Bab 3 Bagian 1 (dari 4)
Paranoia Bunga di Kedua Tangan
Bagaimana orang lain memandang diri kita? Setiap manusia pasti peduli mengenai hal tersebut. Saat masih SD, Tenma terpaksa untuk bergabung dengan klub Bisbol, dan inilah evaluasi pelatih tentang dirinya:
[Yashiro? Hm~, lari, menyerang, dan bertahanmu lumayan. Bisa dibilang kau ini serba bisa. Hanya saja, jika berbicara tentang apa yang kurang dari dirimu, bakatmu biasa-biasa saja sehingga bahkan tidak tangkas. Hahahaha!]
Saat kelas 2 SMP, gadis gyaru di kelasnya mengevaluasinya seperti ini:
[Kau ini orangnya tidak energik ya, Yashiro-kun. Kau terlihat bersikap biasa-biasa saja dan tidak antusias dalam segala hal. Sepertinya kau ini tipe orang yang kata ‘berambisi’ dan ‘bekerja keras’ sama sekali tidak cocok untukmu? Itu lucu!]
Itu akurat, namun juga tidak relevan, sebuah dikotomi yang kompleks.
Pelatih yang memberinya evaluasi rata-rata tidak tahu. Bahkan di luar jam latihan klub, Tenma berlatih melakukan grounding dari tembok sendirian, dan dia juga berlatih berayun tanpa ada yang mengetahui.
Segala sesuatu selalu berakhir sama untuknya. Baik dalam akademik maupun olahraga, dia melakukan upaya yang dua kali lebih banyak daripada yang lain, namun demikian hasil yang dia peroleh hanya di atas rata-rata. Tentunya itu tidak berarti bahwa dia tidak memiliki ambisi dan upaya. Dia hanya selalu kalah.
Hal yang sama berlaku untuk kehidupan romansanya. Pada masa-masa sensitif tersebut, tentunya dia memiliki keinginan untuk dipandang baik oleh lawan jenis, namun kesadaran tersebut lambat laun memudar di pikirannya. Dia pun berpikir bahwa lebih baik dirinya tidak terlalu mengharapkan sesuatu yang luar biasa. Selama dia mempunyai pemikiran bahwa hal-hal seperti itu adalah dunia yang bukan urusannya, dia tidak akan merasa tertekan.
Hasil dari pembelaan diri tersebut adalah Tenma Yashiro saat ini. Dan seperti yang terlihat, evaluasi seseorang oleh orang lain memiliki dampak yang besar pada cara hidup seseorang.
Baru akhir-akhir ini lah Tenma mengetehaui bahwa itu adalah hukum yang berlaku untuk semua orang. Dia belajar bahwa itu seperti meteorit yang dengan kejam menghujani orang biasa yang tinggal di dunia bawah maupun para bangsawan yang berdiri di atas awan, tanpa adanya perbedaan sama sekali.
△
Hari Senin.
Tenma menuju sekolah dengan langkah kaki yang goyah dan secara tidak sadar meghela napas. Akhir-akhir ini, tidak ada ruang bagi pikirannya untuk bisa bersantai. Alasan mengapa itu terjadi sangatlah jelas.
“Selamat pagi, Tenma Yashiro-kun.”
“...Ugh.”
Keberadaan yang dia benci tiba-tiba muncul, jadi dia langsung meringis.
Seorang wanita berjalan di samping Tenma di dekat gerbang sekolah. Dia adalah wanita yang menarik banyak perhatian hanya dengan berjalan, dan tinggi badan serta aura yang dia pancarkan membuatnya menonjol di keramaian. Terhadap sosok itu, Tenma mengamatinya dengan serius.
“Jangan lihat ke aku, lihatlah ke depan. Teruslah berjalan seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi. Oh, suaramu juga pelanin ya.”
Rinka, yang sama sekali tidak meliriknya, memiliki ekpresi cuek yang sesuai dengan apa yang baru saja dia ucapkan pada Tenma.
Dia yang terus-terusan mengubah ekspresinya itu membuatnya terasa seperti orang yang benar-benar berbeda dari dia yang Tenma lihat kemarin. Degan dilapisi oleh karater yang dia buat di sekolah, terdapat kecantikan yang memesona dengan sedikit emosi terlihat dari dirinya.
“Jika kamu melakukan itu, orang-orang di sekitar akan melihat kalau kita hanya dua orang yang kebetulan berjalan berdampingan.”
“...Ya, ya.”
Itu benar-benar kamuflase yang persis seperti yang dilakukan para pengedar narkoba.
“Bagus. Sekarang, ayo kita konfirmasi rencana kita.”
“Kau ini...”
Rencana, tidak lain dan tidak bukan itu mengacu pada Operasi Menembak Reira Tsubaki. Tenma, Reira, dan Rinka. Rencananya adalah membawa mereka bertiga masuk ke dalam situasi di mana mereka bisa bersama, dan kemudian Tenma akan pergi untuk menciptakan ruang bagi kedua gadis itu untuk berduaan. Jika mengabikan profitabilitas, itu adalah strategi yang sederhana. Hanya saja,
“Sejak kemarin sudah berapa kali kau akan membuatku mengkonfirmasi detail yang sama?”
