Mengatakan itu, Hinako mulai bertukar pukulan bola dengan Narika.
...Mereka berdua jago banget.
Tidak hanya Narika, tapi Hinako juga hebat dalam bermain tenis. Bahkan aku sampai bertanya-tanya bagaimana bisa tubuh kecilnya itu dapat memukul bola dengan sangat cepat. Sepertinya, dia memukul bola itu dengan tepat di bagian tengah bola. Yah, jika dia tidak jago seperti ini, maka tidak mungkin dia bisa memenangkan pertandingan tenis tahun lalu.
“Itsuki..., giliranmu.”
Kali ini, giliranku tiba.
Saat aku menerima bola dari Hinako, secara tidak sadar aku melontarkan pemikiran yang ada di benakku.
“Sebenarnya aku sudah memikirkan ini selama pelajaran PJOK, tapi dalam bidang olahraga kau ini juga hebat, ya.”
“Begitulah, tapi aku tidak terlalu menyukainya karena ini melelahkan...” selayaknya orang jenius, Hinako mengatakan itu dengan nada yang biasa saja. “Tapi, saat ini..., gara-gara aku gemuk...”
‘Hm?”
“......Tidak, lupakan.”
Aku merasa seperti dia mengatakan sesuatu, tapi Hinako segera menutup mulut.
Setelah itu, kami melanjutkan reli kami selama kurang lebih 30 menit.
“Duh, kena net, ya.”
Di belakangku ada sekeranjang bola, tapi setiap kali aku mengeluarkan bola baru dari keranjang, lapangan justru menjadi di penuhi dengan bola. Karenanya, kuputuskan untuk mengambil bola yang terkena net.
Di sisi lain, mungkin memikirkan hal yang sama sepertiku, Narika juga mendekati net.
“Pukulanmu jauh lebih baik daripada yang aku kira, Itsuki,” ucap Narika, sambil mengambil bola. “Pada tingkat ini, menurutku kau akan menjadi jauh lebih baik lagi saat pertandingan tenis dimulai.”
“Baguslah kalau begitu... Ngomong-ngomong, apakah ada yang harus kuperbaiki?”
“Sampai kau mempraktikkan semuanya dulu saja baru aku akan memberimu saran. Kalau kau ingin memperbaiki sesuatu, akan jauh lebih efisien untuk melihat keseluruhan kesalahan dulu dan kemudian menetapkan prioritas mana yang mesti diperbaiki.”
Pendapatnya itu sangat masuk akal sampai-sampai secara tidak sadar aku tekesan kepadanya.
...Dia benar-benar bisa diandalkan.
Aku jadi teringat saat pertama kalinya aku bertemu dengan Narika ketika umurku sepuluh tahun.
Hari itu, ketika aku tinggal di rumah Keluarga Miyakojima, aku bertemu dengan Narika yang sedang mengayunkan pedang bambu di dojo. Aku tidak mengatakan ini pada Narika, tapi..., saat itu, aku terpesona dengan penampilannya yang sedang mengayunkan pedang bambu. Soalnya, saat itu adalah kali pertamanya aku melihat seseorang yang begitu serius dan mengabdikan diri pada sesuatu. Dirinya yang serius menekuni bidang olahraga itu tampak sangat bermartabat dan keren bagi diriku.
Sekarang, sudah lebih dari lima tahun berlalu sejak saat itu, tapi..., aku masih merasakan martabat dan kekerenan yang sama seperti sebelumnya dari Narika yang bercucuran keringat di depanku.
“......Ngomong-ngomong, Narika, apa kita tidak akan menggunakan lapangan tanah yang di sana?”
Berusaha meredam gejolak batinku, aku menanyakan itu pada Narika.
“Ya. Aku tidak berencana untuk menggunakan lapangan itu karena di pertandingan tenis di porseni akan menggunakan lapangan omni.”
Sambil menjawabku, Narika melihat ke arah lapangan yang berjarak agak jauh dari kami.
“Ngomong-ngomong, lapangan tanah itu disebut lapangan tanah liat. Ketidakrataan tanah di lapangan tanah liat menyebabkan pantulan bola yang tak teratur. Sebaliknya, lapangan keras yang ada di samping lapangan tanah liat itu memiliki permukaan yang keras dan rata, jadi kecil kemungkinan terjadinya pantulan yang tak beraturan. Lapangan omni yang kita gunakan saat ini terbuat dari rumput sintesis yang dicampur dengan pasir, jadi kemungkinan terjadi pantulan tak beraturan kecil, dan permukaannya juga cukup licin.”
“Ooh...,” gumamku, saat mendengar penjelasan Narika yang sangat mudah dipahami.
Saat aku mencoba menggosok tanah menggunakan telapak kakiku untuk megujinya, seperti yang Narika bilang, lapangan omni ini datar namun lembut dan licin.
Di SMA-ku sebelumnya juga ada lapangan tanah liat, dan aku yakin, rasa dari saat menginjaknya pasti sama seperti saat menginjak tanah.
Sedangkan untuk lapangan keras, rasanya saat diinjak mungkin sama seperti saat menginjak lantai gedung olahraga. Di permukaannya yang rata dan keras, bola tentunya tidak akan memantul dengan tidak teratur, tapi akan cukup bahaya kalau misalnya punggung atau lutut jatuh di lapangan itu.
“Kau tahu banyak, ya. Putri dari toko peralatan olahraga memang hebat.”
“Be-Begitukah? Hehe, kau bisa menanyakan apa saja padaku loh!”
Dengan rasa bangga, Narika membusungkan dadanya.
“Selanjutnya, kita akan latihan serve dan receive. Setelah itu, kita akan berlatih pukulan voli, dan setelahnya aku akan memberi beberapa saran sederhana.”
“Ya, mohon bimbingannya.”
[Catatan Penerjemah: Pukulan voli dalam permainan tenis lapangan adalah pukulan yang memukul bola sebelum bola tersebut memantul di lapangan.]
Mantap, lanjut min
ReplyDelete