[LN] Saijo no Osewa Volume 3 - Bab 4 Bagian 2

Bab 4 Bagian 2 (dari 5)
Porseni


Keesokan harinya, waktu istirahat.

“Eh? Dia izin tidak masuk?”

Hari ini, karena aku aku tidak ada melihat atau bertemu Narika di akademi, jadi aku pergi untuk melihatnya ke kelas 2B. Namun, tidak ada tanda-tanda kehadiran Narika di dalam kelasnya, jadi aku bertanya kepada siswa terdekat—dan diberitahu bahwa hari ini Narika izin tidak masuk sekolah,

Apa aku membuatnya terlalu memaksakan dirinya...?

Selama beberapa hari terakhir ini, aku telah membuat Narika melakukan hal-hal yang tidak biasa dia lakukan. Mungkin, sampai saat ini Narika merasa terbebani namun dia menyembunyikan fakta itu. Ini membuat kecemasanku tumbuh, dan aku bertanya-tanya apakah aku melakukan hal yang benar...?

Tapi, karena pelajaran berikutnya akan segera dimulai, jadi aku kembali kelasku. Cuman, aku tidak bisa berkonsentrasi mengikuti pelajaran yang berlangsung, hingga kemudian, pelajaran selesai dan memasuki waktu istirahat makan siang.

Aku menuju ke aula siswa lama bersama Hinako, dan sesampainya di sana, aku segera menelepon Shizune-san. Tentunya, aku mengaktifkan mode speaker supaya Hinako di sampingku juga dapat mendengar percakapan kami.

[Ada apa, Itsuki-san?]

“Sebenarnya——”

Pertama-tama, aku memberitahu Shizune-san kalau Narika tidak masuk sekolah, dan kemudian meminta sesuatu kepadanya.

“Jadi, kalau boleh, aku ingin pergi menjenguk Narika...”

[Baiklah, aku mengerti.]

Shizune-san segera memberikanku izin.

“Aku juga..., mau ikut.”

[Kalau Ojou-sama ikut, nanti Keluarga Miyakojima justru akan bersikap defensif.]

“Muu...”

Mendengar ucapan masuk akal dari Shizune-san, Hinako mengembungkan pipinya.

Nah, mengingat Hinako adalah sosok yang dihormati oleh semua orang di akademi, jadi di saat-saat seperti ini, reputasinya akan menjadi penghalang. Lagipula, reputasi yang terlalu tinggi terkadang juga akan tidak fleksibel.

Sedangkan untuk Hinako pribadi, dia mengerti bahwa dirinya dan Narika berada dalam situasi yang sama. Jika hari ini Narika tidak masuk sekolah karena dia lelah secara mental..., Hinako juga telah mengalami masalah seperti itu lebih banyak daripada Narika. Dengan demikian, karena Hinako memahami rasa sakit itu dengan baik, makanya dia pasti juga mengkhawatirkan Narika.

[Kalau begitu, Itsuki-san, buatlah janji untuk menjenguk Miyakojima-sama.]

“Aku mengerti... Aah—”

Saat aku hendak mengakhiri panggilan, aku tersadar bahwa aku telah melewatkan fakta yang penting.

“...Kalau dipikir-pikir, aku tidak punya kontaknya Narika.”

Aku benar-benar lupa soal itu.

[Kalau begitu, hubungi keluarganya Miyakojima-sama...]

“Soal itu, erm, ada perselisihan antara orang tuaku dengan keluarganya Narika...”

Aku juga lupa soal ini. Satu-satunya cara agar aku bisa menghubungi Narika adalah dengan meminta informasi kontak pribadinya. Soalnya, ada perseteruan antara aku dan Keluarga Miyakojima.

Ibuku suka main judi, jadi dia menghabiskan tabungannya untuk itu dan membuatnya terpaksa harus tinggal untuk sementara waktu di rumah kerabatnya, yaitu Keluarga Miyakojima. Saat itu, aku juga mengikutinya dan kemudian bertemulah aku dengan Narika.