Pesan yang dipertukarkan di antara mereka sudah hampir mendekati seratus. Pesan-pesan itu membentang panjang secara vertikal sampai-sampai melelahkan untuk menggulirnya. Itu benar-benar abnormal. Bahkan Tenma, yang riwayat tanpa pacarnya sama dengan usianya, bisa dengan mudah memahami bahwa itu lebih rinci dari rencana untuk berbulan madu.
“‘Kan sudah kubilang ini untuk berjaga-jaaga. Kau tahu ‘kan, aku orangnya paling tidak suka dengan situasi yang tidak terduga.”
Tepatnya, dia [sangat benci] dengan hal-hal tak terduga. Conothnya, saat novelnya hilang, dia menjadi sangat panik, bahkan dia sampai membuka bajunya di hadapan Tenma karena dia merasa yakin kalau Tenma akan memerasnya. Sebagai orang bijak yang tidak ingin mengulangi kesalahannya, dia belajar dari masa lalunya.
“Aku mau melakukan persiapan yang matang sehngga aku dapat menghadapi semua jenis pola yang mungkin akan terjadi.”
“Tsubaki-san itu bukan robot. Kau harus ingat kalau segala hal tidak akan selalu berjalan seperti yang diinginkan loh?”
“Jangan khawatir. Gadis itu memiliki cara berpikir yang cukup sederhana.”
“Haah, ya, iya. Dan itulah sisi imutnya yang membuatmu sangat menyukainya, kan?”
“Ooh, kamu memang hebat Yashiro. Kamu benar-benar tahu bagaimana perasaan majikanmu.”
“Yah, lagian aku sudah mendengar cerita itu dua puluh kali. Dan juga, aku ini bukan anjingmu.”
“Eh? Bukankah dua puluh terlalu banyak. Kupikir baru sekitar sepuluh kali...”
Di kenyataan pun, percakapan berputar-putar yang mereka lakukan itu sama sekali tidak ada bedanya.
Sambil menjaga jarak yang cukup untuk dilewati orang, mereka berdua berjalan dengan kecepatan yang sama. Dalam situasi itu, tiba-tiba saja, Tenma berpikir hubungan yang seperti ini biasanya di sebut apa? Mau dibilang hanya sekadar kenalan bukan, namun dibilang teman baik juga bukan. Tapi kemudian, dia menemukan sebutan yang sempurna untuk kolusi sementara mereka untuk menjalankan misi mereka, yaitu,
Komplotan, kurasa.
Untuk singkatnya, hari ini, mereka berjalan beriringan memasuki gerbang sekolah. Meskipun mereka berbicara dengan berbisik-bisik, mereka tidak pernah melakukan kontak mata, dan mereka selalu mempertahankan jarak tertentu di antara mereka.
Seperti itulah, mereka berdua bermaksud berkamuflase sebagai orang asing, namun kenyatannya, kamuflase itu akan efektif jika waktu diputar ulang sekitar satu minggu. Namun saat ini, mereka tidak menyadari bahwa ada banyak faktor yang tidak memungkinan kamuflase itu bisa disebut efektif.
Dalam isitlan awam, mereka lengah.
“Oy, dia yang digosipkan itu ‘kan...”
“Ya. Namanya Tenma Yashiro.”
“Siapa dia? Apa dia terkenal?”
“Kau ini kudet, ya? Dia orang yang dengan cepat mendekati Rinka Sumeragi yang selama lebih dari satu tahun tidak ada yang berhasil mendekatinya.”
Dalam hal ini, Rinka peka terhadap tatapan-tatapan orang di sekitarnya dan mampu untuk memprotes mereka dengan berani, tapi dia tidak mau repot-repot menaikkan tekanan darahnya di pagi hari.
Di sisi lain, karena Tenma menganggap bahwa itu wajar kalau Rinka menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, jadi dia tidak sama sekali tidak berpikir bahwa mata orang banyak juga memperhatikannya.
Oleh karena itu, tidak ada satu pun dari mereka yang menyadarinya.
“Rinka Sumeragi dengan bajingan bodoh itu? Tidakkah ada semacam kesalahpahaman?”
“Awalnya semua orang juga berpikir begitu. Tapi tidak hanya ada satu atau dua rumor mencurigakan saja tentang mereka.”
“Misalnya, ada yang bilang kalau Yashiro diculik olehnya saat istirahat makan siang dan tidak kembali untuk sementara waktu.”
“Kudengar juga ada yang mengatakan kalau dia membawanya ke UKS dan melakukan hal-hal yang mesum.”
“Seperti pengawal, dia juga mencegah Yashiro melakukan kontak dengan gadis lain.”
“Saat kelas satu aku dan Yashiro satu kelas, dan mungkin karena alasan itu, dia begitu ngotot bertanya padaku mengenai Yashiro.”
“Aku juga, aku juga ditanya-tanya olehnya. Dia menanyakanku struktur keluarganya Yashiro, hobinya, bahkan dia juga menanyakananya di mana Yashiro tinggal.”
