[LN] Saijo no Osewa Volume 3 - Bab 4 Bagian 4

Bab 4 Bagian 4 (dari 5)
Porseni


Hari dimulainya porseni.

Sejumlah besar orang telah berkumpul di halaman Akademi Kekaisaran.

“Ada banyak sekali orang.”

Halaman Akademi Kekaisaran yang jauh lebih besar daripada halaman di SMA biasa dipenuhi dengan siswa-siswi serta para tamu. Meski demikian, suasananya tidak semrawut, melainkan terasa elegan dan santai. Ini mungkin karena nuansa yang bermartabat dari Akademi Kekaisaran dan para tamu yang berpakaian rapi.

“...Kupikir setengah dari mereka adalah pelayan,” ucap Hinako dari sampingku.

“Eh, jadi bukan pihak keluarganya siswa?”

“Ya... Orang tua siswa-siswi di sini biasanya sangat sibuk setiap hari.”

Sekarang setelah dia mengatakan itu, dia memang ada benarnya.

“Jadi, Kagen-san tidak datang?”

“Akulah yang datang mewakili beliau.”     

Suara yang tiba-tiba terdengar dari belakangku membuatku sangat terkejut sampai-sampai aku tersentak.

“Shi-Shizune-san, sejak kapan kau ada di sini...?”

“Aku baru saja tiba. Hari ini, aku diperintahkan Kagen-sama untuk memotret Ojou-sama.”

“Muu... Aku malu, jadi tidak usah.”

Mendengar ucapan Shizune-san yang sedang memegang kamera di tangannya, Hinako tampak sedikit tidak senang. Dan rasanya, percakapan di antara mereka terdengar layaknya percakapan di antara keluarga pada umumnya.

Mungkinkah, Shizune-san juga menyediakan layanan untuk merasakan situasi layaknya keluarga pada umumnya untuk Hinako...?

Yah, jika itu adalah Kagen-san, dia mungkin hanya ingin memastikan supaya Hinako tidak terlihat buruk... Tapi jika memungkinkan sih, aku ingin agar dia mengawasi Hinako sebagai sosok yang selayaknya sosok seorang ayah.

“Tomonari! Pertunjukkan divisi tari akan segera dimulai, jadi ayo pindah lebih ke depan!”

Dari jauh, terdengar suara Taisho memanggilku.

Shizune-san membungkuk sekali pada kami dan menuju kursi tamu, kemudian aku dan Hinako pergi ke tempat yang telah disiapkan Taisho untuk kami.

“Lihat, itu Konohana-san...”

“Bu-Buka jalan untuknya...!!!”

Kerumunan orang menyebar di sekitar Hinako.

Pada saat-saat seperti ini, jika itu adalah aku yang sebelumnya, aku mungkin akan tampak sangat menonjol, tapi——

“Tomonari-kun.”

Dengan suara yang pelan, Kita memanggilku, dan aku melambaikan tanganku kepadanya. Lebih jauh di belakang, ada juga Suminoe-san yang merupakan salah satu orang dengan kasta atas di kelas 2A. Dengan ringan Suminoe-san menundukkan kepalanya kearahku, dan aku juga memberikannya anggukan ringan.

Sekarang, tidak ada masalah.        

Aku yang saat ini bisa berada di sisi Hinako dengan sedikit lebih bermartabat daripada sebelumnya.

“Kalian, kami di sini.”

Dalam perjalanan, kami mendengar suaranya Tennoji-san dan akhirnya sampai ke tempat di mana teman-teman yang lain berada.

Pada saat yang sama, divisi tari mulai tampil.

“Oh, Asahi ada di depan toh.”

Seperti yang dibilang Tasiho, Asahi-san tampak menonjol di paling depan. Dia dan teman-temannya tengah menari dengan berpakaian kostum pemandu sorak.

