Bab 2 Bagian 3 (dari 4)
Hari yang baik untuk bermain tenis
Hasil pertandingan menjadi kemenangan untuk Narika.
Di awal-awal, mereka berdua saling bertukar gelombang serangan, jadinya sulit untuk memprediksi siapa yang akan menang. Tapi pada akhirnya, ketika menyangkut tentang olahraga, Narika tetap tidak terkalahkan. Pada paruh kedua, Narika mulai menunjukkan kekuatan serta kemampuannya yang luar biasa yang tidak dapat digoyahkan oleh beberapa perang psikologis.
“Itsuki! Karena aku menang, lain waktu kau akan pergi jalan-jalan bersamaku!”
Kalau dipikir-pikir lagi, tadi mereka bertaruh seperti itu ya, pikirku, dan kemudian menjawab Narika, “Ya, ya. Aku mengerti.”
“Fufufu... Yay!!!”
Dengan rekasi yang berlebihan, Narika bersorak gembira.
Di sisi lain, Hinako yang terlihat kesal secara bertahap mulai mendapatkan kembali ketenangannya.
“Yah, Tomonari-san itu orangnya sibuk, jadi masih tidak tahu kapan kalian akan pergi jalan-jalan.”
“Apa?! I-Itu namanya licik, Konohana-san!”
“Aku sangat yakin di taruhan kita tidak ada menyebutkan tentang waktu!”
Hinako menampilkan senyum indah tanpa mengungkapkan emosinya, sedangkan Narika terdengar menggeram.
Oh, mereka berdua sudah jadi lebih akur...
Apakah ini yang disebut persahabatan lahir setelah melalui pertarungan? Sepertinya, perkembangan situasi yang seperti ketika dua anak laki-laki berjabat tangan setelah gelud di tepi sungai juga dapat terjadi bahkan di dunia Ojou-sama.
Setelah itu, kami istirahat sejenak dan melanjutkan latihan kami.
Saat aku dan Hinako melakukan reli, Narika yang mengawasi kami memberi kami beberapa saran yang tepat. Apalagi, karena saran itu dia beritahukan secara real time, jadinya mudah untuk memahami kesalahan yang kami lakukan.
Ketika aku akhirnya mulai mahir bermain, akhir latihan pun diumumkan. Sebenarnya aku ingin berlatih sedikit lama lagi, tapi karena langit sudah diwarnai dengan cahaya matahari terbenam, jadi sebentar lagi akan segera gelap. Tentunya, lapangan tenis di fasilitas ini memiliki pencahayaan malan, tapi bola yang diterangi oleh pencahayaan buatan agak sulit untuk dilihat. Aku tahu itu karena dulu aku kadang-kadang bermain tenis di taman, dan karena aku juga sudah berlatih dari siang hingga sore hari, jadi bisa dikatakan kalau latihanku hari ini sudah cukup.
Seusai berlatih, kami mandi dan berganti pakaian terlebih dulu sebelum bubar.
“Makasih untuk hari ini, Narika. Berkatmu aku bisa melalui latihan yang baik.”
“Aku senang kalau kamu bilang begitu.”
Saat aku berterima kasih padanya, Narika mengangguk puas.
“Sekarang kau sudah bisa melakukan pergerakan sambil memikirkan strategi, tapi di sisi lain, ada kalanya kau menjadi canggung. Akan lebih baik bagimu untuk bermain dengan tenang tanpa harus terburu-buru. ...Memang akan lebih ideal jika kau bisa melihat pergerakan lawan dan menyerangnya dengan strategi yang selangkah lebih maju dari lawan, tapi dalam kasusmu, lebih baik untuk berkonsentrasi menyerang ke arah sasaran yang kau inginkan terlebih dahulu.”
“...Begitu ya, aku mengerti.”
Aku sedikit terkejut mendengarnya memberitahuku dengan tepat apa yang aku coba lakukan selama latihan tadi.
Di akhir-akhir latihan, aku mencoba memukul bola sambil mengamati pergerakan lawan, tapi itu mungkin memang bukan cara yang paling ideal bagiku untuk melakukannya saat ini.
“Kalau kau ingin menstabilkan pukulanmu, kau bisa berlatih dengan cukup memukul bola ke arah dinding. Tapi, jika kau terus-terusan melakukan itu, bisa-bisa kau akan kehilangan form-mu, jadi harap berhati-hati.”
“Aku mengerti.”
