Bab 2 Bagian 3 (dari 3)
Wanita yang bertekad kuat dan pemberani
“Rapi juga kamarmu.”
“Soalnya aku sering membersihkannya.”
“Oh, kau punya kebiasaan yang baik. Aku memujimu.”
“Makasih,” jawab Tenma, acuh tak acuh.
Dengan menjadi acuh tak acuh seperti itu, dia berhasil menjaga kewarasannya terkendali. Soalnya, jika dia hanya diam, pikiran-pikiran negatif terus menerus bermunculan di kepalanya.
Rinka kemudian duduk di tempat tidur Tenma. Selain pemilik tempat tidur itu, tidak ada seorang pun, apalagi seorang gadis cantik, menjatuhkan diri mereka di atas objek itu. Dan meskipun pemilik ruangan itu tidak diragukan lagi adalah Tenma, tapi entah mengapa dia merasa bahwa dirinya tidak pantas berada di tempat itu, dan saat ini dia hanya berdiri di posisi tepat setelah dia memasuki kamar.
Kalau dipikir-pikir, aku masih belum selesai membuat telur orak-arik.
Alasan Tenma berusaha memenuhi janji itu adalah karena itu semacam bentuk pelarian baginya dari sini. Dia begitu tak berdaya sehingga dia bahkan sampai mengharapkan pergantian perisitwa di mana setelah dia selesai menggoreng telur, sama sekali tidak ada jejak Rinka di kamarnya, semuanya menjadi tentang, dan berpikir, “Oh, jadi semua yang terjadi barusan itu cuman mimpi yang buruk, ya?”.
“Aku mau masak untuk kakakku dulu, tunggulah di sini sebentar.”
Tidak tahu mau sampai berapa lama dia harus berdiri diam di situ, Tenma mengatakan itu pada Rinka dan mencoba pergi.
“Ah, tunggu. Yang kau maksud dengan masak, tadi sekilas aku melihat telur orak-arik, apa itu?”
“Iya.”
“Hm~. Gitu ya~”
“Hah?”
Tidak tahu apakah Rinka tertarik atau tidak karena dia menghentikannya pergi, tapi Rinka hanya menampilkan pose misterius yang mendorong dagunya ke atas, membuat Tenma semakin tidak mengerti niatnya.
“Apa sih?”
“Kau tahu, sejak aku bangun hari ini aku belum makan apa-apa.”
“Terus?”
“Kebetulan, saat ini aku berada dalam kondisi yang umumnya dikenal sebagai kondisi lapar.”
“......”
Ya terus kenapa? Dia mau ngomong apa sih, pikir Tenma, menungu Rinka melanjutkan kata-katanya, tapi tidak ada lagi apa-apa yang keluar dari mulut gadis itu.
Sebaliknya, respon yang Rinka yang berikan adalah tatapan bak anak yang polos. Tatapan itu begitu jernih tak bernoda, dan terus menatap ke arahnya dengan penuh semangat. Bisa dibilang, persis inilah situasi di mana mata lebih banyak berbicara daripada mulut.
Wanita yang keras kepala. Dia sama sekali tidak pernah menyerah dengan cara hidupnya yang seperti itu. Dan karena sedari awal Tenma adalah orang yang pasifis, dia berpikir bahwa sama sekali tidak berguna untuk berselisih dengannya hanya karena sesuatu yang tidak penting seperti itu.
“Apa roti, telur, dan kopi cukup, Ojou-sama?”
Sambil menghela napas, Tenma menanyakan itu, meskipun akan merepoktkan nantinya jika Rinka justru meminta daging panggang dan puding.
“Mm. Makasih.”
Untungnya, Putri Kaguya yang tidak masuk akal tidak muncul kali ini.
“Tunggu sebentar kalau gitu.”
Kalau dia bisa berterima kasih seperti itu, mengapa dia tidak memintanya dengan jujur dari awal?
Tenma ingin mengatakan itu padanya, tapi pada akhirnya dia membiarkannya sambil tersenyum segar.
Setelah cuci piring, Tenma kembali ke kamarnya, namun kenyataan begitu kejam. Tentunya, Rinka masih ada di kamarnya, dan malahan dia merasa kalau Rinka sudah lebih akrab dengan ruangan itu.
“Makasih untuk makanannya. Itu sangat enak.”
“Ya, ya.”
Tenma tidak punya pilihan selain duduk bersila di atas bantal dan menghadap ke wanita yang duduk di tempat tidurnya di depannya.
“Dalam posisi begitu, kau jadi terlihat seperti orang mesum yang ingin melihat sempak seorang gadis loh.”
“Saat ini kau tidak mengenakan rok, jadi teorimu itu tidak berlaku!”
“Bantahan yang masuk akal.”
