Bab 4 Bagian 5 (dari 5)
Porseni
Setelah berpisah dengan Narika, aku melihat ke belakangku sekali lagi sebelum aku menuruni tangga.
Narika, dia sudah pergi... Tapi, bahkan jika dia masih di sini, apa yang harus kukatakan padanya?
Eskpresi serius yang tadi Narika tunjukkan terbakar jelas di mataku. Saat aku menuruni tangga selangkah demi selangkah, aku tidak merasa bahwa aku sedang berjalan. Rasanya seperti aku sedang melayang..., seolah-olah aku tersesat ke dalam jurang mimpi.
“...Itsuki?”
Tiba-tiba, ada seorang yang memanggil namaku.
“Hinako, ya.”
Tau-tau saja, kudapati bahwa Hinako sudah berdiri di depanku.
Tampaknya, tanpa sadar aku berjalan ke tempat Hinako berada.
“...Ada apa? Kulihat kau sepertinya sedang melamunkan sesuatu...”
“Tidak, bukan sesuatu yang pent—...”
Saat aku hendak menjawabnya, secara refleks aku langsung berhenti.
Masalah ini, jelas merupakan sesuatu yang penting, bukan? Sesuatu seperti ini tidak bisa disebut sebagai bukan sesuatu yang penting.
“...Yah, tadi ada sesuatu yang penting terjadi.”
“Penting...?”
“Ya... Sesuatu yang sangat, sangat penting.”
Baik itu bagiku, maupun juga bagi Narika.
Percakapan singkat yang tadi kami lakukan itu sangatlah penting.
Kumohon, tolong jangan lupakan itu..., ya?
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan itu? Justru, aku akan mengingat apa yang terjadi barusan selama-lamanya.
“...Tanggung jawab ini sungguh besar.”
Cuman aku yang spesial, ya...? Sepertinya, tanpa kusadari aku telah duduk di kursi yang sangat istimewa. Aku yakin, itu pasti perasaan yang bahkan Narika pribadi tidak bisa sepenuhnya memilahnya. Dan setelah mendengar itu, aku sendiri pun juga masih belum bisa menafsirkan kata-kata Narika dengan baik.
Meski demikian, Narika merasa bahwa dia harus mengatakan itu kepadaku. Dalam hal ini, aku jelas tidak boleh mengabaikan perasaannya itu.
“...Baiklah.”
Aku menetapkan pemikiranku.
Ada banyak hal yang harus aku hadapi. Namun saat ini, aku adalah pengurusnya Hinako. Karenanya, itu bukan pemikiran yang baik untuk mengalihkan pandanganku dari apa yang ada di depanku.
“Sebentar lagi putaran kedua akan dimulai. Ayo kembali.”
“Mm.”
Kami kembali ke lapangan tenis. Dan seperti yang kuduga, putaran kedua akan segera dimulai. Kalau misalnya kami terlambat sepuluh menit, kami mungkin akan didiskualifikasi. Yah, kalau aku yang didiskualifikasi sih mungkin tidak apa-apa, tapi kalau Hinako yang didiskualifikasi, itu akan menimbulkan masalah bagi banyak orang.
“Baiklah, sampai ketemu lagi, Hinako.”
“Mm... Lakukanlah yang terbaik, Itsuki.”
Aku berpisah dengan Hinako dan memasuki lapangan.
Sebelum memulai pertandingan, sudah merupakan kebiasaan untuk berjabat tangan dengan lawan di seberang net, jadi aku menuju net sambil memegang raketku.
“Seperti biasanya, kau suka sekali menjilat orang lain.”
Di depanku, berdiri siswa yang tidak asing.
“Kau ‘kan...”
Tidak mungkin aku melupakannya.
Dia adalah siswa yang dulu bersikap dingin pada Narika..., juga siswa yang membuatku sadar dengan masalah hubungan sosialku di Akademi Kekaisaran.
Dengan perasaan yang campur aduk di hatiku, kami berjabat tangan dan menentukan siapa yang akan melakukan serve.
“One set match, play!”
Kali ini, pertandingan dimulai dengan aku yang menerima receive.
Sambil menerima servis tajam yang hampir tidak bisa kukembalikan, aku mengingat apa yang terjadi beberapa hari yang lalu.