Nanti, aku akan bertanya pada Shizune-san apakah ada tempat dimana aku bisa melakukan latihan memukul bola ke arah dinding.
Setelah memberi saran kepadaku, Narika kemudian menoleh ke arah Hinako.
“Untuk Konohana-san, kemampuan yang kau miliki sudah jago. Kau benar-benar sudah melakukan apa yang aku sarankan padamu di awal latihan, jadi yang perlu kau lakukan sekarang adalah berlatih berulang kali.”
“Terima kasih,” ucap Hinako, sambil menundukkan kepalanya dengan elegan.
Selama pertandingan tadi mereka berdua berada dalam kondisi bersaing satu sama lain, tapi sekarang tampaknya mereka sudah kembali ke hubungan mereka yang biasanya.
“Konohana-san, boleh aku pinjam raketmu sebentar?”
“...? Tentu...,” meski merasa bingung, Hinako meminjamkan raketnya.
Narika memperhatikan bagian grip dari raket Hinako, dan kemudian dia mengambil grip baru dari tas raket yang dia letakkan di samping kakinya dan memberikannya pada Hinako bersama dengan raketnya.
“Kau adalah tipe pemain yang cenderung mengontrol bola dengan hati-hati, jadi grip yang lebih tipis ini akan lebih cocok untukmu. Dengan ini kupikir kau akan lebih mudah dalam memukul bola.”
“Begitu ya... Makasih, aku pasti akan menggunakannya,” ucap Hinako, menerima grip dari Narika.
Jujur, aku terkesan dengan kepekaan Narika dalam memberitahukan sesuatu seperti ini.
“Kau sangat pandai dalam mengajari orang lain ya, Narika.”
“B-Begitukah? Aku belum punya banyak pengalaman yang seperti ini, jadi ini pertama kalinya aku menerima pujian seperti itu.”
Narika tertawa, merasa senang sekaligus malu di saat yang bersamaan.
Secara mengejutkan, Narika mungkin memiliki kepribadian yang tepat untuk menjadi seorang guru.
“...Dengan begini, di Senin yang akan datang adalah giliranku yang harus melakukan yang terbaik,” gumam Narika, menatap ke arah langit yang diwarnai cahaya matahari terbenam.
Dibandingan dengan ekspresi penuh percaya diri yang dia miliki sebelumnya, Narika sekarang terlihat agak cemas, yang mana hal tersebut membuatku secara tidak sadar melontarkan pemikiranku.
“Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tapi kalau kau benar-benar enggan, kupikir tidak masalah jika kau absen dari porseni. Bahkan Konohana-san kadang-kadang izin absen dari akademi, dan sesuatu seperti itu adalah hal yang biasa di Akademi Kekaisaran, bukan?”
“Kau mungkin ada benarnya, tapi...”
Kebanyakan siswa-siswi di Akademi Kekaisaran berasal dari keluarga khusus. Kadang-kadang, ada banyak siswa-siswi yang izin absen dari akademi karena alasan keluarga, dan dalam kasusnya Hinako, dia terkadang izin absen karena lelah berakting. Itu sebabnya, bukan tidak mungkin untuk absen dari porseni.
Jika Narika tidak bisa menghilangkan trauma yang dia alami tahun lalu dan itu menganggunya hingga membuat hatinya sakit, kupikir tidak masalah jika dia absen. Toh itu adalah alasan yang masuk akal seperti alasan urusan keluarga.
Namun demikian, Narika menggelengkan kepalanya dengan pelan.
“...Aku ingin mengatasi kelemahanku sebanyak mungkin. Kalau aku terus-terusan melarikan diri, maka tidak akan ada yang berubah.”
Ucapan itu terdengat sangat kuat bagiku.
“Kau sungguh orang yang kuat, Narika.”
“Kuat?”
“Ya. Menurutku itu tidaklah mudah untuk menghadapi kelemahan diri sendiri seperti yang kau lakukan.”
Saat aku mengatakan itu, mata Narika membelalak.
Tapi kemudian, dia tersenyum masam.
“Aku bukan orang yang kuat. Malahan, aku ini orang yang lemah... Tapi suatu hari, ada seseorang yang memberitahukan ini kepadaku, ‘Mengakui kelemahanmu merupakan langkah pertama untuk menjadi kuat.’ ...Seperti yang kalian sudah tahu, aku ini orangnya canggungngan. Selain itu, tidak berlebihan bagiku untuk mengatakan bahwa awalnya aku tidaklah mahir dalam bidang olahraga. Kemarihanku ini adalah hasil dari latihanku sejak sejauh ingatanku yang bisa aku ingat.”