Tenma melotot kesal pada wanita yang tertawa dengan sengaja itu. Meskipun dia seharusnya memiliki keuntungan geografis di sini, tapi pace-nya terus dirusak. Apalagi, saat dia menaiki tangga ke kamarnya tadi, Nagisa mengatakan sesuatu seperti, “Aku menonton TV dengan volume yang keras, jadi nikmatilah waktu kalian. Mufufu~”
“...Sekarang, sudah waktunya kau memberitahku kenapa kau datang ke sini?”
Mengapa, seorang gadis yang akan direkrut oleh banyak orang jika dia berjalan-jalan santai di pusat kota Shibuya, ada di sini?
Memasak sepertinya telah menjadi cara yang baik bagi Tenma untuk menjernihkan pikirannya, jadi sekarang dia sudah siap secara mental untuk tetap tenang tidak peduli komentar bom apa pun yang keluar dari mulut Rinka.
“Aku berniat menyatakan perasaanku pada Reira.”
“......”
Penjagaan Tenma langsung runtuh atas serangan tak terduga yang bagaikan bagian belakang kepalanya dipukul menggunakan double-stick.
“Aku akan menyatakan perasaanku pada Reira.”
Tanpa diminta, Rinka mengulangi perkataannya seolah-olah untuk memaksa Tenma mengerti arti dari pernyataan yang sulit lelaki itu mengerti. Selain itu, melalui matanya dia bahkan menunjukkan keyakinan serta keinginan yang kuat untuk melakukannya tanpa gagal.
Yang bisa Tenma lakukan hanyalah memeras dua kata, “Gitu ya...?”. Namun, mungkin karena itu saja tidak cukup, Rinka menginginkan kata-katanya selanjutnya.
“Ah, um... Kau akan melakukannya, ya? Menyatakan perasaaanmu pada Tsubaki-san? Bukankah itu hal yang bagus?”
Sebenarnya Tenma ingin mengatakan bahwa jika Rinka mau melakukan itu, maka itu suka-suka Rinka mau melakukannya atau tidak, tapi karena Tenma tidak mau membuat gadis itu marah, jadi dia mengubah ucapannya menjadi bentuk yang lebih lembut. Dan entah apakah itu berhasil, ekspresi Rinka tiba-tiba menjadi cerah.
“Aku mengambil keputusan itu karena apa yang kau katakan kepadaku. Yang ituloh, tentang yang menjadi start-line kita.”
“Ahh... Baguslah kalau begitu.”
“Aku sudah punya rencana dalam pikiranku. Tentunya, peranmu juga ada.”
“...Re-Rencana? Peran?”
“Mm. Hal pertama yang ingin kulakukan adalah...”
“...Bentar, bentar dulu!”
Tenma menyela Rinka yang mulai membicarakan itu secara alami, namun entah mengapa, “Hm?” Rinka hanya balas menatapnya dengan rasa ingin tahu.
Dari mana aku harus mengomentarinya?, Tenma bingung.
“Kalau kau punya pertanyaan, katakan saja. Aku akan menjawabnya.”
“...Ahh, baiklah. Kalau gitu, katakan padaku...,” pada titik ini, Tenma memutuskan untuk melontarkan semua unek-uneknya. “Entah bagaimana kau membuat keputusan yang menantang maut untuk mengakui perasaanmu ke teman perempuanmu, kemudian entah mengapa kau repot-repot memberitahukan soal itu kepada pria yang tidak ada hubungannya dalam hal ini sepertiku, kemudian entah bagaimana percakapan itu berlanjut dengan asusmsi bahwa kita akan bekerja sama... Dan satu hal lagi! Ini yang menjadi misteri terbesar dari semuanya!”
Tenma mengarahkan ujung jarinya ke arah wanita yang duduk di tempat tidurnya sambil menyilangkan kakinya.
“Bagaimana bisa kau begitu berani masuk ke kamar pria, apalagi berduaan dengannya di kamar itu, tanpa menunjukkan sedikit pun tanda-tanda merasa malu?!”
“Malu? Kok harus malu... Hei, mengapa aku harus merasa seperti itu hanya karena memasuki kamar pria yang bahkan sama sekali tidak membuatku tertarik?”
“Meski begitu, normalnya kau harusnya lebih gugup lah atau semacamnya...”
“Bisa tidak kau jangan menyamakan standar kenormalanmu pada orang lain?”
“Ugh...”
“Selain itu,” Rinka mengacungkan jari telunjuknya untuk menolak keluhan Tenma. “Tadi kau bilang kalau aku repot-repot memberitahukan soal ini kepadamu, tapi di tempat pertama, satu-satunya orang yang tahu tentang orang yang kusukai adalah kamu yang mengintip buku harianku, jadi selain kamu aku tidak punya orang lain untuk diajak bicara tentang hal seperti ini. Apa aku salah?”
“...Ya enggak salah sih.”
“Terlebih lagi! Kau tadi bilang kalau aku berbicara dengan asusmi bahwa kita akan bekerja sama, tapi ‘kan kau sendiri yang bilang kalau kau akan melakukan apa pun untukku bahkan tanpa aku minta. Apa aku salah?”
“...Enggak juga sih, cuman ‘kan...”