Siswa ini membuatku memikirkan kembali posisiku di Akademi Kekaisaran. Dan untuk hal itu, aku ingin berterima kasih kepadanya. Namun, harus kuakui juga bahwa aku masih belum bisa memaafkannya atas sikapnya yang dingin terhadap Narika. Sekalipun dia seperti itu karena mempertimbangkan keluarganya, tetap saja itu tidak bisa menjadi alasan baginya untuk menyakiti seseorang.
“Aku tidak akan kalah dari orang sepertimu...!”
Dia mendapatkan servis. Jika demikian, sekalipun aku mati, aku tidak akan memberikannya service game. Dia tampaknya memiliki keunggulan dalam hal teknik, tapi aku memiliki keunggulan dalam hal kekuatan fisik. Akan lebih baik bagiku jika aku tidak mencoba memaksakan diri untuk mencetak poin, tapi mencoba membuat lawanku untuk melakukan kesalahan dengan terus bertahan.
“Keras kepala sekali kau ini...!”
Siswa itu mulai bermain tidak sabaran dan membuat lebih banyak kesalahan.
Aku sendiri juga sudah mendekati batasan dari kekuatan fisikku, tapi——
——Bagiku cuman kamu yang spesial, Itsuki!
Kata-kata Narika terngiang di kepalaku.
Setidaknya sekali saja, aku ingin balas dendam pada siswa yang bersikap dingin terhadap Narika ini. Tentunya, itu kulakukan bukan untuk Narika, tapi sepenuhnya untuk diriku sendiri. Namun, aku merasa seperti aku diberitahu oleh Narika untuk tidak perlu membalasnya. Bagaimanapun juga, aku tidak bisa bersikap bagaikan orang asing terhadap Narika.
Pertandingan kami begitu kompetitif, dan dibawa sampai ke tie-break, hingga kemudian——
“Game set!”
Pertandingan berakhir.
Hasilnya adalah..., kemenanganku.
“Ha, ha..., lumayan juga, kau...”
“Terima, kasih...”
Di akhir, kami sekali lagi mendekati net dan membungkuk satu sama lain.
Mungkin karena kami berkeringat bersama, atau karena aku sangat lelah sampai-sampai kemarahanku hilang, tapi saat ini aku tidak memiliki perasaan buruk terhadap siswa ini.
“Hei, katakan padaku satu hal,” ucap siswa itu, masih tampak ngos-ngosan. “Kau..., apa hubunganmu dengan Konohana-san?”
Untuk sesaat, aku kehilangan kata-kata pada pertanyaan itu. Apalagi, ekspresinya tampak canggung dan malu saat dia menanyakan itu.
Melihat itu, aku menduga satu kemungkinan.
“Erm, mungkinkah..., kau menyukai Konohana-san...?”
“...Jawab saja pertanyaanku,” ucap pria itu, seolah-olah ingin mengalihkan kecanggungannya.
Sebenarnya saat ini aku sangat lelah sampai-sampai ingin rebahan dan tidur sekarang juga, tapi entah bagaimana aku berhasil menganggukkan kepalaku.
“Hanya hubungan karena koneksi antara orang tua kami.”
“Kalau itu aku tahu. Tapi jika hanya hubungan dengan Grup Konohana, ada banyak orang lain yang juga demikian. Namun, cuman kamu satu-satunya yang kelihatan sangat dekat dengan Konohana-san.”
Karena dia tahu bahwa aku dan Hinako berhubungan satu sama lain melalui koneksi orang tua, mungkin siswa ini telah melakukan banyak penyelidikan tentang hubungan antara aku dan Hinako. Kalau sudah begini, dugaanku berubah menjadi kepastian. Siswa ini, dia mungkin memang suka pada Hinako. Itulah sebabnya juga dia sangat mengenalku, dan dia mungkin menganggapku sebagai musuhnya.
“Baiklah, tapi tolong jangan beritahu siapa pun... Sebenarnya, atas arahan orang tuaku, aku kerja di Keluarga Konohana.”
“Kerja? Maksudmu jadi pelayan?”
“Ini lebih seperti magang. Aku tidak terlalu terbiasa bersikap selayaknya orang kelas katas, makanya aku diurus oleh Keluarga Konohana.”
Yah, sebenarnya sih justru aku lah yang mengurus tuan putri Keluarga Konohana. Tapi yang jelas, apa yang kukatakan barusan mengandung beberapa kebohongan. Namun, itu lebih dekat dengan kebenaran daripada tidak mengatakan apa-apa.
“...Begitu ya,”
Siswa itu tampak mengerti.