“Ya, ya. Aku menjawabnya kalau aku tidak tahu apa-apa, dan dia langsung kehilangan minat padaku dan mengajukan pertanyaan yang serupa kepada orang lain.”
“Sulit dipercaya, Raja Penembak Jatuh yang biasanya tidak menunjukkan minat pada laki-laki melakukan itu...”
“Eh? Jadi ini artinya Sumeragi-san tertarik padanya?”
“Bukankah itu sudah pasti?!”
“Mereka pasti pacaran, kan?”
“Aaah, aku tidak mau melihat Rinka-sama seperti itu~”
Cibiran. Kesal. Kebencian. Kemarahan. Sulit untuk mengungkapkannya dalam satu kata, tapi yang jelas itu mungkin sesuatu yang dekat dengan ratapan.
Rumor itu menyebar dengan sangat cepat, dan berubah menjadi kejutan yang dahsyat di sekolah.
Hingga akhirnya, rumor itu menciptakan suasana yang aneh di sekolah pagi ini.
△
Setelah itu, pembicaraan mereka berlanjut untuk beberapa saat, namun saat mereka sampai di tangga, Rinka kembali ke dirinya yang biasanya.
“Jika kita pergi ke kelas barengan seperti ini, orang-orang akan mengira kita dekat, dan karena itu akan sangat tidak nyaman, jadi kau pergi duluan,” ucap Rinka, meminta Tenma pergi duluan.
Tenma setuju dengannya, soalnya besar kemungkinkan dia akan ditanyai berbagai hal oleh teman-teman sekelasnya jika dia memasuki kelas bersama Rinka. Dengan demikan, dia masuk ke kelas sendirian, tapi...,
“...Hm?”
Sedetik setelah dia masuk, dia langsung merasakan anomali. Dua minggu telah berlalu sejak upacara pembukaan, namun entah mengapa, suasana yang rasanya berbeda dari biasanya menyebar di Kelas 2E yang harusnya sudah saling kenal satu sama lain.
Memang kelas masih dipenuhi dengan hiruk-pikuk, namun keberisikkan itu berbeda dari baisanya. Itu tidak diisi dengan obrolan-obrolan tanpa tujuan, namun terdengar seolah-olah memiliki satu tujuan yang jelas.
Saat Tenma tinggal berdiri di sana dalam keadaaln linglung, dia mendengar obrolan siswa yang bergosip di dekatnya,
“Yashiro yang itu? Sulit rasanya untuk dipercaya...”
“Sekarang setelah kau mengatakan itu, Yashiro memang bertingkah aneh akhir-akhir ini...”
“Aku kenapa?”
Karena tau-tau saja namanya disebutkan, Tenma menyela mereka.
Miura, Hasegawa, dan Nakamura. Saat kelas satu Tenma sekelas dengan mereka, dan mereka cukup akrab satu sama lain.
“Ya-Yashiro?!”
Layaknya mereka adalah penjahat yang dicari dan telah ditemukan, reaksi terkejut mereka sangat berlebihan.
“Apa sih? Apa yang kalian bicarakan...”
Sambil bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan dalam benaknya, Tenma mencoba nimbrung dalam lingkaran obrolan itu, tapi kemudian langkah kakinya terhenti dengan sempurna.
Anomali yang membuat punggungnya merinding ini jelas bukanlah rasa tidak nyaman yang sepele.
Tenang. Ruang kelas yang tadinya ramai tiba-tiba menjadi benar-benar sunyi. Itu rasanya seolah-olah mereka dibuat berhenti karena ada tombol jeda yang ditekan, dan fokus perhatian mereka terpaku pada satu titik.
Mengapa mereka menatapku seolah-olah mengatakan kalau orang yang menjadi pusat dari suatu insiden telah muncul?
“A-Aku?”
Tenma tidak terlalu sadar diri.
Jika ini adalah pengadilan, maka dia adalah terdakwa.
Dia merasa seperti dia adalah penjahat yang telah menyebabkan kekacauan di dunia.
Mengapa perhatian mereka terpaku pada dia yang bahkan tidak layak menjadi batu di pinggir jalan, dia yang memiliki kehadiran bak rumput liar yang tumbuh di dasar tiang listrik? Mustahil baginya untuk menjawab pertanyaan itu seorang diri. Karenanya, dengan keinginan yang mati-matian untuk mencari jawaban, Tenma menatap Miura di sampingnya.
“Yashiro! Apa maksudnya ini?!”
Apa yang keluar adalah kalimat yang tak terduga.
“Hah?”
“Kamu bukan orang yang seperti itu ‘kan, dasar pengkhianat!”
“Kau terlihat seperti sesama teman yang tidak populer, tapi di belakang layar kau telah melakukan berbagai hal, dasar brengsek!”
“...Bentar, bentar, bentar!”
Para siswa yang mendekatinya sambil menampilkan ekspresi dikhianati menatapinya dengan tatapan yang memandangnya seolah-olah dia adalah orang berdosa.