“Oke, ada pertanyaan lain?” tanya Rinka, seolah dengan ini dia sudah meluruskan segalanya.
Meskipun sikapnya tidak sopan, tapi dia telah sepenuhnya menjawab pertanyaan Tenma dalam percakan mereka saat ini, jadi bisa dilihat kalau semua ucapannya on point.
“Hadeh, bagaimana bisa kau memiliki kepribadian yang berani sekali seperti itu?”
Meskipun diberikan ucapan yang sarkastik seperti itu, tidak ada tanda-tanda kalau Rinka marah.
“Kupikir karena aku jatuh cinta.”
“Paling juga itu jawaban yang asal.”
“Loh, aku serius. Dengan kata lain, kita berbagi takdir yang sama.”
“Takdirku tidak ada hubungannya dalam hal ini.”
“Yah, intinya, ayo lakukan yang terbaik dengan perasaan seperti itu.”
“Oh gitu.”
Tenma tidak menyesal, tapi dia tidak bisa tidak menghela napas. Yang ingin Tenma bantu adalah Rinka yang menangis-nangis di lantai, bukan gadis yang menyebalkan seperti dia yang sekarang ini. Namun sayang, dia tidak punya cukup keberanian untuk mengangkat perisainya pada situasi seperti ini.
“Sekarang, ayo kita masuk ke topik utama. Aku akan memberitahumu garis besar, tidak, keseluruhan dari rencanaku yang kusebut [Operasi Menembak Reira Tsubaki].”
Itu adalah penamaan yang tanpa twist apa pun, tapi karena Tenma takut akan mendapatkan serangan balik kalau dia mengatakan sesuatu yang sarkastik, jadi dia memilih tutup mulut.
“Sehubungan dengan aku yang ingin mengakui perasaanku pada Reira, tadi kau bilang kalau itu adalah keputusan yang menantang maut, kan? Aku juga setuju denganmu tentang itu. Toh yang namanya keberanian dan keliaran untuk tidak boleh di samakan.”
“Kupikir akan lebih cocok menyebut itu sembrono daripada liar.”
Pernyataan cinta dari sesama jenis yang dianggap hanya seorang teman. Hasilnya sangatlah jelas.
“Kau benar. Itu sebabnya, aku harus keluar dari kategori [teman] dulu. Akan sangat bagus jika kami bisa sampai pada titik di mana kami lebih dari teman dan kurang dari kekasih.”
“Jangan mengatakan itu seolah-olah itu mudah. Itu bagian tersulitnya, bukan?”
“Itulah makanya aku membutuhkan pihak ketiga untuk membantuku,” ucap Rinka, mencondongkan hidungnya seolah-olah sedang mempresentasikan makalah yang telah ditulisnya. “Dengar ya? Aku mau kau membantuku di sekolah supaya Reira tertarik padaku. Oh, lakukan itu dengan alami dan implisit tanpa merusak karakter atau imejku.”
Singkatnya, Rinka ingin Tenma memainkan peran Cupid. Sayangnya sih, Rinka memiliki kesalahan serius dalam pemilihan pemerannya.
“Kalau aku memang bisa melakukan ketangkasan seperti itu, maka aku tidak akan khawatir tentang masa depanku dengan mendapatkan pekerjaan sebagai perencana pernikahan.”
“Tidak perlu khawatir, semuanya akan lancar. ...Meski ini fakta yang menyebalkan dan sangat tidak menyenangkan, tapi sepertinya Reira lebih tertarik kepadamu daripada orang lain. Oh, tapi tentu saja kau tidak boleh memanfaatkan fakta itu.”
Untuk saat ini, yang dia ucapkan itu memang masuk akal.
“Begini rencananya. Ketika Reira mengajakmu, [Yuk makan siang bareng~], kau jawab begini, [Aku tidak bisa menemani Tsubaki-san sendirian~ Oh iya, Sumeragi-san, apa kau mau ikut juga?]. Dengan cara ini, aku tidak akan punya pilihan selain ikut dengan kalian, dan tidak akan ada karakter yang jadi rusak.”
Bagian dari dialognya Tenma sudah menghancurkan karakternya, bahkan jika naskahnya ditulis ulang.
“Tapi ‘kan itu artinya kita bertiga akan berakhir makan siang bersama..., apa itu tidak masalah?”
“Tentu saja itu masalah, makanya nantinya dengan alami kau undur diri. Kau harus memberikan alasan yang bagus mengapa kau harus pergi, seperti kamu sakit perut karena penyakit kronis, atau kau dipanggil oleh temanmu yang lain. Dengan cara seperti itu, menurutmu apa yang terjadi selanjutnya?”
“Kau dan Tsubaki-san akan berduaan.”
“Yap, benar sekali. Mudah, bukan?”
“Dibilang mudah mungkin memang mudah, tapi...”
Itu terlalu berputar-putar. Apakah strategi seperti itu benar-benar membutuhkan keterlibatan pihak ketiga?