“Tomonari... Aku akan megatakan ini,” dengan raut wajah yang tampak kesulitan, siswa itu berkata, “...Kurasa aku tidak bisa menyukaimu.”
“...Itu disayangkan, tapi aku mengerti.”
Aku sama sekali tidak keberatan dengan itu.
Lagian, itu sama sekali tak terhindari.
Bagi sisiwa ini, aku dia lihat sebagai saingan cintanya.
“Tapi... Nanti aku akan meminta maaf pada Miyakojima-san.”
Mengatakan itu, siswa itu pergi dari lapangan.
Kata-kata terakhirnya tadi itu cukup mengejutkan..., tapi dia pribadi pasti juga sadar kalau dia memang salah.
Sikap dinginnya terhadap Narika sebelumnya bukanlah murni karena kebencian.
Mengetahui itu saja, aku sudah merasa senang.
Aku meninggalkan lapangan dan bergabung kembali dengan Hinako di bangku di belakang gedung akademi.
“Apa kau menang, Hinako?”
“Mm.”
Seperti sebelumnya, Hinako menampilkan simbol V.
Namun tidak sepertiku, dia kelihatan masih memiliki banyak energi yang tersisa di tubuhnya.
“Itsuki..., kau baik-baik saja?”
“Begitulah... Tapi yah, kurasa tidak, sejujurnya aku butuh sedikit istirahat...”
Aku duduk di bangku dan mengatur pernapasanku.
Tenis adalah olahraga yang lebih sulit daripada yang terlihat. Aku harus terus berlari melintasi lapangan yang luas sendirian. Apalagi, pertandingan yang sebelumnya kumainkan memakan waktu sampai satu jam, jadi aku lelah baik dalam mental maupun fisik.
Itu sebabnya, sebisa mungkin aku ingin beristirahat, tapi....
“...Tapi, putaran ketiga akan segera dimulai loh.”
“...Eh?”
Wajahku langung berkedut.
Seperti yang akan kusadari nantinya, kecepatan pertandingan turnamen menjadi jauh lebih cepat karena jumlah pemain yang tersisa berkurang saat mereka menang. Itu membuat ada lapangan yang tidak terpakai, jadi aku langsung masuk ke putaran ketiga.
Dan hasil pertandingan itu adalah——
“...Jangan terlalu dipikirkan.”
“Hah, hah, hah, sial...”
Lawan yang kuhadapi di putaran ketiga adalah lawan yang kuat, dan aku kalah tanpa bisa melakukan apa-apa.
Ngomong-ngomong, beberapa jam kemudian, Hinako keluar sebagai juara di divisinya.
---
Kompetisi tenis telah selesai.
Hinako, yang menjadi juara di divisi wanita, menyerahkan sertifikat yang dia terima kepada Shizune-san dan menghampiriku.
“Fiuuh... Lelahnya.”
Dengan berakhirnya pertandingannya, Hinako menjadi lebih rileks.
Nah, sebenarnya sih tidak buruk bagi kami berdua untuk bersantai seperti ini, tapi..., hanya untuk hari ini, aku tidak bisa tidak memikirkan seorang gadis lain.
“Hinako, boleh tidak kalau aku pergi menonton pertandingan kendo?”
“Mm... Aku juga penasaran.”
Tampaknya, Hinako juga mengkhawatirkan Narika.
Kalau segala sesuatunya berjalan lancar, kompetisi kendo harusnya selesai lebih awal dari kompetesi tenis. Karenanya, mungkin kompetisi kendo sudal selesai, tapi untuk memastikannya, aku akan memeriksanya.
Saat aku mengunjungi gedung olahraga, kompetisi kendo masih sementara berlangsung.
Pertandingannya berjalan lebih lambat dari yang kukira.
Melihat tabel turnamen, tampaknya babak semifinal sedang berlangsung.
“Erm, apa ada sesuatu yang terjadi?”
Aku bertanya kepada salah satu siswa yang menonton di dekatku tentang alasan mengapa kemajuan pertandingan di kompetisi ini lebih lambat.
“Di tengah-tengah pertandingan tadi ada masalah dengan sistem pendingin udara, jadi mereka harus menghentikan pertandingan untuk sementara. Itu sebabnya, kompetisi kendo satu-satunya yang lambat dalam kemajuan pertandingannya.”
Ooh, jadi begitu ya.
Pantas saja ada banyak orang yang berkumpul di isni.