Karena Tenma tidak tahu kasus tuduhan palsu macam apa yang dia hadapi, dia benar-benar kebingungan.
“Erm..., permisi.”
Tapi kemudian, api perang dipadamkan ketika bidadari turun dari langit.
“Aku punya perlu dengan Yashiro-kun... Bisakah kalian membiarkanku lewat sebentar?”
Siswa yang mengeliling Tenma tersentak serempak dan langsung memberi jalan, “Ya, tentu saja!” “Silakan, silakan!”. Dan kemudian, orang yang muncul menggantikan mereka adalah seorang gadis cantik yang hari ini juga memancarkan kecermelangan yang memesona.
“Tsu-Tsubaki-san...”
“Ah, iya, selamat pagi.”
Gadis itu, Reira, membungkuk sopan. Sampai di poin itu, Reira masih sama seperti biasanya, tapi saat dia mendongak, dia terlihat agak muram.
“Erm, begini...,” ucap Reira, tangannya terlipat di depan dadanya, bergerak maju mundur ke kiri dan kanan.
Awalnya, dia cenderung diam dan hanya melirik ke atas dan ke bawah. Namun, apa yang menakutkan dari itu adalah, hanya dengan dia melakukan itu, nafsu para pria langsung tergelitik. Jika ada pria yang mengatakan bahwa Reira adalah wanita cantik namun akan membosankan dalam tiga hari, maka jelas pria itu pasti berbohong.
“...Aku, kupikir itu tidak baik untuk disesatkan oleh rumor.”
Akhirnya, Reira mengambil keputusan dan mencodongkan tubuhnya ke depan. Jarak di antara dia dan Tenma menjadi begitu dekat, hingga di titik di dimana Tenma bahkan bisa menghitung jumlah bulu mata Reira. Mau tak mau, Tenma berpikir bahwa gadis itu harus belajar bagaimana cara mejaga jaraknya dengan orang lain.
“Itu sebabnya, aku akan mewakili semua orang untuk bertanya kepadamu.”
“Bertanya?”
“Yashiro-kun, apa kamu pacaran dengan Rinka-chan?”
“......”
Apa yang gadis ini bicarakan? ——Mungkin Tenma akan lebih bahagia jika dia bisa meninggalkan pemahamannya seperti itu. Namun, pada saat itu, skenario terburuk yang mungkin terjadi terbentuk di dalam otak Tenma.
Dia merasakan udara bergetar.
Rinka, yang muncul terlambat, langsung dikelilingi oleh beberapa gadis. Mereka adalah anggota rock dari klub musik yang sering bergaul dengan Rinka.
“Eh..., apa?”
Rinka bingung, dan kepadanya yang belum memahami situasi saat ini,
“Ya ampun, Rinka, jadi diam-diam kau rupanya menyembunyikan sesuatu, ya?”
“Bukankah kau harusnya memberitahu kami hal-hal seperti itu sebelumnya?”
“Sudah sampai sejauh mana hubungan kalian~, senggol, senggol~”
Tidak seperti Tenma, suasana di sekitar Rinka tampak menyenangkan, namun tetap saja itu menyebablkan baginya. Rinka yang tampakya secara bertahap mengerti apa yang mereka bicarakan pun mulai mengerutkan dahinya.
Itu tampak seperti pertanda bahwa letusan kelas bencana akan segera terjadi. Dan itu adalah apa yang Tenma harapkan terjadi. Bagaimanapun juga, hanya ada satu cara brilian yang mungkin bisa dengan cepat menyelesaikan krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya ini. Dan itu cukup simpel, yaitu Rinka hanya harus mengambil alih situasi ini di sini dan saat ini.
[Siapa yang menyebarkan gosip seperti itu?], jika dia meneriakkan itu sambil memukul meja guru, paling tidak, suasana yang saat ini merajalela di kelas akan hilang.
Cepat lakukan!
Tenma mengirim tatapan yang seolah meminta bantiam pada Rinka, tapi beberapa detik kemudian,
“Push~...”, bagaikan balon yang kempis, terdengar suara seperti itu dari Rinka.
Melihat itu, Tenma langsung mengerti. Otak Rinka tertusuk. Dia, yang melihat ke langit-langit, benar-benar pucat dan terbakar, seolah-olah dia mematung. Gadis itu sangat lemah terhadap keadaan yang tidak terduga.
“Begitu? Begitu ya...”
Melihat para tersangka tidak dapat memberikan satu penjelasan pun, kecurigaan Reira berubah menjadi keyakinan. “Ahahaha,” dia tertawa malu dan meletakkan tangannya di pipinya. “Aku, tanpa tahu apa-apa, seenaknya malah jadi heboh sendiri. Itu pasti menjengkelkan, bukan?”
Tenma tidak mengerti apa yang Reira maksud dengan heboh? Tapi sekarang bukan waktunya untuk menanyakan sesuatu seperti itu.
“Tidak, erm...”
“Selamat ya. Tolong jaga sahabatku dengan baik.”