Aku ingat bahwa ibuku dulu memiliki sikap yang arogan meskipun dia numpang di rumah orang, dan hal tersebut membuat Keluarga Miyakojima jengkel. Jika perseteruan itu masih ada sampai saat ini, mungkin, aku tidak akan disambut dengan baik oleh Keluarga Miyakojima.

“Maaf, tapi mungkin aku nanti justru akan langsung ditolak oleh mereka.”

[...Kalau begitu, biar aku yang menghubungi mereka. Tunggu sebentar.]

Mengatakan itu, Shizune-san memutuskan pangggilan.

Saat ini, dia pasti sedang menghubungi pihak Keluarga Miyakojima.

Merasa gugup, aku memakan bekal makan siangku.

Di sisi lain, Hinako menyerukan “Aaa” sambil membuka mulutnya, jadi aku menyuapinya. Melihat dia mengunyah makanannya dengan wajah yang tampak bahagia membuat rasa gugupku berkurang.

Setelah beberapa saat, lebih cepat dari yang kupikirkan, aku menerima panggilan telepon dari Shizune-san, jadi aku segera menjawab panggilan itu.

“Bagaimana, Shizune-san?”

[Karena pihak mereka bilang tidak keberatan, jadi sepulang sekolah nanti aku akan mengantarmu ke sana.]

Jawaban yang keluar dari mulut Shizune-san cukup mengejutkan.

---

Sepulang sekolah.

Aku datang ke rumah Keluarga Miyakojima untuk menjenguk Narika.

“...Sudah lama sejak aku datang ke sini.”

Aku membungkuk ringan pada Shizune-san yang duduk di kursi asisten, kemudian turun dari mobil dan mendekati mansion di depanku.

Kediaman itu memiliki nuansa yang berbeda dari rumah Kelaurga Konohana atau rumahnya Tennoji-san tempat aku biasanya menghabiskan waktu. Jika dilihat dari depan, rumah itu memanjang horizontal, mungkin karena meniru kediaman samurai.

Pertama-tama, ayo bunyikan bel di dekat gerbang, pikirku, tapi kemudian gerbangnya terbuka dengan sendirinya.

“Tomonari-san, kan? Kami sudah menunggumu.”

“Eh, iya.”

Seorang pelayan wanita tiba-tiba muncul, jadi aku segera menundukkan kepalaku sambil merasa terkejut. Pelayan itu mengenakan kimono dengan mon keluarga, dan dengan gugup aku mengikutinya saat dalam diam dia memimpin jalan. Namun, pelayan itu tidak membawaku masuk ke dalam mansion.

[Catatan Penerjemah: Mon atau monshō, atau mondokoro, dan kamon adalah simbol heraldik Jepang. Mon dapat merujuk pada setiap simbol, sementara kamon dan mondokoro merujuk pada simbol keluarga. Mon kira-kira memiliki fungsi yang sama dengan lencana, lambang puncak, dan lambang perisai di Eropa.]

“Saya pikir Ojou-sama sedang berada di taman di sana,” ucapnya, menoleh ke arahku dan menundukkan kepalanya.

“...Terima kasih.”

Sepertinya, Narika tidak sedang rebahan. Ini artinya, dia tidak mengalami gejala yang seperti kelelahan aktingnya Hinako.

Di arah yang ditunjukkan oleh pelayan itu adalah taman besar bergaya Jepang. Saat aku berjalan di atas perancah batu di atas pasir halus, aku diliputi oleh perasaan yang menyegarkan. Soalnya, rumah Keluarga Konohana dan Akademi Kekaisaran tempat biasanya aku berada bergaya barat.

Aah... Aku mulai mengingat banyak hal.

Dulu aku pernah ke taman ini.

Saat masih kecil, aku dan Narika biasa bermain di taman ini.

Memang pemandangannya telah berubah di beberapa bagian, tapi aku yakin kami dulu bermain di sini.

Seingatku, ada celah untuk keluar di sini...