“Eh?”
Begitukah...? Saat aku pertama kali bertemu Narika, dia sudah menguasai beberapa seni bela diri. Judo, kendo, aikido, semua itu berada di tingkat kompetensi yang berbeda dari anak-anak lain seusianya.
Tapi, dari apa yang dia bilang barusan, sepertinya kemahirannya bukanlah bakat alami, melainkan hasil yang dia peroleh melalui kerja kerjas.
“Aku telah mengalami banyak kemunduran dan penderitaan sejak aku maih kecil. Aku telah berlari sampai aku pingsan, dan aku bahkan juga telah mengayunkan pedang bambu sampai telapak tanganku jadi kapalan. Namun demikian, tidak jarang aku tidak bisa mendapatkan hasil yang aku inginkan,” ucap Narika, sambil menatap telapak tangannya.
Kalau kuperhatikan, di telapak tangannya itu memang ada beberapa kapalan.
Tidak hanya ketika dirinya masih kecil saja Narika mengalami kemunduran dan perenditaan, tapi saat ini pun dia masih melatih dirinya sendiri.
“Aku merasa seperti aku hanya mendapatkan buff di awal karena semua pengalaman yang kumiliki itu... Yah, bagaimanapun juga aku sudah banyak melalui pengalaman yang menyedihkan. Jadi, aku berani bilang kalau aku ini cukup mahir loh dalam menerima kelemahanku.”
Seolah-olah mengatakan betapa tidak terampilnya dirinya, Narika tertawa sedikit malu-malu.
Tapi, itu bukanlah sesuatu yang memalukan.
Begitu ya... Jadi itu sebabnya Narika hebat dalam mengajari orang lain.
Narika mungkin tidak menyadari hal ini, tapi aku menyadarinya. Mampu menerima kelemahan diri sendiri berarti mampu untuk memahami kelemahan orang lain. Itulah sebabnya dirinya mampu mengajari orang lain dengan sangat teliti.
Dirinya yang bisa memami kelamahan, memahami perasaan orang lain yang tidak mahir dalam melakukan sesuatu, merupakan pesona dari dirinya.
...Kuharap semua orang bisa tahu tentang ini.
Kupikirpesona Narika ini harus diketahui oleh banyak orang. Meski dia cukup banyak memiliki poin yang menyedihkan, tapi tetap saja, menurutku Narika adalah seorang yang pantas dihormati.
Saat aku berpikir seperti itu, kuperhatikan kalau Narika sedang menatapku.
“Ada apa?”
“...Tidak ada apa-apa.”
Entah mengapa, Narika menghela napas ketika dia menatap wajahku.
Setelah itu, setelah selesai bersalaman, kami kembali ke rumah masing-masing.
Aku dan Hinako masuk ke mobil Keluarga Konohana bersama Shizune-san, dan setelah itu mobil mulai melaju dengan perlahan.
“Hari ini benar-benar melelahkan ya.”
“Mm..., rasanya aku sudah tidak bisa melangkah lagi.”
Hinako, yang baru saja berdiri tegak dan tampak anggun selayaknya seorang Ojou-sama, mengatakan itu padaku dengan nada suara yang lemah.
Aku sendiri juga menyadari betapa lelahnya aku sekitar waktu aku mandi tadi. Mungkin karena adrenalin aku tidak menyadarinya selama latihan, tapi sekarang aku merasa sangat lelah sampai-sampai merasa ingin tidur sekarang juga.
“Shizune-san, apa ada tempat di dekat mansion di mana aku bisa berlatih memukul bola ke arah dinding?”
“Ya, ada gedung olahraga di sebelah dojo yang seukuran lapangan basket penuh. Hanya saja, bahan dindingnya mungkin tidak cocok...”
“Makasih, paling tidak aku akan mencobanya dulu saja.”
Kalau aku ada waktu luang, aku akan berlatih memukul bola ke dinding seperti yang Narika sarankan.
Tidak seperti Hinako, aku tidak harus menang. Sepertinya halnya di bidang akademis, aku hanya perlu menampilkan performa yang baik agar tidak tampil memalukan. ...Meski begitu, karena aku akan melakukannya, jadi aku ingin mengincar hasil yang terbaik. Mungkin, Narika lah yang memmbuatku berpikiran seperti itu. Setelah menerima berbagai saran dari dirinya, sekarang aku lebih termotivasi.