Sebagian besar kompetisi lain pasti sudah selesai. Dengan demikian, satu demi satu siswa-siswi yang gabut datang berkumpul di gedung olahraga ini.
“—Pertandingan selesai!”
Kedengarannya, satu pertandingan telah selesai.
Selanjutnya, akan dimulai pertandingan semifinal lainnya.
Seorang gadis yang tidak asing bagiku muncul di arena. Dia adalah seorang gadis berambut hitam dan menampilkan ekspresi yang tampak bermartabat.
“...Narika.”
Tiba-tiba, Narika melihat ke arahku. Karena Hinako sangat menonjol di sini, kurasa dia bisa dengan mudah menemukanku di sebelah Hinako.
“...”
Saat tatapan kami bertemu, Narika langsung membuang muka.
Pipinya bersemu merah..., dan tentunya, aku juga demikian.
“...Apa ada yang terjadi antara kamu dan Miyakojima-san, Itsuki?”
“Ti-Tidak, tidak ada apa-apa...”
“Mencurigakan...”
Hinako menatapku, tapi aku hanya tetap diam.
Di depan pandanganku, Narika membungkus kepalanya dengan handuk dengan gerakan yang tampak terbiasa. Setelah itu, dia mengambil napas napas dalam-dalam, dan kemudian—matanya menyipit tajam.
...Tingkat konsentrasi itu juga merupakan salah satu pesonanya Narika.
Di dalam benakanya, dia pasti sudah menyalakan saklarnya.
Tidaklah belebihan untuk mengatakan bahwa saat ini Narika memancarkan aura yang disebut Haki, aura yang berbeda dari keanggunan yang dipancarkan oleh Tennoji-san. Narika saat ini begitu bermartabat sampai-sampai sulit dipercaya bahwa dia berasal dari generasi yang sama dengan kami.
“—Mulai!”
Wasit memberi tanda dimulainya pertandingan.
Dalam diam, Narika dan lawannya saling mengawasi satu sama lain.
...Sepertinya tidak ada masalah dengan kondisinya.
Aku teringat percakapan yang kami lakukan di lorong beberapa jam yang lalu. Aku khawatir kalau itu akan mengganggu kondisinya, tapi sepertinya aku tidak perlu khawatir tentang itu. Justru, mungkin karena percakapan itu, tidak ada keraguan sama sekali dalam gerakannya Narika.
“Hei, Miyakojima-san itu, mungkinkah dia hanya ingin punya teman?”
Pada saat itu, dari dekatku aku mendengar obrolan seperti itu.
“Eh, mengapa kamu berpikir begitu?”
“Kenalanku di kelas B cerita kalau akhir-akhir ini Miyakojima-san menjadi lebih ramah. Dan kalau dipikir-pikir kembali, sebelum-sebelumnya dia juga berperilaku seperti itu, jadi mungkin saja...”
“Hmm, tapi...”
Sejak awal Narika sudah ramah, bukan menjadi lebih ramah.
Hanya saja, perasaan Narika yang sebenarnya itu masih belum bisa tersampaikan.
“Hei, apa itu Miyakojima-san yang dirumorkan...?”
“Dia sama menakutkannya dengan penampilannya....”
Seperti yang kupikirkan, Narika terkenal di akademi.
Hanya dengan duduk diam di sini saja, aku bisa mendengar berbagai orang membicarakan tentangnya.
Ini buruk... karena bertambahnya jumlah orang, suasana yang memperburuk imej Narika jadi muncul...
Upaya Narika selama beberapa hari terakhir telah mengubah imejnya sampai pada batasan tertentu. Namun, imej baru itu belum menyebar ke seluruh akademi. Siswa-siswi yang mulai menerima Narika dengan baik masih merupakan minoritas dari total keseluruhan akademi.
Di gedung olahraga, tempat di mana orang-orang berkumpul satu demi satu, Narika mengayunkan pedang bambunya secara vertikal.
“Pertandingan selesai!”
Di tengah-tengah kerumunan banyak penonton, Narika memenangkan pertandingannya.
Kemudian untuk sesaat, dia menatap ke arah penonton.
Mungkin, dia berharap berharap bahwa akan ada reaksi yang berbeda dari tahun lalu yang diberikan oleh penonton.
Namun, kenyataan sangat menyakitkan.
Penonton mulai terlihat takut pada Narika.