Pagar yang mengelilingi rumah Keluarga Miyakojima terlihat kokoh dan tinggi, tapi jika berjalan lebih dekat ke pagar, akan terlihat ada sedikit lekukan di permukaannya. Jadi, dengan menginjakkan kaki di lekukan itu, seseorang akan bisa memanjat pagar. Inilah celah yang dulu aku dan Narika gunakan untuk menyelinap keluar dari mansion.

Karena lekukan itu cukup kecil sehingga hanya kaki anak-anak yang bisa menapaknya, jadi saat itu tidak ada yang menyadarinya. Tapi sekarang, ketika aku melihat ke pagar itu lagi..., sudah tidak ada satu pun lekukan yang terlihat. Sepertinya pagarnya sudah direnovasi.

“Hm?”

Saat aku hendak kembali ke tujuanku setelah singgah sebentar, aku mendengar suara seorang gadis.

Saat aku berbalik, aku melihat Narika yang sedang memakai hakama.

“I-Itsuki?! Kenapa kau ada di sini—?!”

“Aku datang menjengukmu,” ucapku, dan mata Narika tampak membelalak.

Apa Narika tidak diberitahu kalau aku akan datang...?

Harusnya sih tadi Shizune-san sudah membuat janji sebelumnya, tapi Narika tampak sangat terkejut.

“M-Menjengukku...? Tapi aku cuman mengalami cedera ringan pada jariku loh?”

“Cedera jari...?”

Narika mengangkat tangan kanannya, dan kuperhatikan kalau jari telunjuknya dibalut perban. Selain itu, tidak ada tampak cedera signifikan lainnnya..., jadi sepertinya dia benar-benar hanya mengalami cedera jari.

Untuk saat ini, aku lega bahwa dia tidak kelelahan secara mental, tapi ketika aku memikirkannya dengan tenang, ini juga bukanlah kondisi yang bisa dianggap melegakan.

“...Apa kau akan baik-baik saja saat porseni nanti?”

“Ya. Kupikir cedera ini tidak akan menjadi masalah,” ucap Narika, sambil melihat jarinya yang diperban. “Sebenarnya sih hari ini aku tidak berencana akan absen masuk sekolah, tapi ayahku terlalu protektif. Dia bahkan memaksaku pergi ke rumah sakit.”

“...Begitu ya.”

Karena aku memiliki imej yang buruk tentang ayahnya Narika, jadi penjelasannya barusan cukup mengejutkan untukku.

Tapi yah, intinya sih aku senang kalau dia baik-baik saja.

“Tapi, begitu ya, kau sangat mengkhawatirkanku sampai-sampai datang jauh-jauh ke rumahku, ya,” gumam Narika, menunjukkan senyum aneh.

“Tentu saja aku khawatir. Pikirmu seberapa banyak aku memikirkanmu akhir-akhir ini?”

“Muu... P-Padahal biasanya kau memperlakukanku dengan kasar, itu curang tau kalau kau mengatakan itu kepadaku...,” ucap Narika, memalingkan mukanya yang tampak memerah sampai ke telinganya dariku.

“Ngomong-ngomong, Hina..., Konohana-san punya pesan untukmu. Dia bilang kalau obat terbaik saat kesehatan memburuk adalah tidur.”

“...Itu pesan aneh yang nyatanya memang sudah pengetahuan umum.”

Yah, faktanya sih, Hinako mempercayakan pesan itu keapdaku berdasarkan pengalamannya sendiri.

“Tapi yah, aku cuman mengalami cedera ringan saja. Aku juga sudah cukup tidur..., dan sebenarnya, tidak seperti biasanya, aku tidak banyak menggerakkan tubuhku hari ini, jadi jujur aku gatal untuk beraktivitas,” ucap Narika, sambil menggerak-gerakkan tangannya yang tidak terluka.

Yah, pesan Hinako sebelumnya didasarkan pada asumsi kalau Narika lelah secara mental. Dengan demikian, kalau Narika hanya mengalami cedera ringan pada jarinya, maka tidak perlu tidur lebih lama dari yang diperlukan.

“Apa kau biasanya berolahraga, Narika?”

“Ya. Biasanya aku bangun pagi-pagi dan mengayunkan pedang kayu di dojo. Tapi aku tidak melakukannya hari ini karena aku pergi ke rumah sakit, jadi aku masih punya banyak energi ekstra.”