Ngomong-ngomong, meskipun jumlahnya tidak banyak, tapi sepertinya baru-baru ini ada tim perusahaan pemandu sorak, dan koreografi kali ini dirancang oleh orang-orang yang terlibat dalam tim tersebut. Mungkin itulah sebabnya tarian Asahi-san dan teman-temannya begitu otentik, dan penonton yang berkumpul untuk melihat tampak sangat bersemangat.

“...Melihat dia seperti ini, Asahi imut juga, ya.”

“Kau benar. Kostum pemandu sorak itu juga terlihat cocok untuknya...”

Secara refleks, aku mengungkapkan apa yang aku pikirkan, dan saat itu juga, aku merasakan tatapan yang tajam dari segala arah. Selain itu, aku juga bisa mendengar Hinako menggumamkan “Fuun”, sedangkan Tennoji-san “Hee”, dan Narika “Muu”.

Mungkin, barusan..., aku melontarkan komentar yang ceroboh.

[Demikianlah pertunjukkan divisi tari. Dimohon para siswa untuk mulai pindah ke lapangan.]

Pertunjukkan berakhir, dan kami memberikan tepuk tangan yang meriah. Di akhir pertunjukkan tadi, rasanya sangat mengesankan melihat ekspresi Asahi-san di bagian depan tampak dipenuhi rasa pencapaian.

“Baiklah, karena aku akan bermain ski, jadi aku pergi dulu.”

“Aku juga, aku akan pergi ke lapagan polo.”

Bertanding di lapangan yang berbeda, Taisho dan Tennoji-san pergi lebih dulu karena mereka memiliki jadwal yang padat.

“Narika, apa kau baik-baik saja?” tanyaku pada Narika yang ada di sampingku.

Porseni akhirnya dimulai. Lantas, bagaimana keadaan pikiran Narika setelah dia mengalami trauma tahun lalu?

“...Aku baik-baik saja,”

Saat Narika mengatakan itu, dia meletakkan tangannya di dadanya.

“Tadi pagi, aku didekati lagi oleh teman sekelasku. Mereka bilang bahwa mereka akan mendukungku. Mungkin mereka tidak tahu apa yang kulakukan tahun lalu, tapi..., berkat mereka, aku jadi semangat,” ucap Narika, tampak gembira dan menatapku. “Ini semua berkat kamu, Itsuki. Sekarang, aku tidak takut lagi.”

“...Begitu ya.”

Tampaknya, dia cukup percaya diri untuk bersikap positif dalam mengikuti bidang yang akan dia lombakan.

Saat ini, baru hanya siswa-siswi di Kelas 2A dan 2B yang bisa dihilangkan imej buruk mereka tentang Narika. Untuk kelas C, D, dan E aku masih tidak yakin. Sebenarnya sih, aku maunya ada lebih banyak orang lagi yang mengenali Narika. Namun, itu adalah ego pribadiku, jadi aku tidak mau untuk meberitahu itu pada Narika.

“Ayo lakukan yang terbaik bersama-sama.”

“Ya! Semoga berhasil!”

Setelah berpisah dengan Narika, aku dan Hinako menuju ke lapangan untuk mengikuti perlombaan tenis.

“Ruang ganti ada di sana, ya.”

Perlombaan tenis ini akan dijalankan secara terpisah untuk pria dan wanita, dan lapangannya juga dipisahkan. Perlombaannya akan segera dimulai, dan kami akan berpartisipasi setelah pertandingan pertama selesai.

“Baiklah, Hinako, sampai jumpa nanti.”

“Mm... Aku akan menang.”

Setelah mengatakan itu dengan sikap seolah itu wajar, Hinako pergi ke ruang ganti.

Sungguh, pancaran kepercayaan dirinya sangat kuat... Sepertinya gelar juara yang dia dapat tahun lalu memang bukan sekadar isapan jempol belaka.

Aku pun juga pergi ke ruang ganti, dan setelah berganti pakaian, aku menuju ke lapangan. Ngomong-ngomong, panitia telah menyediakan sepatu dan raket untuk dipinjamkan. Tapi, saat aku berlatih dengan Narika, Shizune-san telah memberiku satu set peralatan, jadi aku menggunakan perlatan yang diberikan Shizune-san.