Senyum cerah melayang di depannya. Meskipun dia tidak merasakan adanya maksud jahat apa pun dari senyuman itu, tapi Tenma merasa seolah-olah dia dijauhi. Dia bahkan sampai melihat ilusi bahwa sosok Reira secara bertahap menjauh dari dirinya.
“Tidak, kau salah. Itu semua salah paham... Soalnya, soalnya—”
Orang yang dia sukai adalah kamu.
Itulah yang ingin Tenma katakan, tapi tidak mungkin dia mengucapkan kalimat itu begitu saja.
Mungkin, hari ini akan menjadi hari yang terpanjang dalam hidup Tenma.
△
Mau bagaimanapun, persuasif bukanlah apa yang kau katakan, tapi siapa yang mengatakannya, ya? pikir Tenma, dari lubuk hatinya yang terdalam.
Tidak ada yang mau mendengarkan Tenma yang bersikeras mengatakan bahwa dia sama sekali tidak bersalah.
Rinka, yang menjadi satu-satunya harapan Tenma karena memiliki skill karismatik, tidak kunjung pulih dari keadaan suspend.
Periode pertama pelajaran dimulai saat Tenma masih hanyut dalam situasi saat ini. Paling tidak, untuk saat ini dia dibebaskan dari rasa takut akan pemborbardiran pertanyaan, namun dia tidak begitu naif untuk merasa senang hanya dengan penangguhan hukuman selama lima puluh menit.
Mengapa malah jadi begini...
Tenma yakin Rinka pasti merasakan hal yang sama dengannya.
Tempat duduk di samping lorong, hampir berseberangan secara diagonal dari Tenma. Di sana, ada satu tubuh yang tergeletak tak berdaya di atas meja. Rambut hitamnya terurai bagaikan rambut Sadako yang merangkak keluar dari TV.
Meskipun sangat jelas kalau Rinka tidak memperhatikan pelajaran, tapi guru yang terlihat tidak antusias yang sedang mengajar sepertinya tidak memedulikannya. Dia tengah menceritakan tentang sejarah kehidupan Mori Ogai dengan nyaring. Karena sepertinya tidak ada kekhawatiran akan ketahuan atau ditunjuk, diam-diam Tenma mengeluarkan ponselnya dan mengoperasikannya di bawah meja.
[Apa kau masih hidup?]
Dia mengirim pesan pada Rinka. Dia tidak mengharapkan balasan apa pun darinya, tapi kurang dari lima detik telah berlalu sejak pesannya ditandai telah dibaca.
[Aku tidak mati, tapi kondisiku mungkin lebih buruk daripada mati.]
Seperti yang Rinka janjikan, kelihatannya aturan untuk segera membalas pesan berlaku untuknya juga.
[Itu frase yang sangat sastra sekali.]
[Aku merasa seperti aku dilempar ke neraka hidup-hidup.]
[Jangan lemah begitu, semangat. Kita perlu mengembalikan operasi kita ke jalurnya, kan?]
[Kau benar... Untuk saat ini, ayo luruskan situasi saat ini.]
[Situasi..., situasi, ya.]
Ujung jarinya tiba-tiba kaku seolah-olah mati rasa. Padahal, balasan yang dia ketikkan harusnya sangat sederhana.
[Orang-orang mengira kita berpacaran.]
[Beberapa orang bahkan ada yang berbicara tentang apakah kita sudah atau belum melakukan hal-hal mesum.]
[Seriusan? Astaga, ini sebabnya aku tidak suka orang ekstrovert.]
[Ini benar-benar bencana.]
Tenma setuju dengannya, tapi Rinka pasti jauh lebih merasa putus asa.
[Maaf ya. Harusnya aku lebih waspada terhadap mata dan telinga orang lain.]
[Akulah yang bertanggung jawab dalam hal ini. Aku menjadi begitu antusias sampai-sampai aku tidak bisa menyadari apa yang terjadi di sekitarku.]
[Antusias?]
[Iya, antusias gara-gara aku akan bisa bermesraan dengan Reira di dunia nyata.]
Cara dia mengatakannya kurang lebih seperti itu, tapi yang jelas, dia sepertinya berpikir bahwa hubungannya dengan Reira akhirnya akan berkembang, dan hal itu membuanya menjadi sangat antusias. Hanya saja, antusiasmenya itu membawa dampak yang besar.
[Inilah hasil ketika seorang wanita bodoh memimpikan mimpi yang tidak pantas dia dapatkan. Sungguh menyedihkan, bukan?]
Begitu ya. Jadi itu sebabnya dia seperti itu.
Tenma akhirnya tahu mengapa Rinka memiliki semangat yang tinggi sejak dia datang ke rumahnya sampai tadi pagi. Di suatu tempat di dalam hatinya, dia pasti sudah lama mencari jalan keluar untuk perasaannya yang dia pendam.
Merujuk ke hal tersebut, dia mengatakan bahwa dia tidak layak atas mimpinya itu, tapi apakah memang benar demikian?
Siapa berpacaran dengan siapa, ditembak, dicampakkan, dicomblangin. Di telinga Tenma, pria yang bahkan tidak terlalu paham tentang urusan percintaan, hal-hal seperti itu adalah kejadian yang biasa. Tapi bagi Rinka, itu sama sekali tidak biasa. Menjadi gadis normal yang sedang jatuh cinta adalah hal yang paling sulit bagi dirinya.