“Kalau kau mengulangi ini, bisa dipastikan, aku dan Reira akan..., mufufufufu. Dan akhirnya..., kufufufu~,’ ucap Rinka, sepertinya membayangkan delusi aneh saat dia mengarahkan pandangannya ke atas. Ekspresi wajah yang dia tunjukkan benar-benar konyol hingga ke titik di mana itu merusak kecantikannya. Tenma bahkan sampai khawatir dengan kondisi mentalnya, tapi sepertinya sekarang sudah terlambat untuk memperbaiki itu.
“Mumpung ada kesempatan, izinkan aku memberikanmu pendapat yang konstruktif.”
“Mm! Katakanlah. Beri aku pendapat-pendapatmu.”
“Ini, bukankah ini hanya masalah bergaul dengan Tsubaki-san secara langsung tanpa harus repot-repot melibatkanku?”
“‘Kan sudah kubilang, itu sulit. Aku sudah bilang padamu ‘kan, aku punya karakter yang harus kulindungi...”
“Astaga...”
Tenma mulai sedikit sakit kepala. Rinka, yang menjadi buta karena cintanya dan memiliki IQ rendah, tidak menyadari kekurangan yang bahkan Tenma, yang tidak cocok dengan percintaan, dapat dengan mudah menyadarinya.
“Hei, tidakkah kau ini orangnya sedikit kurang waspada, ya?”
“Waspada?”
“Seperti yang kau sendiri pernah bilang, kau selalu takut kalau kau didahuli oleh orang lain, kan?”
Justru, bisa dibilang ini adalah keajaiban bahwa itu belum pernah terjadi sebelumnya. Namun demikian, tetap saja ada batasan seberapa mampu dia bisa menghadang serangga-serangga nakal.
“Di dunia ini ada banyak pria yang ingin pacaran dengan Tsubaki-san. Kalau kau terlalu lengah, satu atau dua pria tampan akan muncul dan merenggut Tsubaki-san darimu loh?”
“Ga-Gak boleh! Gak boleh, itu sama sekali gak boleh! Reira gak boleh pacaran sama pria yang bahkan tidak diketahui pria macam apa!”
Tenma memang bermaksud memperingatkannya, tapi tampaknya peringatan itu bekerja lebih baik dari yang dia duga.
“Lah memangnya kenapa?”
“Soalnya..., tidak ada yang benar-benar memahami Reira. Orang lain hanya ingin melihat bagian yang indah dari gadis itu. Mereka semua pasti orang-orang yang memiliki pemikiran bahwa tidak peduli apa pun yang mereka lakukan, Reira yang baik hati pasti akan memaafkan mereka! Reira itu gadis yang polos dan rentan. Itu sebabnya..., harus aku yang ada di sisinya!”
“Ooh, kata-kata yang bagus. Kalau memang begitu, maka kau harus lebih agresif dalam pendekatanmu, kan?”
“Soal itu..., kau ada benarnya.”
Dalam hal seperti ini, Rinka bukanlah orang yang sulit untuk diajak bicara. Dan sepertinya dia juga setuju bahwa argumen yang Tenma berikan itu benar, cuman masalahnya adalah dari sini. Tenma tidak tahu apa yang dipikirkan oleh wanita yang duduk dengan canggung sambil menggeliat-geliatkan pantatnya seolah-olah dia sedang duduk di kursi yang buruk itu. Bagaikan radio rusak, dia hanya terus-menerus mengulangi, “Tapi..., tapi...,”.
“Tapi apaan?”
Mulai merasa kesal, Tenme mendesaknya. Namun, Rinka hanya bergumam sambil terus terang memalingkan mukanya.
“...Di saat-saat seperti ini, akan memalukan untuk kyakyafufufu dengan Reira...”
“Kyakyafufufu?”
“Oh, maksudku mesra-mesraan, atau saling menempel, berpegangan tangan, berpelukan.”
“...Bukannya normal kalau para gadis melakukan hal-hal seperti itu?”
“Te-Tentu saja aku juga pernah melakukan sesuatu seperti itu, dulu sih. Contohnya saat aku masih SD... Tapi saat itu, aku masih belum memiliki perasaan yang spesial pada Reira, dan selain itu...”
Dia terlalu banyak alasan. Singkatnya, Rinka hanya sulit untuk tetap tenang saat bersama Reira ketika dia sadar bahwa dia menyukainya. Dai tidak lain hanyalah orang yang penakut.
“...Aku yakin harusnya ada penggambaran yang bersifat lebih cabul di buku harian yang kau tulis.”
“Image training dan melakukannya secara langsung itu beda dimensi, tau! Ditanya mau melakukannya atau tidak, aku memang mau, tapi...”
Layaknya udang rebus, telinga Rinka tampak merah saat dia mengatakan itu. Untuk menyembunyikan itu, dia menarik rambutnya ke kedua pipinya. Bibirnya dia tutup rapat dalam satu garis lurus, tatapannya yang gelisah mengembara ke segala arah, dan dia menggoyang-goyangkan pinggulnya seolah-olah dia sedang menahan kencing. Ini jelas sekali dia dipenuhi rasa malu.