Begitu ya. Mungkin itu juga sebabnya sekarang dia berkeliaran di taman seperti ini.

Meski begitu, aku baru tahu kalau dia biasanya akan berolahraga di dojo di pagi hari... Tidak heran dia mahir dalam olahraga, dia punya pola pikir yang berbeda dari siswa-siswi lain.

“Mumpung aku lagi ada di sini untuk menjengukmu, jadi jika ada yang bisa kulakukan untukmu, jangan sungkan untuk memberitahuku.”

“Sekalipun kau mengatakan itu... Aah—!!!”

Tiba-tiba, Narika berteriak keras.

“O-Oh iya! Itsuki! Apa kau ingat saat terakhir kai aku bermain tenis dengan Konohana-san dan menang?”

“Y-Ya, aku ingat, memang kenapa...?”

“Ta-Taruhan kemenanganku waktu itu, a-aku ingin menggunakannya sekarang!”

Saat Narika mengatakan itu, dia menatapku dengan wajah yang tampak merah cerah.

“A-Ayo, pe-pergi jalan-jalan bersamaku!!”

Sambil berusaha keras untuk mengatakan itu, Narika menundukkan kepalanya.

---

Menanggapi permintaan Narika untuk pergi jalan-jalan bersamanya, kami meninggalkan rumah Keluarga Miyakojima.

“Kamu dikasih izin sama orang tuamu?”

“Ya. Tapi pada dasarnya sih, mereka tidak membatasi aktivitasku.”                                          

Sambil menuruni lereng yang panjang dan sempit, aku ngobrol-ngobrol dengan Narika. Sepertinya, dia dibiarkan menjalani kehidupan yang lebih bebas jika dibandingkan dengan Hinako dan Tennoji-san.

“Kupikir aku sudah pernah mengatakannya padamu sebelumnya..., keluargaku itu adalah seniman bela diri,” ucap Narika, sambil berjalan. “Ada aturan bahwa kepala Keluarga Miyakojima harus mempraktikkan semua seni bela diri.  Dan keturunan mereka akan diberikan kebebasan dalam jumlah tertentu selama mereka diakui oleh kepala keluarga. ...Karena aku menang dari ayahku dalam judo dan kendo, jadi aku diizinkan melakukan cukup banyak hal.”

“...Aturan keluargamu cukup aneh, ya.”

Secara tidak sadar aku tersenyum saat mendengar ucapannya.

Narika dipercayai oleh orang tuanya..., atau lebih tepatnya, dia meyakinkan orang tuanya bahwa dia dapat diberikan kepercayaan untuk bergerak bebas.

Mungkin, istilah ‘seniman beli diri’ yang dia sebutkan itu telah menyebar ke akademi sebagai nuansa yang buruk. Alhasil, imej Narika sebagai orang yang menakutkan pun mengakar di akademi.

Di Akademi Kekaisaran, tidak ada yang namanya siswa nakal atau berandalan. Itulah sebabnya, siswa-siswi di sana tidak kebal terhadap hal yang berhubungan dengan kekerasan. Mungkin itulah alasan mengapa Narika jadi sangat menonjol dalam artian yang buruk di akademi.

“Ngomong-ngomong, kita mau kemana, Narika?”

“Soal itu..., tentu saja kita akan ke sini!”

Narika menunjuk ke arah depan, tepatnya ke sebuah toko kecil.

“Toko jajanan, ya.”

“Ya! Ada begitu banyak kenangan yang kita miliki di sini!”

Yah, sebenarnya sejak awal sih aku sudah menebak kemana kami akan pergi..., yaitu ke ke toko jajanan yang biasa kami kunjungi ketika kami masih kecil.

Tampilan dari toko jajanan yang kembali kumasuki setelah sekian lama itu telah berubah lebih banyak dari kuduga. Dulu toko jajanan ini tampilannya agak kuno, tapi sekarang dindingnya bersih dan didekorasi dengan poster-poster film terbaru.

“Apa kau sering datang ke sini, Narika?”