Dan seperti yang Narika sarankan padaku sebelumnya, aku telah berkali-kali berlatih memukul bola ke dinding di kediaman Keluarga Konohana. Berkat latihan itu, aku punya cukup kepercayaan diri dalam penguasaan bolaku.

Pertandingan pertamaku. Aku berjalan masuk ke lapangan dan menghadapi siswa yang tidak aku kenal. Serve dan Receive diundi dengan memilih antara kepala atau ekor dari raket yang diputar. Dan karena yang keluar adalah kepala yang aku pilih, aku diberi hak untuk memilih antara melakukan serve lebih dulu atau menerima receive, dan aku memilih untuk melakukan serve.

“One set match, play!”

Wasit mengumumkan dimulainya pertandingan.

Aku hanya melakukan servis datar, namun lawanku tidak dapat mengembalikannya dengan baik. Shizune-san bilang kalau para siswa di Akademi Kekasiaran mahir dalam akademik maupun olahraga. Namun demikian, ada beberap siswa, seperti Kita, tidak mahir dalam olahraga. Mungkin, lawanku kali ini adalah salah satu siswa yang seperti itu.

Meski begitu, aku tetap tidak boleh lengah.

Kalau aku memukul bola ke kiri dan ke kanan, aku bisa membuat lawanku lelah...

Aku mengembalikan bola sambil mengingat dasar-dasar yang diajarkan Narika kepadaku. Tujuanku adalah membuat lawan terus berlari, jadi sebisa mungkin, aku tidak boleh memukul bola ke tengah, tapi pukul ke kiri dan ke kanan.

Sementara pertandingan terus berlangsung, lawanku mulai terlihat kelelahan, dan pada akhirnya hampir tidak bisa bergerak.

“Game set!”

Wasit mengumumkan berakhirnya pertandingan.

Hasinya, aku menang.

“——Yosh!”

Secara refleks aku melakukan guts pose.

Kalau aku tidak diajari oleh Narika, aku pasti akan kalah di pertandingan pertamaku. Bisa dibilang, ini adalah momen di mana kerja kerasku membuahkan hasil.

Setelah meninggalkan lapangan, aku langsung menuju ke tempat pertemuan dengan Hinako.

Di bangku di bawah naungan di belakang gedung sekolah, ada seorang gadis muda yang cantik sedang duduk.

“Hinako, jadi pertandingamu juga sudah selesai, ya.”

“Mm... V.

Hinako menunjukkan simbol V dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

V  dari Victory... Itu artinya, dia menang.

“Kita masih punya waktu sebelum pertandingan kita berikutnya dimulai, jadi mengapa kita tidak berkeliling saja?”

Menanggapi saranku, Hinako menganggukkan kepalanya.

JIka kami hanya duduk dan membiarkan tubuh kami menjadi dingin, itu akan berdampak buruk pada pertandingan kami berikutnya. Karenanya, lebih baik kami melihat-lihat pertandingan lain sambil menenangkan diri kami.

“Ngomong-ngomong..., Itsuki.”

“Hm?”

Hinako berdiri dan menatapku dengan sikap yang aneh.

“...Gimana menurutmu?”

Mengatakan itu, Hinako berputar 360 derajat di depanku.

Aku tidak tahu apa yang dia ingin aku lihat, tapi..., setelah memikirkannya sebentar, aku sadar.

“Kalau dilihat-lihat, sepertinya berat badanmu sudah turun.”

“Ap—...?!”

Sial, aku salah, pikirku, tapi itu sudah terlambat saat Hinako mendekatiku dan menendang tulang keringku.

“Da-Dasar gak peka...”

“Ma-Maaf. Kau kelihatannya ingin aku mengatakan sesuatu, jadi kupikir itu yang kau maksud...”

Setelah menendang tulang keringku, Hinako menyembunyikan lengan atasnya serta perutnya dengan kedua tangannya supaya aku tidak bisa melihat bentuk tubuhnya.