“......”
Orang yang aneh.
Pendapat itulah yang muncul di benak Tenma, bahkan sampai dia ingin tertawa. Soalnya, dia merasa bahwa Rinka benar-benar aneh. Jika berbicara tentang Rinka Sumeragi, dia harusnya adalah orang yang dihormati oleh siapa pun. Namun kenyatannya, dia lebih canggung dalam hal percintaan daripada orang lain. Dia bahkan bergumul karena tidak bisa jujur akan perasannya pada orang yang dia sukai. Dia sama seperti anak SMA pada umumnya.
Ketika Tenma memikirkan semua itu, tiba-tiba wanita yang ada didepannya tampak berani namun lemah, wanita yang patut dicintai. Ketika dia memikir-mikirkannya kembali, bisa dibilang ini adalah titik baliknya. Atau mungkin, bisa dibilang ini adalah perubahan motivasi. Dan secara tidak sadar, dia berpikir, Apa ada yang bisa kulakukan untuk membantu percintaannya ini?
“Haaah... apa boleh buat.”
Ini bagaikan mempercayakan orang lain mimpi yang tidak dapat dia capai. Meskipun, dalam hal ini diri Tenma pribadi tidaklah menjadi pihak yang terlibat secara langsung. Tapi jika dia bisa membantunya, maka...
“Apa...?! Paling-paling kau pasti berpikir kalau aku orang yang menyedihkan atau semacamnya, kan?”
“Ya, kupikir begitu. Kau selalu tampak sok hebat, tapi dalam percintaan sangat payah.”
“......”
“Karenanya, aku akan membantumu.”
“Eh?”
Mau tak mau Tenma harus mengikutinya. Itu adalah rute yang tercepat untukknya. Dan kalau sudah begini, apa yang Rinka katakan soal mereka berbagi takdir yang sama mungkin memang benar.
“Tapi sejauh yang bisa aku bantu saja.”
“Hei? Entah mengapa kau sepertinya tiba-tiba termotivasi..., apa kau baik-baik saja? Apa kau memakan sesuatu yang aneh?”
“Hah?”
“Mungkinkah..., kau jatuh cinta padaku?”
“......”
Fakta bahwa dia segera sampai pada gagasan seperti itulah alasan mengapa Tenma menganggap otak Rinka yang isinya percintaan itu tidak menyenangkan. Namun, dari reaksinya yang terlihat natural, sekilas terlihat kecantikan yang tidak seperti Rinka yang biasanya. Dan entah bagaimana, dia hampir bisa memahami perasaan para orang-orang yang pernah menembaknya dan tertolak mentah-mentah.
Tentunya, itu tidak berarti bahwa dia telah jatuh cinta pada gadis itu. Sama sekali tidak. Dan di tempat pertama, Rinka bukanlah tipenya Tenma.
“Jangan khawatir, aku lebih suka wanita yang lebih anggun dan sopan.”
“Hee... Ah, tapi kau tidak boleh menyukai Reira loh ya. Pokoknya, gak boleh, itu dilarang!”
“Tanpa kau beritahu sekali pun, aku tahu. Statusnya terlalu tinggi untuk kucintai...”
Tentunya Reira adalah gadis yang imut, serius, dan baik yang disukai siapa pun tanpa adanya satu pun bagian yang bisa dihina tentangnya. Namun, Tenma tidak bisa membayangkan dirinya bisa berjalan bahu membahu bersama gadis itu. Dunia tempat mereka hidup sangatlah berbeda, bahkan sampai sekadar pernyataan ‘tidak cocok dengannya’ pun sudahlah sangat tidak sopan untuk dikatakan.
“Baguslah kalau gitu. Baiklah, sekarang semuanya telah diputuskan...,” ucap Rinka, mengulurkan tangannya.
Itu membuat Tenma merasa tidak nyaman karena merasa seolah-olah dia dimintai uang, dan bisa saja firasatnya itu benar.
“Berikan aku ponselmu.”
“Kenapa?”
“Tentu saja kita akan bertukar nomor ponsel, kan?”
“Oh... Ya ‘kan kau bisa langsung bilang begitu.”
Dengan enggan, Tenma mengeluarkan ponselnya. Begitu kunci layarnya terbuka, ponselnya langsung direnggut oleh jari-jari yang terulur. Sekarang sudah sampai pada titik ini, Tenma tidak lagi punya tenaga untuk protes.
Mengabaikan Tenma yang menatapnya dengan mata setengah tertutup, Rinka mengoperasikan dua ponsel dengan gerakan yang lancar, tapi kemudian, “Ah”, dia berhenti bergerak seolah baru mengingat sesuatu.
“Karena koordinasi cepat sangat penting, jadi ayo kita buat beberapa aturan. ...Panggilan telepon harus dijawab dalam tiga deringa. Pesan harus dibalas dalam tiga menit dan harus singat dan jelas. Kau mengerti?”