“Kita juga harus membantu Narika.”
Narika bilang kalau dirinya yang mengajari kami tenis adalah bentuk balas budinya pada kami, tapi kali ini aku merasa lebih berhutang budi padanya.
Hari Senin nanti, strategi apa ya yang bagus untuk dilakukan?
Saat aku berpikir seperti itu...,
“...Aku juga sepemikiran denganmu,” gumam Hinako.
“Secara mengejutkan kau cukup kooperatif juga, Hinako.”
Jujur, aku terkejut. Tentunya, ini bukan berarti kepribadian asli Hinako dingin terhadap orang lain, hanya saja dalam sesuatu seperti ini dia memiliki kesan malas ikut campur.
“...Soalnya, aku bisa memahami bagaimana perasaannya Miyakojima-san,” ucap Hinako, degan nada suara yang terdengar mengantuk. “Baik aku dan Miyakojima-san..., kami sebenarnya berbeda dari apa yang orang pikirkan tentang kami.”
“...Sekarang setelah kau mengatakan itu, kalian memang sama.”
“Mm, itu sebabnya..., aku mengerti betapa sulitnya apa yang dia lalui.”
Di satu sisi, orang-orang salah paham kalau Narika berasal dari keluarga yakuza atau keluarga yang beringas, tapi sebenarnya dia memiliki sifat yang pemalu. Di sisi lain, orang-orang menyebut dan menghormati Hinako sebagai Ojou-sama yang sempurna, tapi sebenarnya kepribadian aslinya adalah gadis yang suka malas-malasan.
Kalau ada perbedaan, maka Narika disalahpahami secara tidak sengaja, sedangkan Hinako melakukannya dengan sengaja. Tapi, dalam hal ini Hinako juga dipaksa untuk berakting sebagai Ojou-sama karena tugasnya sebagai putri dari Keluarga Konohana. Intinya, mereka sama-sama merasa terbebani.
Itu sebbanya, Hinako yang saat ini kooperatif mungkin karena dia mengerti apa yang Narika rasakan.
“Ngomong-ngomong... Itsuki,” menatapku, Hinako bertanya kepadaku, “Apa benar kalau kau yang membuatkan gaya rambutnya Miyakojima-san?”
Saat Hinako menanyakan itu, aku merasa kalau sorot matanya sedikit menajam.
Kok dia bisa tahu soal itu ya? Aku cukup yakin kalau kami tidak pernah membicarakan soal itu.
“...Ya, itu benar, tapi itu sudah lama sekali.”
“Mu......,” gerutu Hinako, tampak cemberut. “Aku juga..., buatin aku.”
Apa dia ingin aku membuatkan gaya rambut untuknya? Astaga, aku jadi bingung bagaimana aku harus menanggapinya yang membakar persaingannya dengan cara yang aneh.
“Sekalipun kau bilang begitu, tapi di sini kita tidak punya ikat rambut...”
“Untuk berjaga-jaga, aku sudah menyiapkannya.”
Duduk di kursi asisten, Shizune-san menoleh ke arah kami dan memberiku dua ikat rambut.
Gila, persiapan macam apa ini...?
“...Shizune-san, akhir-akhir ini kau jadi baik pada Hinako, ya.”
“Yah, bagaimanapun juga aku adalah pelayannya Ojou-sama... Sebagai pelayan, sudah merupakan tugasku untuk membantu Ojou-sama.”
Shizune-san, yang kembali menolehkan arah pandangannya ke depan, mengatakan itu tanpa melihat ke arah kami. Saat aku pertama kali bertemu dengan Shizune-san, dia orangnya lebih sering mendesak Hinako untuk menahan diri dari keegoisannya... Aku ingin tahu, apa ada semacam perubahan pola pikir yang terjadi padanya? Atau mungkinkah, Hinako lah yang telah berubah, dan Shizune-san menyadari hal tersebut?
Di sisi lain, Hinako memunggungiku supaya aku bisa menata rambutnya dengan mudah.
Kalau gaya rambut dengan satu ikatan sudah ada Narika, kalau gaya rambut yang eksentrik juga sudah ada Tennoji-san..., pikirku, sambil melihat ikat rambut yang Shizune-san berikan padaku.
Sepertinya di sini aku disalahpahami kalau aku mahir dalam menata rambut, tapi sebenarnya tidak juga. Paling tidak, di sini aku harus memikirkan gaya rambut yang akan membuat Hinako merasakan perasaan baru.