Sekali lagi, aku memikirkan apa yang Hinako ingin aku katakan.

Karena dia sampai melakukan putaran 360 derajat di depanku, maka ini pasti tentang penampilannya.

Jika demikian, mungkinkah——

“Erm... Pakaian itu terlihat cocok untukmu.’

“...Lambat.”

Sepertinya, dia memang ingin memamerkan pakaian tenis yang dia kenakan kepadaku.

Pakaian tenis yang dia kenakan saat ini berbeda dengan yang dulu dia kenakan saat kami berlatih bersama sebelumnya. Kali ini, atasan dan bawahnnya semuanya berwarna putih, memberikan kesan yang lebih rapi dibandingkan dengan pakaian tenis yang dia kenakan saat latihan.

“Sebelumnya aku sudah memujimu saat memakai pakaian tenis, jadi kupikir itu sudah cukup.”

Saat aku mengatakan itu, pipi Hinako tampak sedikit memerah.

“...Puji aku, sebanyak mungkin,” gumamnya, dengan suara yang pelan.

Entah mengapa dia terdengar memaksakan dirinya mengatakan itu..., meski begitu, aku tetap mengangguk melihat tingkahnya yang seperti anak kecil yang tak bisa mengendalikan perasannya.

Sungguh, masih ada banyak sisinya Hinako yang belum aku ketahui.

---

“Ada banyak sekali ya perlombaan yang diselenggarakan.”

Di antara kerumunan penonton, aku dan Hinako menyaksikan berbagai perlombaan. Bisbol, basket, sepak bola, dan olahraga yang tidak asing bagi orang biasa sepertiku pun juga diperlombakan.

“Kalau bisa aku ingin melihat perlombaannya Tennoji-san dan Taisho, tapi...”

“...Kalau mau lihat itu, di sana,” ucap Hinako, menunjuk ke arah gedung sekolah, tepatnya ke kantor panitia penyelenggara porseni.

Di depan bangunan itu, teradapat monitor besar yang berjajar.

“Siaran langsung, ya.”

Rupanya, perlombaan yang diadakan di lapangan lain dapat ditonton melalui monitor di sini.

Monitor di sudut kanan atas menyiarkan permukaan gunung yang luas, dan jika diperhatikan baik-baik, bisa terlihat para siswa sedang bermain ski atas matras hijau yang tersebar di permukaan.

[Jangan remehkan Taisho ini!!!]

Dari speaker, terdengar suara Taisho yang nyaring.

[Yamato sang Shiba Inu, mohon sportivitasnya!!!]

[Si Kilat Sayama, Fight!!!]

Tiga siswa tersebut menuruni gunung dengan kecepatan yang luar biasa.

Sebelumnya Taisho bilang karena lereng yang digunakan dalam lomba ski adalah lereng ski musim panas, jadi kecepatan yang bisa didapatkan tidak akan terlalu cepat, tapi..., mau dilihat dari manapun, itu sangatlah cepat.

“Hoo, sepertinya tahun ini anakmu yang akan menang.”

“Tidak, tidak, anakmu sepertinya sangat terlatih...”

“Kalau dipikir-pikir, kita masih berdebat tentang perluasan kantor penjualan berikutnya, bukan? Jadi, bagaimana menurutmu? Yang memenangkan pertandingan ini akan mendapatkan lokasi yang diingkan...”

Pria berjas sedang berbicara satu sama lain sambil menonton monitor.

Mendengar percakapan mereka membuatku merasa kalau aku melangkah ke area yang menakutkan, jadi aku sedikit menjauh dan melihat ke monitor lain. Di monitor itu, aku mendengar suara yang terdengar menonjol.

[Ohohoho!! Ohohoho!!]

Seorang Ojou-sama berambut bor pirang menunggangi kuda yang berlari bebas melintasi rumput.

Itu adalah Tennoji-san yang berlomba di olahraga polo, dan dia benar-benar tak tertandingi.

“...Dia terlihat bersenang-senang.”