“Itu pemaksaan namanya, bukan aturan.”
“Tentu saja aku sendiri juga akan mengikuti aturan itu. Nih, udah selesai.”
Tenma menangkap ponselnya yang dilemparkan ke arahnya (Dia tidak terkejut karena dia punya firasat kalau Rinka akan melakukan itu). Ketika dia memeriksa apakah ada sesuatu yang aneh telah diotak-atik oleh gadis itu, dia menemukan sesuatu yang terasa tidak benar.
“Oi, apa maksudnya penamaan [Nyonya] ini?”
“Oh, itu kamuflase. Kalau sampai ada orang lain yang melihat namaku, mereka pasti akan curiga kalau kita berhubungan, kan?”
“Tapi kupikir ini justru akan membuat orang-orang mempertanyakan fetish yang kumiliki.”
“Ngomong-ngomong, kontakmu kusimpan dengan nama [Shiro], jadi jangan khawatir.”
“Itu pasti nama anjing, kan?”
Dengan demikian, berakhirlah pertukaran informasi kontak yang paling sepihak dalam sejarah hidup Tenma. Meskipun jika anak-anak laki di sekolah mengetahui soal ini, mereka pasti akan menangis dan iri padnaya, tapi entah mengapa, dia justru tidak merasakan sedikit pun kebahagiaan.
“Hadeeh... Kalau gitu, sekarang kamu pulanglah ke rumahmu. Soal kerja sama denganmu, aku akan membantumu semampuku.”
“Loh, kok kamu ngedesak gitu?”
Masih duduk di tempat tidur, Rinka mengayun-ngayunkan kakinya secara bergantian. Di ujung kakinya, tampak kuku dengan kilau pucat berwarna biru. Itu selaras dengan mode saat ini, dan Tenma benar-benar berpikir kalau itu tampak indah.
“Aku punya kerjaan yang harus kuselesaikan.”
“Mengurus cucian yang menumpuk, membersihkan kamar, membeli bahan makanan, memasak. Cuman itu saja, kan?”
“Ya. Itu kerjaan yang normal, brengsek.”
“Hm~, sepertinya kau kerepotan ya ketika orang tuamu ditugaskan di luar negeri dan harus tinggal berduaan dengan kakakmu.”
“Aku ‘kan gak bermaksud bilang kalau itu merepotkan, eh, tunggu...” Percakapan mereka mengalir begitu lancar, jadi Tenma hampir melewatkan sesuatu. “Hei, memangnya aku pernah kasih tahu kamu, ya? Kalau orang tuaku ditugakan di luar negeri.”
“Percayalah pada ingatanmu.”
“Kau benar. Kalau begitu, bagaimana kau bisa tahu?”
“Itu bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Aku memeras semua informasi tentangmu dari temanmu saat kami berbicara kemarin.”
“Memangnya kau ini detektif apa?! ...Kalau mau memeras, peras susu aja sana!”
“Yah, tapi aku baru tahu kalau kakakmu punya kepribadian yang cukup unik.”
“Jangan pedulikan cara bicaranya yang aneh itu... Ah, oh iya. Aku juga harus membersihkan lantai yang dia nodai, jadi kau cepatlah pergi dari sini...”
Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang stres, Tenma berdiri perlahan dan membuka pintu, tapi kemudian terjadi peristiwa yang tak terduga.
“Kyaa!”
Terdengar suara bodoh. Pada saat yang sama, bukk, seorang wanita jatuh ke depan dan menghantam lantai. Kemungkinkan besar, wanita ini tadi sedang menempelkan telinganya ke pintu kamar Tenma. Kalau tidak begitu, maka dia tidak akan berakhir dalam posisi seperti ini.
Wanita yang merangkak berlutut di kaki Tenma seolah-olah melakukan dogeza itu, perlahan-perlahan mendongak setelah melalui keheningan yang canggung.
“...Apa yang kau lakukan, Nee-san?”
“Eh, ah, begini. Sebagai seorang kakak, aku penasaran akan seperti apa pengalaman pertamanya adikku. Hahahaha,” ucap Nagisa sambil tertawa, yang mana hal tersebut membuat Tenma ingin menginjak kepalanya. “Isssh! Kau tidak seharusnya melihat kakakmu seolah-olah kau sedang melihat sampah!”
Nagisa kemudian berdiri dan menarik tali bahu tank-topnya yang hampir terlepas.
“Nih, aku bawain kamu item.”
“Item?”
“Ya, item yang merupakan bentuk pertanggung jawaban laki-laki. Atau juga semacam etiket. Karena ini kamu, jadi kamu pasti tidak mempunyainya, kan?”
“......”
“Maaf ya. Aku tadi tidak punya banyak waktu untuk berbelanja, jadi aku mencari sesuatu yang bisa digunakan, tapi hanya ini yang bisa kutemukan. Nih.”
Apa yang disodorkan Nagisa kepada Tenma sambil tersenyum adalah Saran Wrap. Namun begitu Tenma menerima itu, dia langsung membuangnya.