[Kamu boleh tertawa kalau kamu mau.]
[Aku tidak akan tertawa.]
Rinka, yang dari tadi mengutak-atik ponselnya sambil berbaring telungkup di atas mejanya, tiba-tiba mengangkat kepalanya dan mengalihkan pandangan mengantuknya ke arah Tenma. Pertanyaan yang keluar dari tatapannya itu sangatlah jelas.
[Aku akan melakukan sesuatu, jadi lihat saja nanti.]
Tenma tidak ingin Rinka menyerah begitu saja. Dia tidak ingin Rinka mengatakan tidak mungkin. Bagaimanapun juga, Rinka memiliki bakat yang tidak Tenma miliki, dan Tenma ingin percaya bahwa tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh orang seperti itu.
[Kita baru saja mulai. Jadi jangan depresi begitu.]
[...Mungkinkah, kamu menyemangatiku?]
[Setidaknya angkatlah kepalamu. Aku kasihtan tahu pada guru yang mengajar.]
[Kamu ini orangnya cukup aneh, ya?]
Kau lah yang aneh, itulah yang Tenma ketik, tapi dia tidak menekan tombol kirim. Di sisi lain, dalam sekejap, wanita berambut panjang itu mengguncang bahunya. Di wajahnya, ada senyum polos yang terbentuk, dan yang satu-satunya melihat itu adalah Tenma.
Ya, hanya Tenma.
△
Saat Tenma berpikir dengan tenang, dia menemukan bahwa situasi saat mereka ini sederhana.
Untuk saat ini, tujuan mereka adalah untuk menyangkal skandal tentang mereka yang menyebar untuk selamanya. Kalau saja Rinka adalah idol dari perusahaan produksi besar, seseorang mungkin akan menangani pekerjaan yang bagaikan memadamkan api ini.
[Hei, apa kau punya bekingan seperti Akimoto-sensei atau semacammya?]
[Jangan menanyakan sesuatu yang tidak mungkin seperti itu. Kamu mau kutampar?]
(Catatan Penerjemah: Akimoto-sensei yang dimaksud adalah Yasushi Akimoto, seorang produser rekaman, penulis lirik, dan penulis televisi Jepang, terkenal karena menciptakan dan memproduksi beberapa grup idola top Jepang, Onyanko Club dan franchise AKB48. Total penjualan single yang telah ditulisnya melebihi 100 juta kopi, menjadikannya sebagai penulis lirik terlaris di Jepang.)
Mudah untuk dilupakan, tapi pada dasarnya Rinka adalah anak SMA seperti pada umumnya. Namun entah mengapa, itu membuat Tenma merasa lega. Tapi yang jelas, saat ini dia tidak punya pilihan selain menjernihkan kesalahpahaman mulai dari orang-orang yang dekat dengannya. Sepertinya, perjalanan untuk mewujudkan itu akan menjadi perjalanan yang panjang.
Dengan perasaan yang seperti menelan timah, Tenma berhasil melewati periode pelajaran pagi, dan sekarang waktunya istirahat makan siang. Namun, secara tak terduga, hal-hal banyak yang berubah.
“Yashiro-kun!”
Tenma hampir terjatuh dari kursinya. Bel bahkan belum selesai berdering, tapi begitu pelajaran selesai, seorang gadis berambut pirang ponytail terbang menghampirinya.
“Aku minta maaf!”
Dia tidak menyangka bahwa gadis suci itu akan menundukkan kepalanya ke arahnya. Itu membuatnya merasakan perasaan bersalah sekaligus kesenangan yang tidak bermoral, dan dia bahkan hampir membangkit fetish yang berbahaya, tapi segera Tenma kembali sadar.
“A-Ada apa, Tsubaki-san?”
“Sepertinya aku sudah salan paham. Aku sudah medengar berbagai hal dari Hayami-kun.”
“Souta?”
“Ya, soal rumor tentang kamu dan Rinka-chan berpacaran rupanya tidaklah benar. Kalian hanya teman baik, dan kudengar kalian jadi kerepotan karena rumor itu, jadi, erm..., aku benar-benar minta maaf.”
Bukan hanya Reira saja, “Aku juga minta maaf”, “Maa ya”, “Aku mengambil kesimpulan terlalu terburu-buru”, permintaan maaf dari anak laki-laki datang satu demi satu bahkan tanpa Tenma memintanya.
Dengan kata lain, secara mengejutkan, kesalahpahaman di kelas sudah diselesaikan tanpa adanya tindakan apa pun yang di lakukan oleh Tenma dan Rinka, dan itu hanya dilakukan oleh satu orang.
“...Jadi, begitulah. Aku sudah menjelaskannya pada semua orang seperti itu. Apa itu membantumu?”
Setelah beberapa saat, sang penyelamat muncul dan mengatakan itu dengan santai serta dengan ekspresi yang lebih segar daripada biasanya.