“...Dia bersinar.”

Hinako sedikit menganggukkan kepalanya pada Tennoji-san yang menampilkan permainan yang gemilang dengan keringat yang berkilauan.

Kelihatannya, tiap-tiap orang menikmati porseni ini.

“Ayo kita lihat Narika juga.”

Mengingat satu-satunya gadis yang tidak diketahui pasti apakah dia akan menikmati event ini atau tidak, kami menuju ke gedung olarhaga tempat pertandingan kendo diselenggarakan.

“Poin!!”

Suara wasit menggema di gedung olahraga.

Mana ya Narika... Dia tidak kelihatan.

Melihat sekeliling aula, aku tidak dapat menemukan Narika. Namun, dari melihat table trunamen yang dipasang di dinding, kelihatannya sejauh ini Narika menang dengan mulus. Yah, dari awal sih aku memang tidak ragu kalau Narika akan menang.

Apa yang kukhawatirkan di sini adalah penilaian dari orang-orang sekitar terhadap Narika. Tapi, karena Narika tidak kelihatan dan pertandingan masih dalam tahap awal, jadi sepertinya saat ini masih belum ada yang membicarakan apa-apa tentang Narika.

“Masih ada beberapa waktu lagi sampai pertandingan kita selanjutnya dimulai,” ucapku, saat melihat jam di aula.

Tadi kami pergi dari bangku di belakang gedung sekolah, jadi akan merepotkan untuk kembali ke sana dan beristirahat di sana.

“...Kupikir kita dibolehin istirahat di dalam kelas.”

“Begitukah? Baiklah, ayo ke sana.”

Dengan demikian, aku memasuki gedung sekolah bersama Hinako. Dan tepat seperti yang dia katakan, kulihat ada beberapa siswa juga yang sedang istirahat di dalam kelas. Meski demikian, sama seperti kami sebelumnya, sebagian besar dari mereka juga pasti telah menikmati melihat-lihat olahraga yang diperlombakan. Ruang kelas terisolasi dari kebisingan di luar, jadi ini tempat yang baik bagi mereka yang ingin menenangkan diri setelah menikmati menonton perlombaan.

“E-Erm, Konohana-san!’

Saat berjalan menyusuri lorong, seorang siswi keluar dari kelasnya dan mendekati Hinako.

Aku tidak kenal dengan siswi itu, dan reaksi yang Hinako tunjukkan pun juga sama sepertiku.

Namun, dengan sikap yang berani, siswi itu menatap Hinako.

“Kau ingin mengabaikannya?”

“...Tidak, aku akan menghampirinya.” Terhadap pertanyaan yang kutanya dengan pelan, Hinako menggelengkan kepalanya. “Soalnya, Miyakojima-san juga..., sedang berjuang keras.”

Dengan mengatakan itu, Hinako menghampiri siswi itu.

‘Kau bermain dengan luar biasa!’, ‘Aku terkesan!’, ‘Apa tahun ini juga kau bertujuan untuk menang?!’, terdengar jenis-jenis dialog seperti itu diantara mereka.  Dan karena aku tidak ingin menggangu obrolan mereka, jadi aku naik tangga dan pindah ke posisi di mana aku tidak bisa dilihat oleh mereka.

“Itsuki?”

Saat aku sedang melihat pemandangan di luar dari lorong di lantai atas, seseorang memanggilku.

“Narika?”  Di sana, ada Narika yang mengenakan hakama. “Apa kau juga sedang istirahat?”

“Ya. Aku sedang menunggu pertandinganku selanjutnya, jadi aku keliling sebentar.”

Sepertinya situasi kami serupa.

“Tadi kulihat di table turnamen kau sepertinya berhasil menang dengan mulus... Apa jarimu yang cedera sudah baik-baik saja?

“Ya. Kupikir aku bisa menang lagi tahun ini.”

“Kalau kau terlalu percaya diri dan lengah, kau akan terjatuh loh.”