“Kumohon, bisa tidak kau jangan mempermalukan adikmu ini lebih jauh lagi?!”
Tenma benar-benar stres. Dia bahkan sampai berpikir kalau hidupnya sudah berakhir di sini. Sebuah kecerobohan keluarga yang siapa pun yang melihatnya pasti akan membuat dirinya canggung, disaksikan oleh seorang wanita yang polos.
Sambil membayangkan bahwa Rinka akan menatapnya dengan sorot mata dingin yang bahkan akan membekukan seorang anak yang menangis, Tenma menoleh ke belakang, tapi...,
“Fufufu.”
Apa yang dia lihat adalah pemandangan yang berlawanan dari yang dia bayangkan. Hembusan napas hangat yang bahkan mencairkan es. Rinka tertawa sambil menutupi mulutnya dengan elegan. Yang paling mengejutkan adalah, itu bukanlah ejekan.
“Aku iri padamu memiliki kakak yang menyenangkan sepertinya. Keluarga kalian pasti sangat akur, ya.”
Tenma tidak mengerti mengapa, tapi Rinka menampilkan ekspresi yang ceria. Dia tidak menyindir atau mengejek, apalagi mengomelinya. Dia bilang dirinya iri.
“Ya ‘kan?! Ya ‘kan?! Kami akur, ‘kan~?”
Mengatakan itu dengan nada yang tinggi, Nagisa mendorong tubuh Tenma menjauh, kemudian pergi menempel pada Nagisa yang masih duduk di tempat tidur.
“Padahal dia punya kakak yang brocon, erotis, baik hati, dan akan membuat semua siswa SMA dari seluruh negeri akan menangis dan iri jika mereka mendengar soal ini~, tapi adik kecilku ini malah memperlakukan dengan sangat buruk~!”
“Nih orang ngomong apaan sih...”
Seolah kata-kata tidak perlu lagi. Tangan kanan Tenma yang dia kepalkan dia ayunkan dengan sangat cepat melebih kecepatan yang bisa dia lakukan.
“Kakak pasti sudah melalui banyak kesulitan, ya.”
Sebuah tangan dengan lembut diletakkan di bahu Nagisa. Orang dewasa yang pura-pura nangis seperti anak kecil. Di dalam situasi yang harusnya membuatnya marah, Rinka dengan tenang berbicara pada Nagisa untuk menunjukkan keprihatinannya. Dan karena sikapnya itu, wanita lain yang ada di ruangan ini jadi terbawa suasana.
“Ya, aku sungguh kesulitan~. Dia sangat acuh tak acuh, tadi pagi dia bahkan tidak mau membangunanku ketika aku pura-pura mati, dia juga bahkan tidak membiarkanku mengeluh, parahnya lagi dia juga menendang kakiku seolah-olah aku ini sesuatu yang merepotkan~”
“Jangan berbicara dengan cara yang bisa bikin orang salah paham woy!”
Tenma mencoba menarik pangkal leher Nagisa untuk melepaskannya dari Rinka, tapi Nagisa tidak mau melepaskan diri. Malah, dia justru menggosok-gosokkan hidungnya di belahan dada Rinka, seolah-olah sedang mengendus feromon yang dipancarkan dari gadis muda itu.
Melihat kakak kandungnya menempel seperti itu pada teman sekelasnya, kendati merasa sedih Tenma justru merasa hampa. Untungnya, payudara Rinka tidak begitu besar dan mungkin di bawah rata-rata, jadi dia bersyukur bahwa adegan yang dia lihat tidak terlalu provokatif.
“Aduh!”
Saat sedang memikirkan itu, Tenma tiba-tiba merasa sakit. Rupanya, Rinka melempar bantal ke arahnya dan itu mengenai wajahnya.
“Apa sih yang kau lakukan?”
“Barusan, kau pasti memikirkan sesuatu yang kasar, kan?”
“H-Hah?! Mana buktinya?!”
“Dari melihatmu saja aku bisa tahu, dasar mesum.”
“Yang sabar Sumeragi-san, itu tidak bisa dihindari~, toh itu adalah Tenma~”
“...Hei, bisakah kalian berdua pergi dari kamarku sekarang juga?”
Setelah itu, Rinka, yang untuk beberapa alasan terus duduk di tempat tidur Tenma, harus berurusan dengan keluhan Nagisa (atau lebih tepatnya lelucon kotor) tanpa henti. Karena Tenma tidak tertarik dengan pembicaraan kedua gadis beda generasi itu, jadi dia tidak mempedulikan, dan seperti yang dia sudah rencakan dia memutuskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, tapi rupanya pilihan yang dibuat itu adalah kesalahan besar.
Ketika mereka keluar ke ruang tamu saat hari sudah siang, mereka berdua menjadi sangat akrab sampai-sampai mereka bahkan memanggil satu sama lain dengan, “Rinka-chwan!” dan “Ane-sama!”. Dengan kata lain, inilah yang Rinka tuju.