“Yah, begitulah. Hampir setiap hari aku datang ke sini.”

Aku baru tahu soal ini.

Sepertinya, Narika memang benar-benar sangat menyukai jajanan.

“Mumpung lagi di sini, aku akan memberikan beberapa rekomendasi padamu. Pertama, umaibo rasa jagung yang itu. Selanjutnya, kalau kau ingin sesuatu yang mengenyangkan, aku merekomendasikan kabayaki atau jimejime shi tenja ne yo. Sedangkan kalau kau cuman mau ngemil, aku merekomendasikan Ramune, terutama Ramune kalengan yang hadir dalam berbagai rasa ini.”

[Catatan Penerjemah: jimejime shi tenja ne yo, gua gak tau itu jajanan apa, searching di google juga gak nemu, jadi gua gak terjemahin.]

“B-Begitu ya...”

Mendengar rekomendasi dari Narika yang sangat antusias, aku hanya bisa memberikan anggukan samar.

Dia tahu lebih banyak soal ini daripadaku...

Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku pada pertumbuhan anehnya yang melebihi dugaanku ini.

“Kalau begitu, ayo beli beberapa jajanan dan memakannya di taman.”

“Ya!”

Dengan binar di matanya, Narika mengambil jajanan. Dan sepertinya, dia juga telah menyiapkan dompet yang hanya berisi uang koin untuk membeli jajanan di sini, jadi segera menuju kasir, dan menyerahkan uang itu kepada seorang wanita tua.

Mungin dibandingkan dengan Hinako dan Tennoji-san, Narika bisa bersimpati dengan kehidupan orang biasa. Itulah juga sebabnya, dia bisa menyampaikan kesenangan dari berolahraga kepada Kita sebelumnya. Soalnya, dia memahami hal-hal yang dinikmati oleh kebanyakan orang, seberti TV ataupun video game.

Aku pun juga membeli jajanan dan pergi ke taman bersama Narika.

“Sudah lama sejak aku makan jajanan bersamamu di sini.”

“...Sekarang setelah kau mengatakan itu, aku ingat dulu kita memang pernah makan jajanan di sini.”

Kami duduk di bangku taman dan menikmati jajanan bersama-sama.

“Hm.., apa itu, Itsuki?”

Tiba-tiba, Narika menanyakan itu saat melihat apa yang aku makan.

“Apanya yang apa? Ini ‘kan umaibo?”

“Bu-Bukan itu maksudku, aku belum pernah makan umaibo yang rasa itu! Mungkin itu rasa baru...!”

Sepertinya, sebagai seorang yang menyukai jajanan, ini adalah kejutan besar bagi Narika.

Umaibo rasa matsumaezuke..., memang sih, ini rasa yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tapi jika bahkan Narika yang hampir setiap hari membeli jajanan seperti ini pun juga baru mengetahui rasa ini, maka rasa ini pasti baru dikeluarkan hari ini atau dalam beberapa hari terakhir ini. Dalam artian baik atau buruk, tidak adanya pengiklanan dari produk baru menyiratkan sikap ceroboh toko jajanan.

Di sisi lain, Narika tampak penuh gairah saat dia menatap jajananku.

“...Kau mau memakannya?”

“E-Eh, bo-boleh nih?”

“Yah, aku orangnya tidak terlalu pilih-pilih soal rasa.”

Mengatakan itu, aku berniat memberikan umaibo yang baru saja kubuka kepada Narika, tapi...,

“Tu-Tunggu. Mumpung ada kesempatan seperti ini, jadi, erm...,” Narika membuka mulutnya, wajahnya tampak merona merah. “Aaa...”

Sambil mengalihkan pandangannya dariku, Narika membuka mulutnya di depanku.

Aku tahu sih apa yang dia ingin aku lakukan, tapi...

“...Apa kau tidak malu?”

“Aku tidak ma~lu.”

Dia sangat malu.

“Bu-Buruan, kau dulu juga pernah menyuapiku ‘kan?! Ini sama saja seperti dulu...!”

“...Ya, ya.”