Pada akhirnya, Narika kembali ruang tunggu.
Punggunggnya tampak begitu kesepian sampai-sampai aku ingin membuang muka.
Bagaimana bisa malah jadi seperti ini?
Bukankah semua orang bisa melihat bahwa saat ini Narika berada dalam kondisi yang prima? Bukankah yang tadi itu adalah kemenangan yang brilian? Lantas mengapa, suasananya malah jadi seperti ini...
Pertandingan selanjutnya ada final.
Apakah ini akan sama seperti tahun lalu lagi?
...Aku punya, satu solusi.
Aku memiliki satu solusi jitu supaya Narika tidak lagi takut pada porseni.
Aku teringat pada strategi Noblesse Oblige yang dirancang oleh Tennoji-san. Inti dari strategi itu bukanlah membuat Narika berperan aktif, tapi membuat orang lain yang memainkan peran aktif. Dalam hal ini... Narika hanya perlu melakukan hal yang sama kali ini.
Di tempat pertama, alasan mengapa Narika menjadi trauma dari porseni tahun lalu adalah karena dia menang telak. Dengan demikian, jika dia kalah...
“Jika dia menyerahkan kemenangan...”
“...Aku sama sekali tidak pernah memikirkan ide seperti itu.”
Aku mendengar jawaban atas gumaman yang kuucapkan secara tidak sadar.
Terkejut, aku menoleh dan melihat ada Narika di depanku.
“Narika, sejak kapan kau di sini...?”
“Sejak beberapa saat yang lalu. Tapi karena kamu terlihat sedang memikirkan sesatu dengan ekspresi serius, jadi aku menungu tanpa mengatakan apa-apa...,” ucap Narika, tersenyum datar. “Tapi, hmm, kalah dengan sengaja dan membuat diriku terlihat lemah, ya. ...Aku tidak pernah memikirkan ide itu.”
Narika menganggukkan kepalanya dengan sikap penuh perhatian yang aneh.
Tapi di mataku, itu hanya terlihat seperti dia berusaha terlihat acuh tak acuh.
“Narika, yang barusan itu, hanya salah satu ideku, jadi...”
“Tidak masalah, aku akan mencobanya. Bagaimanapun juga, ini tidak seperti aku tidak bisa menahan diri.”
Mengatakan itu, Narika menuju ke ruang tunggu. Padahal sebentar lagi pertandingan final akan dimulai, tapi aku bahkan tidak sempat memberikan satu dukungan moral pun kepadanya.
Seingatku, saat kami latih tanding di dojo sebelumnya, Narika bilang bahwa dia tidak suka menahan diri. Tentunya itu bukan berarti dia kurang baik dalam menahan diri, tetapi selama dia mau, dia bisa melakukannya.
Tapi dari sudut pandangku, bagian di mana dia tidak suka menahan diri itulah yang menjadi masalah tersendiri untukku. Apa aku, akan membuat Narika melakukan sesuatu yang tidak dia sukai...?
“—Mulai!”
Mendengar suara wasit, aku langsung mengangkat kepalaku.
Sementara aku sedang memikrikan berbagai hal, pertandingan final telah dimulai.
Dalam suasana yang menegangkan, kuperhatikan kalau gerakannya Narika lebih lambat dari biasanya.
“Eh? Miyakojima-san...”
“Entah mengapa performanya terlihat menurun.”
Para penonton juga memperhatikan bahwa ada yang aneh dengan Narika.
“...!!!”
Narika diserang secara sepihak.
Tidak diragukan lagi.
Narika..., dia berniat untuk kalah.
Apa yang harus kulakukan...?
Lawannya megambil poin pertama.
Namun, setelah itu, Narika balas merebut poin.
Apakah dia sengaja melakukan itu untuk membuat pertandingan ini terlihat kompetitif?
Yang jelas, kendo adalah pertandingan BO3, jadi jika poin berikutnya diambil oleh lawan, maka Narika akan kalah.
Diriku yang rasional dan diriku yang mengikuti perasaan bertentangan satu sama lain.
Imej bahwa Narika menakutkan terikat dengan kesan bahwa Narika itu kuat. Itulah sebabnya, jika dia tidak kuat, imej yang menaktukan itu pasti akan memudar. Apalagi, saat ini Narika mengalami cedera pada jarinya. Aku lupa soal itu karena tadi dia dengan mudah menang di semi final, tapi Narika melilitkan perban di jarinya. Jika dia terluka, tidak akan mengejutkan kalau dia kalah... Aku yakin orang-orang di sekitar pun akan berpikir demikian.