“Aku tidak akan lengah. Secara objektif, kupikir aku dalam kondisi yang baik hari ini.”

Oh, maka baguslah kalau begitu.

Sementara kami sedang ngobrol-ngobrol, tiba-tiba aku kepikiran sesuatu.

“Sungguh, padahal kalau kita hanya berduaan seperti ini, kau bisa berbicara dengan mudah denganku.”

“...Ugh.” Dengan canggung, Narika mengalihkan pandangannya dariku. “Ta-Tapi, tidak salah lagi kalau aku sudah membuat kemajuan! Jika itu aku setahun yang lalu, aku bahkan tidak bisa berjalan-jalan seperti ini karena gelisah dengan cara orang-orang memandangku...”

“Memangnya pas tahun lalu apa yang kau lakukan?”

“...Mengurung diri di toilet.”

Tau gini harusnya aku tidak menanyainya..., sungguh cerita yang menyedihkan.

“Kalau kau masih punya waktu sampai pertandinganmu selanjutnya dimulai, mau jalan-jalan? Konohana-san juga ikut.”

“Aku mau banget sih... Cuman kendo adalah pertandingan yang berlangsung dengan cepat. Jadi kurasa tidak bisa.”

Apa boleh buat kalau memang begitu. Lagian, aku dan Hinako juga sudah menonton perlombaan-perlombaan lain, dan saat ini pun kami hanya sedang mengisi waktu luang saja. Selain itu, pada akhirnya kami tidak akan bisa berlama-lama bersama.

“Sungguh, kau telah banyak membantuku, Itsuki... Kalau aku tidak berkonsultasi denganmu, aku yakin aku masih takut dengan porseni,” ucap Narika.

Terhadap ucapannya itu, aku menggelengkan kepalaku.

“Ini bukan berkatku. Kau lah yang terus melalukan yang terbaik yang bisa kau lakukan.”

Mata Narika membelalak.

“Konohana-san pun juga mengakui kerja kerasmu... Jadi tidak hanya aku saja, semua orang mengakui kerja kerasmu akhir-akhir ini. Karenanya, kau harus lebih bangga pada dirimu sendiri——”

Setelah mengatakan itu, tiba-tiba aku merasa kalau apa yang kukatakan barusan kurang tepat. Soalanya, apakah cuman akhir-akhir ini saja narika berjuang mati-matian?

“...Tidak, yang tadi itu kurang tepat.” Aku mengkoreksi perkataanku sebelumnya. “Selama ini kau telah terus melakukan yang terbaik, bukan?”

“——”

Narika tampak terkejut.

Mengapa aku tidak pernah mengatakan ini padanya sebelumnya?

Bukan hanya akhir-akhir ini saja, tapi aku yakin Narika pasti telah bekerja keras tanpa sepengetahuanku. Dan karena selama ini dia telah bekerja keras lah, dia jadi bergumul seperti ini.

“Jika demikian, itu semakin mempertegas kalau semua ini bukanlah karena aku... Kau telah berusaha sebaik mungkin sejak aku masih tidak mengetahui pergumulanmu. Dan saat ini lah, usahamu selama ini akhirnya membuahkan hasil.”

Dia punya pilihan untuk menyerah, berhenti berharap pada orang lain, dan hidup dalam kesendirian.

Namun, Narika tidak memilih satu pun pilihan yang seperti itu.

Lantas, apakah dia yang seperti itu karena dia lemah?

Tidak, itu justru sebaliknya.

Narika, seorang gadis yang sering disalahpahami dan menderita banyak kemalangan, namun yakin bahwa dia bisa berhasil selama dia terus berusaha sebaik mungkin...,  tidak diragukan lagi merupakan orang yang memiliki hati yang kuat.

“Kau telah berusaha dengan baik... Meskipun kau telah disalahpahami dalam banyak hal, tapi kau tetap tidak menyerah.”

Emosi di dadaku membuat tubuhku bergerak mengelus kepala kecil di depanku dengan lembut.

“Uuu...”

Isak tangis keluar dari mulut Narika.