“Membantu atau tidak, itu tidak perlu kau tanya lagi...”
Bukannya menjawab pertanyaan Souta, Tenma justru meraih tangan Souta. Dia kemudian mencoba memberikan Souta pelukan yang hangat, tapi, “Ah, kurasa memelukmu akan terlalu menijiikkan”, dengan cepat dia menarik diri.
“Tapi, mengapa kau melakukan itu...”
“Loh, kamu orangnya tidak suka ‘kan kalau diperlakukan seperti itu?”
Dengan kata lain, dia membuat penilaian secara logika. Dan anehnya, dia orangnya persuasif ketika dia dibuat untuk berbicara tentang argumen yang benar seperti ini.
“Sungguh, makasih ya...”
Inilah menyenangkannya punya teman. Bahkan, kelenjar air matar Tenma tiba-tiba mengendur dan dia seperti akan menangis kapan saja, tapi...
“Ya, itulah sebabnya, jangan ragu untuk mengungkapkan kebenaran pada sahabatmu ini, dan berkonsultasilah padaku sebanyak yang kamu mau! Tenang, aku pasti akan menjaga rahasiamu kok.”
Air mata Tenma langsung kering. Lagipula, ekspresi yang Souta tunjukkan saat ini adalah eskpresi seorang reporter yang ingin mengungkap kisah cinta yang penuh gairah.
“...Sepertinya kau sangat bersenang-senang tentang hal ini.”
“Ya iya lah. Seorang Yashiro-kun akhirnya jatuh cinta, jadi aku harus mendukungnya.”
“Dih, siapa juga yang jatuh cinta? Kau salah paham. Di dunia ini cuman kamu saja satu-satu orang yang menemukan kesenangan dalam hal seperti ini.”
Akankah tiba hari ketika kesalahpahamannya akan beres? Ketika Tenma, yang sudah lelah menghadapinya, linglung memikirkan itu,
“Yashiro-kun~”
Sekali lagi, dia dipanggil oleh Reira. Gadis itu berlari ke arahnya, dan di tangannya, dia memegang bungkusan cantik bermotif bunga.
Sekarang adalah waktu istirihat makan siang, ini artinya, bungkusan itu adalah kotak bekal makan siang.
“Mau makan siang bareng aku gak?”
[Operasi Menembak Reira Tsubaki] telah menjadi proyek yang sulit di awal, tapi sekarang tiba-tiba haluannya telah berubah. Secara ajaib, operasi tersebut semuanya berjalan sesuai rencana semula.
“Oh, apa kau sudah punya janji dengan orang lain?”
“Ti-Tidak! Aku tidak ada janji, tapi..., erm, kalau boleh aku ingin ditemani satu orang lagi...”
“Satu orang lagi?”
Dengan niat untuk bertanya, Tenma mengalihkan pandangannya ke seorang wanita.
Sejak tadi, wanita itu berdiri di belakang Reira, menatapnya tanpa emosi seolah-olah mengatakan, “Ayo, ajak aku ikut bareng kalian”. Dan tanpa wanita itu mengatakannya, apa yang dia pikirkan tersampaikan pada Tenma.
Dipandu oleh tatapan Tenma, Reira berbalik ke belakang.
“Hm... Eh? Rinka-chan?”
Gadis itu memiringkan kepalanya selama beberapa detik. Kemudian, dia mulai menepuk tangannya saat merasakan sesuatu dari tatapan Tenma dan Rinka yang berpotongan.
“Ya, ayo makan bareng juga, Rinka-chan. Ayo!” Tanpa menunggu persetujuan dari pihak lain, Reira langsung menggandeng tangan Rinka dan membawanya bersamanya. “Kalau makannya bareng banyak orang, pasti rasa makanannya akan jauh lebih enak, aku jamin deh.”
Melihat Reira yang tersenyum dan mengenggam tangan Rinka, Tenma mengirimkan pujian yang terbesar dari hatinya kepada gadis itu. Lagipula, tanpa dia harus melakukan usaha apa-apa, Reira sendiri telah mengatur agar mereka bertiga makan siang bareng.
Tidak ada lagi perang yang harus Tenma perjuangkan. Dan dengan begini, Rinka pasti juga sangat puas, tapi...,
“...Makan siang bareng? Hmm, gimana ya...,” ucap Rinka, sok judes. “Aku ada pertemuan di Klub Musik, dan aku pribadi sih maunya pergi ke sana.”
Wanita yang harusnya paling senang dengan ajakan itu justru mengeluh sambil mengusap-ngusap pundaknya yang bahkan tidak sakit. Secara tidak sadar, Tenma berseru, “Woy!”, sambil menyikutnya.
“Aduh, apa yang kamu lakukan?”
“Kok malah aku yang ditanya, kau sendiri apa maksudmu mengatakan itu?!”
Tenma lepas kendali saat menerima pengkhianatan tak terduga, namun Rinka dengan tenang menjawabnya dengan berbisik di telinganya.
“Kau tahu sendiri ‘kan, bersenang-senang makan siang bareng itu bukanlah karakterku?”
“...Karakter, katamu?”