Hinako biasanya menggeraikan rambutnya ke bawah, dan tadi dia juga sudah mengikat rambutnya dalam satu ikatan atau ponytail. Jika demikian...,
“...Baiklah, selesai.”
Aku mengikat rambut Hinako menjadi model twintail.
Seperti yang kupikirkan, gaya rambut itu cocok untuknya. Dan mungkin gaya rambut apapun yang Hinako terapkan pada rambutnya tetap akan membuatnya terlihat imut. Gaya rambut twintail jarang terlihat digunakan olah anak SMA, tapi gaya rambut itu tidak seeksentrik gaya rambut bor seseorang.
“Oooh...”
Melihat pantulan dirinya di kaca jendela mobil, Hinako melontarkan suara yang merasa terkesan.
“Apa kau puas?”
“Mm...... Aku puas.”
Meski itu adalah gaya rambut yang cukup mudah kuputuskan untuk kuterapkan padanya, tapi Hinako tampaknya merasa puas. Dia kemudian membungkuk dan meletakkan kepalanya di pangkuanku, membuat rambut twintailnya itu menyentuh lenganku.
“Aku mengerti perasaannya Miyakojima-san, tapi..., aku tidak punya niat untuk menyerah,” gumam Hinako, dengan suara yang pelan. “Itsuki..., selain aku, aku tidak mau kau mengurus orang lain...”
Dengan mengatakan itu, Hinako menutup matanya.
...Tidak perlu khawatir, toh satu-satunya orang yang ingin agar aku urus cuman kamu saja.
Setelah beberapa saat, helaan napas tidur yang teratur terdengar dari Hinako. Meskipun ini adalah hari libur, tapi hari ini dia telah melakukan aktivitas fisik. Dia pasti lelah, dan sejujurnya aku juga merasa ingin tidur.
“Kita sampai,” ucap Shizune-san saat mobil berhenti melaju.
Aku pun segera menepuk kepala Hinako di pangkuanku dan berkata, “Kita sudah sampai.”
Hinako bangun dan menguap ringan, dan di saat yang bersamaan Shizune-san turun dari kursi asisten.
“Kagen-sama?”
Di luar mobil, Shizune-san yang sedikit terkejut segera menundukkan kepalanya.
Di luar, sama seperti kami, Kagen-san juga baru sampai di mansion dengan mengendarai mobil.
“Kerja bagus untuk hari ini, apa ada yang bisa saya bantu?”
“Aku cuman mampir untuk istirahat. Soalnya meeting-ku berikutnya ada di dekat sini.”
Sambil mendengarkan percakapan Shizune-san dan Kagen-san, aku turun dari mobil—dan mataku langsung bertatapan dengan matanya Kagen-san.
Merasa sedikit gugup, aku menundukkan kepalaku ke arahnya.
Kemudian, Hinako pun turun dari mobil.
“Hmm? ...Papa?”
“Hinako, kau juga baru pulang——”
Tiba-tiba, Kagen-san berhenti berbicara.
Matanya membelalak, dan ekpspresi bingung tampak di wajahnya.
“...Ada apa dengan gaya rambutmu itu?” tanya Kagen-san, sambil menatap Hinako dengan gaya rambut twintail.
Waduh, gawat nih.
Keringat dingin bercucuran deras di seluruh tubuhku.
“Aku menyuruh Itsuki menatakannya...,” jawab Hinako, dengan sangat jujur.
“...Hoo.”
Kagen-san pun segara menatapku dengan ekspresi datar.
“Itsuki-kun.”
“Y-Ya.”
“Apa itu tipe gaya rambut kesukaanmu?”
“Bukan!!!”
Itu adalah gaya rambut yang kuputuskan tanpa mempertimbangkan tipeku, atau lebih tepatnya, itu gaya rambut yang kuputuskan tanpa sama sekali memikirkan tentang tipeku.
Jangan khawaitr, itu hanya untuk saat ini saja kok. Aku tidak akan melakukan apa pun yang akan merusak imejnya Hinako..., pikirku, sambil menundukkan kepalaku.
“Eh...? Ini bukan tipemu...?”
Hinako tampak kecewa, seolah-olah merasa syok.
Kumoho, Hinako!!!
Untuk saat ini kau jangan bicara apa-apa...!!!
Awokawokawok, bau baunya kagen udah mulai ngerestui
ReplyDelete