“Aku sudah mendengarnya loh, Tenma. Sepertinya gadis itu memintamu melakukan sesuatu yang sangat penting.”
“Eh? Yah, begitulah...”
“Kalau begitu, lakukanlah yang terbaik yang bisa kau lakukan untuk bekerja sama dengannya. Pokoknya, awas aja kalau kamu ada menahan diri.”
“Hadeh, mengapa kau harus menyuruhku sampai sebegitunya?”
“Jangan bicara buruk begitu. Di dunia ini, tidak banyak gadis yang baik hati, perhatian, lapang dada, dan mesum sepertinya, jadi tidak ada salahnya ‘kan menjual bantuanmu kepadanya?”
“Tidak, soal itu...”
“Aku cuman mau dengar jawaban ‘ya’. Kau mengerti?”
“...Ya.”
“Dan juga, sebentar lagi makan siang, jadi sajikan makanan yang lezat untuknya. Harus loh ya?”
Untuk menembak seorang jenderal, mulailah dahulu dengan menembak kudanya. Namun sayang, kuda buruk yang menjadi incaran jatuh dengan mudah.
“Kau punya kakak yang baik. Hidupmu pasti tidak pernah membosankan, bukan?”
Mendengar Rinka terkikik sambil mengatakan itu membuat Tenma kesal. Hari ini, dia telah diingatkan sampai-sampai dia merasa jengkel bahwa perilaku Rinka yang berkepala dingin di sekolah itu tidak lebih dari [karakter yang dia buat]. Soalnya, dengan cara itu dia bisa dengan mudah masuk ke dalam hati dan pikiran orang lain, kemudian bisa merencanakan skema seperti yang dia lakukan hari ini dengan brilian. Hal ini membuat Tenma jadi kepikiran dengan idiom empat huruf hachimenroppi, meskipun itu dalam artian yang buruk sih.
[Catatan Penerjemah: Hachimenroppi, maksudnya kayak serbaguna atau kompeten dalam segala hal. Dan empat huruf yang dimaksud dari kanjinya 八面六臂. ]
“Hadeh, kakakku mengomeliku untuk memasakkan sesuatu untukmu. Tapi apa yang akan kau lakukan, kau mau memakannya?”
“Makasih, tapi apa bahan-bahannya cukup?”
“Untuk buat nasi goreng sih lebih dari cukup.”
“Tapi, tidakkah itu akan merepotkanmu?”
“Woy tolol, kau telah banyak membuatku kerepotan dan sekarang kau tidak mau merepotkanku?”
“Kalau gitu aku akan memakannya. Makasih ya.”
Setelah membuatkan Rinka sarapan, sekarang dia membuatkan gadis itu makan siang. Memikirkan itu, sesuatu sontak terlintas di benak Tenma. Nasi goreng cenderung dipandang sebagai musuh masyarakat dalam kasus pembatasan karbohidrat, jadi apakah tidak apa-apa membuat seorang gadis SMA dengan proporsi tubuh yang luar biasa memakan nasi goreng?
Saat menggoreng telur dan nasi putih dengan gerakan yang sudah terbiasa, kekhawatiran seperti itu berputar-putar di kepalanya, tapi ketika dia sudah menyajikannya, dia menemukan bahwa rupanya kekhwatiran yang dia miliki itu tidak berdasar.
“Enak, enak,” setiap kali mengunyah, Rinka terus memujinya, dan dengan cepat dia menghabiskan porsinya. Sepertinya, kunci untuk menjaga bentuk tubuhnya itu adalah dengan memakan apa yang dia ingin makan.
“Kupikir akan biasa-biasa saja, tapi ini mengejutkan. Rupanya kau ini jago masak ya, Yashiro?”
“Aku cuman mengikuti resep yang ada.”
“Kalau kau bisa memasak seenak ini, aku yakin kau setidaknya bisa hidup sebagai suami rumah tangga jika kau gagal mencari pekerjaan dan berakhir di jalanan. Aku ikut senang untukmu. Oh, tentu saja, itu dengan asumsi kalau kau punya pasangan.”
“Woi, jangan memujiku dengan cara menghinaku.”
Berbagi waktu dan ruang bersama seorang yang hidup di dunia yang berbeda darinya. Ini mungkin pengalaman yang menyegarkan dan berharga bagi Tenma. Di kelas, Rinka orangnya tidak banyak bicara, tapi sebenarnya dia orang yang banyak bicara. Itu adalah bagian dari diri Rinka yang jarang diketahui oleh orang lain. Sedikit, hanya sedikit, tapi ini pertama kalinya Tenma merasa senang semenjak Rinka datang ke sini. Karena bisa dbilang, ini merupakan hak istimewa yang hanya diberikan kepada manusia sebagai makluk sosial untuk dapat mencitapkan kebahagiaan sebanyak yang mereka inginkan di dalam hati mereka.
Akhirnya up, makasih min
ReplyDeleteah akhirnya lanjut juga
ReplyDelete