“Kupikir akan lebih alami kalau aku menolak dulu dan kemudian setuju.”
“Kau ini wanita yang benar-benar merepotkan, ya?!”
“Berisik. Aku ini orangnya selalu ingin menjadi serigala yang penyendiri.”
Sepertinya, dalam benak wanita itu prioritas tertingginya adalah menonjol tanpa harus merusak imejnya di sekolah.
Hadeh, siapa saja, adakah orang yang bisa memberikan pencerahan kepada orang gini? Tolong buat supaya hatinya yang sedingin es ini mencair.
Jika ada orang yang bisa mewujudkan keingininan itu, maka sudah pasti hanya ada satu orang seperti itu di dunia ini.
“Jujur..., aku kesepian.”
Mendengar gumaman itu, “Tsubaki-san?”, “Eh, Reira?”, keduanya langsung merespon berbarengan.
“Akhir-akhir ini, aku tidak mendapatkan banyak kesempatan untuk berbicara denganmu, Rinka-chan. Kamu juga sama sekali tidak mau makan siang denganku... Aku bahkan sampai berpikir kalau mungkin saja kamu menghindariku.”
Dia tidak bermaksud menyalahkan siapa pun. Gadis itu mengatakan itu karena itu merupakan beban yang sudah tidak bisa dia bawa lagi di benaknya.
Tentunya, wajar-wajar saja jika Reira berpikir seperti itu. Toh siapa pun pasti akan syok jika mereka ditolak terus setiap saat. Justru, seharusnya sedari dulu dia mengatakan itu. Dan setelah medengar itu, sudah pasti Rinka juga merasakan bahaya.
“A-Aku tidak menghindarimu! Aku cuman..., itu loh, kamu pasti mengerti, kan? Ada saatnya ketika seseorang ingin minum kopi hitam tanpa alasan. Ini sama seperti itu...”
Alasannya sama sekali tidak bisa dimengerti. Sepertinya, ada konflik di dalam dirinya tentang apakah pada tahap ini dia harus tetap memprioritaskan untuk mempertahankan imej yang dia miliki.
“...Oke, oke!”
Pada akhirnya, Rinka sampai pada kesimpulan bahwa senyum dari wanita yang dia cintai adalah prioritas utamanya.
“Ayo makan siang bareng.”
“Seriusan? Yay!”
Reira melompat-lompat dan kemudian memeluk sahabatnya. Hanya pada saat-saat seperti ini, Rinka merasa nyaman. Lagipula, jarang-jarang mereka berdua melakukan kontak fisik semacam ini.
Di sisi lain, saat Tenma menyaksikan adegan itu, dia merasakan kelegaan jauh di dalam dadanya. Dia berpikir bahwa akhirnya dengan ini Rinka bisa mengambil satu langkah maju.
Kenyataannya, Rinka juga tidak mau menolak ajakan Reira. Malahan, dia ingin bersamanya setiap hari. Hanya saja, sejumlah faktor yang menyusahkan mencegahnya membuat pilihan itu.
Namun, bukan hanya satu langka saja, tapi dua langkah, tiga langkah dan seterusnya, Tenma ingin Rinka bisa maju terus.
“Ini pertama kalinya aku melihatmu menampilkan ekspresi tersenyum yang seperti itu, Yashiro-kun.”
Pernyataan itu membawa kembali kesadaran Tenma. Sebelum dia sempat menyadarinya, tau-tau saja Souta sudah berdiri di sampingnya sambil menampilkan senyum menyegarkan.
“Kau ini, apa kau punya kebiasaan untuk meredam suara langkah kakimu?”
“Dalam hal ini, kupikir maslahnya ada padamu yang terlalu lengah.”
Seperti yang Souta katakan, Tenma memperlihatkan celah yang cukiup besar. Bagaimanapun juga, dia tenggelam dalam pemikiran yang dalam.
Bukan karaterku, itulah yang Rinka katakan, tapi itu aneh. Rinka menghindari Reira karena alasan seperti itu, tapi tidak ada yang aneh dengan pemandangan di mana mereka berdua saling berinteraksi seperti ini. Sebaliknya, pemandangan itu terlihat harmonis, dan rasanya semua orang seperti telah menunggu hal ini terjadi.
“Sejak kita naik kelas 2, aku telah melihat begitu banyak sisi dirimu yang tidak kuketahui sebelumnya.”
“Dari sudut pandangku sih, aku sama sekali tidak mengerti apa yang membuatmu berpikir ini menarik.”
“Hahaha. Baiklah, kalau begitu, nikmatilah makan siangmu yang elegan dengan dua idol populer itu tanpa perlu mengkhawatirkan apa-apa.”
Mengatakan itu, Souta menepuk punggung Tenma dan pergi.
“...Makan siang bareng dua idol populer, ya.”
Tenma kembali diingatkan bahwa momen utamanya baru saja akan dimulai setelah ini, dan dia sudah merasakan sesuatu yang mencekam di dadanya.
Mantap min semangat terus
ReplyDeleteMakasih chapternya
ReplyDeleteLanjut lagi lah min dah kangen
ReplyDelete