“...Narika?”

“Ti-Tidak ada apa-apa... U-Untuk sementara, jangan menatapku dulu.”

Mengatakan itu, Narika memunggungiku.

“Itu curang... Kau itu, selalu saja..., suka menyerang dengan mendadak...”

“...Maaf.”

Melihat punggungnya tampak sedikit bergetar, aku bisa tahu kalau ucapannya itu tidak dia maksudkan untuk melecehkanku.

Setelah menunggu beberapa saat, Narika berbalik kembali menghadapku.

“Apa kau sudah tenang?”

“...Ya.”

Meski matanya masih terlihat agak sedikit merah, tapi memang benar kalau dia sudah tenang, dan dia menatap lurus ke arahku.

“Sedikit demi sedikit, kuharap akan ada semakin banyak orang yang menjadi spesial untukmu, Narika.”

“...Spesial?”

“Dulu, kau bilang padaku kalau cuman aku yang spesial untukmu, kan? Itu sebabnya, kupikir akan lebih baik jika kau bisa memiliki lebih banyak orang yang bisa kau hadapi seperti ketika kau berhadapan denganku.”

Saat itu aku terkejut ketika Narika menyebutku spesial baginya, tapi aku yakin dia tidak bermaksud lebih dalam. Dengan kata lain, bagi Narika, saat ini hanya aku bisa dia percayai. Jika demikian, alangkah baiknya jika pada akhirnya keberadaanku tidak lagi menjadi satu-satunya yang spesial baginya, melainkan menjadi keberadaan biasa seperti orang lain pada umumnya.

Saat ini, situasinya memang tidak bisa disebut bahwa selangkah kemajuan lagi akan cukup, tapi Narika pasti akan bisa melakukan dan melaluinya dengan baik.

“Itsuki, tentang itu...”

Narika mencoba mengatakan sesuatu, tapi kemudian aku teringat dengan Hinako di lantai bawah.

“Maaf. Konohana-san menungguku di dekat sini, jadi sebaiknya aku pergi.”

Kami berbicara lebih lama daripada yang kuduga, dan aku yakin Hinako pasti sudah selesai berbicara dengan siswi sebelumnya. Karenanya, akan lebih baik untuk berkumpul kembali dengannya di sekitar sini.

Aku berbalik dan menuju ke bawah. Namun, di tengah perjalanan..., bajuku ditarik.

“...Tunggu.”

Narika menarik pakaianku dengan kedua tangannya.

“Narika...?”

---

Narika tidak bisa melihat langsung ke wajah Itsuki saat pemuda itu memanggil namanya. Bagaimanapun juga, hampir secara refleks, dia menghentikan Itsuki yang hendak pergi. Dan ketika dia tersadar, itu sudah terlambat. Karenanya, melihat bahwa Itsuki sedang menatapnya dengan ekspresi bingung, dia jadi buru-buru menundukkan wajahnya.

Biasanya, Narika hanya akan melihat Itsuki pergi tanpa melakukan apa-apa. Jika sekarang dia mengatakan, “Tidak ada apa-apa, sampai jumpa,” itu masih belum terlambat, dan dengan demikian mereka dapat kembali ke kehidupan normal mereka seolah-olah tidak ada yang terjadi.

Namun... Narika berpikir bahwa dia harus menghentikannya. Dia berpikir bahwa setidaknya dia harus meluruskan kesalahpahaman yang Itsuki mliki.

“Erm, kau masih belum tenang?” tanya Itsuki, bingung.

“...Kau salah,” Narika menggelengkan kepalanya, kemudian menghadap ke bawah. “Kau salah, Itsuki... Kau salah.”

Salah yang dimaksud Narika bukanlah tentang apa dia sudah tenang atau tidak. Apa yang gadis itu sangkal adalah apa yang dikatakan Itsuki sebelumnya.

“Berkat bantuanmu, aku bisa berbicara dengan banyak orang,” dengan pelan, Narika berbicara. “Konohana-san, Tennoji-san, Taisho-kun, Asahi-san..., dan baru baru ini, Kita-kun dan yang lainnya, aku bisa berbicara dengan mereka.”