Apa yang dibutuhkan agar Narika kalah sudah tersedia. Strategi ini pasti akan berhasil.
Tapi, aku tidak bisa menghilang perasaan yang ingin menentang strategi itu.
Apa yang aku inginkan...?
Aku ingin Narika dikenal oleh lebih banyak orang.
Sama sekali tidak ada kebohongan dalam pemikiranku itu.
Aku tidak ingin Narika melakukan sesuatu yang tidak dia sukai.
Sama sekali tidak ada kebohongan juga dalam pemikiran itu.
“Apa yang kau inginkan..., Itsuki?” tanya Hinako, dengan suara yang pelan agar orang-orang di sekitar tidak mendengarnya.
Rasanya seolah-olah dia bisa melihat menembus hatiku..., seolah-olah dia berbicara mewakili hatiku.
“Aku...” Aku membuka mulutku sambil memilah-milah emosiku yang mendidih. “Aku suka bagaimana Narika menekuni bela diri. Dia tahu kelemahannya, dan itulah mengapa dia ingin bisa membusungkan dadanya pada bidang yang dia kuasai... Aku suka cara hidup yang seperti itu.”
Yah, meskipun, kupikir menyebutnya cara hidup mungkin terdengar agak berlebihan. Tapi yang jelas, aku merasa agak segar ketika aku mengatakan apa yang mengangguku di kepalaku dan mengeluarkannya.
...Begitu ya.
Aku tau sikap selayaknya seorang bangsawan yang seperti itu.
Hinako, meskipun dia kesusahan karena tanggung jawab berat yang dia pukul, dia masih berusaha kerasa untuk menemukan kebahagiannya sendiri.
Tennoji-san, demi martabat keluarganya, dia selalu berusaha untuk bersikap anggun.
Sikap selayaknya seorang bangsawannya Narika juga sama seperti mereka.
Dia sadar akan kelemahannya yang mungkin dibawah rata-rata, makanya dia berusaha untuk membusungkan dadanya dengan kekuatan yang dia miliki. Mungkin memang ucapanku saat masih kecil yang membuatnya seperti itu, tapi saat ini, Narika menunjukkan bahwa inilah kekuatannya. Dia mencoba untuk menjadi kuat sekalipun dia dibebani dengan kelemahan.
Narika Miyakojima, dia dalah seorang Ojou-sama.
“...Mungkin semuanya akan baik-baik saja,” ucap Hinako, menatapku. “Jika Miyakojima-san menang dan suasananya menjadi buruk..., kupikir jika kau memujinya terlebih dahulu, itu akan menyelesaikan segelanya.”
“Apa, maksudmu...?”
Tanpa menjawab pertanyaanku, Hinako lanjut berbicara.
“Karenanya, Itsuki..., sampaikanlah padanya apa yang ingin kau katakan,” ucap Hinako, sambil tersenyum lembut.
Mendengar itu, aku langsung membuat keputusan.
Hinako benar.
Aku masih belum memberitahu Narika bagaimana pemikiran dan perasaan pribadiku.
Jika kedepannya Narika ingin mendapatkan lebih banyak teman, mungkin memang lebih baik jika dia kalah di sini.
Tapi, aku tidak mau dia melakukan itu.
Narika yang kusukai bukanlah Narika yang seperti itu.
Seperti bagaimana Narika mengatakan bahwa aku spesial baginya.
Aku juga ingin mengatakan pada Narika bahwa dia spesial bagiku.
Bahkan jika perasaan ini adalah ego semata... Tidak, justru karena ini adalah ego, membuatnya tidak bisa disangkal bahwa memang inilah perasaanku.
Aku tidak mau Narika hanya menjadi orang biasa.
Gadis bernama Narika Miyakojima yang kusukai itu luar biasa, keren—dan kuat.
“NARIKA!”
Aku berteriak pada Narika yang lemah, yang memegang pedang bambu namun terlihat seperti akan jatuh kapan saja.
Jika dia menang, semua upaya yang telah dia lakukan selam ini mungkin akan menjadi sia-sia. Pada saat itu, aku akan membantunya lagi untuk bangkit kembali dari bawah ke atas.
Menggunakan strategi kalah seperti ini tidak boleh. Aku tidak mau menerima itu. Karenanya——
“Lakukan yang terbaik, dan menanglah——!!”