Mungkin karena sudah biasa menyuapi Hinako, aku bisa menekan perasaan gugup untuk melakukan ini. Hanya saja, perbedaan utama dari saat aku menyuapi Hinkao adalah Narika terlihat sangat malu.

Aku mendekatkan umaibo ke mulut Narika yang telinganya tampak diwarnai merah cerah, tapi sebelum aku membiarkan dia memakannya—aku membelokkan umaibo itu ke kanan.

“Hm?”

Narika menoleh ke kanan, jadi kali ini aku membelokkan umaibo yang kupegang ke kiri.

“Hm, Hm?”

Segera, Narika ikut berbelok kiri juga.

Perasaan iseng yang aneh menghampiriku, membuatku menggoyangkan umaibo yang kupegang dari kiri ke kanan, dan setiap kali aku melakukan itu, juga Narika ikut menggelengkan kepalanya dari kiri ke kanan.

Setelah aku mengerjai Narika untuk sementara waktu,

“Ka-Kau tidak mau memberikannya padaku?”

Narika menengadah ke arahku. Melihat ekspresinya yang tampak gelisah itu, aku segera memasukkan umaibo ke mulutnya.

“Nih.”

Mengikuti isyaratku, Narika memakan umaibo yang kuberikan.

Sungguh, tingkahnya sudah seperti anak anjing saja...

Aku tidak bisa mengendalikan naluriku yang ingin mengerjainya, tapi dia sendiri menurutiku degan patuh..., jadi aku terbawa suasana untuk terus mengerjainya.

“Mm! Rasanya enak juga!” ucap Narika, tampak merasa puas dengan rasa umaibo yang dia makan.

...Mungkin, yang dulu Hinako katakan itu benar.

Dulu, Hinako pernah bilang kalau jarak antara aku dan Narika tampak lebih santai dan natural.

Kata-katanya itu mungkin memang benar. Saat aku berduaan dengan Hinako atau Tennoji-san, terkadang aku merasa gugup dan tidak bisa berbicara dengan baik. Tapi saat bersama Narika, aku bisa merasa lebih rileks. Aku bahkan berharap bisa menghabiskan waktu yang damai seperti ini bersamanya sepanjang waktu.

“Fufufu..., kupikir ini adalah hak khusus untukku.”

Tiba-tiba, Narika menggumamkan itu sambil menatap ke kejauhan.

“Apa yang kau bicarakan?”

“Kau biasanya berhubungan dengan para Ojou-sama di akademi, tapi aku yakin kau pasti tidak pernah pergi jalan-jalan berduaan seperti ini dengan mereka, kan? Konohana-san pernah bilang kalau kalian pernah jalan-jalan berduaan..., tapi pasti dia cuman menggertak saja. Tennoji-san tampaknya juga memiliki keluarga yang ketat, jadi mungkin tidak pernah juga.”

Kupikir keluarganya Narika juga sama ketatnya dengan keluarga mereka, tapi mengesampingkan soal itu——

“Tidak juga, setidaknya satu kali, aku pernah bermain bersama mereka berdua’an saja.”

“Eh?!”

Secara teknis, sejauh menyangkut Hinako, mungkin bukan berdua’an karena ada Shizune-san dan penjaga lainnya berada di sekitar kami, tapi kesannya sama saja berdua’an.

“I-I-Itu..., kapan, di mana...?”

“Aku tidak begitu mengingat waktu pastinya, tapi dengan Tennoji-san sekitar sebulan yang lalu, dan Konohana-san beberapa hari setelahnya.”

Tepatnya sih, saat aku secara implisit mengatakan kepada Tennoji-san untuk membatalkan perjodohannya.

“Saat itu kami pergi arcade.”

“A-Arcade?! K-Kalian pergi ke tempat sembrono seperti itu?!”

Bahkan Narika yang menyukai jajanan dan cukup akrab dengan kehidupan orang biasa pun tampaknya waspada terhadap arcade.

“...Gak adil.”

“Hah?”

Narika berdiri, dan berkata,

“Itu gak adil! Aku juga mau ke sana!”



close

4 Comments

Previous Post Next Post