Mendengar itu, Itsuki mengangguk.

“Tapi, bagiku, kamu itu——”

Setelah mengatakan sejauh itu, Narika tersadar.

Ya, benar. Ini persis seperti yang kupikirkan.

Menyebut nama orang lain tidaklah memunculkan perasaan yang dia rasakan saat ini di hatinya.

Hatinya merasa hangat hanya ketika dia menyebut nama Itsuki.

Dia merasa aman, percaya, dan kemudian—merasa bahagia dan juga sedih.

Dia yakin, apa yang membuatnya sedih adalah karena dia merasa kompleks tentang dirinya sendiri.

Dia terus-menerus merepotkan Itsuki.

Dia terus-menerus membuatku Itsuki mencemaskannya,

Dia tidak ingin membuat Itsuki lebih kerepotan lagi dari saat ini.

Karenanya, dia memutuskan untuk menahan perasaan tersebut sampai setidaknya dia tumbuh lebih dewasa.

Meski begitu..., dia tidak bisa menahannya.

Tidak, lebih tepatnya saat ini dia tidak boleh menahannya.

Dia merasa bahwa jika dia tidak meluruskan kesalahpahaman Itsuki di sini, dia pasti akan menyesalinya.

Bagaimanapun juga, Itsuki juga memiliki sisi yang kurang peka.

Jika dia tidak memberitahu Itsuki dengan benar—pemuda itu tidak akan bisa tahu apa yang dia rasakan.

“I-Itsuki! Bagiku..., bagiku...!”

Dia mendongak dan menatap Itsuki.

Meskipun dia memiliki begitu banyak hal yang dia ingin katakan, tapi dia tidak bisa menyampaikan kata-katanya dengan baik. Dia benar-benar membenci dirinya sendiri karena menjadi orang yang sulit berkomunikasi.

Meski begitu, Itsuki menunggunya dengan sabar.

——Kebaikan itulah.

Kebaikan seperti itu adalah kebaikan yang hanya dimiliki oleh Itsuki.

Narika tahu itu dengan pasti karena dia sudah merasakannya dari sejak mereka masih kecil hingga saat ini. Itu tak terbantahkan.

Karenanya, bagi Narika Miyakojima, Itsuki adalah——

“Bagiku... Cuman kamu saja, Itsuki!”

Perasaannya mengambil alih dirinya.             

Meski begitu, dia yakin Itsuki pasti akan menunggunya.

Kepercayaan itu mendorongnya maju.

Perasannya berubah menjadi kata-kata dan meluap-luap.

“Sekalipun di masa depan nanti aku memiliki banyak teman..., bagiku cuman kamu yang spesial! ——Selamanya, cuman kamu yang spesial bagiku, Itsuki!”

Wajahnya panas membara.

Perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata tumpah dengan melalui air mata.

“Itu sebabanya, aku tidak akan pernah bisa membuat keberadaan yang sama sepertimu... Kumohon, tolong jangan lupakan itu!”

Perasaan yang meggebu-gebu di dadanya perlahan mereda.

Dulu dan saat ini, perasaan itu masihlah sama.  Karenanya, dia yakin bahwa kedepannya pun perasaan itu pasti akan tetap sma.

Dia yakin Itsuki pasti merasa bingung.

Dia berpikir bahwa dirinya terlihat menyedihkan.

Namun, dia tidak menyesal.

Bagi Narika—ini adalah satu-satunya hal yang harus dia katakan pada Itsuki.



close

4 Comments

  1. Aaaaaa
    Narika memberi serangan telak, bung...

    ReplyDelete
  2. Yaaah padahal lagi seru tiba-tiba cliffhanger πŸ˜‚

    Makasi uploadnya min 😊

    ReplyDelete
  3. Bjir confess duluan nich ಑ ͜ Κ– ಑

    ReplyDelete
Previous Post Next Post