Seketika, seluruh tubuh Narika tampak dipenuhi dengan semangat juang.
Sosoknya yang sebelumnya terlihat lemah menghilang, dan dia melangkah dengan gerakan yang gesit dan berani.
“——?!”
Lawannya sontak tercengang.
Itu wajar, bagaimanapun juga inferioritas situasi sebelumnya terbalik dalam sekejap.
Lawannya bergegas untuk melakukan gerakan kecil, tapi Narika langsung menyadarinya dan menangkisnya.
Doon, suara yang nyaring terdengar saat Narika menginjak lantai dengan kuat dan mengayunkan pedang bambunya lurus ke bawah.
“Haaaaaaaaah—!!!”
Sambil meneriakkan semangat juangnya, Narika menghantamkan pedang bambunya ke wajah lawan.
Tubuhku bergidik. Ini bukan hanya sekadar kata menakutkan. Saat ini, dari diri Narika, ada kekuatan dan keseriusan yang begitu hebat sampai-sampai membuatku merasa takut.
Kupikir, itulah pesona yang dimiliki Narika. Itulah yang menurutku keren tentang dirinya.
“Pertandingan selesai!”
Wasit memberikan pengumuman.
Final porseni kompetisi kendo..., dimenangkan oleh Narika dengan kemenangan yang luar biasa.
Sambil memegang pedang bambu, kedua peserta final saling berhadapan dan membungkuk.
Bahkan seorang amatir yang menonton ini pasti bisa mengerti, bahwa Narika berada di tingkat kekuatan yang berbeda dari orang biasa. Saking menakutkannya kekuatannya yang begitu hebat itu, siswa-siswi yang menonton pertandingan tersebut hanya bisa menutup mulut mereka.
Untuk memecah kesunyian itu—aku berterpuk tangan.
Saat ini, apa yang lebih penting bagiku adalah untuk berada di sisi Narika daripada menyesuaikan diri dengan suasana di sekitar. Bahkan jika semua orang kecuali aku diam..., aku akan menjadi satu-satunya orang yang memberi tahu Narika bahwa aku ada di sisinya.
Tapi kemudian, dari sebelahku aku mendengar suara tepuk tangan.
Hinako bertepuk tangan dengan elegan, dan selanjutnya, terdengar tepuk tangan lain dari jarak yang tidak jauh.
Asahi-san, Kita, Suminoe-san, dan siswa yang kuhadapi sebelumnya di pertandingan tenis..., mereka bertepuk tangan.
Dan tau-tau saja—suara tepuk tangan mulai terdengar di seluruh venue.
“Ba-Barusan... Dia hebat banget, ya?!”
“Iya. Aku bahkan sampai terkejut....”
“Aku juga. Awalnya kupikir dia menakutkan, tapi sekarang...”
Ditengah-tengah suara tepuk tangna yang meriah, aku bisa mendengar ucapan-ucapan seperti itu dari para siswa yang hadir di venue.
Inilah saat-saat yang kami tunggu-tunggu selama ini—saat ketika imej tentang Narika berubah.
“Miyakojima-san hebat banget, ya.”
Tepuk tangan tidak kunjung berhenti.
Beberapa dari mereka, tidak diragukan lagi ada yang memuji Narika.
Di tengah-tengah venue, Narika, yang telah membuka pelindung kepalanya, tampak kaku dengan mata yang terbuka lebar.
Sepertinya dia sangat terkejut sampai-sampai dia tidak bisa menutup mulutnya yang menganga.
Namun tak lama kemudian, dari sudut matanya, Narika meneteskan air mata.
“...Hahaha.”
Dia tampak bahagia dari lubuk hatinya yang terdalam.
“Lihat... Ini tepat seperti yang kukatakan, bukan?” ucap Hinako, dengan tatapan penuh kemenangan. “Bagaimapaun juga, aku adalah orang yang plaing paling mengerti kamu...”
Aku tidak benar-benar mengerti apa maksud ucapannya, tapi yang jelas kupikir dia memang benar.
Aku senang aku percaya pada Hinako dan meneriakkan perasaanku.
Di venue ini, tidak ada suasana yang menolak Narika.
Narika—dia menang.
:)
ReplyDeleteUwoooghhh, senyuman narika >\\\<
ReplyDeleteOmg senyuman tulusnyaಡ ͜ ʖ ಡ
ReplyDelete